Rabu, 06 Desember 2017

Sastra dan Biografi Kekuasaan Raja-raja Nusantara

Fathan Mubarak *
Radar Cirebon, 19 Sep 2017

KERAJAAN-kerajaan di dunia lahir dan dibesarkan oleh sastra. Bentangan sejarah politik dari jaman Mesir Kuno di Afrika hingga Mataram di Solo dan Jogja, senantiasa mempertontonkan silang sengkarut suksesi dan legitimasi. Di sana, kekuasaan seperti sebuah kubah yang berdiri di puncak bangunan sistem kepercayaan setiap masyarakatnya. Dan perjumpaan teks-teks kekuasaan dengan mereka yang dikuasai, hingga bagaimana teks masuk dan memengaruhi, semua ”diurus” oleh sastra.

Ada banyak sekali teori legitimasi. Di zaman feodal, kekuasaan pertama-tama bersandar pada yang di luar sejarah: Tuhan, dewa-dewa, benda pusaka, lelembut dan segala yang bersifat supra materi. Seorang raja harus yang bukan ”manusia biasa”. Penguasaan militer hanyalah hardware yang membutuhkan perangkat lunak berupa penaklukan kesadaran publik agar tercipta kepatuhrelaan.

Di pedalaman hutan Amerika Tengah, suku Maya dipimpin seorang kepala yang terkoneksi dengan roh-roh yang bergentayangan dalam sastra lisan para tetua. Di Mesir, unit-unit politik kecil semacam itu dilebur dalam sistem monarki Menes yang merupakan titisan Dewa Osiris. Kekuasaan Firaun bertumpu pada sebuah legenda tentang kematian Osiris oleh Set, dan Horus sebagai anak Osiris membalaskan dendamnya.

Dalam egyptology, Firaun adalah Horus, Tuhan bagi bangsa Mesir. Tidak hanya sastra lisan, legenda Horus terdokumentasi dengan baik dalam tembikar dan dinding-dinding piramid. Akar sejarah kekuasaan di Yunani klasik juga dibentuk oleh legenda dan mitologi-mitologi. Keduanya menjadi tema dari sastra lisan yang berkembang dan banyak dituliskan dalam syair-syair kepahlawanan.

Maka, jagat nusantara mengenal legenda, cerita rakyat, babad, hikayat, kronik, dan sederet karya sastra di mana para penguasa menumpukan kekuasaannya pada itu. CC Berg, seorang profesor kenamaan dari Universitas Leiden, menggarisbawahi beberapa hal yang menjadi karakteristik pokok dari karya-karya sastra kuno yang belakangan oleh sebagian kalangan disebut sebagai historiografi tradisional.

Dalam karya-karya sastra kuno, kesaktian ditempatkan sebagai titik sentral di mana berbagai peristiwa alam termasuk yang menyangkut kehidupan manusia berpangkal. Penjelasan-penjelasannya juga beranjak dari kepercayaan akan klasifikasi magis yang memengaruhi segala sesuatu. Bisa mahluk hidup, benda mati, baik bagi pengertian-pengertian yang dibentuk dalam akal manusia maupun sifat-sifat yang terdapat dalam materi.

Dengan begitu, penghubungan antarsesuatu yang sebetulnya nonsense, dapat ditarik dengan gampang. Hal lainnya adalah bahwa kebanyakan tokoh dalam historiografi tradisional tidak lain para pelaku magisme itu sendiri.

Para pujangga keraton sebagai kaum cerdik pandai, kreator ulung, dikenai tanggung jawab itu. Ia ditugasi membuat komunikasi politik dengan publik lewat karya tulis yang berideologi istana-sentris dan bergenre religiomagis.

Keagungan dan kesakralan raja menjadi tema yang terus dikonstruksi dalam dunia kreatif para pujangga. Mitologisasi pun terjadi. Dan, sejarah membuktikan betapa cara tersebut cukup mangkus menanamkan kepatuhan massa.

Misalnya kitab Arjunawiwaha yang ditulis Mpu Kanwa atas titah raja Erlangga. Kitab ini menjadi satu dari sederet panjang di mana seorang raja melegitimasi kekuasaannya melalui penulisan karya sastra. Lewat kitab Arjunawiwaha, orang jadi ”tahu” bahwa Erlangga adalah raja digdaya—bak Arjuna, ia tak terkalahkan oleh musuh-musuhnya.

Kita juga bisa menyebut Babad Sultan Agung. Babad ini diawali dengan pengetengahan kehebatan Sultan Agung dalam penaklukan Palembang.

Tersebutlah bahwa Sultan Agung memiliki segudang kesaktian yang salah satunya dalam sekejap bisa pergi ke mana suka. Sultan Agung juga bisa melangsungkan pertemuan bahkan dengan tokoh-tokoh pewayangan seperti Semar dan Arjuna. Sultan Agung sendiri mewarisi kerajaan yang sejak awal pembentukannya, pertama-tama dikukuhkan oleh sebuah fiksi yang masih populer hingga hari ini.

Pada awal paruh kedua abad enam belas, Mitos Ratu Kidul yang sudah dikenal lama oleh masyarakat Jawa dan Sunda dimanfaatkan Panembahan Senopati untuk melegitimasi kerajaannya. Kitab Babad Tanah Jawi dan serat Wedotomo menyebutkan, penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul, menjadi istri dan sekutu pendiri Mataram juga generasi-generasi penerusnya. Hal tersebut mengingatkan kita pada Babad Lombok di mana raja Khmer dan raja Bima mengawini putri naga demi kesuburan negerinya.

Kekuasaan raja-raja juga dikukuhkan karya-karya sastra yang mengisahkan asal-usul dan genealogi penguasa. Contoh bagus dalam hal ini kita dapati pada Babad Tanah Jawi. Babad yang ditulis Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III tersebut mengisahkan garis keturunan raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram. Melintasi nenek moyang Mataram Islam, raja-raja Hindu Jawa, para nabi, hingga ke Adam yang pernah bermukim di surga.

Menaut-nautkan diri dengan para pembesar dan orang-orang suci tentu suatu ideologi. Perpaduan keduaanya sangat efektif melahirkan pengakuan massa: nasab para pembesar terjelaskan dalam teori politik ingatan, sedang nasab para nabi, mengingat Islam sudah menjadi mayoritas, terjelaskan dalam teori politik identitas.

Dalam hal ini, periodesasi-periodesasi tidak berlaku. Di Cirebon sendiri yang notabene dipimpin seorang wali, karya sastra tak lepas dari misi mitologisasi. Dalam babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon, tokoh Sunan Gunung Jati digambarkan sebagai wali yang sakti mandraguna.

Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan Mesir-Jawa yang hanya ditempuh dengan berjalan kaki di atas air laut. Ia juga bisa mengubah pohon menjadi emas. Bisa mengubah bokor menjadi bayi. Dan Sunan Gunung Jati yang luar biasa sakti itu konon pernah mikraj bersama nabi Khidir menembus tujuh lapis langit.

Jika Pakubuwono III mendaraskan nasabnya pada para nabi, Sunan Gunung Jati justru meet up dan menerima wasiat langsung dari mereka. Ia bertemu dengan Nabi Isa, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Adam dan empat malaikat yang masing-masing memberinya nama.

Di langit lapis tujuh, sang Sunan bertemu dengan nabi Muhammad lalu dihadiahi sebuah jubah. Sampai saat mikraj Sunan Gunung Jati berakhir di puncak Masjid Sungsang dan ia kembali ke Cirebon dengan mengenakan cincin pemberian Nabi Sulaiman

Namun, tidak ada bukti bahwa Sunan Gunung Jati memerintahkan para pujangga untuk membuat puja sastra tentang dirinya. Karya-karya sastra yang mendewa-dewakan Sunan Gunung Jati justru ditulis para penerusnya seabad lebih setelah kematiannya.

Kepentingan legitimasi semacam ini bisa kita lihat juga dari selisih isi antara naskah Pararaton dan Negarakertagama saat keduanya membicarakan Ken Arok. Dalam kitab Pararaton, Ken Arok disebutkan lahir di desa Pangkur, dari pasangan Ken Endok dan Gajah Para.

Mereka seorang petani. Ketika Gajah Para tengah di sawah, di semak belukar sebuah kebun, Ken Endok ditemui Dewa Brahma. Peristiwa tersebut membuat Ken Endok tiba-tiba mengandung dan Gajah Para meninggal dunia.

Ken Arok pun lahir dan tumbuh sebagai bocah yang dikenal nakal. Ia kerap mencuri dan berjudi sabung ayam. Bahkan saat dewasa, tidak hanya mencuri, tapi juga sampai membunuh, merampok dan memperkosa—Ken Arok seorang gali.

Namun dalam teks Negarakertagama, teks yang ditulis oleh penguasa Majapahit yang mengklaim sebagai keturunan dari wangsa Rajasa, Ken Arok dikisahkan agung tanpa cela. Ken Arok disebut-sebut sebagai Raja Perwira Yudha Putra Girinatha yang lahir di dunia tanpa bunda.

Semua orang bersujud di kakinya sebagai tanda bukti akan ketaatan dan kepatuhan serta kebesaran raja. Ken Arok yang sejak memerdekakan Tumapel dari Panjalu bergelar Ranggah Rajasa itu, dilukiskan sebagai seorang penggempur musuh dan pahlawan bijaksana.

Legitimasi yang sudah diberikan sastra tidak hanya berlaku di jamannya. Sebab karya-karya sastra kuno, memungkinkan kita yang hidup di hari ini bersentuhan dengan banyak sekali simbol keagungan dan kebesaran para raja di masa lalu.

Terlepas dari apakah informasi-informasi tersebut kandas di tengah rasionalitas jaman atau terus memanjang dalam waktu—sebagaimaan dapat kita temui dengan mudah di pelosok-pelosok kota di republik ini, namun jelas bahwa keraton-keraton se-nusantara telah berhutang banyak pada sastra. Dalam perspektif inilah saya melihat Festival Keraton Nusantara 2017 yang hari ini masih berlangsung.

FKN secara resmi berlangsung lima hari dengan dihadiri 50 keraton peserta, 100 keraton peninjau dan sekitar 10 ribu kepala sebagai penggembira. Keraton Kasepuhan sebagai tuan rumah sendiri konon menyediakan 5 ribu kamar selama 1 minggu untuk menampung para tamu.

Berbagai macam event dan acara digelar. Mulai dari pameran pusaka, musyawarah raja-raja, arak-arakan, hingga lomba senam. Namun dalam lima hari yang padat acara tersebut, 5 hari yang penuh euforia dan gegap gempita tersebut, saya tidak melihat sastra meski cuma batang hidungnya. Ini menarik. Bukan karena saya pegiat sastra, namun karena saya tahu, keraton-keraton se-nusantara memang telah berhutang banyak pada sastra.

Alhasil, FKN tampak seperti parade lupa. Sebuah parade tanpa percakapan yang intim, dalam, bermartabat, dan menyehatkan pikiran. Bagaimana mungkin kekuasaan-kekuasaan yang lahir dan dibesarkan oleh sastra, dalam resepsi akbarnya justru mengabaikan sastra. Tanpa bermaksud apa-apa, namun FKN kali ini memang tampak seperti potongan puisi Lupa yang ditulis penyair Joko Pinurbo di Jogja sana:

Musuh utama lupa ialah kapan.
Teman terbaik lupa ialah kapan-kapan.
Kapan dan kapan-kapan ternyata sering kompak juga.

Namun saya percaya, lupa pun ada batasnya. Pada suatu ketika di suatu masa, sebuah jaman yang limbung, zaman yang chaos nilai dan mangmung, akan mengangkat tangan dan memohon sedekah agem-agem dari sastra—sebagaimana sebagian masyarakat Surakarta pernah merasa terselamatkan oleh petatah-petitih pujangga Ronggowarsito. Sebab lupa, mengutip baris terakhir puisi di atas, hanyalah mata waktu yang tidur sementara.

*) Fathan Mubarak, hamba Allah, tinggal di Rumah Kertas
http://www.radarcirebon.com/sastra-dan-biografi-kekuasaan-raja-raja-nusantara.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi