Sabtu, 10 Desember 2011

Menuju Kebudayaan Baru itu Meniru Barat

Meneropong Thaha Husein dan Sutan Takdir Alisyahbana
Aguk Irawan Mn
http://www.sinarharapan.co.id/

Di saat gelombang perdebatan Manikebu Vs Lekra bertemu di puncak yang sangat sengit (1950-1965), Mesir juga mengalami persengketaan yang meluap dan tak kalah sengitnya. Permasalahannya juga tak jauh berbeda, yaitu dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru” persoalan itu digiring melalui konsepsi ”bahasa dan sastra Arab”. Pelaku perdebatan adalah para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi.

Dalam perdebatan tersebut, ada satu nama yang sangat penting. Ia bernama Thaha Husein (1889-1973), sastrawan tunanetra yang pernah menjabat sebagai menteri pendidikan di Mesir (1950-1952). Husein lahir pada tanggal 14 Nopember 1889 di kota kecil Maghargha dari keluarga petani.

Pendidikannya diawali di Kuttab, lembaga pendidikan dasar tradisional, dan kemudian melanjutkan di al-Azhar (1902). Setelah belajar kira-kira sepuluh tahun, ia meninggalkan al-Azhar karena tidak menyukai dan tidak disukai.

Husein kecewa dengan sistem pengajaran al-Azhar yang dogmatis, serta materi pelajarannya yang amat tradisional dan menjemukan. Husein muda melanjutkan pendidikannya di Universitas Cairo, dan di Universitas Sorbonne Prancis. Gelar Doktornya diperoleh di Universitas Cairo dengan disertasi berjudul ”Dhikra Abu al-`Ala’ al-Ma‘ari” sedang di Sarbonne berjudul ”Etude Analitique Et Critique De La Philosophie Sociale Ibnu Khaldun.”

Di Sarbonne, Husein bertemu sederetan ilmuwan ternama, semisal Profesor Emile Durkheim (1858-1917) dalam disiplin ilmu sosiologi. Profesor Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Profesor Casanova dalam ilmu tafsir dan Profesor Pierre Jenet dalam Ilmu Psikologi. Perkenalan itulah yang mewarnai intelektualitas Husein hingga menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversial pada zamannya. Puluhan buku ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Di antara yang populer adalah Fi al-Syi‘ri al-Jahili, ditulis pada tahun 1926, saat ia dipercaya menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Fakultas Sastra, al-Ayyam, dan Fi al-Adab al-Jahili (1927), Mustaqbal al-Saqafah fi Misr, dan The Future of Culture in Egypt (1938).

Penyegaran Kembali

Perdebatan diawali saat Thaha Husein mengatakan bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi dan ”penyegaran kembali”. Seperti penyair Jerman Friedrich Ruckert, Husein juga mengatakan bahwa sastra adalah lidah utama umat manusia. Sebab kehadirannya bisa menjadi wahana bagi perubahan sosial di zaman modern, serta menghubungkan manusia dengan peradaban di dunia. Ia juga menilai ada sesuatu yang ”getir” pada sastra Arab, yang tetap mempertahankan sastra Jahili (pra-Islam) sejak 14 abad tahun silam.

Selain itu, menurutnya, sastra arab digunakan sebagai penyanggah kekuatan dekadensi bahasa yang justru memperkuat tradisionalisme yang lebih berbau dogma agama dan menentang pembaruan. Maka kebangkitan kembali bahasa dan sastra Arab masa pra-Islam, yang bersifat bebas dan membebaskan adalah sesuatu yang lazim. Bahkan lebih dari itu Husein mengatakan bahwa al-Quran adalah karya sastra dan hasil produk peradaban Arab.

Gagasan Husein saat itu dinilai terlalu ”berani” oleh sejumlah ulama al-Azhar, dan serta- merta ditolak oleh tokoh kebudayaan, semisal Muhammad al-Khudar Husein, Musthafa Shidiq ar-Rafi’i, Muhammad Farid Wajdy, Rasyid Rida, Anwar Jundy dan Maryam Jamelah. Kritik tersebut setidaknya dapat ditelusuri dalam buku Anwar Jundy, Thaha Husayn, Hayatuhu wa fikruhu fi Mizan al-Islam dan Maryam Jamelah, Islam and Modernism atau pada as-Sira’ bayna al-Fikrah al-Islamiyah wa al-Fikrah al-Gharbiyah Fial-Aqtar al-Islamiyah karya Abu al-Hasan ‘Ali al-Husni an-Nadawi.

Namun, Husein tidak sendiri. Penyair terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair Al-Qalamawi muncul sebagai pembelanya dan turut menjadi bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaruan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, muncul mazhab baru bahasa Arab, yang dirasakan sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial.

Menuju kebudayaan baru di Mesir, menurut Husein, harus memiliki kemerdekaan intelektual. Untuk mendapatkannya, tidak ada jalan lain kecuali mengerti cara memperolehnya. Maka umat Islam harus memandang bagaimana bangsa-bangsa yang telah maju mencapai kemerdekaan tersebut. Langkah terakhir adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang merdeka tersebut ditransfer ke negeri-negeri Islam. Husein memimpikan bahwa ”otak” Mesir harus berubah sembilan puluh derajat menjadi ”otak” Barat, dengan cara memboyong ”warna” kebudayaan Barat ke segala lini kehidupan masyarakat, sebab Mesir mempunyai pertalian erat dengan ”otak” Yunani.

Menurutnya, pikiran Mesir tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan Pikiran Timur, dan juga tidak serasi dengan pikiran Persia atau Iran. Mesir mempunyai ikatan yang teratur, damai dan saling menguntungkan hanya dengan Barat dan Yunani. Perkataan lain adalah bahwa tak ada satu kebodohan yang lebih besar dari anggapan bahwa Mesir sebagai bagian dari Timur dan memandang pemikiran Mesir sebagai pemikiran Timur, semisal India atau Cina. Atas dasar itulah Thaha Husein mengajak orang-orang Mesir memiliki peradaban Barat sebagai peradaban mereka, dan bersekutu dengan Barat dalam semua norma, cara perasaan dan perundangan.

Polemik Kebudayaan

Di tanah Air hal serupa juga terjadi. Peristiwa itu disebut Polemik Kebudayaan (1935-1936). Dalam perdebatan itu, ada anak muda yang resah terhadap negaranya. Ia adalah nama yang penting bagi sejarah kebudayaan Indonesia, yaitu Sutan Takdir Alisyahbana (1908-1994). Ia lahir di Minang 11 Februari 1908, dikenal sebagai penyair, novelis, filsuf, ahli hukum, dan futurolog. Pola pikiran Thaha Husain dan Sutan Takdir memang sejalan. Tak ada yang simpang siur dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru”.

Latar pendidikan Sutan Takdir adalah sekolah tinggi kehakiman (Rechtshoge school). Jakarta (1941), gelar meester in de rechten (Mr) melekat pada namanya, di samping gelar Profesor dan Doktor. Tahun 1948 ia pergi ke Amsterdam mengunjungi Kongres Filsafat. Sebelumnya, ia sudah belajar filsafat ke Jerman, Belanda, Perancis, AS dan Jepang. Pernah juga menjadi Felllow pada Center for Advanced Studies in the behavioral science, Standart (1956-61) dan East-West Center, Hawaii (1961-62). Tahun 1963-1668 ia menjadi dosen di Kuala Lumpur. Pada tahun 1972 atas dorongannya Kongres Filsafat sedunia terselenggara. Sebagai lanjutan dari Kongres tersebut, bersama budayawan se-Indonesia dan bangsa lain ia mendirikan Association Fort Art Anda the Future, disusul Kongres II (1990). Ia juga menjadi anggota organisasi internasional, antara lain Societe de Linguistique de Paris dan UNESCO, International Commision for the Scientific dan Cultural Development of Mankind and Study of Mankind, USA. Di tahun 1970 ia menerima bintang Satyalencana Kebudayaan oleh Pemerintah Jerman Pada 1976, kemudian ia diangkat sebagai anggota kehormatan dari Koninklijk Instituut voor Tall, Landa en Volkenkunde, Leiden, Belanda.

Puluhan buku juga berhasil ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Yang paling populer adalah roman ide berbentuk novel Layar Terkembang (1936) yang bercerita tentang emasipasi wanita. Disusul Grotta Azzura (1979), Kalah dan Menang (1978) yang berbicara masalah filsafat kebudayaan.

Penyegaran Bahasa dan Sastra

Sebagaimana polemik di Mesir, bagi Sutan Takdir, untuk menuju masyarakat dan kebudayaan baru, harus dimulai dari penyegaran bahasa dan sastra. Dalam pidatonya yang sangat berani Sutan telah mengecam bahwa nyaris tak ada perkembangan bahasa Indonesia—bahkan perkembangannya malah menuju ”pengeromoan”, yang dipegang kaum tradisionalis dan antipembaruan. Ironisnya, keadaan itu justru didukung Lembaga Bahasa Pemerintah saat itu.

Menurutnya bahasa dan sastra adalah jantung kebudayaan sebab terlibat dan menyatu dalam dinamika masyarakat. Maka sebagai reaksi yang nyata, Sutan menampik bentuk sastra lama, jenis pantun dan syair. ”Kita buang dan lupakan saja sastra lama dan kita bangun sastra yang baru” begitulah jargon yang selalu melekat di bibirnya. Berani memang!

Sebagai wujud dari kata-kata itu, ia bergegas membentuk sastra baru, yaitu sastra soneta (1933), dan menerbitkan sekaligus memimpin Pujangga Baru, majalah Indonesia pertama untuk bidang sastra dan budaya. Ia pun menerbitkan buku Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Pada waktu terjadi polemik kebudayaan, Sutan baru berusia 27 tahun. Lewat tulisannya Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, ia membagi sejarah kita menjadi dua bagian yang sentral, pertama zaman pra-Indonesia sampai akhir abad ke-19, kedua zaman Indonesia.

Menurutnya, zaman Indonesia tidak boleh dianggap sebagai sambungan dari zaman pra-Indonesia yang dikecamnya sebagai zaman jahiliyah Indonesia. Sebab, di sana ada perbedaan yang terlalu jauh. Pada zaman Indonesia, terdapat semangat yang belum ada dalam zaman Jahiliyah Indonesia, yaitu semangat bersatu untuk menuju kebudayaan baru dan layak di sisi bangsa-bangsa lain. Sedang zaman pra-Indonesia adalah zaman yang mirip suku baduwi di Arab yang tak mengenal peradaban dan kebudayaan, ditandai dengan penolakan kebudayaan luar.

Maka dari sinilah, Sutan menghendaki bangsa Indonesia harus lebih dinamis dan maju setapak. Lalu ia memberikan solusi, menawarkan obat yang mujarab bagi penyembuhan luka atas dekadensi zaman jahiliyah Indonesia yang berlangsung lama. Obat pilihan itu adalah memperkenalkan kebudayaan Barat melalui segala lini institusi masyarakat dan pendidikan. Mirip yang terjadi pada Thaha Husein di Mesir, Sutan Takdir juga berpolemik dipicu dari pembentukan kebudayaan baru, dengan mengusung nilai-nilai Barat, sebagai lawan dari kebudayaan Timur yang dianggapnya jumud.

Tapi gagasan ini memang tak diterima semua kalangan. Bahkan ada yang sangat tersinggung. Mereka mengira bahwa Sutan telah mengejeknya sedemikian rupa budaya Timur yang luhur dan santun. Memang Sutan telah menuding bahwa kaum pesantren yang feodal dan Taman Siswa yang egoistis dan materialistis tak mampu membawa napas budaya bangsa yang terpuruk yang hampir ajal.

Maka polemik meledak di Pujangga Baru, surat kabar Suara Umum, Pewarta Deli dan lain-lain. Sutan terjun dengan mata yang menyala dan menyerang tokoh kebudayaan dan pendidikan saat itu. Seperti Sanusi Pane, Poerba Tjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara. Sejak saat itu polemik pun terus dimulai, hingga menyeret dialog berbagai tema penting dalam rangka pembangunan kebudayaan Indonesia baru— masa depan ke kancah politik praktis. Saat itu Sutan memang menyerukan untuk membangun integritas individu pencipta budaya, dengan landasan kebebasan kreatif yang demokratis, disertai wawasan internasional. Namun lagi-lagi gagasan itu diadang kelompok yang dipimpin Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara. Sutan dianggap telah bersekongkol dengan para kolonial Belanda. Sementara itu, tokoh seperti Ki Hajar Dewantara justru ingin menguburkan sisa-sisa kebudayaan kolonial. Selain itu yang ditakutkan oleh Ki Hajar adalah rendahnya tingkat pendidikan rakyat Indonesia. Barangkali inilah yang tidak diperhatikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dengan sikap ekstremnya untuk ”menoleh ke Barat” dalam polemik kebudayaan 1930-an.

Mereka yang menentang Sutan Takdir tidak mengingkari pencapaian-pencapaian kebudayaan Barat. Mereka pun hasil dari pendidikan modern Barat. Yang mereka permasalahkan adalah landasan kebudayaan Indonesia sendiri yang harus kokoh, sehingga siap berdialog dengan budaya Barat. Sebab kalau tidak, ”melihat ke Barat” dari Sutan Takdir akan menjadi sebuah pengabdian.

Tapi kini, kolonial sudah lama hengkang, dan di saat Mesir sudah mulai merasakan sumbangan Thaha Husein. Jepun, India, Taiwan, Korea Selatan, Eropa Timur dan Russia telah melalui proses pencerahan, berkat kesadaran mereka terhadap kebudayaan Barat yang ditandai dengan meningkatnya ilmu pengetahuan. Lantas kebudayan baru dan ”progresif” macam apa yang seharusnya lahir dan berkembang— yang bisa mendorong lahirnya sebuah masyarakat yang demokratis, egaliter, sebagai prasyarat dasar dari seluruh proses penyelesaian setiap krisis, di Indonesia yang terkapar? Barangkali Impian Sutan memang patut diperhitungkan dalam kondisi dewasa ini.

*) Penulis adalah Peneliti Kebudayaan pada LkiS Yogyakarta, dikenal sebagai sastrawan, penyair dan esais.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi