Selasa, 20 Maret 2012

Sastra China: Bangkit dari Mati Suri

Lan Fang, Anung Wendyartaka
Kompas, 2 Juni 2008

DUA minggu lalu, tepatnya tanggal 13 Mei, adalah peringatan 10 tahun reformasi. Imbas positif dari gerakan reformasi yang mengorbankan nyawa beberapa mahasiswa Trisakti, Jakarta, ini bagi masyarakat di Indonesia adalah dibukanya keran-keran kebebasan berekspresi bagi seluruh elemen masyarakat yang selama ini sempat dibungkam oleh pemerintahan Orde Baru.

Salah satunya adalah dicabutnya larangan bagi etnis China untuk berekspresi sehingga berbagai kegiatan berbau kebudayaan China atau oriental yang dulunya dilarang sejak itu boleh muncul lagi.

Tiga puluh tahun lebih Pemerintah Indonesia menerapkan politik tertutup terhadap Pemerintah China. Akibatnya tidak hanya pada pembekuan hubungan diplomatis dan politis, tetapi juga merembet ke dalam dunia pendidikan. Setidaknya di Surabaya ada tujuh sekolah menengah atas berbahasa China yang ditutup pada era 1965-1966, yaitu Zhong Zhong, Xin Zhong, Qiao Guang, Qiao Zhong, Kai Ming, Fu Zhong, dan Hua Shi. Ketika itu, semua yang beraroma China tidak boleh digunakan. Tidak ada lagu China, film China, tulisan China, atau buku China. Otomatis, bahasa China terbungkamkan.

Pada era reformasi, dibukalah kunci itu. Semenjak itu warga etnis China mulai berani melakukan berbagai kegiatan budaya bernuansa China, yang selama ini dilarang, secara lebih terbuka, seperti perayaan Imlek, pemakaian simbol-simbol budaya China, hingga pemakaian bahasa China atau Mandarin di ruang publik. Bahasa Mandarin yang sebelumnya lebih banyak dipelajari untuk keperluan bisnis, seiring pesatnya kemajuan Republik Rakyat China sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia, sejak reformasi kian digunakan secara lebih luas. Koran-koran berbahasa China mulai jamak diterbitkan di kota-kota, seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya.

Tak hanya itu penggunaan bahasa China juga semakin berkembang dengan munculnya sekolah-sekolah baru dengan label sekolah internasional atau sekolah dengan kurikulum plus plus yang memasukkan bahasa China sebagai salah satu bahasa pengantar, selain bahasa Indonesia dan Inggris. Bidang studi sastra Tionghoa pun dibuka di beberapa universitas negeri dan swasta. Lembaga kursus bahasa China pun menjamur bak cendawan di musim hujan.

Gairah untuk kembali menggunakan bahasa China ini juga dialami oleh para alumnus sekolah China di Kota Surabaya. Di Surabaya, misalnya, sebagian dari mereka yang dulunya punya hobi menulis puisi, cerpen, novel, maupun esai mulai menulis lagi kendati kadang hanya diterbitkan untuk kalangan terbatas. Seperti yang dilakukan Yuliana Susilo, Rong Zi, dan Zhou Su Xin. Mereka menerbitkannya dalam bentuk buku maupun mengirimkan ke majalah atau koran berbahasa China baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagai media untuk menampung dan menyalurkan tulisan- tulisan berbahasa China tersebut, mereka juga menerbitkan surat kabar, seperti yang dilakukan Kadir Chandra dengan mendirikan koran berbahasa China, Qiandao Ribao.

Menurut Soedomo Mergonoto, Ketua Dewan Pembina Yayasan Margo Utomo (perkumpulan warga bermarga Go) yang bernama asli Go Tek Hwei, mempelajari bahasa China saat ini merupakan kebutuhan untuk mengikuti perkembangan zaman. ”Bangkitnya ekonomi negara Tiongkok di tingkat dunia sebagai salah satu alasannya. Kalau kita sekarang ke Eropa, department store-department store yang besar-besar mempekerjakan orang Tiongkok untuk melayani turis dari Taiwan, Hongkong, dan China. Di Indonesia sendiri boleh dikatakan turis terbesar dari Tiongkok, 200.000 orang,” kata Soedomo, yang juga pemilik perusahaan kopi Kapal Api.

Soedomo juga menyayangkan begitu banyak buku-buku bagus berbahasa China yang ternyata diterjemahkan ke bahasa Inggris. Bukan saja buku-buku dengan nuansa kedalaman, seperti sastra dan filsafat, tetapi juga buku-buku ilmu pengetahuan lainnya, seperti pengobatan, teknologi, dan ekonomi. Di samping itu, menurut dia, dengan kualitas pendidikan yang baik, suatu bangsa otomatis mempunyai filter untuk menyaring ideologi mana yang cocok untuk dirinya.

Oleh karena itu, Soedomo, alumnus sekolah Xin Zhong Surabaya, bersama beberapa temannya mendirikan sekolah berstandar internasional dengan tiga bahasa. ”Kita melihat banyak orang Indonesia, terutama yang keturunan China, maunya kuliah di Amerika atau paling enggak di Singapura. Mereka banyak yang ndak kembali sehingga bisa dikatakan yang masih di sini tinggal yang grade 2,” ujar Soedomo. Hal ini tidak bisa disalahkan selama mutu pendidikan di Indonesia belum sebaik di Amerika atau setidaknya Singapura.

Resinifikasi atau revivalisasi?

Menurut Didi Kwartanada, peneliti sejarah etnis China di Indonesia, fenomena kegairahan sebagian warga etnis China di Indonesia untuk mempelajari, dan menggiatkan kembali penggunaan bahasa dan budaya China adalah bentuk dari kerinduan terhadap masa lalu. ”Dalam fenomena sosial ada namanya resinifikasi atau pencinaan kembali. Jadi, dulunya sempat hilang sekarang menjadi China kembali,” kata Didi Kwartanada. Namun, ia belum yakin benar apa yang terjadi saat ini adalah memang benar fenomena resinifikasi seperti yang terjadi pada saat zaman penjajahan Jepang dulu. ”Waktu Jepang masuk Indonesia karena Jepang anti-Belanda semua sekolah Belanda di tutup. Jepang mengharuskan orang China yang sebelumnya sekolah di sekolah Belanda berbahasa China kembali. Mereka diharuskan bisa menulis dalam bahasa China dan harus belajar bahasa China. Nah, itu saya berani bilang resinifikasi, tapi kalau yang terjadi sekarang saya belum berani ini masuk resinifikasi,” kata Didi.

Menurut Didi, identitas kecinaan itu didukung oleh tiga pilar. Pertama, sekolah dengan medium bahasa China. Kedua, pers bahasa China. Ketiga, organisasi China. ”Ketiganya memang sudah ada, tetapi yang saya dengar koran-koran berbahasa China masih terbatas dibaca di kalangan orang-orang tua saja, belum dibaca oleh kaum muda. Beritanya juga banyak yang tidak asli, banyak yang ngambil dari internet dari Hongkong, China. Berita asli Indonesia hanya separuhnya,” kata Didi yang juga seorang China peranakan.

Pendapat yang hampir senada juga muncul dari Mona Lohanda, pengarsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang banyak meneliti kehidupan etnis China di masa kolonial. Menurut Mona, aktivitas para alumnus sekolah China di Jakarta, Surabaya, maupun kota-kota lainnya menghidupkan lagi budaya China, seperti bahasa, kesenian, hingga mendirikan sekolah berbahasa pengantar China lebih bersifat nostalgia. Namun, ia juga melihat bahwa belakangan ini memang ada fenomena revivalisme atau kebangkitan kembali atau upaya menghidupkan kembali kebudayaan China di Indonesia, terutama sejak reformasi. ”Ada dua organisasi besar di Indonesia. Yang pertama INTI (Indonesia Tionghoa) yang bergerak di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Yang satu khusus kebudayaan, yaitu PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia),” papar Mona yang juga mengaku sebagai seorang China peranakan.

Menurut Mona, alumni sekolah China yang sudah mapan, seperti alumni sekolah Pahoa Jakarta, memikirkan untuk membentuk sekolah yang dapat mewarisi anak-anaknya nilai-nilai Konfusius yang pernah mereka pelajari. Alasannya, dalam ajaran Konfusius ada soal tata karma, etika, budi pekerti, sementara sekolah yang ada sekarang tidak mengajarkan hal itu.

Sekolah Xin Zhong

Hal serupa juga dilakukan Soedomo Mergonoto, ia bersama teman-teman alumni sekolah Xin Zhong Surabaya yang tergabung dalam Yayasan Sarana Hubungan Harmonis Sejahtera (SHHS) mendirikan sekolah tiga bahasa Xin Zhong Xue Xiao. ”Kita ingin buat sekolah yang bermutu. Jadi orang kita enggak perlu sekolah ke Singapura. Kita juga sudah amati sekolah-sekolah sekarang ndak ada yang diajari budi pekerti, murid berantem dengan guru. Mungkin budaya kita ini (China) pelan-pelan akan hilang. Kita akan mengembalikan sehingga murid- murid sekolah kita diajari budi pekerti, diajari bagaimana menghormati guru, orangtua, juga terhadap sesama,” ujar Soedomo.

Di dunia sastra, aktivitas membangkitkan kembali sastra China di negeri ini disambut positif . Salah satunya adalah ketertarikan beberapa penerbit besar, seperti Gramedia Pustaka Utama (GPU) menerbitkan sastra klasik China semacam puisi ke dalam bahasa Indonesia.

Salah satu contohnya adalah kumpulan puisi Purnama di Bukit Langit karya penerjemah Zhou Fuyuan. Hal ini menunjukkan bahwa sastra bernuansa oriental ini cukup diminati pasar. Selain itu, sastra klasik China merupakan karya sastra yang bermutu dan bagi kalangan etnis China sastra genre ini bisa dijadikan jembatan untuk menyelami akar budaya leluhur. Oleh karena itu, tak heran apabila selain karya sastra belakangan ini buku-buku lain yang berisi kata-kata kebijaksanaan (chinese wisdoms), peribahasa, ungkapan atau kata-kata mutiara yang diambil dari budaya China (Chinese Sayings) pun banyak diminati, bahkan masuk dalam kategori buku laris di toko buku.

Di sisi lain, menurut penyair sekaligus dosen sastra FIB Universitas Indonesia, Sapardi Djoko Damono, runtuhnya pemerintahan Orde Baru membuka semacam gerbang bagi sastrawan etnis China di Indonesia untuk kembali berbicara banyak dalam kancah sastra Indonesia seperti pada zaman sebelum kemerdekaan. ”Waktu itu pers (penerbitan) dikuasai oleh kaum peranakan. Dari penelitian saya bersama teman-teman di Pusat Bahasa, ternyata terbitan karya sastrawan etnis Tionghoa jumlahnya puluhan kali lebih banyak dari Balai Pustaka,” kata Sapardi menjelaskan.

Maka dari itu, ia menyambut baik kehadiran sastrawan-sastrawan etnis China tak hanya yang berkarya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga yang berkarya dalam bahasa China di dunia sastra Tanah Air. ”Biar dunia sastra kita tambah berwarna- warni. Selain itu, biar komunikasi antar-etnis menjadi lebih terbuka karena hanya lewat sastra, hal ini bisa terjadi. Tidak lewat politik, ekonomi, atau yang lain,” imbuh Sapardi.

Kegairahan untuk kembali mengangkat budaya China ini ternyata masih menyisakan beberapa persoalan. Salah satunya adalah pesimisme bahwa gerakan ini hanya terbatas romantisme nostalgia bagi kalangan generasi tua China sehingga akhirnya tidak bergaung dan berhenti di tengah jalan. ”Kalau yang tua-tua masih semangat karena ingin mewarisi, tapi respons yang muda itu belum jelas. Mereka punya persoalan sendiri.

Dengan lebih dari 30 tahun ditutup, ekspresi budaya orang muda Tionghoa akan berbeda. Mereka tidak mengenal ”Tionghoa-nya karena sudah tidak pernah digunakan di rumah. Belum lagi pengaruh globalisasi,” kata Mona Lohanda.

* Lan Fang, Sastrawan
** Anung Wendyartaka, Litbang Kompas
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/06/sastra-china-bangkit-dari-mati-suri.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi