Jumat, 17 Agustus 2012

Tertikam Pena

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Juli selalu datang tepat waktu. Tak sedetik pun ia terlambat. Entah apa daya talentanya, yang jelas kedatangannya selalu diarak angin. Meski tak pasti bahwa angin adalah kekasih sejatinya, setidaknya angin mempunyai rencana sendiri! Yang benar-benar tau rahasia angin adalah Agus. Ya, Agus. Lelaki berambut ikal dan menyukai warna hijau daun. Beberapa hari ini Agus sibuk menyiapkan megaparty: memasang lampion, penjor, baleho, umbul-umbul, serta aksesoris perias ruangan. Agus sosok perjaka desa yang rutin merayakan ulang tahun kelahiranya.


Sejak bertemu pejuang bersimbah darah di tepi sungai sore itu, Angin merasa ada amanat diembankan ke pundaknya. Sekitar lima jam lalu pertempuran di balik bukit, usai. Peluru Belanda berondong semburat. Dada dan sarung pejuang robek. Darah mengucur, luka pun menganga. Angin mendapati sesobek surat wasiat untuk anak-istri yang terselip di saku celana. Kertas bercak darah itu tertulis // Aku membela negara. Putih kertas ini adalah perjuanganku. Jika aku mati, merah adalah darahku. Untuk mengingatku, pasanglah merah putih di halaman rumah tiap ulang tahunku. Jika aku kembali, dan negara damai, kita besarkan anak-anak dan menikahkannya //. Kedatangan angin sesungguhnya hendak menyampaikan surat tak beralamat itu.

Juli berjalan menunduk. Orang yang mengenalnya selalu mengahiri kata’gadis baik nan sopan’ di ujung prasangka. Juli terkesan murah senyum. Apalagi saat ia melangkah dengan sepatu kebanggaannya. Hanya sepatu butut. Bukan sepatu kaca Cinderella, atau hadiah kekasih tercinta.

Akhirnya terwujut juga keinginan Juli, yakni memakai sepatu yang diidamkan sejak kecil. Saat di bangku sekolah dasar, Juli kerap dilempar Bu Guru kapur tulis. Manakala guru menangkap basah tatapan mata Juli tak tertuju ke papan. Juli kecil itu membayangkan suatu saat menjadi guru dan memakai sepatu

Pulang-pergi ke kampus, Juli melewati ruas jalanan yang sama. Namun ketika di bulan Juli, rindang jalanan berbalik fakta. Dedaunan lebat memayung yang senantiasa menghalau garang matahari, kini pongah. Klorofilnya tak tampak. Tinggallah jelagar ranting meruncing di pepohonan gundul.

Ilalang melambaikan tegur sapa. Andai bersuara, pasti berteriak memanggil dengan pucuknya. ”Juli, di sepanjang jalanan ini, dulu kau gadis belia, kini sudah perawan, hingga sekarang nona, walau belum dipanggil nyonya, tetap saja engkau wanita yang memiliki perempuan.” Canda ilalang sedari mengamati Juli tiap hari. Dedaunan pun senada ilalang. Ungkapkan perasaan serupa. ”Sejak berupa saripati tanah, aku sudah mencintaimu. Aku memasuki cela pembulu akar dan protoplasma hingga membentuk hijau daun, namun tak jua engkau kunjung menjamah. Maka aku menguning pada kesempatan yang hanya sekali ini, rontok di musim gugur. Tak lebih yang aku inginkan, dapat jatuh melayang menerpa rambutmu. Kalau pun tak menyentuh, esok aku berharap tersandung sepatumu atau kau injak. Cukup puas bagiku.” Ujaran daun yang gerguguran.

***

Samber bersandar di kursi putar. Sejak 20 tahun lalu ia menjadi lelaki dingin. Bermata dingin. Tubuhnya kerap menggigil hingga usia pertengahan abad. Cairan darah Samber tak sepenuhnya merah. Sepertiga endapan terdapat homoglobin menghitam pekat.

Dahi lelaki itu bergurat parit kecil. Dimana aliran kekecewaan mengalir gemercik dari hulu kegagalannya meraih sarjana. Malam-malam kesendirian Samber seringkali menggumpal. Terbang menjelma awan, mendung, dan deras hujan. Lengkaplah kedinginan Samber. Apalagi saat memori masa mudanya terputar ulang. Masa tatkala gairah menulisnya gencar menyerbu alamat editor koran harian. Tulisan tulisan yang ia kirim sukses masuk keranjang recyikle sampah editor. Sejak itu ia membenci kata’editor’. Tubuh dinginnya seketika panas. Kepalanya menjadi kuwali di atas tungku perapian. Otaknya umup, gejolak, munclak-munclak. Sesibuk apa pun Samber menyempatkan tangannya mencoret sebaris kata itu. Redamlah dendamnya.

Tak selamanya mendung terus merundung. Bibir tebal Samber sesekali tersenyum. Meskipun lelaki setegah abad itu tak tau persis jenis senyumnya, cengir, sinis, ramah atau kecut. Yang ia tau bahawa kursi putar dan rumah seharga 1 milyar murni hasil kerja kerasnya.

Tiga puluh tahun silam Samber nyelinap dalam kamar bapaknya. Tak sulit bagi orang serumah menggeledah barang sembunyian. Pthok D, tanah. Berbekal sebidang sawah di timur desa, ia jual. Kini samber menjabat direktur utama sebuah percetakannya sendiri.

Hari-hari dingin Samber tak terlalu menggigil. Manakala kesibukan menangani percetakan terbukti mencuri kekosongan waktunya. Saat mengenaskan baginya adalah ketika Desember tiba. Hujan tak hanya mengguyur mobil mewahnya. Kasur dan seisi ruangan pun turut basah. Tidurnya tak tetap. Perjalanan launching keberbagai wilayah tepaksa memboking kamar hotel.

Laptop baru dinyalakan. Kursor bergeser ke satu file. Dimana data para penulis wanita sudah dicawang. Deretan foto-foto dikomentari berbagai macam: keunikan, kelebihan, berapa lama saat dengan mereka dan berapa banyak alokasi biaya untuk masing-masing wajah.

***

Juli lunglai di kamar. Tugas kuliah kembali menimbun. Apalagi beberapa dosen binal kadang minta dibelikan buku yang mereka cari. Kantong saku Juli pasti terogoh. Tugas dan sekaligus nambahi koleksi perpustakaan sang dosen. Maklum, Mahasiswi kadang tak banyak membantah.

Mata lelah Juli berselancar menatap pantat buku-buku koleksinya yang hampir seribu biji. Lima puluh diantaranya ia beli dari koceknya sendiri. Dari pantat buku-buku itu, memori Juli terurai. Apa judulnya? Warna sampulnya? Siapa pangarangnya? Tentang apa tulisanya? Dan berapa tebal halamannya? Buku sebanyak itu bagaikan hamburger ketika Juli mengeledahnya.

Tiap helai lampiran buku baginya sebilah pedang yang tak henti menyayat dan mencerca. Ia mengejar para penulis di pantat buku itu, dengan gamang. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ternyata tidak menjadi jaminan. Belum satu pun pantat buku itu tertulis namanya. Dihadapan buku memang serasa terpendam gunung ilmu beratus-ratus-abad.

Sejak percetakan konvensional merasa bunuh diri jika menerbitkan buku satra, Juli kehilangan harapan. Beberapa karya yang usai ditulisnya, tak bermasa depan, suram dan muram. Percetakan gurem memang merajak. Tetapi baru mencetak sesuai uang pribadi penulis. Tak mungkin percetakan gurem dia tempuh. Sedang Tunggakan bayar kuliah saja ia harus membuka laundry di samping rumahnya.

Kelelahan Juli tersentak nada sms. Nada polyponik yang tak pernah dirubah. Nada itu terasa menggema. Sebab, nada itulah saat-saat Juli menunggu kata cinta mantan kekasihnya. Meski tak mungkin bersama, ingin rasanya waktu berputar kembali. Ada galau, rindu, benci, penasaran, harapan, dan takut kehilangan berbaur menjadi irama pembusukan. Irama yang sering ia rasakan. Lima lelaki sudah hengkang dari cintanya. Demi ambisi perlahan mereka didepak minggir.”Maaf, lelaki bagiku nomer sekian. Aku ingin jadi orang ternama dulu.” Sumbar prinsipnya. Demi prinsip kadang seseorang rela terhempas gundah gulana nan kering kerontang. Jenis cinta yang mengalir dalam tubuh moleknya bukanlah cinta sepenuh hati. Cinta sepatah yang tak memiliki militansi. Cinta hanya sekedar, dan lalu bubar.

Wanita cukup usia itu menghela nafas. Sms dibaca ulang tiga kali. Seraya tangan mengepal da..n ”yess.” Expresi wajah khas kegirangan. Handphon berlayar kuning Juli memuat sebaris kata, ” Saya direktur sebuah percetakan. Merekomendasikan tulisan anda untuk kami cetak. ttd: Samber.” Belum usai keriangan, sms berikutnya nyeruduk.” Untuk memfollouw up percetakan buku anda, dua hari lagi kita bertemu di Café Pringgodani pojok kota.” Sms itu bagai kerlip bintang jatuh ke tengah mesyia. Bagaimana pun harapan adalah hal yang menjenuhkan. Apalagi jika tak pasti.

Dua hari terasa lamban bagi Juli. Ingin rasanya ia menjaring matahari lalu menenggelamkan ke dasar senja.

Juli tersanjung di Café itu. Ia ditemui direktur percetakan bermobil mewah. Setelah 20 menit bercakap,” ini uang saku cuma-cuma, soal tanda tangan kontrak kita selesaikan hari berikutnya,” tukas direktur sembari menyodorkan 3 gebok uang satu jutaan.

Wanita lembab itu tak percaya. Kepakan sayap jurnalis yang tertancapkan di dadanya, patah. Tenyata karya tak harus bermutu, cukup gethol gaet relasi, koncoisme, dan cukup uang, gampang terkenal.

Sebentar lagi foto Juli dipastikan memenuhi cover halaman beberapa surat kabar. Dia akan duduk sederet dalam undangan seminar, workshop, pelatihan bersama Ayu Utami, Lang Fang, Abidah El Khaleiqy, Habiburrahman. AA.Navis dll. Ia juga akan sibuk mondar-mandir ke airphot membeli tiket, take of dan boarding keluar pulau.

Selamat tinggal masa lalu. Januar, Febri, Martin, Junaid dan rekan sejawat yang mendukung cita-citanya benar-benar lanyap. Bagi Juli adalah Samber. Dialah yang segera menerbitkan bukunya. Juli tetaplah Juli. Wanita. Ia berparas Hawa, berbedak Shinta. Ia melompati pagar Lesmana demi mengejar kijang emas kancana. Tangannya memegang Jemparing Jentik Gumala Netra.

Deras hujan menghapus siang awal Desember. Kemarau yang lambat membuat petir beringas. Cambuk kilat menyala dari celah rongga langit, dan menggores tepian mendung. Orang orang sering bergurau tentang Geledek yang menabrak apa saja. Maklum geledek / petir cuma ada sopir, tak ada kernek / pengawalnya.

Di depan laptop Samber mengocok kartu. Gambling tiga juta baginya sudah biasa. Tinggal menunggu waktu antara menang atau kalah. Data penulis wanita sudah dicentang semua. Sejumlah helai jenggotnya. Sisah data terbaru hanya dikomentari tanda tanya.

***

Juli dan motor bututnya melaju kencang membelah rintik hujan. Bagi dia urusan kepenulisan adalah panggilan jiwa. Apalagi mencetak sebuah buku, dibutuhkan militansi tersendiri. Hingga petir hanyalah petasan meletus di bulan ramadhon.

Sejam lalu sms direktur Samber menyusup ke handphon Juli. Meminta ia segera menemui di hotel pojok kota. Pasti perihal percetakan buku. Sesampai di Hall Balai Room Lobby Hotel, direktur Samber telah menunggu. Meja di hadapannya tertuang segelas kopi, dan di sandingnya sebuah buku. Cover depan tertulis jelas nama’ Penulis Juli’. Tangan Juli segera menyabet impian yang didamba bertahun-tahun. “Ahh, ahirnya tertulis juga namaku di pantat buku,” ujarnya girang.

Samber mengajak Juli mengambil satu kardus buku lainnya. Direktur Samber hanya membawa beberapa saja buat contoh. Juli berfikir wajar. Tak mungkin direktur membopong kardus ke Balai Room. Mereka menuju kardus di kamar yang dicek-in sejam lalu. Canda keakraban mewarnai keduanya. Layaknya patner kerja yang baru saja mengegolkan popularitas. Keakraban penulis dan penerbit. Ini suatu kehormatan bagi Juli. Rasa sungkannya menebal. Bahkan ketika bos penerbitan menyodorkan softdrink kalengan. Juli serasa diperlakukan seperti anak sendiri. Di kamar itu mereka memperbincangkan banyak hal. Tentu tentang poin marketing bukunya di beberapa komunitas sastra. Mengenai apa dan bagaimananya.

Tertangkap basah hujan, Juli masuk angin. Keringat dingin mengucur, mual, kepala pening, ribuan kunang tiba-tiba beterbangan penuhi ruangan. Tumben, masuk angin begitu mendadak. Yang janggal dari rasa mualnya disertai rangsangan. Kesadaran Juli melayang, dan tubuh wanita itu tergeletak. Antara sadar dan tidak, Juli merasakan rangsangan hebat. Ia seperti kembali saat menulis di meja kamarnya. Kala senggang menunggu ide, ujung pena digoreskan ke bibirnya. Terasa geli memang, tapi ia menyukainya. Ujung lancip pena dimasukkan ke mulut dan dengan lincahnya lidah Juli segera mengulum lumat batang keras bolpoin yang ia genggam.

Ia pernah berfikir sejenak. Apa kelebihan tulisannya? Hingga direktur Samber membidik mencetak. Padahal diantara penulis lain, jauh lebih layak untuk dicetak. Mungkin faktor keberuntungan saja. Pada suatu acara temu jurnalis, Juli pernah dikritik penulis senior. Perihal tulisan dia kurang greget, suspans yang ia bangun, tidak menggetarkan buhul persendian pembaca. Sejak itu Juli kerap menyisipkan paragraf aroma wangi selakangan yang didalami saat di bilik kecil warnet. Bahkan ketika marak kasus heboh Aril-Luna, Aril-Cut Tari, tak disia-siakannya. Agaknya direktur Samber memang sepesial penyadap tulisan berbau hot. Penulis tak mungkin jauh dari tulisannya.

***

Selaku aktor utama yang sekaligus sutradara cerita ini, Samber segera melakonkan perannya. Tubuh lunglai Juli dibopong ke atas ranjang. Jari-jemarinya cekatan menguliti tabir, da..n! Baju mereka berserakan di lantai. Samber gemetar juga. Meskipun hal yang sama pernah dilakukan pada mangsa yang lain. Ia terpukau pada eksotik pemandangan luas terbentang dari sabang sampai merauke. Samber segera menjadi pejalan jauh. Dilintasinya bukit, gunung, lembah dan goa. Dalam dinginya, bibir tabal Samber berdesir, ”penulis, tak selamanya harus menulis. Ada saatnya penulis juga harus ditulisi, hobi editor adalah menyetubuhi tulisan,” ujar kekurangajaran Samber.

***

Dua belas tahun sudah berlalu. Sejak kejadian itu nomor handphon Samber tak bisa dihubungi. Tinggallah Juli sendiri dalam luka yang ia rawat hingga mengangah. Ilalang dan dedaunan tetap menyapa. ” Dulu kau gadis belia, kini sudah perawan, dan sekarang nona, meski kau belum dipanggil nyonya, tetap saja engkau wanita yang memiliki perempuan.”

(Jombang, Juli-Agustus, Jombang 2010)

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi