Rabu, 21 Maret 2012

Sumpah Bersejarah

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Bahasa Indonesia bermula dari proyek kebangsaan. Ini setidaknya bisa dilihat sejak Sumpah Pemuda 1928, di mana harapan untuk menjadikan bahasa sebagai proyek nasionalisme di kalangan kaum pergerakan mencapai puncaknya dengan membacakan ikrar bersama tentang pentingnya memiliki satu bangsa, satu nusa dan satu bahasa.

Ungkapan ”bahasa menunjukkan bangsa” tampaknya mempertegas hubungan lama antara bangsa dan bahasa. Bahasa Indonesia pada mulanya berjalan seiring dengan derap-langkah nasionalisme. Hubungan sastra dan politik sejak awal begitu intim dan karib, bagaikan saudara kembar. Namun bagaimana pun, bahasa Indonesia lebih muda ketimbang proyek politik. Dan politik berkembang dengan cara meninggalkan teman karibnya, yaitu bahasa. Tak heran jika kemudian Bung Karno menempatkan politik sebagai panglima karena kenyataannya, sastra lahir setelah desain nasionalisme digelar di mana-mana.

Seorang Sutardji Calzoum Bachri, yang dikenal dengan puisi-puisinya yang paling jauh dari persoalan politik, pernah mengatakan: ”Sastra atau sastrawan boleh saja berkoar-koar menolak atau mengelakkan politik sebagi panglima, tetapi sastra nasional Indonesia sah mendapatkan label nasional itu lewat kepanglimaan politik yang muasalnya adalah Sumpah Pemuda”.

Bung Karno sempat menolak ”nasionalisme kebangsaan” dan mengajukan ”nasionalisme masyarakat”. Dan Bung Karno tentu saja melihat puisi dan bahasa bermula dari wacana kebangsaan jauh sebelum kemerdekaan politik, karena Bung Karno sendiri beberapa kali merefleksikan dalam bentuk tulisan tentang Sumpah Pemuda sebagai kemerdekaan kultural.

Karena itu, perkembangan puisi dan bahasa Indonesia mau tak mau mengikuti logika dari proyek kebangsaan. Bahasa puisi berjalan kian jauh dan tak jarang meninggalkan bahasa Indonesia. Sementara bahasa Indonesia berkembang menjadi imprealisme bagi berbagai bahasa daerah. Hadir dan tumbuhnya bahasa Indonesia ternyata mampu menghambat perkembangan ratusan bahasa daerah, hingga sebagian besar bahasa daerah yang ada mengalami degredasi yang cukup parah.

Bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa penjajah dan berhasil membunuh puluhan bahasa daerah di Papua, dan konon ada sekitar tujuh ratusan bahasa daerah yang kini terancam punah. Dan bahasa Lampung juga dianggap terancam ditinggalkan penuturnya karena orang Lampung merasa lebih bermartabat dan lebih maju jika menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasanya sendiri.

Sangat wajar jika sejak reformasi 1998 dan Otonomi Daerah, muncul keinginan di kalangan sastrawan dan peminat bahasa untuk memajukan bahasa daerah sambil melakukan kritik terhadap gerakan berbahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Penggunaan bahasa daerah mulai digalakkan di mana-mana. Lalu muncul klaim-klaim yang sempit yang mengarah ke persoalan primordialisme. Di beberapa tempat muncul keinginan melakukan standardisasi bahasa daerah padahal yang namanya standardisasi itu tak jarang membawa efek penyeragaman. Apa-apa yang beda dan karena itu kreatif, hendak distandarkan. Cara berpikir standar semacam ini sudah lama dijalankan, dan terus dilanjutkan dengan model-model yang sepintas beda tapi sama. Kesalahan paling umum yang kita buat sebagai orang tua dan guru adalah berpikir bahwa seseorang tak dapat membuat perbedaan. Malah kita singkirkan cara berpikir berbeda. Kita selalu mengejar yang standar.

Afrizal Malna termasuk sastrawan yang mendukung gerakan Sastra Kepulauan dan penggunaan bahasa daerah dalam karya sastra. Namun hemat saya, gejala ini mesti disikapi dengan wajar sebagai hal yang sehat bagi upaya menghargai keragaman budaya, tapi mesti juga mendapat kritik dan tanggapan yang kritis. Kalau tidak, ia bisa menjadi gerakan yang merongrong keutuhan bahasa Indonesia yang kini agaknya mulai terlihat sebagai ”bahasa yang bergairah menjelajah ke dalam alam benda kongkrit” serta bahasa ”yang memasuki avontur yang penuh arti” (mencuri istilah Goenawan Mohamad).

Bayangkan betapa repotnya kita bercakap-cakap jika masing-masing daerah menggunakan bahasanya. Dan bahasa Indonesia bagaimana pun sudah terlanjur digunakan sebagai bahasa komunikasi di lingkungan masyarakat yang memiliki bahasa daerah. Karena itu, bahasa Indonesia tetap penting dipertahankan sebagai bahasa pergaulan bersama. Agar bahasa ini tidak mengkoloni bahasa-bahasa daerah yang ada, yang memang sudah terlihat watak imperialnya, maka ruang untuk mengekspresikan dan mensosialisasikan bahasa daerah mesti tetap dibuka secara setara. Kita perlu melakukan objektivikasi terhadap apa yang disebut ”bahasa hibrida” yang lebih akomodatif dan terbuka pada keragaman linguistik. Harapan ini memang tak mudah, tapi apa salahnya bila kita mencoba terus-menerus!

Dengan begitu, maka tak perlu ada klaim-klaim tentang ”bahasa kami paling asli” dan ”bahasa kami tidak boleh berubah”. Bagaimana pun, konsekuensi menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus diterima dengan lapang dada sambil tidak lupa mencari alternatif-alternatif yang bisa mendekatkan bahasa Indonesia ke berbagai bahasa daerah. Solusinya bukan dengan memperdakan bahasa daerah agar orang ”dipaksa” secara halus untuk menggunakannya padahal kenyataannya mereka sama sekali tidak tertarik. Dibutuhkan kritik terus-menerus atas pemakaian bahasa Indonesia agar jangan sampai membunuh sumber inspirasinya. Bahasa Indonesia, bagaimana pun, mesti diterima sebagai bahasa nasional berdasarkan kesejarahan.

Bukankah dengan lahirnya Sumpah Pemuda 1928 dulu kebanyakan bahasa dan sastra daerah kita justru tidak melakukan penolakan yang berarti, malah mendukung gagasan revolusioner tersebut? Bahkan menurut Sutardji, dengan adanya Sumpah Pemuda maka bahasa dan sastra daerah ikhlas berkorban untuk surut ke belakang sambil mendukung sastra Indonesia dan bahasa Indonesia sebagai pengucapan untuk yang tingkatnya nasional. Tentu saja masih ada yang menulis dan membaca karya sastra Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Lampung, dan lain lain, namun yang dikemukakan dalam pergaulan sastra nasional tentulah karya karya aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia. Dan dalam pergaulan internasional, umpamanya dalam Festival Puisi ASEAN atau semacam Poetry International Rotterdam, yang ditampilkan dari Indonesia bukan karya sastra penyair atau sastrawan yang menulis dalam bahasa Lampung, bahasa Jawa, bahasa Bugis, tetapi dalam bahasa Indonesia.

Menurut Tardji, yang perlu jadi renungan adalah bagaimana menempatkan dalam aspek nasional sastra daerah masa kini, yaitu kreativitas sastra daerah yang dikerjakan para pengarang yang menulis dalam bahasa daerah. Mungkin saja dalam kreativitas daerah muncul bakat-bakat yang hebat. Tapi, walaupun seandainya karya mereka lebih berbobot dibanding dengan pengarang nasional (pengarang yang menulis dalam bahasa Indonesia), tetap saja tak mendapat perhatian yang berarti. Beda misalnya dengan karya patung Tjokot, meskipun sangat Bali tapi bisa dibanggakan atau diklaim sebagai karya nasional. Begitu pula patung-patung Asmat yang dipamerkan di luar negeri sebagai hasil karya Indonesia. Berbagai tari daerah digelar dalam festival tari antar-bangsa dengan label mewakili Indonesia. Tetapi dalam festival sastra internasional belum pernah Indonesia diwakili oleh penyair yang menulis dalam bahasa Jawa atau Sunda misalnya.

Siapa yang mewakili Indonesia, tentu saja sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia, bukan yang menulis dalam bahasa daerah. Adanya penghargaan sastra di tingkat nasional atau internasional adalah karya berbahasa Indonesia. Para sastrawan yang menulis karya berbahasa Indonesia masih ada harapan memperoleh penghargaan sebagai karya terbaik nasional atau internasional, tapi tidak ada harapan bagi mereka untuk memperoleh penghargaan nasional dan internasional dengan menulis karya sastra berbahasa daerah. Rancage bukan hadiah berskala nasional, tapi daerah!

Apakah sastra daerah memang sulit untuk bisa ditampilkan dalam kancah nasional atau internasional? Atau, dalam perhatian internasional, apakah sastra daerah hanya sekadar obyek studi para sarjana asing? Atau apakah sastra daerah adalah “stateless”, seperti kata Sutardji, mengingat sulitnya mendapat pengakuan nasional dan tidak bisa mewakili secara nasional untuk suatu “event” sastra internasional?
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi