Ilham Yusardi
http://www.harianhaluan.com/
(I)
“Niar, kau lihat hape?” Bahar menyonsong istrinya di dapur. Niar mengaduk minuman pagi suaminya itu. Niar menoleh, menangkap suaminya menyembul separuh badan di pintu. Niar agaknya sedikit heran dengan kelabat lakinya.
“Hape Uda? Tidak. Biasanya sebelum tidur, Uda taruh di lemari kamar. Tentu masih disitu.” Tidak biasanya, pagi-pagi ia menanyakan hape. Lagi pula hape yang dibelikan Lara, putri tunggal mereka yang sekarang bekerja di ibu kota, memang jarang berbunyi. Hape itu baru seminggu di tangan Bahar. Ia sangat senang. Menangis menerima hape itu dari tangan Lara. Menangis bukan karena hapenya, tapi Bahar terharu, sebab itulah pemberian pertama Lara dari hasil jerih peluhnya bekerja. Ia bangga dengan pemberian itu.
Hape itu diberikan waktu Lara pulang, saat Lebaran. Mereka tiga beranak tertawa gembira dan suka cita dalam gurau di rumah, sewaktu Lara mengajarkan Bahar cara memegang hape, cara memencet tombol-tombol yang kecil. Maklumlah, penglihatan mata tua Bahar memang sudah sedikit kabur. Melihat huruf di tombol itu, ia mesti mendekatkan hape ke pelupuk matanya, mengernyitkan mata agar sedikit jelas. Dengan gigih dan berkali-kali, Lara ajarkan tombol apa yang mesti ditekan bila ada panggilan masuk. Kemudian bagaimana pula cara menghubungi seseorang. Sehari dua-hari sejak itu, ayahnya mulai pandai cara menghubunginya, cara menerima telepon darinya.
“Nanti kalau Ibu atau Ayah rindu pada Lara, tinggal telpon pakai hape saja.”
Mereka gelak terbahak-bahak melihat cara kerja hape yang menurut mereka ajaib. Tentulah ajaib bagi meraka yang tidak tamat pendidikan dasar itu. Lagi pula, selama ini Bahar belum sekalipun menyentuh hape.
Bahar balik ke kamar. Gelagatnya terdesak sangat. Diperiksa satu per satu laci lemari, tidak tampak. Dibalik-balik pula lipatan kain, tak terlihat.
“Tak ada, Niar!” Setengah bersorak ia memberitahu. Niar yang kini menating gelas kopi ke ruang tengah mulai terbawa panik.
“Lha, kan hapenya tidak berkaki. Masa bisa jalan sendiri? Coba bawa bertenang dulu, terakhir kali Uda bersama hape itu kapan?”
“Tadi malam. Hape itu kumatikan sebelum ke surau. Sepulang dari surau. Sebelum tidur aku ke jamban. Kutaruh hape…”
“Nah tuh kan, jelas. Lihat di dalam saku celana yang Uda pakai tadi malam”
“Celana itu ke mana?”
“Tergantung di paku pintu kamar mandi.”
Berlari ia ke kamar mandi. Agak gemetar, diraihnya hape.. Matanya setengah berpicing menangkap cahaya dari layar hape. Seperti yang pernah diajarkan, ia cari nama anaknya itu. Lara. Menemukan, ditekannya tombol hijau. Beberapa detik suara sambungan, tuuuuuuuut… tuuuuut…
“Asalamualaikum, Ayah,” suara lembut dari lubang speker. Tak lain tentulah suara putrinya itu. Di seberang yang jauh.
“Lara? Kau biak-baik saja, Nak?”
“Alhamdulillah, baik Ayah. Sekarang Lara sedang mengajar. Ada apa, Ayah?”
“O, anu, ah…, tidak. Ayah cuma mencoba hapenya.”
“Ooo, Lara mengajar dulu ya, Ayah. Nanti kalau pulsa habis Lara kirim lagi.”
“Nggg, anu, tak perlu. O, mmm, Teruskanlah pekerjaanmu.”
Ia matikan hape. Seketika, perasaan galau yang memaksa ia bergesa mencari hape selesai sudah. Lega tegangan nadi yang merengsek jantungnya. Berhenti peluh dingin bersimbah di lekuk tengkuknya. Bagaiman tidak, ia tidak bisa lepas dari mimpi yang didapati tadi malam. Mimpi baralek, pesta kawinan di rumahnya. Lara, anak gadis tunggalnya itu menjadi anak dara. Ramai orang yang datang bertamu, bersuka cita. Mimpilah itulah menumbuh risau. Setahu Bahar, dari cerita yang beralih dari mulut ke mulut, yang telah menjadi rahasia umum, jika seseorang bermimpi baralek, akan ada seseorang dari keluarga yang bermimpi itu bakal meninggal.
Bahar keluar dari dalam kamar mandi.
“Ada apa Uda, pagi-pagi mencari hape?”
Dengan sendi yang kaku Bahar menghenyakkan badan di kursi busa yang sudah reot berpalung itu.
“Ada apa, Uda?”
Bahar menggeleng. Tanpa kata.
(II)
Jingga senja lingkar matahari luluh ke lambung bukit. Dari Towa, pengeras suara yang ditempatkan di puncak kubah surau, terdengar lengking bacaan Qur’an. Biasanya, kalau bacaan Qur’an sudah terdengar, itu tandanya waktu Magrib beberapa saat lagi.
Niar baru saja selesai mandi, duduk di kursi kayu, menghadap jauh lurus ke ujung jalan. Pintu rumah itu persis bergaris lurus dengan jalan yang menghampar panjang, sebelum kelok pertama ke balik bukit menumbuk pandangan. Niar mendapatkan tanah jalan bersepuh emas langit. Bahar belum juga tampak di jalan. Tidak biasanya lakinya pulang keburu Magrib. Biasanya, pukul enam sudah di rumah, mandi dan bersiap ke surau.
Ada yang dirinduinya. Sejak Lara menamatkan sekolah MAN di nagari, Lara pindah untuk kuliah di kota. Kini, mereka berdua saja laki-bini di rumah gadang itu. Sudah empat tahun lebih rumah ini tidak terlalu riang. Bagi mereka berdua, hari-hari yang terlewati, terlebih perasaan hati Niar, sedikit sunyi agaknya.
Udara bergerak lamban, pelan menikungi baris pohon pinang, beringsut mengayunkan dahan cokelat yang merimbun di halaman rumah, merengsek ke segala sudut beranda rumah. Membelai kuduk Niar, sehingga ia bergeletar dingin, karena lembab sehabis mandi masih lekat di pori kulitnya.
Tiba tiba, Niar terkesiap dengan gerak melayang sesosok mahkluk dari kiri beranda. Rama-rama besar, sayapnya seukuran dua kali telapak tangannya. Warnanya hitam pekat dengan sedikit bercak kuning di tengah sayap. Seketika, entah sebab apa pula, ada sesuatu yang menyergap seluruh penjuru pembuluh darahnya, ada hentakan yang kuat menabuh jantungya. Matanya terpaku hampa menatapi gerak turun-naik kepak sayap yang pelan. Mulut Niar terkatup. Kerongkongannya tercekat. Peluh menguap dari pori tubuhnya. Dingin.
Niar coba mengusir pikirannya yang spontan muncul begitu melihat rama-rama itu. Ia berusaha tidak larut dalam petanda yang diyakini oleh kebanyakan orang di nagari, bahwa kalau ada rama-rama besar, Rama-rama Orang Mati, begitu mereka menamainya, yang berkitar ke dalam rumah, itu membawa isyarat gaib, bahwa akan ada sanak saudara yang meninggal dari keluarga rumah itu. Lama Niar tertawan, rama-rama besar itu terus merengsek. Meski terantuk-antuk pada ukiran kayu dinding, si rama-rama seakan tahu arah pintu.
Walau ia telah dengan sepenuh hati membuyarkan pikiran itu, pada kali lain ia terseret juga arus geletar desir di nadinya. Segera Niar bangkit dari kursi, ia begerak ke dalam rumah, meraih gagang pintu, dengan pelan, terdengar ringkik engsel. Pintu mengatup. Tertutup rapat. Niar ia tak mau rama-rama besar itu menyelusup ke dalam rumah. Ia tak mau rama-rama itu menggerogoti dirinya.
“Niar…, Niar, kau di rumah Niar?” Ia tahu itu suara yang sedari tadi ia tunggu.
“Ya, Uda.” Pintu terbuka. Terlihat wajah Niar yang lembab dan pasi.
“Ada apa, Niar. Kenapa Kau pucat?”
Niar menggeleng. Tak ada kata.
Sepulang Magrib di surau, begitu ia menguakkan daun pintu, langkah Niar terantuk. Terkesiap alang kepalang,
“Lihat itu, Uda. Rama-rama urang mati!”
(III)
Lepas dua hari, Bahar juga istrinya, coba mengikis begalau hati mereka. Mereka mulai tidak mempersoal hal-hal yang tidak masuk akal. Tiap malam, sehabis Isya atau sebelum tidur, mereka selalu ditelpon oleh Lara. Penuh keceriaan mereka berbincang. Karena itu pulalah, mereka merasa semua berjalan baik-baik saja.
Namun hari itu, sebagaimana yang ia rencanakan pagi tadi, Bahar tidak pergi ke ladang yang letaknya di punggung bukit. Rencananya, ia mau membersihkan parak di belakang rumah saja.
Sore menjelang, Bahar masih sibuk mengayunkan parang menebas ranting-ranting perdu. Meski langit mendung, Bahar tidak terlalu khawatir. Sebab, bila hujan tiba tiba turun, tentunya ia bisa segera berlari ke rumah.
Di sela keasyikannya, di antara bunyi detusan mata parang mengena kayu, sayup-sayup tapi perlahan kemudian menjelas, tertangkap oleh indra dengar Bahar. Kicau burung. Tapi kicau itu, bukan pula kicau biasanya.
Pic…ciang! picciang!
Ia tahu sekali. Kicau itu, kicau burung murai. Suranya sangat deras dan dekat. Bahar menghentikan ayunan parangnya. Ia telusuri arah, asal suara itu. Dan…
Pic…ciang! picciang!
Seekor burung Murai hitam bertengger gelisah di pokok kakao.
Setahu ia, sebagaimana yang ia pahami dari turun temurun, burung itu menyebut kata piciang, maksudnya picing, menutup mata. Jika burung itu berkicau di sekitar rumah, burung tersebut hendak berkabar dalam isyarat, bahwa akan ada seseorang yang akan memicingkan mata untuk selamanya.
Lagi lagi, ia menarik nafas dalam. Telapak tanganya dingin berpeluh. Dengan sekuat daya, ia buang pikiran itu.
Tapi…, pada detik berikutnya. Tanah tempat ia berpijak bergetar, dan dalam sekejap kian keras berguncang. Kuat sangat. Ia terhuyung.
“Gempaaaaaa! Allahuakbar! Gempa, Uda! Gempaaaa!”
Niar berhamburan keluar. Bahar, dengan risau yang bersisa, mengumpul tenaga menyusul istrinya yang berlarian ke arah tanah lapang. Beberapa orang pun sudah berlari, berhimpun di tengah lapangan. Gempa itu sangat kuat berguncang.
Sejenak ia tercenung di samping istrinya yang masih mengatur napas. Pikiran Bahar berkelabat secepat kilat. Gempa sangat kuat yang baru saja terjadi dimanakah pusatnya? Biasanya, seperti yang ia saksikan di televisi, gempa sering terjadi di laut. Secepat kilat berkelabat ia teringat Lara, yang tinggal di ibu kota propinsi yang terletak di pesisir pantai. Secepat kilat ingatannya memutar balik tayangan gelombang Tsunami yang berkali kali ia lihat di televisi.
Setengah jam berlalu, sebagian orang balik ke rumah. Ia pun mengajak pulang istrinya. Tanpa menyebut risaunya pada Lara, ia menuntun istrinya pulang.
Sesampai di rumah, “Cepat, Uda. Cepat hubungi Lara,” ternyata istrinya pun sudah memendam risau yang sama.
Bahar menggengam hape dengan seksama. Di kepalanya berhimpum segala petanda duka yang belakang ini menyergap mereka. Mimpi baralek, Rama-rama Orang Mati, dan kicau burung Murai itu. Dengan segenap daya, ia kuatkan menekan tombol seperti yang sudah ia pelajari.
Ia tempelkan hape ke telinganya. Ia tunggu denyit nada sambung. Namun…
Nomor yang anda tuju sedang…
“Lara? Kau baik-baik saja? Lara! Lara!” Ia menatap Niar yang sudah menggigit bibir…
Berulang kali Bahar menekan hape. Selalu saja, sesuara di hape menjawab…
The number you are calling is not active or out of coverage area. Please try again in a few minute…
Sementara istrinya, ada yang hendak runtuh di tebing matanya.
24 April 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 24 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar