Ketika Puisi Masih Dipercaya
Dorothea Rosa Herliany
http://www2.kompas.com/
PENGARANG Jerman, Wolfgang Borchert, pada Oktober 1947, pernah menulis manifesto antiperangnya yang terkenal, “Maka, hanya ada satu pilihan. Katakan Tidak!” (dann giht es nur eins! “sag nein!”). Kemudian hari-hari berlalu dan suatu hari aku datang di negeri itu. Aku habiskan waktu dengan menyusuri jalan-jalan di Berlin. Sampai Tembok Berlin itu juga: bilakah dulu jadi lambang kebebasan manusia? Betapa kini sudah tak tampak lagi jejak-jejak perjuangan manusia melawan tirani politik dan kekuasaan itu. Tapi, bisa jadi inilah wujud kebebasan itu, Berlin yang bebas, yang dipenuhi lalu-lalang para turis dan deretan toko-toko suvenir di sepanjang jalannya.
Aku menyusuri gang-gang dengan bangunan bertingkat di kiri-kanan. Ada bekas peluru di tembok. Masih terbaca semua kisah perang itu di sana. Ada kisah pembunuhan di tempat ini. Aku membayangkan orang-orang Yahudi yang teraniaya dan mati. Tapi aku kemudian ingat, ini adalah Berlin. Di sini, di tempat ini, sejarah mencatatkan kematian dari mereka yang begitu saja dipisahkan dari sanak-saudara oleh pembagian kekuasaan yang semena-mena. Mereka yang mati dalam usaha menghancurkan dinding pemisah, yang riil dan imajiner. Ah, Tembok Berlin… .
Di antara gang-gang yang seperti labirin di mitte (pusat) Berlin, tempat yang dulu untuk hunian murah orang Jerman itu, sekarang banyak didirikan galeri-galeri. Jerman setelah tak dipisah lagi menjadi timur dan barat, agaknya memang banyak berubah. Kota seperti lebih bersinar. Tapi tak begitu jelas, sinar itu redup atau cemerlang. Bangunan tembok-tembok Berlin yang umumnya berwarna sendu, kelabu, masih banyak yang tersisa. Orang-orang Jerman Timur sendiri entah ke mana. Satu dan yang lainnya sudah tak bisa dibedakan lagi. Sekarang semuanya tampak sama. Tapi, ada juga yang berkata bahwa mereka lebih banyak hidup di pinggiran kota.
Masih kukitari Berlin dan kulihat ada sebuah museum yang agak berbeda. Museum ini dikelilingi oleh sungai, seperti sebuah pulau tersendiri. Orang-orang kemudian menyebutnya island museum. Di tempat lainnya kulihat seorang tua menjajakan topi, seragam, tanda kepangkatan, dan lencana yang dulu biasa dipakai tentara Rusia. Juga jam tangan. Orang tua itu bahkan menjual keping-keping sisa tembok Berlin yang cukup diminati para wisatawan. Sebuah kenangan (betapa pun pahit), masih bisa kau jual jika itu untuk sebuah kesenangan.
Di sinilah, tak jauh dari the famous wall, di Berlin ini, di sebuah wilayah tengah kota, tepatnya di Postdamer Platz, di bawah pantulan redup rembulan, dibauri ribuan watt sinar lampu, sepuluh penyair dari berbagai negeri membacakan puisinya pada acara Weltklang Necht der Poesie (Malam Puisi Suara Dunia). Postdamer Platz, dulu semasa Jerman belum bersatu, lebih dikenal sebagai wilayah kosong, hampa, dan tak bertuan (nobody’s land). Kini Postdamer Platz mulai dikenal dengan festival puisi tahunannya. Ada banyak penyair terkenal dunia yang pernah membacakan puisinya dalam festival ini, seperti Derek Walcott, Adonis, Friederike Mayrocker, juga Rendra. Tahun ini pembacaan puisi dilangsungkan (puncaknya) pada 5 Juli 2003. Para penyair yang diundang berasal dari Chili (Gonzalo Rojas), Austria (Elfriede Gerstl), Lebanon (Abbas Beydoun), Perancis (Henri Chopin), Indonesia (penulis), Jerman (Wolfgang Hilbig dan Andreas Dresen), Albania (Ismail Kadare), Irlandia (Nuala Ni Dhomhnaill), Swedia (Lars Gustafsson), dan Australia (PiO). Gilanya, festival yang mendapat dukungan penuh dari produsen mobil mewah DaimlerChrysler ini (yang antara lain membuat mobil dengan merek serupa dan Mercedes- Benz) khusus mendatangkan penyair dari 10 negara tiap tahunnya hanya untuk diminta membacakan puisinya masing-masing selama… 15 menit!
Penataan panggungnya unik. Mimbar bagi penyair untuk membacakan puisinya sempit saja, hanya cukup untuk satu meja dan sedikit lagi ruang kosong lain jika si penyair ingin membacakan puisinya sambil berdiri. Selebihnya, lantai dan ketiga dinding yang dicat putih itu didesain dengan dibuat bersudut miring. Dari jauh panggung ini menyerupai pesawat televisi. Barangkali memang demikianlah maksudnya agar penonton yang duduk di bawah panggung dan disediakan kursi-kursi berderet memanjang ke belakang laksana sedang menonton sebuah pertunjukan di televisi besar.
Berbeda dengan festival puisi internasional lainnya, dalam festival yang tampak ingar-bingar ini (maklum, diselenggarakan di tengah kota dan di antara pusat pertokoan), panitia memandang puisi sebagai sesuatu yang bernilai yang berhubungan dengan dunia nyata dan punya makna yang tak terceraikan. Puisi tak hanya kata. Tak hanya struktur tertulis. Tapi, ia juga suara. Tak hanya isi, tapi ia juga rima, juga imaji. Semua itu adalah puisi. Demikian semboyan festival ini. Karena itu, para penyair yang diundang dalam festival ini memang diminta membacakan puisinya dalam bahasa mereka masing-masing.
“Inilah saatnya kita mendengarkan bahasa-bahasa lain, suara-suara mereka, dalam puisi, sebagaimana ini sebuah konser. Itulah sebabnya kami menyebut festival ini sebuah suara dunia (the sound of the world),” kata Direktur Festival Dr Thomas Wohlfahrt. “Kami percaya, puisi itu lebih dari kata-kata dan ada sisi lain di baliknya yang dapat dirasakan dan dimengerti,” katanya lagi.
Eropa sudah tak percaya bakal ada revolusi lagi. Namun, puisi dipercaya merupakan lingkungan untuk sebuah revolusi. Penyair adalah revolusioner dunia karena dialah yang menyetel radio dunia. Puisi menjadi roket di udara, dialah yang menggerakkan tubuh, dialah pemecah tembok, dialah napas, dan kadang dia adalah permadani yang mampu membawa kita terbang berkeliling melayang-layang di udara, demikian kata-kata bertebaran dalam pidato-pidato. Ini memang malam penuh keajaiban kata. Malam puisi.
Bagi para penonton yang hendak menyimak puisi-puisi yang dibaca, struktur teks itu sendiri, panitia menyediakan buku bagus berbahasa Jerman yang dijual dengan harga murah. Meski sebetulnya diakui oleh penyelenggara, menerjemahkan puisi itu hampir-hampir sesuatu yang mustahil. Tapi, itu harus dilakukan. Tinggal sekarang tergantung ke mana memutuskan arah puisi itu, apakah hendak menuju ke arah bunyi, suara, ataukah isi. Inilah juga sebagian topik yang menjadi pembicaraan para penyair maupun seniman lain yang terlibat dalam festival ini. Namun kemudian, penerjemahan puisi pun dilihat lebih pada kacamata positif, sebagai suatu bentuk kreasi puisi baru juga.
Puisi memang dijadikan sentral dalam ajang kali ini. Sebab, setidaknya ada lebih dari 100-an seniman dari 13 negara lain diundang untuk meramaikan perhelatan yang sudah berlangsung sejak 26 Juni 2003. Para seniman yang berlatar belakang seni musik dan tari ini diminta mempergelarkan karya-karya mereka yang mengambil inspirasi dari puisi. Puisi adalah inspirasi. “Hadirilah dan temukan, betapa menyenangkan puisi itu,” demikian sebagian promosi yang disebarkan panitia. Karena itu, kita misalnya bisa menyaksikan kejutan yang dipersembahkan Australia yang menampilkan sebuah nomor berjudul Homeland, gabungan antara tarian dan puisi di atas panggung yang dibuat 70 meter besarnya. Pertunjukan ini mengambil inspirasi dari puisi karya Stefan Kozuharov, campuran Bulgaria dan Australia, yang isinya menceritakan tentang emigrasi dan migrasi. Selain panggung, pencahayaan, artistik, penggunaan multimedia juga digarap dengan sungguh-sungguh. Ada lagi sebuah konser musik dalam ruang tertutup yang menampilkan nomor-nomor musik, mulai dari yang terdengar aneh di telinga hingga yang memang sungguh indah, yang diaransemen berdasarkan lirik dalam puisi. Kali ini puisi coba dihadirkan untuk “bekerja” dengan disiplin ilmu yang lain.
Jerman yang kita kenal sebagai negara teknologi rupanya sedang berupaya mencari jalan bagaimana menggabungkan puisi dengan hal-hal yang berbau teknologi. Dan jawaban untuk itu ditemukan pada pemanfaatan media. Mereka rupanya sudah merasa berhasil menemukan tugas ketidakmungkinan dalam membuat mata rantai antara puisi, sebagai bentuk sastra paling tua, dengan bentuk komunikasi paling modern: Internet. Lalu, misalnya saja, sebelum puncak acara berlangsung, para penyair diminta kesediaannya untuk direkam suaranya saat membacakan puisi dalam sebuah studio. Suara ini kemudian diolah dan bisa dinikmati dalam sebuah website agar puisi bisa didengar, baik dalam bahasanya masing-masing maupun dilihat terjemahannya dalam tulisan. Karenanya, sekarang hanya dengan memencet papan keyboard komputer saja, dimungkinkan masyarakat bisa mendengarkan suara para penyair dalam bahasa asli mereka, suara manusia dengan bunyi, melodi, ritme, juga emosi, kekuatan, kualitas suara dalam, sebagaimana ia adalah sebuah musik. Tahun depan diharapkan, mereka bakal mampu merampungkan proyek pembuatan perpustakaan berbentuk audio ini. Jadi, puisi yang tadinya hanya memiliki ruang pribadi, yang sendiri, yang khusyuk, hening, kini mulai diajak untuk tak menyendiri lagi, tapi tampil ke luar, dibaca, dan didengarkan.
Toh, ada juga suara sumbang untuk penyelenggaraan acara ini. Sebab, festival pembacaan puisi dalam ruang terbuka (open air) ini dipandang tak lebih sebagai seni pertunjukan belaka. Termasuk kolaborasi puisi dengan bidang seni lainnya itu. Mereka yang berpendapat begini melontarkan kritik, bagaimana bisa mendengarkan puisi dalam ruang publik yang begitu terbuka? Bagaimana mampu memahami hakikat puisi dengan cara itu? Puisi hanya lebih tepat dibaca dan didengarkan di dalam gedung dengan ruangan tertutup. Jadi, penyelenggaraan event seperti ini sekaligus dipandang sebagai hal yang ironis, yakni ketika puisi dipandang lebih hanya sebagai alat entertainment belaka.
Bagaimana pun, ada banyak sisi lain yang menarik dari festival ini. Sebagaimana sudah saya singgung di depan, sponsor utama festival ini adalah sebuah perusahaan mobil terkenal. Ini menarik, terutama saat seorang direktur eksekutif perusahaan ini, dalam pidatonya saat ramah-tamah dengan para penyair dan seniman lainnya, menyebutkan melalui festival ini, mereka berharap akan mampu lebih memahami negara-negara yang terlibat dalam acara ini, belajar dari puisi-puisi yang diciptakan para penyairnya, untuk selanjutnya… mampu menjual mobil mewah itu di negara yang bersangkutan lebih banyak lagi! Hebat, puisi sudah dianggap sebagai alat yang akan mampu membantu industri. Puisi dianggap punya peran di sana. Ia diharapkan secara tak langsung akan mampu mendongkrak produksi. Bagaimana kita mesti membaca hal ini? Ini sebuah “kemajuan” dari sepenggal puisi ataukah harapan (yang terlalu muluk) pada puisi?
Lepas dari itu, sang eksekutif ini juga menambahkan buru-buru bahwa meski mereka berdagang, mereka tak hanya bisnis semata. Sebab, mereka juga ingin melakukan sesuatu bagi masyarakat Jerman. Buktinya soal tempat penyelenggaraan festival ini. Dulu, tempat ini adalah wilayah antah-berantah yang kosong, nowhere, yang tak seorang pun datang dan menghuninya. Dengan dihadirkannya acara ini saban tahun, diharapkan masyarakat mulai berdatangan ke tempat ini. Wilayah ini juga diharapkan menjadi wilayah yang lebih “bergengsi”. Tak hanya area bisnis saja. Seperti diketahui, di Postdamer Platz ini memang bertebaran banyak bangunan, seperti misalnya ada kompleks sinema, restoran, hotel, cafe shop, shopping centre, dan semacamnya. Festival ini diharapkan juga mampu mengangkat tempat ini menjadi wilayah yang lebih “berbudaya”.
Betapa jauh bedanya kalau ini kita bandingkan dengan situasi di Indonesia, di mana puisi hanya dipandang dengan sebelah mata, apalagi oleh perusahaan besar. Adakah sebuah perusahaan yang kaya raya di Indonesia mau berpaling untuk “hanya” sebuah puisi? Atau untuk sebuah aktivitas budaya lainnya? Juga, adakah pemerintah kota yang mengaitkan puisi dengan gengsi sebuah tempat?
Apa pun, puisi tak pernah bisa mati. Cuma ia mungkin berbisik, dan jika memekik akan membentur banyak dinding dalam ruang gema. Ketika kita masih percaya pada puisi, suara tak akan kehilangan jejak, juga dalam nurani yang sering kali tinggal hampa. Benarkah?
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar