Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/
Parodi di dalam masyarakat dipahami sebagai lelucon. Kesalahan-kesalahan tersengaja yang dimaksudkan agar orang lain tertawa. Misalnya dalam “Ketoprak Humor” Srimulat yang disiarkan stasiun televisi RCTI, tokoh Timbul mengartikan “rumah sakit” sebagai “rumah yang sakit”, padahal arti sebenarnya adalah “rumah tempat menyembuhkan orang sakit”. Atau “orang warung” diartikan sebagai “orang ber-wajah murung”. Maka penonton pun tertawa riuh, terbahak-bahak.
Parodi bersandar pada wilayah yang telah mapan. Penggunaan parodi, oleh karena itu, sering ditujukan untuk kritik. Membongkar wilayah kemapanan subyek. Sasaran dijatuhkan melalui perangkat kepemilikan sendiri. Semisal pertarungan silat, parodi persis ilmu “lampah lumpuh” dalam serial “Tutur Tinular”, ialah meminjam tenaga lawan untuk menjatuhkan dirinya sendiri. Sebagai sebuah kritik, parodi merupakan “jalan pintas paling aman”. Pihak yang dikritik jarang bisa marah, justru bisa jadi, tersenyum, bahkan terpingkal-pingkal. Ada dualisme posisi. Pertama, pihak terkritik merasa tersanjung karena pola operasional komunikasinya dipergunakan. Kedua, pihak terkritik merasa sedikit tersinggung karena kesalahannya dikuak. Disebabkan dualisme kontra- posisi itulah, pihak terkritik sulit menentukan sikap, dan pilihan paling spontan dari kebingungan menentukan sikap, adalah senyum lebar.
Puisi Indonesia terkini banyak sekali menggunakan unsur-unsur bahasa estetik parodi. Puisi berjudul “Chanel 00” karya penyair Afrizal Malna berikut ini dapat dijadikan contoh menarik: Permisi, saya sedang bunuh diri sebentar. Bunga dan bensin di halaman. Teruslah mengaji, dalam televisi berwarna itu, dada.
Diksi “Chanel” adalah lambang yang biasa digunakan untuk stasiun televisi. Setiap stasiun menggunakan gelombang yang dapat ditangkap oleh layar televisi melalui operasional angka-angka gelombang. Setiap stasiun menggunakan angka yang berbeda, tetapi tidak satu pun yang menggunakan angka nol, yang berarti juga, kosong. Penggunaan angka di atas nol sebagai arti bahwa stasiun tersebut “ada” atau mengudara, dapat dicari dan ditemukan dalam deretan gelombang. Apakah kalimat “Chanel 00” telah memenuhi kriteria pemasangan stasiun televisi? Ada parodi dalam konvensi atau aturan gelombang, siapa pun orang tidak akan menemukan sebuah stasiun yang menggunakan angka nol. Apalagi angka 00 (nol nol), pengulangan yang semakin menandaskan kelucuan. Apabila masih kurang lucu, dapat dibayangkan sebuah iklan yang memasang kalimat, “Aktifkan televisi Anda dalam chanel 00!”
Ditilik dari larik-lariknya, parodi yang terkandung tidak kurang. Aku lirik dalam puisi tersebut mengucap selamat tinggal untuk bunuh diri “sebentar”. Bagaimana mungkin bunuh diri (mati) dapat sebentar atau sementara? Seseorang yang sudah mati, sewajarnya, tidak akan hidup (kembali) lagi. Kegiatan bunuh diri adalah kegiatan yang tidak dapat diulang. Memang ada orang-orang tertentu yang dapat mati, hidup lagi, mati lagi, dan hidup lagi. Seperti kisah Mbah Soleh, tukang sapu pemakaman Sunan Ampel, yang katanya pernah mati sembilan kali. Atau, beberapa kisah dalam majalah mistik Liberty tentang orang-orang mati yang dapat kembali hidup. Kesemuanya hanya konon, berbau metafisika, di luar nalar sehat manusia. Di dalam sebuah puisi, atau di dalam perbincangan intelektual formal, kejadian “bunuh diri sebentar” adalah lucu. Tragik humor. Mengada-ada. Dan, mustahil.
Tetapi, kiranya, ada kritik diri dalam puisi tersebut. Aku lirik menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari orang-orang yang terjebak dalam kondisi tragik humor. Mengaji, diksi yang merujuk pada pembacaan ayat-ayat suci Tuhan, disalahpasangkan untuk tindak menonton televisi. Ataukah perlu dibacaartikan “pembacaan ayat-ayat televisi”? Tragik humor lagi. Bagi umat beragama, misalnya Islam, tindakan di luar kehendak ayat Al-Qur’an adalah dosa. Diksi “dosa” dalam dunia puisi, dunia metafor, dapat diartikan “kematian”. Puisi di atas mengisyaratkan adanya orang-orang yang selalu mengaji televisi, menganggap televisi sebagai sumber religiusitas. Dan, aku lirik ada di dalam kumpulan orang-orang tersebut. Larik saya sedang bunuh diri sebentar menjadi sangat tragik, mentertawakan diri sendiri, seseorang yang hanya dapat hidup dalam bayang-bayang tawaran televisi. Meyakini diri “mati” apabila keluar dari pusaran channel televisi.
Mentertawakan Diri
Parodi yang mengarah pada diri sendiri, membuka keburukan diri, memang kegiatan yang asyik-masyuk. Orang lain yang menyaksikan, bisa jadi, akan mentertawai, mencibir, mengeluhkan, atau menuntut pada aku lirik. Orang lain yang lebih peka, bisa jadi, akan melihat aku lirik-nya sendiri untuk kontemplasi. Apakah parodi juga menerpa diri pe-saksi?
Keberhasilan parodi, untuk memarodi diri sendiri, dalam puisi sangat tergantung pada sublimasi ilustrasi. Bagaimana agar peristiwa yang dialami dan dirasa tokoh aku lirik dapat juga dibayangkan pembaca. Akan lebih baik lagi, mengingatkan bahwa pembaca juga mengalami dan sedang merasakan peristiwa serupa. Parodi menjadi kritik diri yang melompat menempuh tanggungan kritik universal. Aku lirik dalam puisi adalah aku pembaca dalam realitas.
Puisi berjudul “Warisan Kita”, karya lain dari Afrizal, kiranya menyajikan ilustrasi parodi yang berbeda. Tindak parodi yang agak sulit untuk menimbulkan tawa. Seperti dalam bait pertama berikut: Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, gegeretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.
Dampak dari pembacaan puisi di atas, bisa jadi, pembaca tercerabut dari realitas sebuah dunia kalimat. Sulit mencari rujukan makna untuk dapat menjelaskan sebuah kalimat yang terdiri dari rangkaian kata benda. Yasraf Amir Piliang menengarai, karya seni parodi memiliki ciri khas; tanda-tanda diproduksi bukan dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan, dan konvensi sosial, melainkan dilandasi oleh kegairahan dan kesenangan dalam permainan tanda semata. Kata-kata, apapun bentuknya, telah memiliki makna secara parsial, entah artian literal, entah artian sosial. Sebuah puisi, yang terdiri dari kata-kata, otomatis, menyandang beban makna. Seperti yang dituliskan A. Teeuw, karya sastra (baca: puisi) tidak berangkat dari kekosongan. Sebuah puisi dengan begitu, apabila menggunakan logika terbalik, dapat diciptakan dengan “asal comot kata”. Toh, akan tetap ada makna terkandung.
Puisi “Warisan Kita” sama sekali tidak menyiratkan kesulitan proses penciptaannya. Tinggal mengurutkan sejumlah kata benda. Seakan-akan, setiap orang yang menguasai bahasa Indonesia dapat mencipta puisi. Sangat berbeda dengan puisi-puisi model Amir Hamzah, yang sangat mendayu-dayu, penuh perhitungan lagu, terobosan makna, dan keagungan nuansa. Atau, puisi Goenawan Mohamad yang teramat sarat reinterpretasi mitologi, tekanan psikologi, konflik sosial, dan kerumitan filsafat.
Pemakaian kode bahasa estetik puisi yang “penuh gairah tanda” selaras dengan permainan simulasi dalam bahasa esetetik postmodernisme. Jean Baudrillard menyatakan bahwa kini manusia berada pada sebuah zaman dengan karakter proses simulasi, proses penciptaan bentuk-bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia membuat supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi tampak nyata.
Tamasya Ke Masa Silam
Pengulangan yang intens terhadap diksi dan larik dalam puisi “Warisan Kita” mengesankan pemakaian pola mantra. Pembacaan yang cepat dan berirama terhadap puisi tersebut, akan menghasilkan sugesti yang mengusai pendengar.
Mantra, sebagai sebuah jenis puisi, telah ada sejak negara Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan kecil. Hampir semua suku di Indonesia mempunyai bentuk mantra sendiri. Menurut Herman J. Waluyo, mantra memiliki ciri-ciri: (1) pemilihan kata sangat seksama; (2) bunyi-bunyi diusahakan berulang-ulang dengan maksud memperkuat daya sugesti kata; (3) banyak digunakan kata-kata yang kurang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan maksud memperkuat daya sugesti kata; (4) jika dibaca secara keras mantra menimbulkan efek bunyi yang bersifat magis; bunyi tersebut diperkuat oleh irama dan metrum yang biasanya hanya dipahami secara sempurna oleh pawang ahli yang membaca mantra secara keras.
Puisi “Warisan Kita adalah parodi dari bentuk mantra. Ciri-ciri pola distribusi kata dipinjam dengan tujuan-tujuan yang berbeda dengan mantra. Biasanya, jarang sekali yang tidak, mantra dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Dengan demikian, mantra bersifat religius. Bahkan, adakalanya, mantra tidak boleh dibaca oleh sembarang orang. Sedangkan pada puisi di atas, diksi-diksi pilihan tidak berhubungan dengan religiusitas.
Sejarah puisi Indonesia mencatatkan, pola mantra pernah dipakai oleh Sutardji Cazoum Bachri dengan kredonya yang terkenal, “membebaskan kata dari beban makna”. Puisi Sutardji sangat sarat dengan pengulangan, irama, dan bunyi-bunyi yang tidak punya rujukan literal. Nuansa yang ditawarkan pun sangat “tumpah ruah” dengan religiusitas. Misalnya, puisi berjudul “Husspuss” ada terdapat larik-larik seperti; membebaskan kata, memanggilmu, pot pot pot, hei kau dengar manteraku. Kau dengar kucing memanggilMu. Pada puisi “Warisan Kita”, dibandingkan dengan mantra asli dan mantra Sutardji, sangatlah bertolak belakang. Semua kata memiliki makna literal, bahkan ada kesan, menciptakan makna yang lebih luas dari literal. Kredo Sutardji menjadi terbalik, menjadi “merujuk dan menambah kata dari semangat makna”.
Pola distribusi kata puisi di atas meminjam bentuk pola distribusi yang telah pernah ada. Sesuai dengan pembatasan bentuk karya seni parodi yang dituliskan oleh Yasraf Amir Piliang, setelah mengutip dari banyak kritikus seni dari barat, ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari kutipan di atas berkenaan dengan parodi, yaitu: 1) parodi adalah satu bentuk dialog (menurut pengertian Bakhtin), yaitu, satu teks bertemu dan berdialog dengan teks lainnya, dan 2) tujuan dari parodi adalah untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas atau karya masa lalu yang dirujuk.
Sastra Hibrida
Pemakaian unsur mantra mengandung pengertian kembali kepada tradisi. Kontradiksi mencuat. Estetika mantra yang pada aslinya dibentuk oleh idiom-idiom sakral, pedesaan, dan kuno; pada puisi tersebut dibentuk oleh idiom kapitalistik modern. Adakah makna atau ajakan “sosial moral” yang ditawarkan. Apakah mengikuti tradisi? Apakah mengikuti kapitalistik? Apakah mencampurkan keduanya? Apakah tidak perlu memakai keduanya? Masih perlu perdebatan lebih lanjut.
Puisi-puisi berciri parodi membawa resiko dan tawaran dalam peta puisi di Indonesia.
Puisi parodi meminjam bahasa estetik yang telah baku, misalnya mantra, dengan tujuan dan lingkungan teks yang berbeda. Bahasa estetik sebagai sebuah makna, misalnya mantra dengan religi dan kesakralannya, bahwa setiap tulisan bentuk mantra adalah sakral, menjadi luntur. Konvensi bentuk-makna patah, berganti dengan makna-makna lain. Puisi adalah tanda—meminjam pengertian Saussure—, bentuk adalah penanda, dan makna adalah petanda. Hubungan ketiganya bersifat paten, stabil, dan dikenal oleh penggunanya; dengan begitu, antar komunikan dapat terjalin saling perngertian, saling pemahaman. Parodi merusakkan petanda sehingga pemahaman menjadi tidak dapat dicapai.
Peminjaman bahasa estetik masa lalu dan didialogkan dengan teks lain, yang berarti ada dua teks, atau mungkin lebih, menghasilkan teks hibrida. Teks yang berisi beberapa teks. Misalnya dialog antara bahasa estetik tradisional (mantra) dengan idiom estetik masa kini (kapitalistik). Gejala karya seni (dan juga sastra) hibrida adalah bentuk khas estetika postmodernisme. Kelompok musik Led Zeppelin dari Irlandia dalam banyak lagunya mengadopsi bentuk musik Timur Tengah dan musik upacara agama Hindu di India dengan tujuan histeria musik rock. Begitu juga kelompok musik Queen dari Inggris yang membangkitkan kembali kegairahan terhadap musik-musik tradisional, musik-musik yang masih dianggap memiliki nuansa sakral. Itulah warna musik hibrida. Musik tradisional, pada aslinya, dihasilkan dengan kesederhanaan alat-alat tradisional. Musik hibrida oleh kelompok-kelompok musik rock dihasilkan dengan alat-alat modern (peralatan listrik) dan dimainkan di dalam studio “yang mungkin penuh gelak tawa dan minum-minuman keras” atau di dalam stadion “yang penuh histeria dan tepuk puluhan ribu tangan penonton”. Yang tidak bisa dipungkiri, musik hibrida dan juga puisi hibrida (salah satunya berbentuk parodi) adalah terobosan estetik baru yang melahirkan penawaran estetik baru. Tentu saja, bersama kontradiksi yang disandangnya.
______Waru, Jawa Timur
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/12/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar