Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 13 Agustus 2012
Pendidikan; Prospek Pembentuk Karakter Budaya *
Nurel Javissyarqi **
http://sastra-indonesia.com/
Bismillahirrohmanirrohim, saya awali makalah ini. Sebelumnya maaf pengantarnya panjang, lantaran saya perlu sesuaikan tema yang sudah tertandai. Anggaplah sebab musababnya materi kan tersampaikan atau asbabul wurud, demi dapati pijakan realitas kata-kata nan terwedar. Kebetulan saya tengah hijrah di bumi Reog, memang tak jauh dari tanah kelahiran Lamongan yang kini terpijak, ibu pertiwi jiwa-raga ini. Tetapi bagaimana pun suasana hijrah taklah menyenangkan, ada rindu mungkin sedalam kerinduan para muhajir ke tanah suci, seperti mendamba surga di bawah telapak kaki ibu.
Hal mengharukan, peroleh angin dari dataran dulunya tempat bermain; adakah ini berkah hukum jarak waktu berselisih? Setidaknya, sebelum hijrah hanya peroleh undangan seminar di luar kota, bagi saya ini luar biasa atau diluar kebiasaan, apalagi bertema “Guru Profesional Pembentuk Karakter Generasi Anak Bangsa.” Yang jelas jauh dari pengalaman sejak belia, dimana baru mengerti abjad kelas V Ibtidaiyah, serta membenci orang-orang yang tekun belajar. Hanya saja, saya diselamatkan wejangan sang guru masa itu, “jika ingin peroleh ilmu manfaat, hormati guru dan buku,” tersebut baru sadar pentingnya baca di bangku kelas II Aliyah, pun masih saya pelajari dengan pola tak lepas dari gejolak pencarian jati diri.
Yang tersanjung sekaligus grogi disematkan di belakang nama saya, ‘penyair dan budayawan Lamongan,’ di sebelah narasumber lain yang titel kesarjanaannya rangkap-rangkap, lalu ada bisikan, ‘gitu saja kok repot.’ Saya diingatkan petuah santri Gebang Tinatar, Tegalsari, Jetis, Ponorogo, santrinya Kyai Ageng Hasan Besari; H.O.S. Cokroaminoto; “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Lalu teringat keilmuan para santri Mbah Hasan Besari lainnya, Pakubuwono II, pujangga R. Ng. Ronggowarsito. Ini menegur saya sebelas tahun lewat sempat berkelana di Tegalsari, kini pun bernafas di bekas daerah kerajaan Lodaya, dengan raja Prabu Singobarong bersama Iderkala tempo dulunya.
Dan terngiang makolah Ki Hajar Dewantara, “Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani,” kurang-lebih tafsirannya: “Jadi seorang pemimpin kudu sanggup memberi suri tauladan orang-orang sekitarnya. Seorang ditengah kesibukannya, patut membangkitkan kemauan lingkungan. Yang mengikuti, harus memberi dorongan moral semangat bekerja.” Lantas, apa masih ada nafasan ruh bebulir mutiaranya? Kita sengaja, setengahnya, abai terhadap pencetus gugusan bintang di bencah sendiri, terpukau wacana kekinian, entah dari bebangsa Barat atau para tokoh yang belum teruji dalam kehidupannya?
Para imam serta iman melekat di dada kita, tidak tersekat datangnya ilmu dari mana, asal ruhaniahnya bersambung kesadaran beribadah. Sepaham al Kindi dan para ulama’ tempo dulu, tidak segan belajar pada pengetahuan bangsa Yunani, tentu patut mengoreksi atas kemerosotannya kini, seakan diambil alih bebangsa berwatak militan terhadap nilai kebudayaannya sendiri, misalkan Jepang. Nusantara kini sekakek-nenek berpakaian necis kemrompyang perhiasannya, tidak sadar datangnya senja, kekayaan negara dirampok habis-habisan dibawa keluar, kaum pribumi tak kalah menggasak apa saja yang tak mendatangkan manfaat di pekuburannya. Ini dapat dibuktikan di lembaga-lembaga pertaniah, pendidikan, pemerintahan dst, yang tidak pantas disandingkan Dasar Negara, “Kemanusiaan yang adil dan beradab?” Namun saya yakin, ada sekuntum kembang teratai di rawa-rawa!
Pemandangan di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Fattah, Siman, Sekaran, Lamongan, tak asing bagi saya. Setidaknya tujuh tahun silam menyebarkan buku-buku stensilan karya sendiri di sini, peristiwa itu mendatangkan kepengen berbicara seperti sekarang. Perasaan kesemsem ini hampir persis kala mendapati buku musik di toko loakan Jalan Semarang, kota Surabaya, yang terstempel perpustakaan pribadi Setya Yuwana Sudikan (mungkin ada pencuri dari rak-nya, buku itu sering saya ambil referensi beberapa bulan ini untuk menganalisa esainya Ignas Kleden), yang menjadi ingin berjumpa, dan rasanya keberuntungan bertemu di STKIP PGRI Ponorogo sedang memberi kuliah tamu. Membuat berhasrat mengikuti kuliahnya, tapi dia bilang sungkan, mungkin karena melihat saya mengisi waktu menantinya di depan mahasiswa. Lalu saya keluar ruangan untuk menghormatinya.
***
Kebetulan saya bawa Kitab Minhajul ‘Abidin, karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, saya petik saja pendapatnya bagi pijakan pemikiran: “Ibadah merupakan buah dari ilmu, faedah dari umur, hasil usaha dari hamba-hamba Allah Swt yang kuat-kuat, bekal berharga dari para aulia, jalan nan ditempuh kaum bertaqwa, bagian bagi mereka yang mulia, tujuan bagi orang bercita-cita menggelora, syiar golongan terhormat, pencariannya orang-orang mukmin, pilihan bagi yang memiliki pandangan benar, sebagai jalan kebahagiaan menuju surga.”
’Ibadah merupakan buah dari ilmu.’ Pendidikan kita kerap menekankan hafalan, definisi atau kulit luar sampai kemandekan tertentu membuat malas mengetahui makna luas, memahami maksud tujuannya, jadilah senandung merdu tapi terlepas ruhaniah kerjanya. Istilah Jawa-nya hanya tahu Qur’an garing, dan kurang mengetahui Qur’an teles, lincah mengurai kata-kata, tapi tak meresap ke jantung kesadaran hayati, itu tantangan berat sekaligus payah. Mungkin maksud sang guru, lewat hafalan kan merembes jika didzikirkan di tengah kembara, tapi kala pencarian ilmu hanya ditujukan materi kedudukan semata, fatallah di hari kemudiannya.
Kala mendengar khotbah, khatib selalu mewanti-wanti meningkatkan iman dan taqwa, tapi bagaimana jika tiada tantangan pendewasaan, tanjakan memeras keringat-otak. Olehnya hidup merupakan ujian, setiap goda rayuan tipu daya kebodohan diri pun perangai luar, pantas ditelisik berulang, yang luput kembali ke rel keselamatan. Di sini mutu terwujud tempaan berkali-kali; kesabaran, ketekunan, keinsyafan, ketundukan dan selalu perbaharui syahadat, dari rupa-rupa syikir terhadap benda, patung-patung para tokoh, paham berseberangan, demi iktikat luhur bermuwajjahah kepada-Nya.
Saat ilmu sepohon kehidupan, akar-akarnya kehendak pencarian sumber mata air hayati, mencecapi saripati di dasar bumi, merawat ruh di antara bencah tanah-udara sekeliling keberadaannya, batang menegak ke atas, dahan cecabang menjulur digoyang angin merindangkan pengembara, daun-daun kering terjatuh menjelmah humus. Siklus ini menerus kekuncup kembang bermekaran, terjadilah bebuahan manis pula pahit, yang kurang berwibawa digariskan tak menghasilkan buah, sebagian diberi ketahanan batang melewati pergantian musim perubahan jaman, tapi parahnya berbuah busuk dimakan ulat kebinasaan. Olehnya langkah keliru patut diluruskan, lalu lebih mewaspadai jalan-jalan nafasan ruh demi rahmat sekalian alam.
Para ulama’ tempo dulu dalam irama sama berpendapat, ‘ilmu hanya bisa diperoleh dengan keterbatasan, dan berpayah-payah,’ seakar pepohon berketekunannya menyibak pori-pori bebatu pegunungan paling keras, laksana tetesan air melubagi batu besar bercekungan, selain senandungkan suara merdu di atas watak keistiqomahan tetes demi tetes, membaca sampai terkantuk-kantuk pahami keilmuan. Bahasa saya, menghajar diri sendiri sebelum memberi pelajaran, memaksa kedirian mencintai kitab-kitab kandungan ilmu pengetahuan, menyerap limpahan isi, mengamalkan sekiranya kuat melaksanakan. Ini berulang sebolak-baliknya hati naik-turunya iman oleh perihal melingkupi dalam mematangkan mental, agar kelak hanya tertunduk terhadap kebenaran.
Kedua, ‘ilmu berfaedah dari umur’ yang terus memakan usia kian terkikis bak lintasan angin mengajak kembarai mega-mega takdir, tak tahu kapan terjadinya hujan, tersumbatnya uap tiada gemawan, meranggasnya kemarau, ini berputar bersama gesekan musim perubahan. Antara itu, ingatan, teguran, hardikan serta elusan tipis, memberi siratan bagi terjaga, mawas umur bertambah. Dan manfaat bacaan itu mengekang, menimbang, mengolah, pencegahan, jika terlepas kembali meski tertatih menuju jalur kebahagiaan.
Kita bersilaturahmi kepada orang-orang berilmu untuk meminta saran, wajah para beliau sumringah mengucurkan berkah manfaat, suguhkan faedah pada diri sendiri pula sesamanya. Setiap yang datang pelajaran, dan melintasi wewarna pemikiran peroleh manfaat kesejahteraan merambahi penghayatan, menyebarkan benih pepadian, tidak rela mati sebelum mengenyangkan lambung pengertian, sebatang pohon pisang tidak rela ditebang membusuk sedurung menumbuhkan tandanan pisang. Pohon faedah menyerupai ondak-ondakan tangga menjulang menerobos sab-sab langit, menujah lapisan bumi menemui inti; hati yang menjangkau kepada-Nya.
Ilmu berfaedah bagi umur, yang merupakan rentangan waktu, jatah tempo, lencung adanya titik klimak, perjanjian di alam ruh atas lamanya kembarai bumi. Atau kesepakatan tak terlihat tapi kudu ditepati, ini hadirkan waswas, kesiapan, menanti jemputan maut. Putaran waktu terkadang lamban, di sisi terasa cepat, bergelayut lena, di pinggiran kecurigaan; menempati penelitian bagi menghayati sesalan, haru, cemburu. Pada gilirannya pekerti menjelma percikan pengertian, mengunyah sedalam kesadaran hakiki, sehingga kekecewaan bisa ditanggulangi, tidak parah ke jurang kemurungan.
Tanpa ilmu, umur sekadar permainan, tapi di batas tertentu sandiwara hidup menempati keilmuan bagi memikirkan, pikiran itu pengendali kesadaran. Atau dengan sadar menemukan bentuk kesepakatan, seperti pembuatan tanggul kincir air, arus sungai dialirkan ke ladang, waktu menyusuri malam-siang. Kata ‘faedah’ itu sesuatu yang menempel pun bisa berpindah secahaya menerangi ruangan pula menerobos lubang kunci. Faedah, dapat diresapi dengan penerimaan tulus, sebentar paksaan, hardikan di atas ketentuan. Serupa ketetapan, setiap hubungan tak lebih timbangan yang naik-turun dipengaruhi pembawanya.
Ketiga ‘hasil usaha dari hamba-hamba Allah Swt yang kuat-kuat.’ Tanpa kesungguhan membaja, para ulama’ tak mungkin menulis puluhan buku, ratusan kitab, ribuan bulir pemikiran yang tiap babnya tak hanya menawan juga menyanggupi nalar-nalar bersuntuk menyimak. Berapa waktu beliau pergunakan mencipta lelembar penghayatan? Padahal masanya di batas peperangan, minimnya lampu penerang, tapi berpenuh seluruh teresapi diri kepada rentangan kembara. Pertemuan sesama pencari, ketawadhu’an tanpa pamrih, melampaui terangnya lampu sorot alun-alun. Para beliau pembawa lentera abadi bagi generasi selanjutnya yang tak padam lantaran keikhlasan.
Para beliau menerangi malam menyalakan siang, menahan haus lapar, tapi betapa segar jiwanya oleh keyakinan hari balasan. Di jaman keemasan Islam, tak sekadar memegahkan bangunan masjid, juga perpustakaan bersegala kegiatan penerjemahan, menelitian sedari lelintasan temuan di belahan berbeda di muka bumi. Berkumpul membahas capaian-capaian agung serta pergeseran terjadi dimasanya, tidak disibukan kebutuhan pribadi, tapi kemaslahatan umat oleh panji-panji keimanan. Ini bertolak belakang dari sekarang, tiap informasi tak disaring kritis, alat-alat komunikasi membuat terlena menghilangkan waktu permenungan. Kemalasan membaca, sering bertanya tanpa tindakan lanjut, karakter keadaban luhung seakan berangsur-angsur lenyap dalam tiap pribadi mukmin.
Saya sering bayangkan kala melihat tiang-tiang masjid besar, dinding gedung pesantren bertingkat tapi sunyi penghuningan itu sebagiannya dibelanjakan untuk menerbitkan kitab-kitab klasik, menafsirkan pemikiran para ulama’ dan merutinkan kajian keilmuan. Seyogyanya belajar pada burung-burung pandai berkicau lihai terbang, selain terampil mencipta sarang. Menggratiskan biaya pendidikan kepada murid dari kelurga miskin, memfasilitasi lebih yang berprestasi, memberi jam pelajaran tambahan. Di mana perangkat pendidikan tak memanjakan, namun memacu kreatifitas, tentunya keindahan itu dapat diciduk dari sumur pengetahuan, lelembar peradaban dari jaman keemasan.
Kelenjar itu bekerja baik jika merawat silaturahmi, saling menopang dari pemerintahan, perdagangan, pendidikan &st. Sesekali diperlukan kritikan pedas bagi bidang yang lalai tanggung jawab, sehingga melangkah cepat mengumandangkan syiar, gaungan ini sekadar mimpi jika pohon-pohon pendidikan tak disirami tirta nurani fitri. Dari para beliau mengaji bebulir pemikirannya, tak hanya jadi warisan berharga juga dinikmati sanubari umat. Di pundak pendidiklah teremban, pahlawan tanpa tanda saja, bukan menyogok untuk perolehan lebih tanpa memikirkan kemajuan anak didik.
Selanjutnya, ‘ilmu bekal berharga dari para aulia,’ sebab kedekatan para beliau kepada Allah Swt, dipercayai merintis jalan lurus di bumi, jalur menuju kebahagiaan. Karena hati para beliau disucikan, senantiasa mensuci dengan amalam mendekatkan diri, sampai gerak, pandangan, apapun atas ridho-Nya. Ketika mengungkap sesuatu, selaksa air mengalir berkebeningan, seluruh indera bersaksi bersegenap informasi masuk bak nyanyian, umpama penari mengikuti tabuhan gending Ilahi. Para sahabat mencatat lekuk kearifannya, dan pena mengalir betapa menderas melalui jalur kebenaran sudah tertandai dalam kitab suci, pikiran dituntun hatinya dibimbing cahaya Sang Maha Cahaya.
Selalu terjaga, dijaga kekasih-Nya dari merintangi dalam berkasih mesra, batinnya i’tikaf, jiwanya mengembarai alam-alam ciptaan-Nya, sukmanya keluar-masuk lelapisan langit-bumi, raganya ada menyendiri pula ada berbaur tapi tak tercederi kemurnian kasihnya dalam menyeluruh, sayangnya betapa menyentuh. Jalan aulia sepantasnya bagi landasan pendidikan demi mendewasakan iman, mengisi ruh berkeyakinan, tapak menuju kesenangan abadi membawa wajah-wajah berseri, kaki-kaki ringan bagai bocah girang mendamba ibundanya. Setiap yang datang-pergi menggesek perasaannya bergetar, memecah menaburi persendian jiwa sebintang ambyar mengisi ruang semesta raya.
Sebagai manusia pernah ditantang bebentuk keraguan, namun cepat-cepat mendekatkan diri memohon petunjuk kepada Sang Pemilik Jalan, beliau-beliau mendapati teguran kala lampaui kodrati, dipertemukan para kekasih di mimbar dzikir sekumpulan lebah mengambil madu kembang mengeluarkan zat penyembuhan. Untaian sholawat membumbung terbang laksana laron memanjat cahaya, sayap-sayap badaniahnya terlepas, tapi ruh menjumpai Pemilik Ruh. Tanpa para beliau, bumi gelap-gulita semuka malam tiada bebintang, maka tak layak jika tak mensyukuri kehadirannya. Mungkin tanpa para beliau, kita tak dilahirkan di atas bumi atau tidak dicipta sama sekali. Munajat harum dari bibirnya menuntun umat pada pengertian, memudahkan menyibak deduri rerumputan tajam, sampai mendapati taman kemenangan.
Kelima, ‘jalan nan ditempuh kaum bertaqwa.’ Rasanya saya tak pantas menuangkan kata-kata di lembar makalah ini dengan merujuk pemikiran Imam al Ghazali. Di depan mata seakan tampak api menyala-nyala siap melumat dosa-dosa saya, semoga dengan bersujud kepada-Nya, nyala membara segera sirna, atau dingin perangainya sesejuk keridhoan-Nya. Ini berliku jika hendak menuju jalan lurus kebenaran, ada memutari badan gunung ke ketinggiannya, sebelum mencapai taman bunga. Laluan licin mendaki, menanjaki tebing curam, berjumpa makhluk-makhluk buas, bekalnya ketaqwaan tulus. Betapa hawa ketinggian sanggup menulikan telinga, mengaburkan pandangan oleh kabut padat uap belerang. Dan tak sampai kecuali atas izin-Nya, berkat kasih sayang-Nya melampaui murka-Nya.
Keenam, ‘ilmu, bagian bagi mereka yang mulia;’ kemuliaanya turun-temurun, keutamaannya mencahayai, kecuali menolak kedatangannya. Para mendidik dihiasi ketampanan ilmu, parasnya dicantikkan ilmu, para pencari dinaungi sayap-sayap malaikat membentang dari ufuk timur hingga barat. Dedaun bertasbih menyaksikan lelangkahnya, atas ilmu kebahagiaan dapat diraih di dunia pula akhirat. Ilmu perhiasan berharga, perbendaharaan tak habis ditimba, dengan kepasrahan menderas menentramkan pemiliknya. Harta tak dapat dicuri itu ilmu, dengan sembunyi selaksa diperkenan mendengar syairnya; barangsiapa kikir ilmu, disempitkan dadanya sedari kegembiraan berlimpah. Ilmu mendatangkan rizki juga menyalurkannya, mengurangi marabahaya, menanggulangi langkah celaka. Dalam keilmuan terkandung kelezatan yang menghendaki jalan suci menuju kehadirat Ilahi.
Ialah bagian hidup kaum mulia, sedang wewarna jasadi tak tentu sembada. Namun sepapan dialog, cara bercanda, menghiasi diri memudahkan laluan rumit, sebagai jamu sehat, kecuali yang melampaui kodratnya; tetesan air hikmah itu telah ditakar Sang Maha Kuasa. Ialah pasangan hidup pula syarat mendapati keturunan baik, ilmu itu pokok musabab, tanpanya kesulitan takkan teratasi. Dapat pula berlaku balik, karenanya kebejatan mudah dilaksanakan, penunjuk jalan lurus juga bercabang serta berliku, hanya nasib baik / buruk menentukan langkahnya. Ilmu membuat kagum sesama, dan bisa kendalikan pikiran lingkungannya (mengetahui yang dibutuhkan), lalu menjadi raja meski tak bermahkota, lantaran di dalamnya terkandung kekuatan, kewibawaan, kejayaan yang sanggup mengurung bagai benteng kerajaan.
Ketuju, ‘tujuan bagi orang bercita-cita menggelora;’ awalnya belajar, lalu temukan perihal luar biasa, indahnya membaca, lezatnya paham, nikmatnya menganalisa. Sebab menyenangkan batin gembirakan jiwa, diulang-ulang hingga menemukan sesudut pandang berkilauan, sukmanya gemetar, ruh keluar-masuk bercampur membuai, di sini rasa ketagikan meminta jatah. Bermula penasaran dan pertanyaan; apa, bagaimana, kenapa? Kemudian pemilahan tempat-waktu, kesuntukan, ketundukan, kehusyukan, menyetiai; pemberontakan, perjuangan, gairah tak habis-habisnya melapangkan jalan, mencipta jalur sesuai karakter empunya. Karenanya, jiwa pembawanya senantiasa muda, lantaran tahu hukum masa mengabadikannya. Darinya, sketsa alam dijangkau indera terdekat, pemampu memendek-panjangkan jarak, meringkas-mengurai terbang sesuka pemiliknya, tentu tidak lepas seberapa tetesan air hikmah jatuh dari jari kekuasaan-Nya.
Keanggunannya lebihi candu, sanggup menarik harta paling bernilai; waktu, usia, kesempatan, tak sekadar menggadaikan juga pertukaran meski merugi, hakikatnya tiada kerugian dalam perdagangan dengan ilmu. Telah banyak bangsawan, para pedagang mengurbankan miliknya demi meraih untaian kemewahannya, namun diberkahi kebangsawanan serta kejayaan jiwa. Di antara itu dengan memegang tongkatnya, mampu mengembalikan yang pernah sirna, pun kenyataannya; ia sabda-sabda melampaui masa, bulir mutiaranya membahayai kesewenang-wenangan, tiran. Dan meski dibakar lelembarannya, hakikannya kembali, sejauh penerusnya bertabah telusuri jalanan sunyi, dimana para pendahulu pernah melalui.
Kepribadiannya dikjaya menanamkan kepercayaan dan keyakinan diri pencarinya. Karena inti hidup sudah bersemayam dalam pengejawantahan, para pembawanya tak gentar melintasi batas negara, batasan nalar pun batas-batas keimanan, seakan dituntun meski penuh pergolayakan. Adanya setarik-menarik energi semesta di dirinya, sebentuk peleburan gula dipanasi bersama air dalam panci, diaduk sejenis membikin kembang gula, bertambah mengental manis atas pusaran masalah bergerak cepat. Keadaan itu menyadari sunatullah berlaku, juga hubungan dengan alam raya lebih luas. Kesungguhan mencari menyentuh dinding kodrati, dan betapa mengerahkan seluruh tenaga menyadari kelemahan manusiawi. Dari sana menemukan pandangan, jadi pelajaran berharga pengembaraan menggelora.
Kedelapan, syiar golongan terhormat, ini upah sepadan yang diperjuangkan, diantaranya berontak kepada penjajahan, bergerilya di medan tempur sebelum berjuang terang-terangan, setelah cukup dirasai sanggup kuasai tanah-waktu perjanjian yang telah dijanjikan. Kehormatan ini tak dicarinya, sebagaimana tidak memilih ‘nasib buruk’ pernah menimpanya; mula kesadaran lalu menimbang, meramu menjadi kukuh bertahan, atau hampir semua dihitung, sehingga tidak berpribadi pangling oleh kejutan perubahan. Tulisan ini ruhaniah judul yang bisa diudar menguraikan nilai pengajaran, membentuk kepribadian umat atas kesadaran inti yang dibetot dari akar niat, untuk ditanam di ladang lain, tentu sudah mempelajari kebutuhan tanaman serta tanahnya, agar tumbuh subur sesuai harapan.
Para beliau dalam perkumpulan masing-masing sesuai bidang ditekuni, ada dipayungi plakat, ada pengembara tak terikat identitas. Tahap tingkatannya begitu dalam sealur kedalaman pencarian, dan Tuhan Swt pertemukan sesuai gelombangnya, meski sebagian terpental keluar atau sedikit bergayuh seirama ombak pencarian luhur. Lebih terang kesungguhan, kekhusyukan bisa dirasai yang sama mengalami. Dari itu menjadi pelajaran naiknya tingkatan menginsyafi seberapa barunya kembara, jelasnya tak terikat kedudukan pandangan indrawi, namun lebih derajat batin temuan yang dilewatinya. Bahasa lain, mereka petarung di hutan belantara misteri alam raya, sudah jauh lelangkahnya sedari gua pertapaan. Hanyalah sekali tempo teringat datang sebentar di tanah permenungan, jika mengalami goyah. Tapi lekas keluar menuju ramainya pasar peradaban, untuk menguji jurus-jurus terbaru mematangkan sesuai hukum nan tengah disibaknya.
Kesembilan, pencariannya orang-orang mukmin. Padanya ilmu tak sekadar jalan pengetahuan, penglihatan hukum disaksikan, pandangan di alam pemikiran, juga laku pencarian dengan kaki realitas, di sinilah nalar turun sebagai hijab, yang sebelumnya terus mengikuti jalur penelusuran. Dengan pelbagai ilmu pengetahuan, hati sudah tercetak, telah disucikan memancarkan permenungan lama, akar-akar kian halus menembus pori-pori bebatu. Langkahnya laksana kilat, semacam pecahan cahaya tertabur di udara, wewarna dan titik-titik terjadi sejarak bintang-gemintang berdaya tarik sesuai ketentuan. Lalu dari pancangannya hati membaca, langkah memahami lewat uraian menandai capaian, sungai mengalir melewati cela-cela batu, mengangkut ranting, dedaun kering, hanyut tak melampaui tradisi alam hukum Tuhan, dimana jikalau berbentuk ujaran-ujaran bagi bekal pencari kebenaran.
Karena ilmu mendatangkan bahagia, mengundang kemenangan, menarik kejayaan dunia-akhirat. Maka para beliau tak gusar menumpas keraguan, memukul kejahiliaan, mengangkat cahaya menyinari sekeliling, dan tidak takabur oleh kebaikan-keburukan datang dari Sang Maha Kuasa, tentu melalui pintu pertaubatan, pensucian diri berulang, istikomah dalam kepasrahan, keikhlasan. Penulis hanya berteguh niat, marilah berdoa agar kita mencapai jalan ke sana. Pada derajat ini ilmu tak sekadar nikmat badani, lezat ruhani, bacaan dijadikannya amalam menerus dalam pembelajaran, olah karena kita tak mungkin sempurna. Maka, bukalah pintu lebar-lebar, bentangkan ruang tamu lapang, suguhkan rasa hormat, dan menerima yang pahit, salah satu jalan ternikmat dirasai.
Sepuluh, pilihan bagi yang memiliki pandangan benar. Ini hadir oleh mengetahui jalan-jalan, disamping tahu ketentuan-ketetapannya memungkinkan langkah menuju pandangan benar. Iramanya terkadang dipercepat, dipelankan, dipotong melintas memandang sorot lampu ilmu pengetahuan. Ini dialog batin terdalam di antara pandangan mata, terlebih dekat dari urat leher sendiri; detakan nadi, deraian jantung, mata lurus ke letak bersudut, hati punjernya arah. Tetapi begitu, medan yang ditempuh tak mudah meski telah ketahui, tanjakan, menurun, licin, sudut cadas meruncing, mudah rumpil menjatuhan ingatan. Kiranya kehati-hatian, kewaspadaan, mengulang-ulang niat kesucian tertanam dalam agar hujamannya mendalam. Jika digambarkan lalui cela sempit di antara tebing curam dikejar srigala hitam, tapi dengan kemantapan tekat, keyakinan bulat, sebilah keris berlekuk iman, setelunjuk bersyahadat dalam kesaksian.
Sebelum temukan ini, batin digusarkan angin keragu-raguan, waswas tidak tenangkan segala gerak, lambang tak tertangkap, dibingungkan arah, buyar pandangan mata, lubang telinga buntu, tak terasa selain kebingungan memuncak. Namun dengan telaten mengudar benang sengkarut, mengurai jalinan rumit, mengulur menemukan ketentuan menggembirakan, yang tidak tercapai kecuali atas kehendak Allah Swt. Serasa nafas senjakala mematangkan iman pada selimut petang menaburkan ketentraman, desahan pekerti, hembusan angin dari taman kegembiraan. Aliran sungai mengalir jernih, enak diteguk tenggorokan kehausan, kedahagaan merindu manfaat tak hanya bagi diri-sesama, juga sekalian alam nan dirawat setiap kaum beriman.
Akhirnya mencapai urutan sebelas, sebagai jalan kebahagiaan menuju surga. Maka sepatutnya para pendidik mencecapi ayat-ayat teles, di sisi ayat-ayat garing, ditempuh sungguh dihayati yakin, diimani mendarah daging dan ruh, sehingga bersambung kepada generasi-generasi mendatang. Dan pendidikan dimungkinkan membentuk karakter kebudayaan madani, pribadi umat nan tangguh sedari datangnya persinggungan, benturan kian keras pertempurannya di medan akhir jaman. Semoga ini permenungan tidak sebatas di sini, tetapi terus dipelajari di dalam diri, tiap gerak tak lepas ilmu pengetahuan yang diraih, kaidah-kaidah disinauhi mencapai gaung pujian kehadirat Ilahi Robbi.
Kamis kliwon, senjakala awal dan akhir Nisfu Sya’ban 1433 H,
5 Juli 2012, Indonesia, Ponorogo, Tanah Jawa.
*) Makalah Seminar Pendidikan di kampus STITAF, Siman, Sekaran, Lamongan, Jawa Timur. Tertanggal 15 Juli 2012.
**) Nurel Javissyarqi, pengelana asal Lamongan, beberapa bukunya; “Balada-balada Takdir Terlalu Dini, (2001)” Kumpulan Esai-(kebudayaan)-nya “Trilogi Kesadaran, (2006)” dan “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri,(2011)” Antologi Puisinya “Kitab Para Malaikat, (2007)” &ll. Pengelola Website www.sastra-indonesia.com dan www.pustakapujangga.com (Penerbitan buku PUstaka puJAngga). Sementara ini tinggal di lingkungan STKIP PGRI Ponorogo, Jawa Timur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar