Rabu, 22 Oktober 2014

Tradisi dan Bakat Individu

Saut Situmorang
http://boemipoetra.wordpress.com/

Seorang komentator sastra dari Jakarta, Nirwan Dewanto, pernah membuat pernyataan asersif bahwa novelis Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia. Latar-belakang pembuatan klaim ini, mudah kita duga, adalah reaksi luar biasa yang timbul dalam sastra Indonesia setelah publikasi novel pertama Ayu, Saman, dari kalangan “kritikus” sastra di Indonesia, yang dalam komentar mereka rata-rata memakai istilah-istilah superlatif seperti “dahsyat”, “kata-kata…bercahaya seperti kristal”, “tak ada novel yang sekaya novel ini”, “superb, splendid”, dan “susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang”, dalam mempromosikan apa yang mereka anggap sebagai “pencapaian” artistik Saman, seperti yang dicantumkan pada blurb di sampul belakang novel tersebut.

Klaim-klaim asersif semacam ini memang cukup sering kita temui dalam sastra Indonesia kontemporer karena apa yang dianggap sebagai “kritik” sastra itu rata-rata cuma sekedar esei-lepas-semi-resensi di koran-koran belaka. Kritik jurnalistik semacam ini bisa begitu mendominasi, bahkan sampai saat ini, karena posisi koran memang sudah menggantikan posisi majalah atau jurnal sastra sebagai media penulisan studi sastra yang kritis. Ruang kolom koran yang terbatas telah “membebaskan” seorang “kritikus” sastra untuk tidak harus bertanggungjawab membuktikan/mengelaborasi isi pernyataannya semendetil kalau dia menulis di sebuah majalah atau jurnal sastra.

Untuk menanggapi klaim Nirwan Dewanto di atas maka isu yang ingin saya persoalkan dalam esei ini adalah: Mungkinkah seorang sastrawan tidak terlahir dari sejarah sastra nasionalnya sendiri sementara dia memakai bahasa nasionalnya sebagai media ekspresi sastranya? Bisakah seorang sastrawan memasabodohkan sejarah sastra nasionalnya sendiri? Kalau benar Ayu Utami terlahir bukan dari sejarah sastra Indonesia, lantas dari mana dia berasal? Dan kenapa dia (masih menganggap perlu) menulis dalam bahasa Indonesia yang merupakan bahasa ekspresi dari sastra Indonesia itu, bukan dalam bahasa Inggris misalnya?

Dalam sejarah sastra Indonesia rasanya tidak berlebihan kalau saya mengklaim Chairil Anwar adalah bapak puisi modern dalam bahasa Indonesia. Reputasi Chairil ini didapatnya bukan semata-mata karena apa yang dilakukan oleh sang paus sastra Indonesia HB Jassin terhadapnya, seperti yang umum diyakini di kalangan sastrawan Indonesia, tapi karena besarnya pengaruh Chairil atas para penyair yang menjadi penyair setelah dia. Dengan memakai konsep pengaruh intertekstual kritikus Dekonstruksionis Amerika Harold Bloom maka bisa dilihat betapa the anxiety of influence yang ditimbulkan puisi Chairil atas para penyair sesudahnya – yang mencapai klimaks resistensi tekstual pada apa yang disebut sebagai puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri itu – memiliki arti yang jauh lebih signifikan, menurut saya, ketimbang pernyataan-pernyataan mitologis Jassin, dalam membentuk reputasi Chairil sebagai pencipta puisi modern Indonesia.

Sudah berabad-abad para kritikus dan sejarawan sastra di Barat membahas apa yang disebut sebagai “pengaruh” seorang sastrawan atau tradisi sastra atas sastrawan sesudahnya, yang dianggap mengadopsi, dan pada saat yang sama merubah, aspek-aspek dari tema, bentuk, atau gaya dari penulis sebelumnya. “Kecemasan (atas) pengaruh” atau “the anxiety of influence” merupakan sebuah istilah yang dipakai Harold Bloom untuk teori yang diciptakannya yang merevisi secara radikal teori lama di atas yang menganggap pengaruh hanya terjadi sebagai sebuah “peminjaman” langsung, atau asimilasi, dari material dan unsur-unsur penting sastrawan sebelumnya. Bagi Bloom, dalam penciptaan sebuah puisi, pengaruh tak mungkin dielakkan, tapi pengaruh tersebut menimbulkan dalam diri penyairnya sebuah kecemasan yang memaksanya untuk membuat distorsi drastis atas karya pendahulunya itu. Seorang penyair tergerak untuk menulis puisi setelah imajinasinya terpesona oleh puisi “pendahulu”nya. Tapi reaksinya atas pendahulunya itu ambivalen, mirip dengan hubungan Oedipal antara anak laki-laki dengan bapaknya dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud: bukan hanya rasa pesona yang timbul tapi juga (karena seorang penyair yang kuat memiliki keinginan besar untuk bebas dan orisinal) rasa benci, cemburu, dan takut atas penguasaan ruang imajinatifnya oleh pendahulunya tersebut. Karena itulah dia membaca puisi pendahulunya secara “bela diri” sehingga mendistorsinya sampai tak dikenalinya lagi. Meskipun demikian tetap saja “puisi-induk” (parent-poem) yang sudah terdistorsi itu terkandung dalam puisi yang kemudian dituliskannya itu. Apa yang paling mungkin dicapai oleh seorang penyair terbaik sekalipun adalah menulis puisi yang begitu “kuat” sehingga menimbulkan efek ilusi “prioritas”, yaitu sebuah ilusi ganda bahwa puisinya sudah mendahului puisi pendahulunya itu dalam waktu, dan sudah melampauinya dalam kebesarannya. Menurut Bloom lagi, konsep “kecemasan pengaruh” ini tidak hanya terjadi pada sastrawan saja tapi juga pada para pembaca sastra. Dalam konteks inilah, meminjam istilah Sapardi Djoko Damono waktu memuji Saman Ayu Utami, sepanjang pengetahuan saya belum ada pengarang lain di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah Chairil, yang memiliki efek-sejarah (kreatif maupun biografis), atau “kecemasan pengaruh”, atas sesama pengarang seperti yang disebabkan oleh Chairil.

Berdasarkan alasan historis-tekstual tentang Chairil sebagai pencipta puisi modern Indonesia, paling tidak bagi para penyair sesudahnya, seperti yang saya tuliskan di atas, lantas apakah kita bisa mengklaim bahwa Chairil tidak terlahir dari sejarah sastra “berbahasa Indonesia”? Sudah banyak tulisan yang membuktikan, dan susah untuk dibantah, betapa kuatnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, yang diterimanya lewat pendidikan dan terutama bacaannya. Juga terjemahan yang dilakukannya atas karya sastra Barat – baik puisi, cerpen, maupun surat pribadi, dan dari berbagai latar-bahasa – misalnya, merupakan salah satu bukti akrabnya dia dengan dunia sastra tersebut. Keakrabannya yang intens dengan sastra Barat ini malah sampai membuat dia pernah dianggap sebagai plagiator satu-dua puisi penyair Barat, atau puisinya dianggap bukan ditulis untuk pembaca Indonesia karena idiom-idiomnya yang kebarat-baratan seperti yang pernah dinyatakan Subagio Sastrowardoyo. Terlepas dari tuduhan-tuduhan yang saya pikir lebih bersifat cemburu-antar-sesama-seniman ketimbang studi komparatif sastra itu, intensitas pergaulan Chairil dengan dunia sastra Barat tersebut apakah lantas membuat dia (pernah) diklaim sebagai terlahir bukan dari sastra Indonesia yang cuma beberapa tahun saja usianya waktu dia hidup sebagai “binatang jalang” itu? Sepanjang pengetahuan saya belum ada yang pernah mengklaim Chairil Anwar tidak terlahir dari sastra Indonesia seperti Nirwan Dewanto mengklaim Ayu Utami, bahkan tidak oleh Subagio Sastrowardoyo sekalipun.

Bagaimanapun intensnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, kita tetap tidak bisa menutup mata pada kemungkinan bahwa Chairil pun tidak akan terlepas dari persoalan “kecemasan pengaruh” dari penyair Indonesia sebelum dia, atau dari puitika tradisional dalam khazanah sastra lokal yang ada. Adanya relasi intertekstual antara puisi Chairil dan puisi Amir Hamzah, misalnya, pernah dibuktikan dengan sangat baik oleh peneliti sastra Indonesia Sylvia Tiwon dalam eseinya yang berjudul “Ordinary Songs: Chairil Anwar and Traditional Poetics” di majalah Indonesia Circle, No 58, June 92, terbitan School of Oriental and African Studies, London, Inggris. Dengan membaca Chairil dalam konteks “puitika tradisional” Pujangga Baru yang direpresentasikan oleh Amir Hamzah, Tiwon berhasil menunjukkan betapa besar “hutang” Chairil pada Amir Hamzah dalam beberapa sajaknya yang terkenal, seperti “Jangan Kita di Sini Berhenti”, “Sia-sia”, “Sajak Putih”, dan terutama pada “Sorga” dan “Di Mesjid”. Bukti-bukti pergumulan Chairil dengan puitika tradisional dari khazanah sastra lokal yang begitu banyak terdapat pada puisinya yang dianggap “kebarat-baratan” itu (pengucapan Pantun pada puisinya, misalnya), seperti yang ditunjukkan Sylvia Tiwon tersebut, tidak bisa disepelekan begitu saja, demi sebuah resepsi yang lebih kritis atas puisinya, ketimbang sekedar daur-ulang mitos binatang jalangnya yang masih terus dilakukan para “kritikus” sastra di Indonesia sampai sekarang. Dan juga untuk menghindari euforia pembuatan klaim-klaim bombastis yang tak sanggup dibuktikan seperti pada kasus Ayu Utami di atas, yang pada dasarnya hanya bertujuan untuk membuat mitologi-mitologi dalam sastra Indonesia, dan yang pada akhirnya cuma menghambat kemajuan pemikiran kritis dalam sastra kontemporer kita.

Penyair Inggris asal Amerika TS Eliot pernah menyatakan dalam sebuah eseinya yang terkenal tentang pentingnya bagi seorang pengarang untuk menyadari posisinya dalam sejarah sastranya, “Tradition and Individual Talent” (1919), bahwa “Tak ada penyair, tak ada seniman dalam bidang apapun, yang memiliki maknanya sendiri. Penting tidaknya dia, apresiasi atasnya, dilihat berdasarkan relasinya dengan para penyair dan seniman yang sudah mati. Kita tidak bisa menilainya hanya berdasarkan dirinya sendiri; kita mesti menempatkannya, untuk kontras dan perbandingan, di antara yang sudah mati. Ini adalah prinsip kritik estetik, tidak sekedar kritik historis”. Karena, disukainya atau tidak, seorang penyair/seniman itu akan dinilai berdasarkan ukuran-ukuran standar dari masa yang sudah lewat, bukan yang akan datang. Dan penyair yang menyadari ini akan sadar pula betapa besar kesukaran dan tanggung-jawab sejarah yang dipikulnya sebagai sastrawan sastra nasionalnya. Ini menunjukkan juga bahwa sejarah sastra, atau tradisi, itu adalah sebuah organisme hidup, dinamis, dan berkembang.

Konsep Eliot ini sangat mirip dengan konsep “intertekstualitas” dalam teori pascastrukturalis Prancis. “Intertekstualitas” adalah konsep yang diperkenalkan oleh pemikir Feminis Prancis Julia Kristeva berdasarkan konsep-konsep teoritikus Marxis Rusia Mikhail Bakhtin tentang beragamnya suara sebuah teks: polifoni, dialogisme, dan heteroglosia. Menurut Kristeva, intertekstualitas adalah pluralitas teks yang tak tereduksi di dalam dan di balik setiap teks, di mana fokus pembicaraan tidak lagi pada subjek (pengarang) tapi pada produktivitas tekstual. Bersama rekan-rekannya penulis dan kritikus di majalah sastra Tel Quel di akhir 1960an dan awal 1970an, Kristeva gencar melakukan kritik atas konsep “subjek pembuat” (the founding subject) yaitu konsep humanis tentang pengarang sebagai sumber-asli-dan-asal dari makna-tetap dan makna-fetish dalam sebuah teks. Bagi Kristeva, setiap teks dari awalnya sudah berada di bawah jurisdiksi wacana-wacana lainnya yang memaksakan sebuah “universe of discourse” atasnya. Dan ketimbang memusatkan perhatian pada struktur teks, kita mestinya mengkaji “strukturasinya”, yaitu bagaimana proses struktur menjadi ada, dengan antara lain menempatkan teks di dalam totalitas teks-teks sebelumnya sebagai sebuah “transformasi”. Menurut Kristeva, ada dua aksis teks, yaitu aksis horisontal yang menghubungkan pengarang dan pembaca teks, dan aksis vertikal yang menghubungkan teks dengan teks(-teks) lainnya. Yang menyatukan kedua aksis ini adalah “kode”, alat interpretasi (interpretative devices) konvensional, sebuah framework yang memungkinkan tanda untuk memiliki makna, yang sama-sama dimiliki oleh kedua aksis tersebut. Sebuah teks dan sebuah pembacaan selalu tergantung pada kode-kode yang ada.

Setiap teks adalah sebuah penulisan kembali atas teks-teks lainnya. Tak ada teks yang tidak memiliki interteksnya. Sebuah teks tak dapat berfungsi dalam kesendiriannya, terkucil dari teks-teks lainnya. Semua teks hidup dalam komunitas teks yang luas, dalam apa yang disebut sebagai sistem interteks. Semua teks hidup dalam sistem intertekstual antara teks dengan teks, bahkan antara genre dengan genre maupun antara media dengan media. Relasi intertekstual antar-teks akan menghasilkan hibriditas teks, teks-indo, teks blasteran, campuran antara teks-teks. “Subjektivitas” masing-masing teks di-destabilisasi, sentralitas “kepengarangan” masing-masing teks diambrukkan, dan “kemurnian” diskursif keduanya dinodai. Intertekstualitas adalah pengulangan (repetisi), bukan representasi. Dan dalam peristiwa repetisi intertekstual ini, “orisinalitas” masing-masing teks hilang. Kaligrafi dan puisi-konkret, misalnya, adalah dua contoh “puisi-rupa” yang tercipta lewat peristiwa intertekstual antara sastra dan seni rupa.

Untuk mendapatkan ekstasi tekstual, atau tekstasi, dari sebuah teks intertekstual, seorang pembaca diharapkan memiliki pengetahuan sejarah teks dan glossari kode teks yang juga bersifat intertekstual. Karena kesatuan (unity) sebuah teks tidak terletak pada asalnya (pengarangnya, misalnya) tapi pada tujuannya, yaitu Sang Pembaca, dan seorang pembaca merupakan ruang di mana semua “kutipan” dituliskan, seperti yang diyakini Roland Barthes dalam eseinya yang terkenal “The Death of the Author” (1968), maka kesadaran seorang pembaca akan konteks di mana teks direproduksi, dialusi, diparodi, dan sebagainya, merupakan kerangka utama dalam menginterpretasi teks. Karena, mengikuti apa yang dikatakan pemikir Marxis Amerika Fredric Jameson, teks hadir di depan kita sebagai yang-selalu-sudah-dibaca dan kita memahaminya melalui lapisan-lapisan interpretasi (yang pernah dilakukan atasnya) sebelumnya, atau, kalau teksnya benar-benar baru, melalui lapisan-lapisan kebiasaan pembacaan dan kategori-kategori yang dikembangkan dalam tradisi interpretasi yang kita warisi. Sama seperti tanda (sign) yang hanya bisa berfungsi memberikan makna (generating meanings) karena hubungannya dengan tanda-tanda lainnya dalam sebuah teks, maka relasi intertekstual antar-teks inilah yang memberikan konteks bagi proses pemaknaan dari peristiwa pembacaan atau pengalaman atas teks. Termasuk juga penciptaan teks-teks lainnya. Konteks mempengaruhi respons terhadap teks.

Penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah esei pendek berjudul “Sajak-sajak Cerah” yang mengantar beberapa sajak yang dipilihnya untuk suplemen Bentara, Kompas 5 Mei 2000, menyatakan, “. . . di tahun 1990-an para penyair kembali menulis puisi dengan memperhatikan kata dan tidak melulu menekankan kehadiran kebebasan imaji sebagai yang utama. Kata-kata diupayakan menciptakan keutuhan sajak. Dan sajak menjadi transparan”.

Transparansi sajak yang menjadi ciri-utama dari apa yang Sutardji namakan sebagai “sajak terang” para penyair 1990an terjadi karena para penyair ini mulai jenuh dengan apa yang dilakukan para penyair sebelumnya: para penyair di tahun 1970an terlalu sibuk dengan estetika pembebasan kata dari beban makna leksikal-gramatikal, sementara penyair periode 1980an terobsesi untuk membebaskan imaji visual pada sajak sebagai estetika puisi mereka. Walaupun mesti dibuktikan lagi kebenaran pendapatnya ini atas mayoritas puisi, tidak hanya berdasarkan puisi satu-dua penyair belaka, yang ditulis pada kedua periode yang disebutkannya itu, demi konteks tema esei ini secara umum saya bisa setuju dengan apa yang diungkapkan Sutardji di atas, tapi saya perlu menambahkan bahwa apa yang menjadi ciri-khas penyair 1970an (musikalitas puisi) dan penyair 1980an (visualitas imaji) tidak ditinggalkan pada “sajak terang” para penyair 1990an. Sebaliknya, kedua unsur puitis utama dari puisi itu digabungkan dalam bingkai kesederhanaan bahasa sehari-hari untuk, meminjam kata-kata Sutardji kembali, mengungkapkan realitas yang dialami penyair. Dalam kata lain, penyair 1990an tidak lagi berusaha untuk menjadi pemusik atau pelukis waktu menulis puisi, tapi hanya untuk menjadi penyair. Memilih kesederhanaan bahasa sehari-hari, kesederhanaan bahasa leksikal-gramatikal sehari-hari yang lugas tidak rumit, dengan tidak mengorbankan musikalitas dan visualitas bahasa, untuk mengungkapkan realitas puitis, adalah ciri berpuisi para penyair yang mulai dikenal luas di dunia puisi kontemporer Indonesia pada periode 1990an.

Sebuah motif dominan lain pada puisi para penyair 1990an adalah politik. Para penyair 1990an tidak lagi tabu atau malu-malu untuk mempuisikan politik, mempolitikkan puisi, malah justru pada periode inilah puisi politik mencapai puncak ekspresi artistiknya yang melampaui apa yang sebelumnya dikenal sebagai sajak-protes dan pamflet-penyair seperti pada puisi Wiji Thukul. Pada puisi politik penyair seperti Wiji Thukul kita melihat betapa kemiskinan tidak lagi diromantiskan sebagai semacam “hidup alternatif” dari “materialisme kota” atau diabstrakkan menjadi sekedar “teori pembangunan yang tidak membumi” tapi merupakan pengalaman hidup sehari-hari yang harus dihidupi sang penyairnya sendiri. Subjektivitas pengalaman adalah realisme baru dalam puisi politik penyair 1990an.

Inilah cara para penyair 1990an menjadi bagian dari tradisi/sejarah sastra Indonesia, inilah relasi intertekstual puisi 1990an dengan puisi-puisi sebelumnya.

Dijumput dari: http://boemipoetra.wordpress.com/2011/10/18/tradisi-dan-bakat-individu/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi