Selasa, 13 Maret 2012

Para Pewaris Ronggeng Gunung

Pandu Radea
http://www.kabar-priangan.com/

Bulan pucat pasi, bergetar di atas riak gelombang. Angin laut menderu-deru mengiris malam. Waktupun terasa berdetak lambat seolah ingin menegaskan harapan yang tersirat pada wajah wanita yang benama Pejoh.

Dialah yang menjadi pemeran utama malam ini. Tokoh kunci yang akan mentasbihkan sekelompok peronggeng muda yang akan menjadi pewaris kesenian khas Ciamis di masa yang akan datang. Calon peronggeng gunung yang merupakan generasi muda dibawah asuhan Neng Peking malam itu didaulat untuk melanjutkan amanat karuhun, menari dan mendendangkan wawangsalan buhun Dewi Siti Samboja.

Peristiwa budaya yang bertempat di Pondok Wisata Disbudpar Pangandaran, pada malam Minggu (1/10) itu digagas oleh Disbudpar Provinsi Jawa Barat dengan tajuk kegiatan “Pagelaran Hasil Pewarisan Kepesindenan Dalam Ronggeng Gunung”. Dan Bi Pejoh sebagai Maestro Ronggeng Gunung didaulat sebagai guru yang mewariskan Seni Ronggeng Gunung. Kesempatan langka itu sekaligus menjadi titik balik bagi Bi Pejoh tampil kembali di muka publik, setelah belasan tahun berhenti dari kiprahnya sebagai seniman ronggeng gunung. Dan Bagi Disbudpar, kegiatan ini diharapkan dapat memicu gairah positip bagi generasi muda untuk lebih mengenal, mendalami dan mengaktifkan seni Ronggeng Gunung di masyarakat luas, sekaligus meningkatkan citra pariwisata di Pangandaran.

Kemasan kegiatan memang mengacu kepada nilai-nilai sakral yang biasa dilakukan jaman dulu. Harum kemenyan, dan sederet sesajen yang disimpan di depan panggung menegaskan bahwa kegiatan itu tidak semata-mata hanya seremonial belaka. Pewarisan itu sendiri dilaksanakan sore hari sebelum pagelaran dimulai. Beberapa remaja putri yang dibina oleh Neng Peking, mengikuti ritual siraman yang dipimpin langsung oleh Bi Pejoh. Setelah acara inti selesai, maka malam harinya adalah pagelaran Ronggeng Gunung. Saat itulah Bi Pejoh tampil kembali sebagai ronggeng Gunung dengan didampingi oleh Neng Peking dan anak didiknya. Kesempatan itu pun menjadi lebih istimewa saat Bi Raspi, Ronggeng Gunung yang namanya sudah populer di Jawa Barat, juga turut ngahaleuang mendampingi Bi Pejoh.

Bi Pejoh sesungguhnya adalah maestro Ronggeng Gunung yang selama ini namanya nyaris tak tercatat dalam literatur media maupun di akademisi seni. Sosoknya hanya ada dalam ingatan orang-orang tertentu saja yang mengenalnya sebagai guru Ronggeng Gunung. Bi Pejoh dianggap ronggeng gunung betul-betul memahami, menghayati dan mendalami makna setiap nyanyian Ronggeng Gunung yang langka itu. Selama ini perhatian publik seni di Jawa Barat hanya mengenal nama Bi Raspi sebagai satu-satunya Ronggeng Gunung yang masih hidup. Hal itu suatu kondisi yang selalu menimbulkan kekhawatiran akan punahnya seni yang diciptakan Dewi Siti Samboja.

Bagi Bi Pejoh, setiap rumpaka lagu, seperti Kudup Turi, Golewang, Canggreng, Raja Pulang, Jangganom, Manangis, Cacar Burung, Ladrang, Tunggul Kawung, Torondol, Sasagaran, Kawungan, Liring, dll, memiliki nilai dan aturan tersendiri, tidak sembarang dihaleungkeun, harus sesuai urutan, dengan kebutuhan dan perhitungan waktu yang tepat. Karena semua lagu dalam ronggeng gunung menggambarkan atau prilaku Dewi Siti Samboja dan pengikutnya dulu. Konon, lalaguan dalam ronggeng gunung sebetulnya lebih dari 30 lagu. Malah ada yang “ngageugeuh” 40 lagu.

Tampilnya kembali Bi Pejoh mengobati kerinduan bagi penggemarnya. Kendati dengan suara yang tidak begitu prima, karena sekian tahun istirahat, namun tetap disambut dengan antusias oleh penonton yang hadir. Wawan Aryaganis, seniman tari dari padepokan Rengganis Ciamis terlihat demikian terharu. Wawan termasuk seniman yang mengenal bagaimana kiprah Bi Pejoh saat masih eksis.

“Dulu Bi Pejoh adalah ronggeng gunung terbaik, saya senang bisa melihatnya tampil kembali” ungkapnya.

Jika peristiwa budaya itu sesuai dengan tajuk kegiatannya maka, analoginya seperti menetasnya kembali telur dinosaurus. Artinya, sebagai sebuah peristiwa, ini adalah momen yang langka dan jarang terjadi. Bi Pejoh malam itu seolah menjadi penunjuk takdir bagi generasi pewarisnya untuk melanjutkan kiprah para ronggeng pendahulunya. Dan jika generasi itu mampu lana midang, moyan manggung tentu akan membawa harapan besar bagi masyarakat untuk merasa plong. Bahwa setidaknya kini, bersama Bi Raspi, ada beberapa peronggeng muda yang akan turut menjaga kelestarian seni buhun Ciamis pakidulan itu.

Sisi Paradox

Kegiatan penting itu, sepertinya luput dari perhatian media massa karena minimnya informasi dan publikasi di awal kegiatan. Padahal jika hal itu dilakukan serius oleh panitia kegiatan yaitu Disbudpar Provinsi Jawa Barat dan Disbudpar Kabupaten Ciamis, mungkin hasilnya akan sangat baik. Jumlah penonton yang relatif sedikit menjadi penanda minimnya publikasi. Padahal saat itu, pangandaran sedang ramai dikunjungi wisatawan yang berlibur akhir pekan. Imank Pasha, salah seorang penggiat sinema yang sengaja datang dari Ciamis untuk mendokumentasikan kegiatan tersebut adalah salah seorang yang menyayangkan hal diatas.

Pagelaranpun tidak begitu nyaman, karena sempitnya panggung pertunjukan. Nyaris setengah dari luas panggung telah dipenuhi kelengkapan gamelan untuk kebutuhan pertunjukan Ronggeng Amen yang akan ditampilkan setelah pentas Ronggeng Gunung. Hasilnya, para penari ronggeng gunung pria yang mengenakan sarung, tidak bisa tampil sebagaimana mestinya. Mereka menari berputar-putar di luar poros sang Ronggeng Gunung. Padahal, dalam kebiasaanya, penari pria ini harus menari mengitari Sang Ronggeng Gunung.

Tampilnya Ronggeng Amen setelah Ronggeng Gunung mendapat apresiasi yang bagus. Penonton pakidulan memang fanatik terhadap Ronggeng Amen yag lebih populer, mereka akan langsung ngengklak dipakalangan manakala para penari Ronggeng Amen mengalungkan selendang ke penonton yang terpilih. Namun suksesnya Ronggeng Amen yang sesunggunya menjadi pendukung kegiatan, justru membiaskan acara utama yang tersirat dalam tajuk kegiatan seperti yang tertulis di atas.

Kemudian, essensi dari pewarisan yang didalamnya disebut-sebut juga sebagai tawajjuh itu sendiri sepertinya harus dipertimbangkan lebih dalam. Tawajjuh berarti konsentrasi dan perhatian penuh terhadap sang Pencipta, mengacu pula sebagai pemusatan spiritual antara mursyid dan murid pada tataran yang lebih tinggi. Makna yang terkandung dalam konteks peristiwa budaya diatas dapat diartikan bahwa generasi yang ditawajjuh atau yang telah mewarisi bagbagan ilmu ronggeng gunung sudah layak untuk ditampilkan di masyarakat. Seperti sarjana yang telah diwisuda, yang mengemban amanat untuk mendedikasikan ilmunya bagi kemajuan masyarakat.

Artinya mereka yang diwarisi, harus bisa nembang dan ngibing sebagai dasar utama seorang ronggeng gunung. Berdasarkan referensi dari buku “Deskripsi Seni Daerah” (disusun oleh H.Djadja Sukardja S), pada bagian deskripsi yang berjudul “Ngala jeung Nanggap Ronggeng Gunung” (Umar, Penilik Kebudayaan Kalipucang) wanita yang ingin menjadi Ronggeng Gunung harus melewati ujian yang berat.

Di antaranya disebutkan: calon ronggeng kudu kuat mental jeung fisik sajero diajar nu lilana bisa nepi ka tilu bulan, diwulang tembang jeung diajar ngibing. kudu kuat daya ingetna sabab guru tara ngajarkeun wawangsalan katut lagu oron ti dua-tilu peuting, cukup sapeuting kudu geus apal. Tahan kurang sare kurang dahar. Malah dina “hataman” mah ukur dibere sangu dua huap, sagede indung suku nu dijerona geus dicampuran ramuan, diantarana tujuh siki pedes. Sangkan sorana lepas, tina liang irung nepi ka tikoro diasupan bari digera ku akar antanan. Mun palakiah panjang nafas, calon ronggeng gunung kudu latihan teuleum di sungapan atawa walungan nu aya curugna. Malah aya katangtuan nu baku, yen salila jadi ronggeng teu meunang boga salaki atawa heureuy jeung lalaki.

Saat ini belajar untuk menjadi Ronggeng Gunung mungkin tidak harus seperti itu. Kemajuan tekhologi dan bergesernya sebagian fungsi seni Ronggeng Gunung memudahkan orang untuk mempelajarinya. Namun gambaran diatas mengisyaratkan bahwa, jaman dulu, ketika seni Ronggeng Gunung begitu berperan di masyarakat sebagai seni yang berfungsi juga sebagai sarana ritual, tampak begitu berat syarat-syarat untuk menjadi seorang Ronggeng Gunung.

Dan seniman Gugum Gumbira, Sang Komposer Sunda serta maestro yang menggubah Ketuk Tilu menjadi Jaipongan, yang juga turut menyaksikan kegiatan tersebut mengungkapkan apresianya, bahwa sajian tersebut harus mengenai jiwa dan ruhnya, dan ritualnya harus kental dengan keasliannya.***

*) Warga Panjalu, pecinta Ronggeng Gunung /12 Oct 2011

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi