Jumat, 13 Januari 2012

Kisah Melarut di Secangkir Kopi

Akhiriyati Sundari
http://sastra-indonesia.com/

15:11 WIB. Kukayuh sepeda kumbangku melintasi Kotabaru. Jalan I Dewa Nyoman Oka. Lalu lurus menyisir ke arah Jalan Cik Di Tiro. Bablas. Sebuah kampus besar arah utara bundaran, kini pintu masuknya telah latah dipasangi portal. Terlihat begitu jelek di mataku. Begitu angkuh (seperti Kampus Oranye, calon almamaterku). Kutembus begitu saja. Rasanya seperti memasuki areal parkir utama waralaba terbesar negeri ini.

Kuhentakkan kaki memacu pedal lebih cepat. Di atas sisi utara kulihat sepasukan mendung memekat menghadangku. Hmm, sudah biasa, gumamku. Tapi diam-diam aku memohon kepada Tuhan, agar menunda muntahkan isi perut maha besar itu sampai aku tiba di tempat yang kumaksud. Masih sekira tiga kilometer lagi. Beberapa gedung fakultas kampus ternama kota ini yang terdapat rimbun pepohon besar masih harus kulewati. Sial, rinai tipis mulai menyerangku. Dan pepohon besar-besar itu seperti raksasa yang akan menelan tubuh mungilku. Hampir saja aku salah, hendak berbelok ke arah Balairung.

Di sekitar Selokan Mataram kuhentikan laju. Beberapa bagian tubuhku telah basah oleh hujan tepat ketika hendak kumasuki kedai itu. Selalu. Aku memilih tempat paling sudut. Kukibas-kibaskan kerudungku, sedikit mengusir basah. Seseorang mendekat lalu menanyakan apa hendak aku pesan. Kopi susu satu. Kujawab mantab. Dia tanya, “lalu apa lagi?” Pertanyaan yang paling tidak kusuka. Bukankah tadi aku sudah bilang kopi susu satu? “Nanti saja, Mas. Saya masih menunggu seseorang. Makasih”, ia pun berlalu dari hadapanku.

Kedai kopi ini baru saja buka. Aku menjadi manusia keempat yang memasukinya. Di dekat pintu masuk, seorang pemuda tampak suntuk dan sesekali tersenyum sendiri menghadap layar monitor buka tutup yang mungil. Sebatang rokok menyala bara terselip di celah jemari kirinya. Secangkir kopi menyanding satu set dengan penganan; kue brownies dan beberapa batang kentang goreng berikut sambal merah lembut, dengan tatakan kecil menyudut di sisi kanan meja. Ketika tadi aku melewati tempat ia duduk, kulihat ia tengah membuka situs jaringan pertemanan massif itu.

Di bagian agak ke tengah ruang kedai ini, sepasang anak muda sedang menitipkan kasmaran mereka di bawah temaram lampu. Si lelaki tampak mengeluarkan kalimat berlembar-lembar dengan sorot mata bahagia. Si gadis terlihat mengerjap-ngerjapkan matanya. Bisa kupastikan mereka sedang jatuh cinta. Terlebih si gadis, matanya begitu berbinar sembari terus memandangi raut wajah di depannya. Bukankah perempuan yang sedang jatuh cinta akan memandang pujaannya dengan sorot mata seperti itu? Berhati-hatilah, wahai Gadis? Dunia ini sangat licin, gumamku sambil menjulurkan lidah satu senti. Hei, ada apa denganku? Kalimat apa yang meluncur barusan? Waduh, aku mulai kacau.

Tak lama berselang, minuman pesananku datang. Kuucap terima kasih. Pembawa minumanku ini kemudian merunduk, memungut sesuatu di bawah kolong meja, “Maaf, ini kunci milik Mbak, bukan?” tanyanya menyorongkan sesuatu. “Oh, ya. Kunci kamar kostku”, kuraih dari tangannya, kusadari keteledoranku dengan cepat. “Terima kasih, Mas”. Ia tersenyum dan berlalu dari hadapanku. Aih, Mas OB yang baik hati….

Kumasukkan kunci itu ke anak tas. Kurogoh telepon genggam kemudian. Sebuah pesan masuk, terkirim 10 menit lalu, “Kira-2 stengah jam lg aku smp.” Kubalas cepat, “Santai ajah, Mas. Hati-2. Jogja gelap. Lg hujan.”

Kukeluarkan sebuah buku yang kubawa. Timbul keinginan untuk membaca. Di halaman pertama kubuka, tertulis nama toko buku dan tanggal kubeli. 3 bulan lalu! Aku menghela napas. Tiba-tiba aku menyesal sekali, kenapa ini bisa sampai terjadi; beli buku tapi tak kunjung kubaca. Menyedihkan! Memang buku ini tak ada hubungannya dengan referensi skripsiku, tapi aku sangat menyukainya. Hasrat membaca yang membara membuatku memaksakan diri membelinya. Dan, skripsi yang acakadut dibombardir oleh pengujiku itulah biangnya. Aku musti berdarah-darah mereparasinya hingga membuatku lupa jika punya buku baru. Ah, skripsi yang memprihatinkan, hanya demi sebuah upacara wisuda yang gamang.

Kuseruput minumanku kemudian. Kubuka-buka buku itu kembali. Pelan-pelan. Pada menit kelima belas, bayanganmu hadir. Sangat pelan. Merasuk ke jajaran hurup yang tengah kusapu. Tersenyum seakan menyapa “Apa kabarmu, Kusuma?”. Lalu wajahmu berpindah ke atas genangan kopi susu yang mengepul di depanku. “Berarti kita sebatas sahabat lagi, seperti dulu?” Mendadak kalimat terakhirmu tempo hari itu nongol di kepalaku. “Ya. Sepakat.” Dua kalimat dekat; satu pertanyaanmu dan satu jawabanku. Memantik nyeri. Seketika batinku meruyak. Kaca mataku ikut pucat. Aku merasa diriku seperti halaman buku yang hilang. Hingga halaman sebelum dan sesudahnya berjarak teramat panjang, memenggal sambungan kemungkinan banyak pengetahuan.

Kututup buku itu kemudian dengan resah. Kuitarkan pandang ke sekeliling. Beberapa pengunjung berdatangan. Hujan lebat di luar menyulap nuansa menjadi sangat nyaman dan romantis di dalam sini (kecuali diriku). Berteman kopi dan musik. Yang khas dari kedai ini adalah musiknya. Hampir selalu koleksi Iwan Fals yang diputar. Wajar saja, karena kedai ini milik paguyuban “Orang Indonesia”, ormas para penggemar Bang Iwan. Entah kebetulan entah tidak, lagu yang tengah mengalun saat ini adalah “Nyanyian Jiwa”. Aku sering ditikam cinta, pernah dilemparkan badai, tapi aku tetap berdiri… Membuatku jadi kian masygul.

Pandanganku jatuh lagi ke pasangan muda yang datang belakangan. Mengambil duduk di sudut ruang seberang. Keduanya sama-sama diam. Si perempuan tampak menjatuhkan kepalanya di pundak si lelaki. Air muka mereka begitu keruh. Pikiran usilku muncul lagi ke si perempuan. Hei, mengapa rapuh? Hati-hati, bisa jadi kau tengah dibohongi! Tiba-tiba kepalaku terasa ada yang memegang dan memutarnya.

“Ndak baik ngliatin orang seperti itu,” kakak laki-lakiku bicara lirih. Tak kusadari kedatangannya. Aku pura-pura malu sebentar. Beberapa saat kemudian terhidang pesanan di meja kami.

“Kau tengah patah hati, Nduk? Nikmati saja. Gitu aja pakai histeris. Minta dikunjungi,” kakakku bicara sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Tanpa berdosa. Mendadak aku menjadi tidak berselera. Aku memasang muka cemberut.

“Aku punya secangkir kopi panas. Aku beri kesempatan kamu buat menyelesaikan ceritamu hingga kopi ini tandas. Setelah itu, kau harus benar-benar selesai. Larutkan ceritamu di kopiku ini. Aku tak mau melihat adikku yang jelek ini bertambah masai hanya karena soal laki-laki,” lanjutnya. Aku mengunyah makananku seperti sepasang mata hewan kurban. Hampa. Tanpa perasaan. Telapak tangan kakakku lagi-lagi menempel di kepalaku, menggoyang-goyangkannya.

“Telo!” umpatku. Kutarik turun tangannya.

“Lho, yang patah hati kamu kok aku yang telo?” protesnya sambil mencet hidungku. Beginilah rasa sayang kakak kepadaku jika sedang bersama. Aku hapal betul. Kadang ia juga suka menarik-narik kerudungku.

“Semua telah selesai dengan manis dan cepat, Mas. Konsolidasi tahap awal kami sebenarnya telah meloncat drastis ke diskusi serius tentang mahligai dalam tanda kutip. Tapi rupanya platform kami berbeda. Tajam. Sangat tajam malah. Dia tidak sederhana. Aku tertatih-tatih memahaminya. Kami deadlock. Kuputuskan untuk walkout.” Kalimatku meluncur bebas. Ringan. Seakan tengah menggelindingkan bongkahan luka yang memberat ke luar tubuh.

“Kamu stress tenan to, Nduk? Istilahmu kui lho. Mbayani ora eram. Semoga kamu tidak salah mengambil kebijakan. Ha ha ha…” kakakku terbahak. Sialan! Skripsiku ‘kan bicara tentang parlemen. Boleh dong aku hanyut dengan istilah-istilah di skripsi itu. Gantian topi kakakku kutarik paksa ke bawah. Dia meringis minta ampun. Aku kesal. Perasaanku berjumpalitan. Keinginan didengar dengan penuh kesungguhan dijawab dengan guyonan. Hhhh….

Menit demi menit berjalan, kukisahkan seluruhnya dalam bahasa yang sangat verbal. Kakakku tercekat. Menyimpan kerutan di keningnya. Ekspresi wajahnya seolah tak percaya dengan paragraf-paragrafku. Sebatang rokok yang ia sulut kemudian, diketuk-ketukkan di atas asbak meski belum mengabu. Ia serius menyimakku.

“Itu sudah lebih dari cukup, Nduk” ucap kakakku. Lalu sederet kalimat bijak seperti biasa ia perdengarkan kepadaku. Tentang filosofi cinta, hidup, dan bertahan. Sekira enam es ka es, cukup panjang. Aku mengamininya, karena berhasil membuatku jadi lebih tenang. Diam-diam aku bangga dengan kakakku satu ini. Jika tengah berbincang dengannya, aku kerap merasa bahwa inilah yang dimaksud dengan “wong kang sholeh kumpulono”.

“Perasaanmu sendiri sekarang bagaimana?” tanyanya. Pertanyaan yang menusuk sebenarnya.

“Hmm, biasa.” jawabku singkat. Kutelan paksa rasa pahitku.

“Ruang harapan itu kini kembali lengang, Mas. Tapi tidak mengapa. Sesuatu yang pernah singgah sebentar itu toh tidak perlu disesalkan. Ia akan mengikuti rotasi bumi ini. Jika kita tabah mengendarai waktu, maka satu saat ini semua menjadi tidak begitu penting, bukan?” lanjutku kemudian.

“Busyet! Kamu ngomong apa to, Nduk. Itu namanya mementahkan. Artinya kamu membuat oposisi binermu sendiri. Sudahlah. Sebaiknya kamu masuk saja ke sanubarimu dan mempercayainya. Wajilat qulubuhum-wajilat qulubuhum yang lain besok-besok pasti akan ada lagi. Selesai,” kakak menyeruput kopinya hingga nyaris tandas. Aku tahu, kakakku ini sekarang menjadi orang yang tergesa berebut dengan waktu. Kedatangannya dari Semarang kali ini hanyalah untuk melintas, lalu lanjut lagi menuju kota-kota lain di daerah timur.

“Oke. Kopiku sudah habis. Ceritamu juga sudah kuanggap habis. Aku mau cabut. Sudah dikejar Belanda” kakak berkata sambil berkemas. Ia memanggil OB dan membayar. Sejurus kemudian kami beranjak.

“Bulan depan aku wisuda lho, Mas. Kira-kira Bapak-Ibu bisa datang nggak?” tanyaku sembari kami berjalan keluar kedai.

“Nggak usah. Keadaan sedang begini susah. Kasihan orang tua kita. Cukup aku saja. Hilangkan pikiran seremoni itu. Coba kalau kamu putusnya besok saja habis wisuda. Pasti kamu punya PW (Pendamping Wisuda). So, sukurin!” kakak kembali terbahak-bahak. Kutinju lengannya berulang kali. Tak peduli jika hampir semua mata melihat ke arah kami.

Di depan kedai kami berpisah. Kakak melaju pelan dengan gerobak putihnya. Menuju Surabaya, katanya. Aku melangkah lesu menuju sepeda kumbangku. Bunyi pesan dari telepon genggam menghentikan kakiku tiba-tiba. Kubuka sebuah layar. Terpampang nama yang tak asing. Tertulis selarik pesan pendek, “Kusuma, aku kangen.”

“WEDUS !” umpatku.

18:01 WIB. Kukayuh sepeda pelan. Hujan sudah berhenti. Jogja memalam dengan tergesa. Kubelah jalan raya. Kubelah malam. Malam membelah hatiku…

Ngestiharjo – Wates, ujung November ‘09
(Ditemani petik gitar Metallica, “Nothing Else Matters”)

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi