Jefri al Malay
http://www.riaupos.com/
Setelah merasa tidak memiliki apa-apa selain kata-kata, akhirnya kuputuskan saja menulis surat ini padamu, Alifya. Hanya ini yang kubisa. Sedikit banyak, ianya mampu mengobati kerinduan yang tertancap di hati. Serupa pancang yang terpacak menjulang bertahun-tahun di tepian jambat, hanya berteman gelombang pasang surut, arus, terpaan angin, juga kebat tali sampan atau pompong yang melingkarinya. Sesekali singgah juga burung raja udang sekedar menjengah mangsanya kemudian terbang lagi, senyap lagi. Aku risau Alifya, takut kalau-kalau kerinduan itu menjadi usang, lapuk dan rapuh disebabkan terlalu lama meniti waktu yang tak pasti.
Tapi kau tahu, kenangan yang tak bisa kuungkai dalam pikiran ini kadangkala menjelma impian, seringkali membuat aku menginginkan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski kutahu itu bisa saja hanya menjadi sesuatu yang disebut mustahil.
Begitulah, akhirnya yang lebih berharga di sini, di keterasingan ini, kesepian ini, hanya kata-kata. Barangkali juga ianya tidak mampu merubah apa-apa, selain hanya serak dan remah yang kian lama tertimbun membusuk. Tapi sudah mutlak benarkah bahwa kata-kata tidak ada gunanya dan hanya sia-sia disebabkan terlalu banyak orang yang cuma bisa berkata-kata? Kemudian siapakah yang sudi mendengarkan dan mempercayainya? Siapakah yang peduli?
Entahlah. Setahuku, di dunia yang pernah kita ciptakan berdua dari untaian sajak-sajak cinta, dari kejujuran yang bersemayam di ceruk jiwa terdalam, roh kasih mencuat ke permukaan menjelma bahasa-bahasa kalbu, aku masih yakin, setidak-tidaknya engkau masih setia mendengarkan kata-kata serta mampu mengucapkannya sekaligus memahami maknanya. Bukankah itu lebih penting ketimbang terlalu banyak yang berkata-kata tanpa peduli dengan apa yang diucapkannya. Dan kau juga pernah berkata terlalu banyak kepedulian yang hanya sebatas ucapan ketimbang dilakukan. Aku setuju itu, mungkin ini jugalah alasan salah satunya kenapa kutuliskan surat ini untukmu, Alifya. Karena hanya engkau yang mungkin bisa percaya.
Akan kulanjutkan isi surat ini dengan menyebutkan kepadamu bahwa aku telah pun menemukan tujuan dari perjalananku selama ini. Perjalanan yang mengakibatkan cinta kita harus kandas sebatas cerita-cerita asmara di bawah batang getah, di dalam kebun ubi, atau di celah-celah kayu bakau di pantai. Tapi seperti yang telah kukatakan padamu perpisahan hanya butuh waktu untuk mengobatinya, percayalah.
Tetapi kalau sekiranya diperkenankan aku kembali bisa mengulang waktu, maka aku memilih menanti daripada pergi dengan memikul beban cinta dan setia. Apalagi kepergian yang tidak ada kepastian kapan bisa pulang membangun keping-keping rindu untuk utuh kembali menjadi cinta yang berujung kepada dermaga kebahagiaan. Dalam perjalan inilah kusadari satu hal. Dengan janji yang terlanjur terucap, aku telah mempertaruhkan “kebebasanku” sebagai seorang lelaki lajang untuk menutup rapat-rapat bilik asmara yang sejatinya pasti dimiliki oleh setiap manusia. Adakalanya hal tersebut mengganggu keseimbanganku, Alifya.
Tapi kau harus percaya. Itu tidak lagi menjadi persoalan. Lagi-lagi kukatakan hanya butuh waktu untuk membiasakannya. Jika kita ikhlas dan sabar menjalani hidup dan persoalan yang ada, tanpa disadari sebenarnya waktulah yang mampu mengobati segalanya.
Baiklah, akan kuceritakan bagaimana akhirnya aku mampu memutuskan untuk pergi ke suatu tempat, suatu tujuan yang jelas meskipun kedengarannya mustahil tapi tekadku telah bulat. Barangkali saja inilah tujuan terakhirku hingga sesudahnya bisa kutemui dirimu, dengan kesiapan yang mantap untuk bisa menerima apapun yang berlaku atas dirimu dan cinta yang sekian lama kutitipkan. Setidaknya kita bisa bertemu, bukan?
Sore itu aku duduk santai di sebuah jambat reot yang terdapat tidak jauh dari tempatku bekerja. Jambat yang senantiasa setia menerima keberadaanku untuk menumpahkan segala kisah dalam kesendirian ini. Di situlah aku mengungkai segala kenangan sambil menggoreskan bahasa kerinduan. Di jambat yang batang sungainya bermuara entah sampai di mana, yang airnya keruh, kuning kecoklatan, budak-budak yang menceburkan tubuh ke dalamnya, membasuh hari-hari mereka menjadi gelak dan tawa. Kadang aku larut bersamanya, seolah-olah ikut dalam ritual alam tersebut. Tentu saja aku juga menyaksikan orang-orang mendayung sampan, menumpangi harapan dari wajah-wajah mereka yang lelah. Tetapi air sungai itu, meski keruh dan berlinyang tetap saja sejuk sekaligus memberiku harapan ketika kususupkan kaki ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba saja aku melihat seseorang. Lelaki paruh baya yang setiap hari menghalakan sampannya ke arah timur, ke arah matahari terbit. Ya, setiap hari pula ia melambaikan tangannya kepadaku seraya menunjukan satu arah dengan memberikan isyarat dari telunjuknya itu. Selama ini memang tidak pernah kugubris tetapi hari itu saat dimana gerimis jatuh dari langit aku membalas lambaianya. Entah kenapa itu kulakukan, yang jelas lelaki itu kemudian mendayungkan sampannya ke arahku. Air sungai ketika itu naik pasang, sehingga dengan mudah ia merapatkan sampannya. Setelah bersalaman ia langsung mengambil tempat duduk disebelahku.
“Setiap hari aku melihat engkau duduk di sini, Nak?” ia memulai bicara.
“Mhhm…” anggukku singkat.
“Kerja di mana, Nak?” ia bertanya dengan ramah.
“Di pelabuhan itu, Pak…” sambil mengarahkan telunjukku ke pelabuhan satu-satunya yang memunggah penumpang di kota ini. “Sebagai cleaning service,” tambahku pula.
Ia hanya mengangguk beberapa kali. Kemudian dengan nada yang agak berat ia melanjutkan. “Di kota mencari kerja tidak mudah, apalagi bagi orang-orang yang tidak memiliki saudara atau kenalan yang mempunyai pengaruh atau jabatan. Skill dan ijazah saja tidak menjamin untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Tetapi pasti engkau juga mengetahuinya Nak, setiap hari selalu saja ramai orang datang ke kota walau hanya dengan modal nekat, mereka datang untuk memburu sesuatu, entah itu impian, cita-cita atau apa sajalah yang ada dalam pikiran mereka. Dan kita tentu memakluminya itu sebagai perjuangan.” Lalu ia tertawa kecil. “Itulah hidup, harus diperjuangkan Nak…”
Gerimis masih berjatuhan menciptakan riak kecil di air sungai serupa jarum-jarum halus yang turun dari langit. Alifya kekasihku, akhirnya seperti yang telah kuduga sebelumnya, ia menceritakan banyak hal kepadaku. Meski menurutku tidak ada satupun yang menarik, tetap saja aku menjadi pendengar yang setia. Ia terus sibuk bercerita dan tak menghiraukan sekeliling, hingga sampailah akhirnya ia menceritakan sebuah pulau yang terbungkus kabut asap. Pulau itu sudah ada sejak dahulu kala, katanya. Meski tak terdeteksi abad ke berapa ianya mulai dihuni namun tak pernah terjamah oleh manusia kebanyakan kecuali orang-orang pilihan.
“Pulau yang terbungkus kabut asap?” aku memotong ceritanya. “Bagaimana bisa?”
“Apa yang tidak bisa di alam yang luas terbentang ini, Nak? Khayalan yang ada dalam pikiranmu bisa saja menjadi kenyataan di lain tempat atau di lain waktu, siapa yang tahu? Pernahkah suatu saat kau ingin melarikan diri dari berbagai persoalan yang dihadapi. Lari ke suatu tempat, di dalamnya terdapat kehidupan serupa taman. Dengan bunga yang dipinang cinta dan kejujuran, bangku-bangku, meja dan pot bunga serta pohon-pohon rindang yang ditata dalam kesetaraan. Orang-orang saling berbincang dalam kesopanan, berkata sambil menghayati kata-katanya, peduli dan segera melakukan apa yang diucapkan, kemudian ada banyak waktu untuk meresapi wajah mentari dan rembulan di balik tahta kerajaan alam, pernahkah Nak?”
Aku hanya melongo sambil melihat wajah lelaki itu. Ada energi aneh yang menarikku sehingga seolah-olah aku masuk ke dalam tatapannya. Tatapan kebahagian yang mengatasi keduniawian. Samar-samar aku seperti dapat melihat sebuah pulau yang terbungkus kabut asap. Dari jauh ia berbentuk seperti gumpalan-gumpalan awan sementara disekelilingnya adalah samudera maha luas. Benarkah itu sebuah pulau?
Sayangnya aku tidak dapat melihat lebih banyak lagi Alifya. Lelaki itu buru-buru berkata dan tiba-tiba saja penglihatanku itu lenyap dalam sekejap. “Itulah pulau yang disebut sebagai Pulau Asap.”
Tapi kau jangan berpikiran asap yang mengelilingi pulau itu seperti kabut asap yang ada di tempat kita, Alifya. Ianya bukan asap yang ditimbulkan dari pembakaran hutan. Bukan kabut asap yang dapat menyebabkan kita terserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), bukan pula kabut asap yang datang selayaknya musim panas atau musim hujan yang menjadi ritual tahunan di negeri kita ini, tidak Alifya.
Menurut lelaki itu, asap yang menyelubungi pulau tersebut hanya serupa gumpalan asap namun tidak memiliki resiko apa-apa bagi yang menghirup udara di sana. Bahkan konon asap tersebut menjadi perisai agar sesuatu yang buruk, baik itu manusia dan niatnya maupun hal-hal yang tidak baik tidak bisa dan tak akan pernah sampai ke sana.
“Ini aneh, jika pulau itu memang ada, bagaimana mungkin tidak banyak orang tahu tentang pulau asap itu?” tanyaku penuh curiga, jangan-jangan lelaki paruh baya ini hanya bersenda-gurau atau malah mau mempermainkanku.
Ia diam sejenak, menatapku dan sepertinya ingin meluruskan keraguanku. “Hanya orang-orang pilihan yang bakal tahu sebab aku tahu dengan siapa saja boleh kuberitakan hal itu, dan aku adalah juru kunci menuju pulau asap, akulah yang mengangkut para penumpang yang benar-benar siap berangkat menuju ke sana, tentunya dengan beberapa syarat, bijak dan jujur, ingat itu!” ia segera turun ke sampan dan meraih dayung, memutar haluan lalu berkayuh.
Aku ditinggalkannya dengan sejuta tanya di kepala, tapi kemudian kudengar ia berseru, “Kalau Anak hendak ke sana, siap-siaplah jam dua belas malam ini, aku jemput engkau di jambatmu itu,” lalu ia menolehku sambil tersenyum penuh misteri. Kemudian ia melaju dalam kayuhnya, menghilang ditelan rintik gerimis yang belum jua berhenti.
Alifya, seperti kataku tadi, tekadku telah bulat. Aku akan berkemas dan segera berangkat menuju ke Pulau Asap. Sebuah pulau di mana kata-kata tidak hanya jadi slogan, tidak hanya sebatas semboyan dan janji-janji belaka. Di mana kata-kata diucapkan untuk segera dilakukan, tidak terbiar begitu saja menjadi baliho-baliho usang, spanduk-spanduk lapuk dan undang-undang yang berkarat seperti di negeri kita ini.
Selamat tinggal Alifya. Ingat selalu padaku. Berilah doa restu. Jika kelak aku kembali, pasti kuceritakan perihal negeri asap itu dan jika ada kesempatan mungkin saja aku akan membawamu ke sana. Ke pulau impian seperti yang pernah kita bayangkan, sebuah negeri yang tidak hanya dimabukkan dengan sebatas kata-kata belaka.
Pekanbaru, 9 April 2009
Tuan Junjunganmu, Wahidin
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 24 Juni 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar