Hary B Kori’un
Riau Pos, 26 Nop 2006
ADA anggapan bahwa dunia satra Riau mengalami stagnasi yang hebat saat ini. Krisis karya telah terjadi dan orang-orang yang selama ini bekerja untuk sastra, mulai pelan-pelan beralih ke dunia yang lain. Memang, penghargaan untuk mereka yang bergelut di bidang sastra di Riau, mendapat apresiasi lumayan besar dengan banyaknya penghargaan,
mulai dari Anugerah Sagang (untuk beberapa kategori baik karya maupun personal), Anugerah Ganti (karya novel), Laman Sastra Dewan Kesenian Riau (untuk beberapa karya kreatif seperti cerpen, naskah drama, puisi dan lainnya) sampai Anugerah Seniman Perdana (SP) dan Seniman Pemangku Negri (SPN) yang secara materi sangat besar. Penghargaan-penghargaan itu membuat para sastrawan di luar Riau merasa iri. Mereka berpikir, orang-orang yang mendapatkan penghargaan itu adalah mereka yang sangat eksis di bidangnya, dan bisa melecut lahirnya para sastrawan (karya) baru yang secara kualitas akan lebih baik lagi. Lalu di mana peran kritikus?
Namun, karya berkualitas yang diharapkan lahir dari itu semua dan akan munculnya sastrawan yang memiliki keinginan untuk berkarya lebih baik lagi, tak juga muncul ke permukaan. Lihatlah, dari tahun ke tahun, mereka yang yang menelurkan karyanya hanya “itu ke itu” juga. Mereka yang secara personal maupun karya menjadi nominator Anugerah Sagang, juga tak jauh beda dari tahun-tahun sebelumnya. Para novelis yang karyanya masuk nominator Anugerah Ganti, juga nama-nama yang yang sudah familiar kecuali satu-dua yang baru. Laman Sastra DKR dari tahun ke tahun juga memunculkan karya dari mereka yang sudah lama eksis di bidang itu, dan secara kualitas juga tak terlalu signifikan peningkatannya.
Ketika Taufik Ikram Jamil dalam beberapa tahun belakangan tak terlihat karyanya muncul di media massa, banyak orang yang menyayangkan, terutama mereka yang masih ingin banyak belajar dari karya-karyanya. Sebab, selama ini, bersama Fakhrunas MA Jabbar –dan belakangan Marhalim Zaini—, Taufik adalah salah satu ikon penulis subur Riau yang mampu menembus belantara media nasional yang persaingannya memang amat ketat (meski belakangan terdengar santer tentang skandal redaktur budaya di koran Jakarta yang tidak obyektif dalam memilih karya yang akan dimuat di medianya). Memang, nama-nama seperti Olyrinson belakangan juga mampu melakukannya, namun intensitasnya masih belum sesubur para “senior”-nya itu. Bahkan, belakangan orang juga kesulitan mencari karya terbaru dari Syaukani Al Karim maupun Abel Tasman, baik di koran maupun dalam bentuk buku. Sementara senior yang lainnya hanya sesekali menulis, hanya sekedar mengambil absen agar “tidak dilupakan orang.”
Sementara itu, mereka yang lebih muda dari usia maupun pencapaian, juga masih belum mampu bersaing dan memperlihatkan jati dirinya. Pengalaman sebagai redaktur budaya di Riau Pos, membuat saya bisa melihat ritme dan perkembangan sastra di Riau, dari kaca mata media, dan khusus kaca mata Riau Pos. Rata-rata, mereka yang mengirimkan karyanya orangnya tak banyak berubah, dan kualitas karyanya juga belum mencapai avan-garde dan pantas dikedepankan. Banyak yang masih sekedar asal berkarya dan tidak berusaha mencari jati diri (meminjam istilah Hasan Junus) yang menjadi ciri khas dirinya.
Lalu, ke mana Murparsaulian, Hang Kafrawi, Griven H Putra, Syaukani, Gde Agung Lontar, Nyoto, M Badri, Pandapotan MT Siallagan, dan yang lainnya (sekedar menyebut nama) mempublikasikan karyanya? Yang lebih jauh lagi, mengapa, Mostamir Thalib, Sutrianto, Yose Rizal Zen, Wise Marwin dan yang lainnya tak lagi menyiarkan karyanya? Yang menarik, banyak mereka yang dulu sangat aktif bergelut di sastra, kini memilih menjadi pengusaha atau masuk partai dan tak berkarya lagi (hal sebaliknya justru terjadi pada Rida K Liamsi, yang semakin maniak bersastra ketika sukses menjadi pengusaha).
Memang, di tengah memadamnya api dari mereka yang dianggap senior itu, anak-anak muda seperti Sobirin Zaini, Ellyzan Katan, Aleila, Joni Lis Effendi, Syaiful Bahri, Muhalib, Fariz Iksan Putra dan yang lainnya masih terus berkarya dan bekerja keras untuk mencari identitas dirinya melalui karya, namun tetap karya mereka belum mampu menyusul para seniornya untuk manggung ke media yang lebih banyak pembacanya, yakni media nasional. Memang, dalam manifesto sastra pedalaman yang muncul di tahun awal 1990-an, media nasional dianggap tidak begitu penting dalam membangun eksistensi dunia sastra kita sebab bagi sastrawan, di manapun menyiarkan karya, dan apapun jenis medianya, tetap memperlihatkan eksistensinya sebagai pengarang. Tetapi, jelas, kita tidak bisa menutup mata bahwa sebuah karya yang dibaca oleh audiens yang lebih banyak dan luas, sangat berpengaruh pada eksistensi karya dan pengarangnya.
Komunitas dan Sanggar
Belakangan, perlawanan terhadap eksistensi media massa nasional sebagai “pembaptis” sastrawan, juga dilawan oleh mereka yang merasa eksis di media maya, seperti situs sastra atau malah mereka yang ramai menyiarkan karyanya di media yang lebih terbatas lagi seperti milis sastra. Milis Apresiasi-Sastra misalnya. Meski baru berusia muda, namun milis ini belakangan menjadi tempat diskusi dan publikasi para sastrawan dari berbagai genre, usia dan tempat tinggal yang menyebar di berbagai belahan dunia, dan banyak juga yang sudah sangat eksis di jagad sastra Indonesia. Sekedar menyebut nama JJ Kusni (tinggal di Paris), Ikranagara (Amerika Serikat), Sobron Aidit (Belanda), Labibah Zain (Montreal, Kanada), Sigit Susanto (Swiss), Mila Duchlum (Maladewa/Tanjung Pinang), Akmal Nasery Basral, Kurnia Effendi, Endah Sulwesi, Dino F Umahuk, Rahmat Ali, Ratih Kumala, Eka Kurniawan, Damhuri Muhamad, Sihar Ramses Simatupang (Jakarta), Lang Fang (Surabaya), Adi Toha, Henadi Tanzil (Bandung), Eko Sugiarto (Semarang), Hasan Asphahani (Batam), I Wayan Sunarta (Denpasar) Hary B Kori’un (penulis), Budy Utamy (Pekanbaru) dan sekian nama lainnya yang sangat aktif berdiskusi dan mempublikasikan karyanya, yang kemudian mendapat kritikan atau masukan dari yang lain.
Rata-rata dari mereka sudah banyak eksis, mampu menembus media massa nasional, dan memiliki buku karya baik kumpulan kumpulan cerpen, esai, puisi atau novel. Milis ini secara berkala juga membuat forum diskusi maya dengan membahas karya-karya pengarang seperti Umberto Eco, Karl May, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Gabriel Garcia Marques, Federico Garcia Lorca dan sebagainya untuk menambah wawasan. Selain itu, secara berkala juga, milis ini mengadakan lomba mengarang, baik cerpen maupun puisi dan kemudian kerjasama dengan penerbit untuk diterbitkan menjadi buku. Salah satu buku yang sudah terbit adalah kumpulan cerpen Selasar Kenangan (Akoer, 2006).
Banyak milis sastra yang kini bermunculan dan menjadi tempat para sastrawan untuk mengasah kemampuan lewat diskusi dan sebagainya. Misalnya milis Penyair, Cybersastra, Kacangijo, Panggung, Gunung Merapi dan sebagainya. Mereka yang berkutat dengan sastra maya ini kebanyakan merasa nyaman karena mereka terbebas dari ribetnya berurusan dengan redaktur sastra media massa, dan mereka tetap berkarya dengan mendapat masukan dari peserta yang lain. Mereka tidak memperdulikan kualitas ketika dipublis, tetapi ketika karya-karya mereka akan dibuat dalam bentuk antologi, seleksi ketat tetap dilakukan untuk mendapatkan karya yang lebih baik.
Salah satu media untuk menyiarkan karya yang belakangan menjadi pilihan para pengarang (masih di jagad maya alias internet) adalah komunitas blog atau blogger. Blog ini lebih mirip website mini yang bisa dibuat sendiri oleh pemiliknya, tak harus membayar hosting sebagaimana website, dan dengan mudah bisa di-update kapan diinginkan. Para aktivis blog juga menganggap media ini selain menjadi alat publikasi karya yang paling mudah (tentu jika memiliki fasilitas jaringan internet) bagi aktualisasi diri, juga menjadi alat perlawanan terhadap media cetak yang dianggap menjadi pembaptis sastrawan. Namun, fasilitas blog ini tidak hanya populer di kalangan sastrawan, tetapi sudah menjadi hal yang umum karena baik atlet, selebritis, dan bahkan orang biasa sudah banyak yang memilikinya.
Di Riau berapa banyak sastrawan atau personal yang memanfaatkan blog dan milis sebagai sarana publikasi diri dan karya? Saya tak tahu persis, tetapi beberapa sastrawan seperti Fakhrunnas MA Jabbar dan M Badri sudah memilikinya.
Komunitas memang perlu dan menjadi tempat yang baik bagi para pengarang untuk mengasah kemampuan lewat diskusi, pembahasan sastra, tukar informasi dan sebagainya. Di Riau, memang tak banyak komunitas yang intens di situ. Memang beberapa komunitas dan sanggar seperti Forum Lingkar Pena (FLP), Paragraf, Sanggar Selembayung, Senapelan Writers Association (SWA) Latahtuah dan sebagainya, muncul. Tetapi sangat sedikit jumlahnya dibandingkan komunitas yang lahir di Padang, Lampung, Jakarta, Bandung atau Jogjakarta. Hal ini barangkali juga berpengaruhi tingkat kemunculan penulis muda, juga kualitas sastra.
Peran Kritikus
Lalu, adakah peran kritikus dalam perkembangan sastra Riau? Ini yang menjadi tanda tanya besar. Sejauh ini, peran kritikus tak terlihat dalam khasanah sastra Riau karena tidak banyak (jika tak mau disebut tidak ada) yang mau secara serius menjadi kritikus. Padahal, Riau memiliki tiga perguruan tinggi yang memiliki fakultas atau jurusan sastra, meski keguruan. Paling tidak, banyak sarjana sastra yang belajar sastra secara teoritik dan akademis yang memahami dan bisa menilai kualitas sebuah karya. Lalu, ke mana mereka bersembunyi?
Memang, secara berkala, ada satu-dua penulis yang menulis esai di media massa tetapi tidak serta-merta membahas karya secara mendalam sebagaimana kritikus. Mereka kebanyakan juga orang-orang yang menulis karya kreatif seperti cerpen dan puisi, yang tentu menulis esai hanya untuk mengasah kemampuan menulis dan bukan benar-benar ingin menjadi kritikus. Padahal, konon, Riau memiliki orang-orang yang punya kemampuan lebih dalam menilai karya sastra dengan teori akademis seperti Hasan Junus, UU Hamidy, Elmustian Rachman, Al Azhar, Hukmi, dan sekian orang dosen dan sarjana sastra yang setiap tahun dilahirkan oleh Unri, Unilak atau UIR.
Yang menarik, nama Maman S Mahayana belakangan malah melekat dengan sastra Riau, karena dosen satra di Universitas Indonesia yang tinggal di Depok ini sangat intens mengikuti dan mendalami satra Riau. Dalam Cakrawala Sastra Indonesia beberapa tahun lalu di Jakarta, Maman “disewa” oleh DKR untuk memberi pengantar kumpulan dan pembahasa kumpulan cerpen Riau, Pertemuan dalam Pipa, yang diadakan di Jakarta. Sayangnya, karya cerpen yang dipilih oleh DKR ketika itu tidak diambil dari sistem seleksi terbuka dan fair, tetapi mereka yang dipilih oleh DKR. Hal seperti ini sah-sah saja, tetapi mengingat banyak penulis cerpen yang ada di Riau, DKR terkesan pilih kasih dan subyektif.
Namun, di luar persoalan itu, tampilnya Maman sebagai orang yang dipilih untuk membahas, memberi kata pengantar dan mengkritisi karya pengarang Riau, seharusnya menjadi tamparan yang memilukan bagi dunia kritik sastra Riau. Sebab, di daerah yang memiliki sejarah sastra begitu gemilang, dunia kritik sastra Riau ternyata tidak hidup, padahal (sekali lagi) tidak sedikit sarjana dan kritikus yang sebenarnya dimiliki Riau.
Selain itu, Riau juga memiliki lembaga kajian bahasa dan sastra, yakni Balai Bahasa Pekanbaru, yang setiap hari tugasnya meneliti dan menelaah bahasa dan sastra di daerah ini dan mendapat dana cukup besar dai Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Namun, Balai Bahasa Pekanbaru ternyata masih belum memiliki peran berarti dalam kemajuan dunia kebahasaan dan sastra Riau secara umum. Hasil kajian, telaah dan penelitian oleh Balai Bahasa Pekanbaru hanya tersimpan berdebu di perpustakaan atau malah dalam tumpukan kertas apak, karena tidak dipublikasikan kepada khalayak.
Suatu ketika, saat berdiskusi bersama Olyrinson, Budy Utamy dan Marhalim Zaini, saya melontarkan ide: terus berkarya tanpa mempedulikan ada atau tidaknya kritikus sastra. Dan hampir senada mereka menjawab: “Kritikus ada karena ada karya, jadi benar, kita harus terus berkarya dan terus mempublikasikan. Kita berkarya untuk diri kita sendiri dan untuk dibaca oleh masyarakat, dan bukan untuk kritikus atau untuk disimpan di rak-rak apak yang tak terjamah oleh manusia…”
Kritikus sastra Riau, di mana persembunyianmu? Bantulah sastra Riau agar bisa berkembang lebih signifikan lagi.***
*) Hary B Kori’un adalah wartawan dan penulis novel. Tinggal di Pekanbaru.
Dijumput dari: http://resensi-badri.blogspot.com/2006/12/kritikus-sastra-riau-di-mana.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar