Selasa, 12 September 2017

Mitologi Melayu dan Sastrawan Riau

Agus Sri Danardana *
Riau Pos, 4 Nov 2012

TANPA harus menyangkal bahwa lahirnya kesusastraan (puisi) Indonesia modern banyak dipengaruhi oleh kesusastraan (poetika) Barat, kita pun harus mengakui bahwa sebelum berkenalan dengan kesusastraan Barat, sebenarnya kita sudah punya konvensi sastra sendiri. Konvensi sastra itu, dalam kenyataannya, tak dapat dengan begitu saja ditinggalkan oleh para sastrawan kita.
Dari segi bentuk, misalnya, kita masih dengan agak mudah menemukan puisi-puisi yang ditulis ala pantun, syair, gurindam ataupun mantra. Sementara itu, dari segi isi atau bahan-bahannya, kita pun masih banyak menemukan puisi yang ditulis berdasar mitologi-mitologi tertentu. Sekadar contoh dapat disebut di sini puisi Amir Hamzah yang berjudul ‘’Batu Belah’’ dan ‘’Hang Tuah’’ (masing-masing berdasarkan dongeng Batu Belah dan Hikayat Hang Tuah); puisi Chairil Anwar, ‘’Diponegoro’’ (diilhami dari sejarah perjuangan Diponegoro) dan ‘’Cerita Buat Dien Tamaela’’ (didasarkan kepercayaan orang Maluku); serta puisi Gunawan Mohammad, ‘’Gatoloco’’, yang diolah dari buku Gatoloco, sebuah kitab yang berisi ajaran mistik (Jawa).

Sedikit beda dengan judulnya, tulisan ini hendak melihat mitologi Melayu dalam karya sastra. Lihatan akan berfokus pada ‘pemanfaatan’ mitologi Melayu oleh sastrawan Riau dalam beberapa karyanya yang sempat penulis amati.

Mitologi: Untung-rugi Pemanfaatannya

Dalam salah satu tulisannya, Budi Darma (2004:130) berpendapat, sastra adalah kepanjangan dari mitologi. Seperti halnya dalam sastra, di dalam mitologi terdapat tokoh-tokoh yang mengalami konflik kejiwaan/masalah psikologis sehingga antara sastra, mitologi dan psikologi sesungguhnya saling terkait dan tak dapat dipisahkan.

Untuk mendukung pendapatnya itu, Budi Darma mencontohkan asal-usul istilah histeria dan narsisme. Konon, kedua istilah itu diambil dari dua nama tokoh dalam mitologi Yunani Kuno yang mengalami masalah psikologi: Histeria dan Narcissus. Histeria adalah tokoh wanita yang mengalami ketidakberesan pada rahimnya. Setiap kali ketidakberesan itu muncul, Histeria selalu berteriak-teriak, kadang menangis, kadang tertawa dan kadang marah-marah tak dapat lagi mengendalikan emosinya. Sementara itu, Narcissus adalah tokoh pria (?) yang mencintai dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Kini, keduanya: histeria dan narsisme digunakan untuk setiap orang (baik pria maupun wanita) yang mengalami gangguan kejiwaan seperti itu.

Sebagai produk budaya, idealnya, mitos akan selalu hidup dan memberi pengaruh terhadap perilaku dan pandangan hidup masyarakat. Mitos bukan sekadar sebuah konsep/gagasan, melainkan suatu lambang dalam bentuk wacana. Mitos, dengan demikian, selalu menghadirkan sebuah sistem komunikasi yang menawarkan pesan masa lalu: ide, ingatan, kenangan dan bahkan keputusan yang diyakini masyarakatnya (Barthes, 1981:193). Karena itu, dalam kondisi yang benar, mitos dapat mengembangkan integritas masyarakat: memadukan kekuatan kebersamaan yang terpecah serta dapat membentuk solidaritas, identitas kelompok dan harmonisasi komunal.

Berkaitan dengan itu, Subagio Satrowardojo berpendapat (baca: mengaku) bahwa dirinya (juga sastrawan lain) memanfaatkan mitologi dalam berkarya karena tokoh-tokoh di dalam kisah demikian tetap dekat pada sumber kehidupan yang purba, manusia yang masih bebas tiada halangan-halangan batin, prasangka-prasangka, tanggapan-tanggapan rasional dan pertimbangan-pertimbangan yang membingungkan seperti yang terdapat di dalam masyarakat modern. Mereka berbicara dan berlaku sesuai dengan desakan yang sejati yang lurus datang dari perasaan serta bayangan batinnya.

Dan, penyair menemukan pada tokoh-tokoh itu jenis sesamanya yang lebih mula dan tua, yang seperti dia hendak menyaksikan dunia dalam keperawanannya, sebelum diwarnai pandangannya oleh kategori dan metode berpikir yang kini ada. Tokoh-tokoh itu dengan langsung menyentuh hakikat yang ada. (dalam Keroncong Motinggo, 1975:109).

Apa yang diungkapkan Subagio Sastrowardojo itu, rasa-rasanya, memang patut kita terima. Mengapa? Karena karya (puisi-puisi mitologis) yang sepintas lalu tampak seperti puisi naratif itu, jika kita amati sungguh-sungguh, ternyata merupakan puisi lirik. Mari kita lihat puisi Rida K Liamsi, ‘’Jebat’’, berikut ini.

Telah kau hunus keris
telah kau tusuk dendam
telah kau bunuh dengki tetapi, siapakah yang telah mengalahkan mu
Kami hanya menyaksikan luluh rasa murka mu
celup cuka cemburu mu
kubur rasa cinta mu
di bayang-bayang hari mu

Kami hanya menyaksikan waktu menghapus jejak darah mu
angin menerbangkan setanggi mimpimu
ombak menelan jejak nisan mu
di balik cadar mimpi-mimpi mu

Kami semua telah mengasah keris
telah menusuk dendam
membunuh dengki
meruntuhkan tirani

Tapi siapa yang telah mengalahkan kami
menumbuhkan khianat
melumatkan sesahabat
mempusarakan sesaudara

Kami hanya menyaksikan waktu yang berhenti bertanya
sejarah yang berhenti ditulis
kita hanya membangun sebuah arca

Sepintas puisi itu tampak sebagai puisi naratif karena mengambil salah satu peristiwa dalam Hikayat Hang Tuah, yakni kematian (Hang) Jebat oleh sahabat karibnya sendiri, (Hang) Tuah. Namun, jika diamati sungguh-sungguh, puisi itu adalah puisi lirik: Si aku lirik diobjektifkan menjadi mu, Jebat, yang sedang dan telah gugur dalam berperang. Dengan demikian yang dipentingkan bukanlah tokoh Jebat atau peristiwanya itu, melainkan penghayatan Rida K Liamsi terhadap tokoh dan peristiwa tersebut. Tokoh dan peristiwa hanya menjadi sarana untuk ikut serta dalam pengamalan batin si aku lirik (Teeuw, Tergantung pada Kata, 1980:48). Atau dengan kata lain, tokoh dan peristiwa hanya suatu alegori atau metafora untuk mengutarakan pikiran penyair yang bersifat personal tentang kehidupan.

Begitulah, dengan pemanfaatan mitologi dalam karya sastra, sesungguhnya sastrawan dan masyakarat/pembaca sama-sama dapat keuntungan. Setidaknya, sastrawan terbebas dari kewajiban untuk menerang-jelaskan sarana/peranti pengucapannya. Sementara itu, di samping memperoleh kemudahan dalam pemaknaan (karena sudah mengenal), masyarakat/pembaca juga memperoleh kesempatan mengeksplorasikan pemaknaannya.

Dalam ‘’Jebat’’, misalnya, Rida K Liamsi tak perlu lagi memberi penjelasan tentang ihwal Jebat. Sebagai tokoh yang sudah menjadi mitos, ihwal Jebat diasumsikan (dan seharusnya) sudah jadi pengetahuan umum bagi masyarakat (Melayu). Bahkan, adanya tanggapan beragam di kalangan masyarakat (Melayu) tentang etos kepahlawan Jebat (dan Tuah) pun tak perlu dikemukakan. Berkembangnya dua pendapat di kalangan masyarakat tentang etos kepahlawan Jebat dan Tuah itu (sebagian menganggap bahwa Tuah lah yang pantas disebut pahlawan karena berhasil mengembalikan ketenteraman kerajaan dan sebagian lainnya menganggap bahwa Jebat lah yang pantas disebut pahlawan karena gigih membela kebenaran) justru membuka kesempatan masyarakat/pembaca untuk memperkaya pemaknaan puisinya.

Pertanyaannya sekarang adalah seberapa tinggi tingkat apresiasi masyarakat Melayu terhadap mitologinya. Jawaban atas pertanyaan itu menjadi penting karena akan menjadi penentu kebermaknaan karya sastra yang memanfaatkannya. Jika tingkat apresiasi masyarakat rendah, pemanfaatan mitologi dalam karya sastra justru akan mendatangkan kesulitan tersendiri. Masyarakat yang tidak mengetahui ihwal keris tameng sari, syair ‘’Perahu’’ (Hamzah Fansuri) dan Hang Tuah, misalnya, akan mengalami kesulitan memahami puisi Taufik Ikram Jamil (‘’Tameng Sari Kuserahkan Kembali’’), puisi Idrus Tintin (‘’Perahu’’) dan puisi Kunni Masrohanti (‘’Lancang Tuah’’). Begitu pula orang akan kesulitan memahami cerpen Marhalim Zaini (‘’Amuk Tun Teja’’) dan cerpen Fedli Azis (‘’Nol Besar’’) jika tak memiliki apresiasi yang baik terhadap Hikayat Hang Tuah. Pendek kata, tanpa memiliki apresiasi mitologi Melayu yang baik, hampir dapat dipastikan masyarakat/pembaca takkan dapat menikmati kegamangan dan/atau keparodian dalam karya keenam sastrawan yang sudah disebutkan di muka.

Betapa tidak? Melalui ‘’Tameng Sari Kuserahkan Kembali’’, Taufik Ikram Jamil menampilkan kegamangannya atas eksistensi (keris) tameng sari; Idrus Tintin memperlihatkan kegamangannya atas karyanya sendiri, ‘’Perahu’’; Kunni Masrohanti memamerkan kegamangannya atas eksistensi Tuah (sebagai simbol Melayu) dalam ‘’Lancang Tuah’’; Rida K Liamsi (melalui ‘’Jebat’’) dan Fedli Azis (melalui ‘’Nol Besar’’) sama-sama gamang terhadap eksistensi Jebat: Rida gamang karena takut, jika waktu berhenti bertanya dan sejarah berhenti ditulis, Jebat justru akan menjelma menjadi arca. Sementara itu, Fedli gamang karena khawatir Jebat telah ter(di)lupakan oleh banyak orang; serta Marhalim Zaini meluapkan kegamangannya atas eksistensi Tun Teja melalui ‘’Amuk Tun Teja’’. Dalam cerpennya itu, secara simbolik, Marhalim bahkan telah memvonis bahwa Tun Teja tidak dikenal lagi oleh masyarakatnya (Riau).

Nah, apakah karya-karya mitologis seperti itu mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat? Sejarah yang akan membuktikannya. Setidaknya kita masih bisa berlega hati setelah membaca tulisan W Halim, ‘’Teater, Tiga Karya Satu Cinta’’, di harian ini pada 28 Oktober lalu. Menurut catatannya, pementasan tiga lakon Melayu: Hikayat Puteri Puyu-Puyu (Hang Kafrawi), Melodi Pengakuan (Rina N Entin) dan Peri Bunian (Kunni Masrohanti) yang dibicarakannya itu mampu menyedot banyak penonton. Atas dasar itu, di tengah kegalauan era globalisasi, kita pun masih bisa berharap agar karya-karya mitologis terus ditulis. Jika harapan itu terwujud, kita pun akan semakin yakin bahwa pengembangan integritas masyarakat Riau untuk memadukan kekuatan kebersamaan dalam membentuk solidaritas, identitas kelompok dan harmonisasi komunal akan semakin mudah dilakukan. Semoga. n

*) Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau yang aktif mengamati dan menuliskan pemikirannya, terutama tentang karya-karya Melayu Riau. Bermastautin di Pekanbaru.
http://cabiklunik.blogspot.co.id/2012/11/mitologi-melayu-dan-sastrawan-riau.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi