Sabtu, 10 Desember 2011

Perburuan dan Kelincahan Metodis

Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/

Selalu tidak ada titik temu dalam polemik sastra. Di satu sisi, ada sebagian masyarakat sastra yang menghendaki bahwa karya sastra adalah media komunikasi, sekaligus estetika. Di seberang sisi yang lain sangat berbeda. Karya sastra hendaknya dibebaskan dari beban-beban komunikatif tersebut. Karena itu, sastra adalah estetika. Sastra tiada lain hanyalah seni.

Golongan yang pertama, mewakili golongan modern yang mempertahankan nilai fungsional sastra. Sedangkan golongan yang kedua, adalah para sastrawan pascamodern yang menghendaki kebebasan penafsiran atas teks sastra, secara terus-menerus tanpa henti, sesuai dengan selera pembacanya.

Sekilas, golongan pertama adalah moralis. Sastra memang digunakan sebagai strategi moral dan kepentingan sosial. Hal ini dapat ditemui di mana saja, misalnya tatkala teks sastra, menuliskan penderitaan orang-orang kecil dan tertindas, pemihakan sosial, kritik sosial, ungkapan religius kebudayaan tertentu dan lain sebagainya.

Pada golongan pascamodern, awalnya ingin memberikan kritik yang konstruktif bagi pemikiran modern. Jika sastra itu fungsional dan komunikatif, memang menjadi hal yang menggembirakan saat sastra digunakan sebagai alat untuk ibadah atau berbuat baik. Dari sini, tentu saja ada celah-celah yang mudah dibelokkan. Sastra bisa jadi, dimanfaatkan untuk hal-hal yang kurang baik, tercela dan merugikan orang lain.

Sastra yang bermanfaat ini, baik itu manfaat yang benar maupun sebaliknya, selalu bermakna atas apa yang dikehendaki penciptanya. Di samping itu, bermakna pula atas keinginan pembacanya. Bagi pembaca, jelas, adalah mereka yang punya kepentingan yang sama dengan penciptanya. Secara lebih sederhana, sastra modern, adalah untuk kepentingan moral tertentu. Makna, selalu mengikuti tuan pengendali kepentingan.

Dengan bahasa yang lugas, sastra modern disebut pula sastra moral atau sastra kepentingan. Lazim diketahui bahwa, setiap moral atau kepentingan adalah kekuasaan yang dijalankan untuk tujuan tertentu. Di sinilah pemikir pascamodern memberikan kritik atas kekuasaan, agar setiap kuasa tertentu, tidak terlampau berlebihan dalam melampiaskan hasratnya.

Dalam memberikan kritik, sastrawan pascamodern tentu saja tidak menggunakan metode yang sama seperti yang dijalankan sastrawan modern. Dialektika modern atau saling beradu argumen dan bertukar pikiran atas makna-makna, sangat beresiko pada debat kusir yang tidak berujung. Tetapi yang paling penting, mengikuti arus jalannya sastra modern, maka akan selalu tidak mandiri dan tidak pula dapat lepas dari tuntunan moral yang agung.

Jalan alternatif yang ditempuh adalah keluar dari dialektika modern dan beralih pada metode yang sama sekali berbeda. Barangkali, secara lebih terus terang, bahwa jalan yang ditempuh adalah bukan jalan dalam kungkungan moral. Dengan kata lain, bukanlah jalan yang didikte oleh kekuasaan.

Metode pascamodern menghendaki bahwa sastra hendaknya terlepas dari beban-beban komunikatif dan fungsional. Kebebasan itu berarti adalah kemandirian teks sastra. Konsekuensinya, bisa saja bahwa teks itu bukanlah bahasa formal maupun informal dalam komunikasi massa, tetapi hanyalah tenunan huruf. Beruntung pula tenunan itu dapat dibunyikan secara oral, jika terajut huruf-huruf vokal. Di sini, justru makna sangatlah penting. Makna akan berdiri bebas, mengikuti kehendak-kehendak pembaca, tanpa melulu didikte oleh kuasa apapun.

Secara umum, pemikiran pascamodern, menolak setiap kekuasaan mutlak. Tentu bukanlah hal yang sungguh-sungguh mutlak di dalam dirinya sendiri. Misalnya saja Tuhan. Tuhan berbeda dengan sesuatu tentang Tuhan: ketuhanan. Maka, kebenaran mutlak, yang hendak ditantang dan diserang pemikiran pascamodern, bukanlah yang benar-benar mutlak. Namun, nampak mutlak. Manusialah yang bisa menentukan adanya yang “nampak” mutlak, kendati dengan istilah benar-benar mutlak.

Demikianlah, yang ditentang oleh pemikiran pascamodern adalah kebenaran yang “seolah” tunggal, yang seringkali ditampilkan oleh pemikiran modern. Sesungguhnya sekali lagi, bukan ketunggalan itu yang coba dipersoalkan. Namun, arogansi manusia-manusia yang merasa dirinya sendirilah yang paling benar. Kebenaran dalam hal ini, bisa berarti makna, pikiran, rasionalitas, moral, pengetahuan dan segala dimensi etis.

Kebebasan dan ketiadaan moral yang dimiliki manusia pascamodern, bukanlah berarti bahwa manusia kehilangan pijakan. Tidak demikian. Pijakan tetaplah ada, kebaikan tetaplah diapresiasi dan kebenaran tetaplah diinginkan. Kendati demikian, semua itu tidak tunggal ataupun selesai, final. Tetapi, terus-menerus memperbaharui segala maknanya, tanpa batas dan akhir, sepanjang manusia itu hidup.

Terlalu beresiko, menyebutnya “ketidakmungkinan” maupun kebalikannya, “keabadian”. Ketidakmungkinan dan keabadian adalah masa yang belum tertempuh. Manusia yang hidup sekarang, kekinian dan kedisinian, hanyalah mengangankan, mengimajinasikan, berkarya akan masa depan tersebut. Dari sini, teranglah bahwa, ketidakmungkinan, kekosongan dan makna yang tidak pernah selesai, sesungguhnya adalah apa yang belum dijumpai.

Menyoal hal ini melalui cara pandang filsafat, akan ditemui istilah relativisme, bahkan nihilisme. Relativisme atau makna bagi setiap pembaca adalah relatif, bisa dimengerti dengan mudah. Namun, kerelativan itu sendiri, tidak seliar yang dibayangkan. Betapapun manusia itu memaklumi relativitas pemaknaan, tatkala memberi makna atas teks sastra, maka berhentilah pembaca atau penikmat sastra dalam “satu” persinggahan kekinian. Begitu juga dengan nihilisme, ketidakadaan kebenaran, hanyalah ilusi. Sejajar dengan persoalan kebenaran tunggal itu sendiri. Klaim nihilisme dan kebenaran tunggal, adalah dua hal yang berada di luar pemikiran kekinian. Termasuk pula, jika saat ini seorang pembaca sastra mengimani nihilisme, maka sesungguhnya itulah suatu terjemah akan karya sastra, suatu iman nihilisme sebagai kebenaran tunggal saat itu juga, kekinian.

Namun, kalaupun relativisme dan nihilisme itu ada, atau sederajat dengan kebenaran tunggal yang sejati itu ada, tidaklah bisa manusia berkomentar atau memberi catatan kritis atasnya, terlebih mengkomunikasikannya.

Mengatakan kebenaran itu tidak ada (nihilisme), berarti telah mengatakan satu kebenaran. Begitu pula, mengatakan bahwa sesuatu itu benar sejati, maka hilanglah kesejatiannya karena sifat manusia yang alpa. Tidak jauh berbeda, bahkan lebih ironis jika mengkomunikasikan keduanya, berarti telah memanfaatkan untuk kepentingan atau moralitasnya.

Pemikiran sastra pascamodern, khususnya yang menghendaki kebebasan mutlak atas makna dan mengkritik dimensi fungsional-komunikatif dari teks sastra, “seperti” memiliki sayap yang ingin terbang bebas dengan sejati. Hal itu, tidak sepenuhnya benar. Realitasnya, mereka hanya memiliki kelincahan metodis dan kecerdikan dalam berpolemik pemikiran sastra.

Kelincahan metodis adalah persoalan mudah. Jelas, dengan kehendak untuk menetralisir segala petunjuk moral sebagai perwujudan kuasa dalam proses pemaknaan teks sastra, akan mempersilahkan setiap pembaca untuk melewati tahapan berikutnya, yaitu tafsir yang dikehendaki atau yang disukai, “secara bebas”. Kembalilah tahapan pascamodern, pada pemaknaan yang serupa pada metode sastra modern. Kendati demikian, hal ini tetaplah berbeda satu sama lain. Metode sastra modern terlihat mantap dengan keyakinan, sedang pascamodern, tidak terlalu penting menyoal keyakinan, yang terpenting adalah kebebasan pemaknaan.

Memberikan kritik pada pemikiran pascamodern, bisa saja dengan pemikiran modern, maupun dengan kelincahan metodis yang serupa. Bagi kritik yang pertama, berarti memberikan kritik dengan moral-moral atau dengan kekuasaan kehendak pengkritik. Memburu celah-celah pemikiran pascamodern yang cela dengan metode pascamodern, punya geliat yang sama dengan kehendak modern, kendati perbedaannya bahwa hal ini lebih pada kegiatan menafsirkan ulang tanpa selesai dan selalu menggapai makna kebaruan.

Apapun itu, segala yang tergolong sebagai pembacaan ulang, kritik atau penafsiran tertentu, adalah operasi penindakan terhadap obyek tertentu. Singkat kata, kritik seutuhnya adalah modus operandi penguasaan. Kritik adalah perburuan.

Sebagai perburuan, entah apa yang diburu, baik pemikiran modern maupun pascamodern, baik menggunakan senjata tradisional maupun dengan yang lebih canggih, senantiasa menginginkan agar hasrat berburunya terpenuhi.

Cara berburu ini akan lebih kentara di permukaan, jika menunjukkan bahwa obyek buruannya memiliki kekuasaan, kehendak, niat, hasrat tertentu, maka setiap pemburu punya hal yang serupa untuk menyerang binatang buruannya (teks sastra). Persoalan perburuan, adalah persoalan pertarungan, tarik-menarik kehendak dan dalam bahasa yang lebih terus terang adalah kompetisi, kontestasi, rivalitas dan lain sebagainya. Tapi tetap, dalam bahasa sastra sehari-hari, perburuan atau kritik, adalah suatu upaya penafsiran.

Berikut ini, akan dijelaskan soal polemik sastra yang ada di Indonesia. Secara spesifik bahwa, yang hendak dikritik adalah pemikiran pascamodern, yang diwakili oleh Sutardji Calzoum Bachri (Sastrawan Indonesia) yang didukung oleh Ignas Kleden (Kritikus Sastra), khususnya dalam esai yang berjudul, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007). Pemikiran yang punya kelincahan metodis ini, hendak diburu oleh penafsir lainnya, yang juga memiliki kehendak pemaknaan terhadap sastra, khususnya oleh Nurel Javissyarqi, sastrawan dan kritikus yang bergaya Surealis dan eksentris.

Perburuan Nurel ini, telah ditulis secara sistematis di dalam esai bersambungnya yang berjudul “Membaca ‘Kedangkalan’ Logika Dr. Ignas Kleden?”. Pada bagian pertama dan kedua esainya, akan diuraikan dalam diskusi berikut ini.

***
Segala sastra adalah metafora. Berarti, setiap pencipta seni, akan melepaskan karyanya untuk hidup sendiri secara mandiri. Dengan kata lain, seperti melepaskan burung dan membiarkannya hinggap dengan sesuka hatinya.

Sastra, barangkali akan sangat mudah dipahami orang, pembaca atau penikmatnya. Namun adakalanya sebaliknya. Sastra, menuruti sifatnya untuk menyembunyikan makna, sehingga sangat sulit dan beragam pemaknaan atasnya.

Seorang sastrawan terkemuka, Sutardji Calzoum Bachri misalnya, memiliki ciri khas tatkala menuliskan puisi-puisinya. Kadangkala bagian awalnya hanya berupa tenunan huruf-huruf yang tidak selesai sehingga layak dimengerti sebagai kata. Rasa-rasanya sepintas, kalau dibacakan seperti membunyikan sesuatu. Mungkin tidak bermakna atau sulit sekali menemukan maknanya secara sederhana, tetapi berasa sesuatu, yang mana dapat dinikmati baik oleh pelantun maupun pendengarnya, sesuai dengan selera masing-masing.

Itulah, tidak heran jika Sutardji dalam bukunya yang berjudul Isyarat (2007: 10), menjelaskan bahwa puisinya adalah ruh, semangat, mimpi, obsesi, dan igauan serta kelakar batin yang menjasad dalam bunyi yang diucapkan dan sering dituliskan dalam kata-kata. Dengan kekhasan ini, masyhur ciptaannya menyandang gelar “mantra”.

Dalam bidang studi antropologi, “mantra” itu sangatlah unik dan fungsional. Orang membaca mantra, biasanya punya kehendak agar orang lain mengikuti kehendaknya tersebut, hanya dengan mendengarkan lantunan-lantunan yang menuntun batin. Entah energi, entah keajaiban, yang jelas, tanpa penjelasan secara rasional, mantra seringkali bekerja secara ampuh, menuruti kehendak tuannya. Mantra di sini, sejenis kata-kata, namun bukan bahasa, karena tidak memiliki makna yang lazim dipahami secara komunikatif. Itulah keunikan mantra.

Tentu saja berbeda, antara mantra sebagai tradisi masyarakat adat, dengan mantra dalam khazanah sastra, khususnya mantra Sutardji. Kendatipun memiliki kesamaan, baik itu dalam dimensi kesakralan, religiusitas, magis, mistis dan estetika, dari segi kelahirannya, kedua jenis mantra tersebut memiliki ibu, rahim, ruang, waktu dan falsafah yang berbeda.

Para penikmat sastra, bisa saja larut dalam keheningan dan terbawa dalam suasana ruhaniah, tatkala puisi mantra Sutardji dibacakan. Namun hal ini, tidak berlaku bagi masing-masing masyarakat adat yang memiliki tradisi mantra, bahkan kelahiran tradisi tersebut jauh sebelum zaman-zaman perkembangan sastra Indonesia menjadi marak.

Seorang gadis adat Osing dari Banyuwangi, akan jatuh cinta secara tergila-gila, karena batinnya telah tertuntun oleh mantra pengasihan Jaran Goyang, yang dibacakan oleh seorang pria yang menginginkannya. Gejala-gejala magis dari mantra Osing, sangat berbeda dengan mantra Sutardji yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat berpendidikan.

Namun, ada sisi menarik dalam mantra Sutardji. Jika padamulanya bahasa, selalu berfungsi sebagai alat komunikasi, kini tidak lagi demikian. Karena, seperti dijelaskan sebelumnya, kata, tidak selalu sebagai bahasa. Kata yang bukan bahasa.

Kata itulah burung yang terbang bebas. Sedangkan puisi, lebih luas lagi dari itu. Bagaikan langit, puisi menjadi ruang bagi burung-burung yang terbang tinggi, menari dan pergi sekehendak hati.

Dari sini jelaslah bahwa, puisi atau teks sastra bagi Sutardji, karena bukan dalam kategori bahasa, bukan berarti tidak bisa dikomunikasikan. Namun, cara komunikasi, baik itu makna maupun bunyinya, diberikan seutuhnya bagi pembaca secara bebas, tanpa batas secara terus-menerus.

Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) membenarkan pendapat ini. Ia mengungkapkan bahwa, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”

“Puisi sebagai alibi kata-kata” itulah kata yang paling pas untuk membayangkan teks sastra gaya Sutardji. Dengan puisi, pembaca bisa lari dari makna yang hendak dipatenkan, sekehendaknya. Dengan puisi, yang paling pasti adalah ketidakpastian yang liar. Inilah yang dimaksud dengan kelincahan metodis. Selalu menemukan jalan untuk kabur dan pergi ke sana ke mari sesuka hati. Sebenarnya, inilah deklarasi kebebasan Sutardji. Semacam kredo yang sedang dirayakan.

Dalam kesempatan lain, Sutardji menyampaikan bahwa, “Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.”

Sekali waktu, Ignas Kleden dalam Pidato Kebudayaan Pekan Presiden Penyair (19 Juli 2007) sangat berharap agar kredo Sutardji tersebut akan diwujudkan.

Dari sini, mulailah pelbagai kritik dilancarkan oleh Nurel. Bukan pada Sutardji, namun pada penafsirnya, yaitu Ignas Kleden. Jelas dalam uraian esainya, baik itu bagian pertama maupun kedua, belumlah secara terus terang memberi kritik pada teks sastra Sutardji. Kritikus surealis ini hanya menjelaskan bahwa, logika yang dipakai Ignas Kleden untuk menjelaskan kelincahan metodis Sutardji, belumlah tepat.

Misalnya dalam dukungan Kleden akan Sutardji, diungkapkan bahwa kelincahan metodis, serupa dengan penerobosan makna, jenis, bentuk kata dan tata bahasa. Hal itu dinilai sebagai dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, karena memberi peluang bagi pelbagai gaya baru yang lebih otentik melalui karya sastra. Jadi di sini, bukan sekedar teks sastra yang mengalami pembebasan, namun juga metodologi dan filsafat sebagai dasar pijaknya.

Dalam memberikan kritik, Nurel mendiagnosa bahwa Kleden menafsirkan kata “pembebasan” dengan “penerobosan”. Pilihan kata “menerobos” sangat beresiko untuk mendapati arti yang dirasa tepat dengan maksud kelincahan metodis Sutardjian. Menerobos barangkali, lebih tendensius dan memanggul cita rasa resentimen terhadap lawan. Sedangkan pembebasan tentu saja, kendatipun berkehendak untuk melawan, kata ini mengandung unsur moral kebaikan.

Menurut Nurel, menerjemahkan kata “membebaskan” dengan “menerobos” berarti membelokkan maknanya. Jelas sah, bagi seorang penafsir, siapapun, untuk menafsirkan suatu kata tertentu. Tapi satu penafsiran, jika ditafsir ulang, maka tidak akan luput dari kritik.

Kalau konsekuen dengan kebebasan dan pembebasan penafsiran, maka dekonstruksi Sutardjian oleh Kleden, akan lebih mengarah kepada upaya yang destruktif, sekedar merusak atau menghancurkan, tanpa menata kembali. Namun, sebagai suatu jalinan kata yang utuh (kalimat), Kleden bisa saja membela bahwa, maksud dari menerobos telah dijelaskan oleh kata berikutnya, yaitu untuk, “…melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.”

Dalam esainya, Nurel mencoba menjelaskan, “Kata ‘menerobos’ yang diulang-ulang, tak lebih bentuk usaha keras IK dalam mengaburkan pemahaman, membuat buyar pelahan-lahan atas tatanan konsep SCB, disesuaikan pola IK dalam pijakannya berfikir kali itu, dan upaya menekankan, meyakinkan pembaca bahwa kata ‘(mem)bebaskan’ sama dengan ‘menerobos’. Ini awal pembelokan manis teruntuk pembaca sastra yang sungguh menghipnosis, kalau yang bilang bukan IK, tentu ada tuntutan, tetapi karena yang berkata-kata Dr. Ignas Kleden, siapa berani?”

Di sinilah yang dimaksud dengan penafsiran ulang atas tafsir tertentu. Padamulanya, Kleden mentransformasi kata “membebaskan” menjadi “menerobos”. Ini adalah tenunan baru dari sebelas tenunan huruf-huruf m-e-m-b-e-b-a-s-k-an menjadi sembilan tenunan huruf-huruf: m-e-n-e-r-o-b-o-s. Lalu prosesnya, Nurel mengudarnya menjadi banyak tenunan huruf, dan jalinan kata yang lain pula. Misalnya, “’Menerobos’, masihlah fokus dengan jalan pintas seperti sorot cahaya, sedangkan kata ‘(mem)bebas(kan)’ bermakna membuyarkannya.

Makna menerobos menurut Nurel, seperti halnya makna tunggal tertentu yang secara spesifik, memiliki kebenaran yang erat dengan penulisnya. Sangat berbeda dengan kata membebaskan, yang bermakna “membuyarkan” sesuatu. Kata membuyarkan, jika dikehendaki, bermakna pula sebagai diseminasi atau penyebaran teks, dengan demikian, juga penyebaran jaringan jejak teks (gramma) ke teks yang baru, yang tidak tunggal, namun berlaku “bebas” sesuai kehendak penafsir.

Dalam persoalan ini, penulis memaklumi penjelasan Kleden soal “menerobos” dan tafsiran Nurel soal “keberatan terhadap kata menerobos”. Menurut kacamata sastra pascamodern, terjadi dialektika intertekstualitas. Tapi secara jujur, pastilah itu semua adalah tarik-menarik kehendak antara Kleden yang selesai menuliskan karyanya, lalu diburu untuk dikritik oleh Nurel yang kurang sependapat dengannya. Dengan demikian, bukan melulu intertekstual, tetapi intersubyektif. Apalagi jelas-jelas dalam komentar Nurel disebutkan bahwa, “Siapa berani?”

Hal ini tidak selesai. Seperti dijelaskan di muka, aktivitas tafsir-menafsir, tidak akan pernah selesai. Selalu menemui makna baru yang dikehendaki secara terus-menerus. Reproduksi teks dalam ketidakpastian yang paling pasti.

Mungkin kata “kebebasan” sangat cocok untuk diselidiki lebih jauh. Pertimbangannya adalah karena polivokalitas yang dimiliki, juga sifat interpretatif dari pembacaan terhadapnya. Nurel mengungkapkan bahwa, “Kelicinan IK tidak menampakkan kata ‘kredo’ pada paragraf awalnya, padahal secara ruhaniah makna merujuk padanya, yang terbukti munculnya kalimat ‘memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi’.”

Seluruhnya adalah teks. Bagi penulis, untuk menunjukkan tafsir baru, berarti mereproduksi teks. Namun mengurai metode, berarti menunjukkan bagaimana cara kerja filsafat penulisan teks berlaku. Di sini, Sutardjian menghendaki pembebasan makna. Demikian pula dengan kedua kritikus, baik itu Kleden maupun Nurel. Kemungkinan bagi konstruksi baru adalah teks baru yang berasal dari reproduksi. Begitu pula dengan catatan Nurel, bahwa tantangan kritis terhadap Kleden adalah teks baru yang juga dari hasil reproduksi. Tentu saja, dapat disimpulkan bahwa inti dari kebebasan adalah reproduksi teks yang sekali lagi, terus-menerus dan tidak selesai.

Misalnya saja, Kleden menyatakan, “…dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik…” Tentu saja jika dekonstruksi berlaku, maka barangkali kungkungan gramatika bahasa Indonesia yang menjerat akan terbebaskan dan teks otentik baru akan tercipta. Namun, bagi dunia pascamodern, bukankah hal ini adalah biasa saja? Apa yang hendak didekonstruksi? Tidak ada. Sekiranya mendekonstruksi jejaring teks, maka jejaring baru adalah pengulangan yang lama. Seandainya makna yang didekonstruksi, maka makna barulah yang akan menggantikan kekuasaan makna lama.

Sama halnya dengan Nurel, apa yang hendak dikritik? Makna? Jejaring teks? Kekuasaan Sutardji? Kebesaran citra Kleden? Bukankah itu hal yang biasa? Demikianlah, perburuan-perburuan serupa dialektika modern atau pascamodern yang tidak terlalu rumit, bahkan biasa saja. Teks hanyalah teks. Subyek adalah subyek. Dialektika kehendak, sebenarnya tidak pernah ada. Kehendak untuk saling berkuasalah yang sedang beroperasi. Hubungan antar kehendak, dalam jejaring interpretasi, lazim disebut dengan intersubyektivitas.

Mana yang lebih baik dalam berkomentar atau upaya kritisisme, bukanlah hal yang penting. Bahkan benar dan salah adalah hal yang sepele saja. Ini juga teks.

7 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi