Jumat, 13 Januari 2012

Ironi Barat dan Islam

Hasnan Bachtiar *
__Shohifah SM Edisi 1 – 2012

ISLAM itu adalah dua hal. Pertama, adalah agama, sedang maknanya yang lain adalah ilmu. Dua kesimpulan ini terangkum jelas dalam ayat-ayat al-Qur’an, maupun Sunnah Rasulullah sebagai cahaya-cahaya yang menerangi.

Namun sayang, sebagian golongan tidak pernah mengakui bahwa Islam itu adalah ilmu yang mulia. Bahkan, pengetahuan mereka hanya sebatas bahwa Islam hanyalah citra kebengisan, kepentingan politik dan iman masyarakat tribal, seolah belum pernah meraih peradaban. Itulah ironi, dari arogansi pengetahuan sebagian ummat. Suatu bentuk pengingkaran yang nyata.

Menggambarkan hal ini, Roger Garaudy di dalam bukunya yang terkenal, Promeses de l’Islam (1981), mencontohkan bahwa ada sebagian masyarakat yang tidak pernah mengakui kebesaran Islam. Misalnya saja, masyarakat Barat sejak abad ke 13, tidak pernah mengakui bahwa peradabannya yang sedang berkembang “sedikit” itu, sejatinya telah mewarisi dan berhutang budi pada peradaban Islam yang luhur.

Dalam buku dengan isi yang sama, namun berjudul L’Islam habite nore avenir, seorang filsuf Perancis ini mengungkapkan kekecewaannya pada peradaban Barat bahwa, “Telah sampai waktunya untuk insyaf, karena perkembangan Barat mendorong kita untuk hidup tanpa tujuan dan kematian. Mereka membenarkan dirinya dalam suatu kebudayaan dan ideologi yang keji” (1981: 17).

Para intelektual dunia telah mafhum bahwa, kegagalan Barat tersebut, antara lain karena anggapan dan sikap mereka yang terlampau meninggikan tiga hal. Pertama, meninggikan arogansi kepemilikan alam. Menurut mereka, alam adalah miliknya sendiri, bukan miliki dunia. Kedua, mereka mengimani konsepsi yang tak mengenal belas kasihan tentang hubungan manusia. Individualisme adalah ciri khas keseharian yang nampak positif, padahal juga bersifat mengekang diri sendiri maupun orang lain. Ketiga, mereka punya nilai yang menyebabkan rasa putus asa terhadap masa depan. Dengan kata lain, menanggalkan kebenaran tentang ketuhanan.

Kiranya perlu contoh-contoh agar lebih terang persoalan-persoalan ini. Pertama, soal arogansi kepemilikan alam. Seolah-olah bagi mereka, manusia di seberang teritori, kebudayaan dan peradaban lainnya tidak berhak atas dunia. Dunia hanya patut mereka warisi. Perdamaian, HAM, kemajuan sains dan teknologi, seluruh bidang pengetahuan, citra dunia, hingga sumber daya alam seperti minyak, uranium (nuklir) dan kekayaan tambang lainnya, merekalah yang berhak mengelola, serta tentu saja “memilikinya”. Tidak heran jika dewasa ini, Israel, Perancis, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat hendak menggencarkan serangan militer ke Iran yang disinyalir telah mengembangkan nuklir.

Kedua, alih-alih mengapresiasi privasi dan hak pribadi, manusia Barat menciptakan masyarakat persaingan pasar, konfrontasi, dan kekerasan, di mana kehidupan ekonomi dan politik memihak yang kuat, sekaligus memperbudak atau memangsa mereka yang lemah. Tidak pernah ada di dalam sejarah bahwa negara dunia ketiga akan bangkit dan bersaing dengan negara adikuasa. Indonesia jelas tidak sebanding dengan negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Kekuasaan ekonomi dan politik (Barat), tidak pernah rela agar negara berkembang turut andil dalam pesta peradaban.

Ketiga, masyarakat Barat memelihara ateisme. Namun di sini, bentuk ateisme tersebut adalah spesifik. Memang ada banyak jenis ateisme. Misalnya saja, ada ateisme yang menyanyikan kematian Tuhan (Requiem aeternam deo) seperti Nietzsche, ada yang sangat relijius namun menolak agama (kekafiran relijius) seperti kisah Doktor Faust, ada pula ateisme yang mengakui agama dan tuhan namun memanfaatkannya untuk menjerat, merampok dan menguasai manusia lainnya yang mereka anggap sebagai liyan. Ateisme yang terakhir inilah yang lebih dekat dengan rasa putus asa akan masa depan. Sejatinya mereka beragama, namun tidak sungguh-sungguh menjalankannya, karena yang berlaku adalah birahi imperialismenya. Dalam khazanah latin, tradisi itu disindir dengan menyandang sebutan conquistadores atau kaum penakluk. Itu bukan sebuah prestasi.

Itulah persoalan-persoalan, di mana Islam sebagai al-din yang agung, pada akhirnya diremehkan atau bahkan hanya menjadi hal yang sepele saja. Namun ternyata yang mengagetkan, hal ini juga terjadi dalam kultur Timur, bahkan menjadi tutur dan laku masyarakat Islam itu sendiri. Kendati, dengan cara-cara yang berbeda, namun sama-sama merugikannya, bahkan jauh lebih buruk dari sikap masyarakat Barat. Orang Islam, merendahkan ketinggian Islamnya.

***

Pernah ada suatu ungkapan dari intelektual Mesir yang menghabiskan studinya di Perancis bahwa, Barat itu sedemikian maju karena meninggalkan agamanya. Berbeda dengan dunia Islam yang menjadi sangat merosot, karena para penganutnya telah meninggalkan Islam itu sendiri. Barat meraih peradaban, karena terbebas dari belenggu agama yang lebih banyak menekan dan menghilangkan dimensi kebebasan dan kemanusiaan. Namun sebagian masyarakat Islam, justru meninggalkan agamanya dengan membuat belenggu-belenggu baru, sehingga menghapus segala kebebasan. Demikianlah, manusia yang tidak merdeka adalah terpenjara oleh nafsu duniawi.

Meninggalkan Islam yang membebaskan, barangkali bisa dilakukan dengan memberinya makna yang kolot, bebal dan terlampau menjerat kebebasan atau kemerdekaan terhadap agama itu sendiri. Hal itu mungkin bisa “dimaklumi” karena terbentuk dalam kultur dan kondisi sosial yang beragam dan rumit. Menurut catatan Fazlurrahman, ada sebagian masyarakat Islam yang memilih untuk menjadi konservatif, pembela skripturalisme Islam dan sangat ketat terhadap hukum agama, hanya karena gagal membuat strategi kreatif dalam menghadapi modernitas, kolonialisme dan persaingan internasional.

Di Indonesia hal itu bisa disaksikan dengan mata telanjang. Yang miris, bahwa hal itu menjadi semacam penyakit (ironi) yang menjangkiti para intelektual Muslim. Ada banyak orang terpelajar, cendekia atau sarjana yang gagap dan gagal untuk menjawab tantangan zaman. Al-Quran dan hadits nabi dianggap sebagai hukum-hukum agama yang ketat, rigid dan tidak pernah kompromis dengan pelbagai bentuk hikmah dan kemanusiaan.

Setelah runtuhnya menara kembar WTC pada 11 September 2001, masyarakat Barat, antara lain Eropa dan Amerika menciptakan citra terorisme bagi keseluruhan masyarakat Islam. Ini semakin memperburuk keadaan, karena menambah langgeng tafsiran-tafsiran Islam yang membelenggu. Justru dari sini, yang menjadi pertanyaan mendesak bahwa, apakah dengan memperketat dan mendangkalkan makna Islam, maka akan menyelesaikan problem krusial di dunia internasional, khususnya menyangkut modernitas?

Kondisi-kondisi negatif yang menimpa sebagian umat Islam itu, paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pengetahuan yang sempit akan Islam, lahir karena kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan itu bisa berupa hasrat atau kehendak. Dalam beberapa kesempatan, salah seorang Grand Syeikh dari Universitas al-Azhar, Kairo, Profesor Abu Zahro’ menegaskan bahwa itulah arogansi atas pengetahuan Islam mereka. Karena otoritas kultur Islam yang tidak seberapa, mereka mengklaim paling tahu tentang Islam.

Kedua, kurangnya pengetahuan akan Islam yang tinggi (ya’lu wala yu’la ‘alaih), karena rasa minder yang akut. Sebagian masyarakat Islam, terjangkit inferiority complex (merasa rendah diri) tatkala bergumul dengan realitas dunia yang sangat rumit, bahkan kerumitannya melampaui solusi tekstual sederhana dari kitab suci. Mereka rendah diri dengan kemajuan masyarakat lainnya dalam pelbagai bidang. Alih-alih teori-teori, khazanah intelektual dan peradaban Barat, – yang sedang populer dan menanjak – adalah tidak sebanding dengan tingginya agama, namun sebenarnya, secara tidak sadar, justru mereka memalingkan makna agung dari agama tersebut, yang sejak dari wataknya adalah menerima kebenaran dan kebaikan dari manapun. Bukankah dalam Islam kita mengenal tradisi tentang, hendaknya membuka mata terhadap ayat-ayat kauniyah? Hendaknya kita berlapang dada dengan ilmu-ilmu Allah yang ada di mana-mana? Pernahkah kita merenungkan kredo, al-maslahah, syariatun (setiap kebaikan, itulah agama yang sejati)?

Ketiga, pengetahuan mereka berasal dari rasa kecewa yang mendalam akan peradaban lain, di luar apa yang mereka miliki. Eropa dan Amerika barangkali, merekalah yang paling gencar berkampanye soal demokrasi, HAM dan kemanusiaan, namun faktanya, mereka pula pelanggar nomor wahid di dunia. Tapi apa jadinya jika pengetahuan alias tafsiran akan Islam adalah buah dari kekecewaan? Bukankah Nabi SAW. mengajarkan bahwa makanlah makanan yang baik, berasal dari hal yang baik? Dalam falsafah yang lebih mendalam bahwa, bukankah kebaikan itu mestinya berasal dari kebaikan pula dan bukan kekecewaan? Artinya bahwa, kebaikan Barat, hendaknya juga diapresiasi, tanpa harus latah ke-barat-barat-an (Eurosentrisme).

Inilah gambaran nyata, fenomena yang unik, suatu ironi yang menimpa masyarakat Muslim sendiri, yang kiranya kesulitan untuk menjawab tantangan zaman. Karena seluruhnya adalah pemalingan makna yang “tinggi” dari Islam, baik itu karena arogansi maupun kebebalan, maka untuk menyelesaikannya adalah mengembalikan Islam pada maknanya yang sejati. Islam itu adalah agama dan pengetahuan yang agung.

***

Ada beberapa jalan untuk merubah ironi akan arogansi pengetahuan Barat dan Islam, yaitu mengapresiasi prinsip progresivitas, bersikap terbuka dan optimis, serta tidak terlampau emosional tatkala mencandra teks-teks keagamaaan.

Pertama, menurut Doktor Muhammad Iqbal, dalam the Reconstruction of Religious Thought of Islam (1951), Islam itu secara alamiah memiliki prinsip gerak yang mengarah pada kemajuan. Prinsip ini sangatlah universal dan berlaku menjangkau semua golongan. Seperti tuturan ummu al-kitab, “Alhamdulillahi rabbi al-alamin,” yang berarti segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, seluruh umat manusia pula. Prinsip ini dalam khazanah syariah, lazim disebut sebagai ijtihad. Ijtihad itu adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan manusia dengan sungguh, untuk mewujudkan bahwa al-Islamu, ya’lu wala yu’la ‘alaih, Islam itu tinggi dan paling puncak. Jika umat Islam berpegang pada prinsip progresivitas ini, maka dia akan melepas segala pikiran negatif, kebelakang maupun terbelakang dan obskurantis atau kehilangan nyali untuk menatap kemajuan.

Kedua, adalah open minded dan optimis. Seorang sufi besar Imam Ghazali pernah menuturkan bahwa, segala ilmu yang benar (al-‘ilmu al-syar’iyyah), datangnya tiada lain dari Allah SWT. semata. Kita sangat sulit mengabaikan hal ini, bahkan seorang intelektual Barat Non-Muslim, Karen Amstrong mengakuinya dengan segenap kerendahan hati. Segala teori, pengetahuan, kultur, kebiasaan, tradisi dan peradaban, dari manapun datangnya, selama tidak bertentangan dengan akidah karena sifatnya yang positif, maka Islam menerimanya. Kemajuan sains dan teknologi misalnya, harus dihargai dengan baik karena mengandung manfaat yang besar. Nabi mengajarkan bahwa, “Ilmu yang paling baik, adalah ilmu yang bermanfaat.”

Ketiga, dalam menafsirkan teks keagamaan, Islam mensyaratkan adanya pikiran yang sehat, hati yang bersih dan niat yang suci. Tradisi ini, seperti digambarkan oleh Muhammad Abed al-Jabiri, adalah tradisi irfani atau nilai dan prinsip kebaikan batin tatkala berijtihad. Rasulullah SAW. memberi teladan akan adanya pikiran yang waras, tidak emosional, dengan pembawaan yang tenang , bijaksana, solutif, namun strategis. Umat Islam akrab dengan kisah adanya salah seorang sahabat yang kencing di dalam masjid, kemudian hendak dipenggal kepalanya oleh Umar ibn Khattab ra. yang saat itu sangat emosional dan tidak terkendali. Namun Rasul mencegahnya dengan senyum dan langkah yang penuh hikmah, menjelaskan bahwa di dalam Islam itu, kebersihan adalah sebagian dari iman. Itu adalah sikap terhadap hal sederhana, apalagi tatkala menafsirkan al-Quran yang mulia. Apakah diperkenankan seorang mufassir secara arogan memberi makna atas ayat-ayat Allah? Tentu saja tidak.

Para pembaca yang budiman, khususnya kaum Muslimin yang dirahmati Allah, marilah senantiasa menjunjung Islam yang tinggi di hadapan dunia, mengapresiasinya, mempelajari, memperdalam dan menyalakan api-api kegemilangan dalam hidup sehari-hari. Wa Allahu a’lam bi al-shawwab.

*) Penulis pernah nyantri di bawah bimbingan KH. Abdullah Hasyim, Malang.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi