Selasa, 27 September 2011

POTRET GANDA NAYLA—DJENAR MAESA AYU

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Djenar Maesa Ayu lewat dua antologi cerpennya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2003) dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004), tak pelak lagi, telah berhasil menjejerkan namanya dalam deretan penting sastrawati Indonesia. Ia juga mengambil posisi khas yang domainnya tak banyak dimasuki sastrawan Indonesia lainnya. Kini, ia meluncurkan novel pertamanya, Nayla (Gramedia Pustaka Utama, 2005, 178 halaman).

Dalam Nayla, Djenar bagai berada dalam ruang yang membuatnya bebas bergerak. Ia leluasa mengumbar kemampuan teknik berceritanya. Ia bebas memanfaatkan tokoh-tokohnya untuk kepentingan dan tujuan apapun, termasuk untuk menumpahkan pesan ideologisnya tentang jender. Bahkan, posisi kepengarangannya sendiri merasa perlu dilegitimasi lewat tokoh rekaannya. Nayla ibarat sebuah pentas teater yang sutradaranya bisa seenaknya keluar-masuk dalam setiap babak atau adegan yang sedang berlangsung.

Begitulah, ketika pengarang merasa perlu menyampaikan pesan ideologis, Nayla yang sekolahnya pun tak jelas, tiba-tiba tampil dengan kecerdasan seorang feminis. Djenar memanfaatkan tokoh ini untuk mengungkapkan gugatannya tentang seks (hlm. 77—80) dan pelecehan seksual (hlm. 84—6). Dalam peristiwa yang lain, khasnya dalam cerpen karya Nayla Kinar “Laki-Laki Binatang!” (hlm. 38—42) yang berkisah tentang kepedihan tokoh Djenar dalam berhadapan dengan ibunya, Nayla—yang fiktif—memanfaatkan tokoh Djenar –yang faktual dalam novel Nayla dan fiktif dalam cerpen “Laki-Laki Binatang”—menjadi corong untuk memprotes tindak kekerasan dalam rumah tangga dan terjadinya pelecehan seksual. Dalam hal ini, pengarang dan tokoh rekaannya tak hanya bisa bertukar peran, tetapi juga bisa saling memanfaatkan untuk menyampaikan pesan ideologisnya. Dengan begitu, batas tegas antara teks dan pengarang, dihancurkan semata-mata demi kepentingan ideologi yang hendak disampaikan.

Boleh jadi, Djenar menyadari betul pentingnya sebuah pesan. Tetapi, ia juga tak ingin terjerumus pada pamflet propaganda. Maka harus ada siasat lain untuk membungkus pesan itu. Jadilah, tak terhindarkan, penghadiran hubungan antara pengarang dan teks, tak selesai sebatas teks. Ia mesti kontekstual, sekaligus intertekstual. Kematian pengarang, seperti disarankan Roland Barthes (“The Death of the Author”) tak berlaku lagi. Pengarang harus dihidupkan lagi. Di situlah beberapa kutipan cerpen “Menyusu Ayah” (hlm. 90—1) menjadi signifikan sebagai siasat mengecoh dan menyembunyikan Djenar, Si Pengarang, dalam menyampaikan fatwanya. Tokoh Nayla dan Djenar hadir secara fungsional.
***

Kisahnya sendiri sederhana. Berawal dari perceraian ayah—ibu. Nayla, ikut ibu. Didikannya yang telengas dan ajarannya untuk menguasai laki-laki, menceburkan Nayla pada serangkaian pengalaman traumatis. Ia kabur dan memilih ayah yang sudah kawin lagi. Hanya sesaat. Ayah meninggal, dan ibu tiri menjebloskannya ke panti rehabilitasi. Setelah tiga bulan, Nayla kabur. Menggelandang dalam kehidupan liar. Terdampar dalam ingar-bingar diskotek. Bercinta dengan sesama jenis –Juli, sambil sekali-kali menjajakan tubuh. Ia gagal mencari kebahagiaan, tetapi menemukan kehidupan lain di tengah para seniman.
***

Sesungguhnya, kisah Nayla ini tidaklah linear. Berkelak-kelok, melompat ke depan atau ke belakang, bahkan berdiri dulu di pinggir sambil berkisah tentang yang lain yang seolah-olah tak ada hubungannya. Jadilah, bangunan rangkai peristiwa hadir menyerupai serpihan fragmen-fragmen. Berserakan. Pembaca digiring pada kotak-kotak, mirip teka-teki silang. Atau ibarat puzzle dengan potongan-potongan gambar yang belum tersusun. Di sini, pembaca bebas menempatkan setiap potongan gambar menurut persepsinya. Meski begitu, mudah saja kita menelusurinya dan kemudian membingkainya kembali menjadi sebuah struktur, mengingat fokus keseluruhan cerita bertumpu pada diri tokoh Nayla.

Djenar begitu bebas melakukan eksplorasi naratif, meski terkesan tak berpretensi hendak bereksperimen. Di sana berbagai bentuk penceritaan hadir gonta-ganti. Kadang seperti satu peristiwa yang berdiri sendiri, padahal sesungguhnya saling mencantel yang bersumber dan bermuara pada satu tokoh: Nayla. Sebuah siasat dalam membangun struktur cerita yang kini bertebaran dalam novel-novel Indonesia. Lihat saja, Tabularasa (Ratih Kumala), Dadaisme (Dewi Sartika), Geni Jora (Abidah el Khalieqy), Cermin Merah (N. Riantiarno) atau Lelaki Harimau (Eka Kurniawan). Mereka juga memakai pola macam ini.

Teknik apa pun tentu saja boleh digunakan, sejauh ia fungsional dan mengundang tegangan. Tanpa itu, ia akan jatuh pada kesan rumit yang artifisial. Di samping itu, ia juga menuntut kecermatan dan usaha membersihkan pengulangan yang tak perlu. Nayla secara keseluruhan telah menunjukkan kesungguhan itu. Meski begitu, tak berarti semuanya baik-baik saja. Selalu ada risiko di belakang setiap pilihan, dan itu yang juga terjadi pada Nayla.

Keasyikan bermain dengan teknik, cenderung melalaikan hal lain. Djenar terkesan lupa pada karakterisasi, pada proses saat peristiwa masa lalu menjadi sumber malapetaka. Saya tak menemukan ruh dan semangat Nayla dalam “Menyusu Ayah” atau Nai Nai dalam “Payudara Nai Nai”. Nayla dalam Nayla adalah sosok perempuan yang punya masa lalu kelam, penurut karena dikuasai ketakutan, dan tiba-tiba menjelma sosok seorang “Djenar” yang cerdas, nekad, dan feminis. Sebagai usaha menerjemahkan gagasan Helena Cixous –jika ia terpengaruh oleh pemikirannya—yang menawarkan cara yang berbeda bagi penulis perempuan, tentu saja tak dilarang. Tetapi, ia menyimpan kejanggalan ketika problem ideologis dihadirkan dengan latar belakang psikologis, dan lalai pada proses perjalanannya. Bukankah penghancuran stigma tentang seks dan virginitas, sebenarnya –mula-mula— bersumber pada prinsip kenikmatan orang per orang yang lalu berkembang jadi psikologi sosial, mitos, dan wacana laki-laki yang semuanya berpangkal pada phallus sebagai simbol superioritas?

Dibandingkan cerpen-cerpennya yang lebih fokus pada satu titik persoalan, Nayla lebih problematik lantaran Djenar bermain dengan begitu banyak sayap. Di satu pihak, ia bisa terbang mondar-mandir sesuka hati, menclok dari problem yang satu ke problem lain. Di pihak lain, ia kadang lupa kembali ke sarang. Akibatnya, problem yang dihadapi Nayla, kurang dieksplorasi dan dieksploitasi secara maksimal. Padahal, Djenar punya kesempatan yang luas untuk melakukan itu. Bagaimanapun, novel bukanlah cerpen yang dipanjangkan. Kemampuan teknik narasi yang ditunjukkan Djenar secara piawai, mestinya dimanfaatkan untuk menukik lebih tajam pada proses dan berbagai persoalan yang menggelindingkan tokoh Nayla dalam peri kehidupan liar dan menyimpang.

Sesungguhnya, Nayla potensial menjadi monumen jika saja problem dunia-dalam tak ditinggalkan. Lihat saja, peristiwa-peristiwa yang dihadirkan di sana hampir semuanya menyimpan problem dunia-dalam. Tarik-menarik pengaruh ibu yang mengajari kekerasan (seksual), Om Indra yang juga mengajari sesuatu yang aneh, ayah yang tiba-tiba mati, ibu tiri yang munafik, Juli yang lesbian, dan tokoh-tokoh lain yang datang dengan berbagai problemnya sendiri. Di belakang itu, niscaya ada sejarahnya yang khas. Jadi, segala perilaku seksual yang menyimpang atau yang berlebihan, punya akar psikologis. Ia bisa lahir sebagai akibat yang datang dari masalah dalam atau luar rumah atau dari mana saja.

Sebagai novel pertama, Nayla telah menunjukkan penguasaan teknik narasi yang piawai. Di sana, kita juga melihat kualitas gagasannya yang liar, meski kali ini Djenar tampak lebih matang dan hati-hati. Bahwa kesan ketergesaan masih tampak di sana-sini, tentu saja itu tak mengurangi keasyikan kita menelusuri kisah Nayla, sambil coba mengisi teka-teki silangnya. Di balik itu, kita seperti disodori problem besar tentang seks dan penyimpangan seksual yang tanpa sadar nyaris setiap saat kita jumpai dalam kehidupan keseharian masyarakat. Djenar sekadar menyapa kita tentang itu.

(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).

Sabtu, 24 September 2011

Derabat

Budi Darma
http://sastra-indonesia.com/

Di desa saya ada seorang pemburu bernama Matropik. Sebenarnya dia bukan penduduk asli. Dia pendatang entah dari mana, dan dia masuk karena di tempat-tempat lain dia sudah tidak mungkin berburu, dan semua sudah mati di tangan dia

Sekarang, di desa saya, dia sudah mulai gelisah. Segala macam binatang sudah hampir punah. Dan kami, penduduk asli, dalam hati mengharap ia agar dia segera enyah.

Memang, sebenarnya , semenjak dia datang, kami sudah membenci dia. Kami membenci dia bukan karena kami adalah orang-orang yang tidak baik, tapi karena dia selalu menciptakan suasana yang tidak enak. Perilaku dia sangat kejam Dalam berburu, dia tidak sekadar berusaha membunuh, namun menyiksa sebelum akhirnya membunuh. Maka, begitu banyak binatang telah menderita berkepanjangan, sebelum akirnya dia habiskan dengan kejam. Cara dia makan juga benar-benar rakus.

Bukan hanya itu. Dia juga suka mabuk-mabukan. Apabila dia sudah mabuk, maka dia menciptakan suasana yang benar-benar meresahkan dan memalukan. Dia sering meneriakkan kata-kata kotor, cabul dan menjijikkan. Dalam keadaan mabuk dia suka telanjang, lari kesana kemari, mengejar-ngejar apa saja. Terutama perempuan

Bukan hanya itu. Dengan sadar dan terang-terangan, dia berusaha keras untuk merusak anak-anak muda. Dia ajak mereka untuk ikut-ikutan minum, dia didik mereka untuk bertutur kata kotor, dan dia suntikkan kepada mereka jiwa tidak puas terhadap keadaan, dan juga, kalau perlu berkelahi dengan cara-cara curang

Karena didikan dia, maka banyak anak-anak muda mulai bertingkah-laku kurang aja. Mereka cenderung tidak menghormat siapa pun, tentu saja kecuali terhadap dia (Pemburu Matropik), suka melawan, dan bernafsu untuk selalu menang. Dan dengan uang pemberian dia, mereka ikut-ikutan mabuk. Sementara itu saya tahu benar sebelum dia datang, penduduk sama sekali tidak pernah mengenal minuman haram

Karena dia tidak selamanya memberi uang, mereka akhirnya cenderung untuk mencuri. Mula-mula mereka mencuri di rumah sendiri, lalu meloncat ke rumah-rumah tetangga. Dan akhirnya tentu saja akhirnya mereka menggerayangi desa-desa lain.

Memang selama ini, orang desa-desa lain tidak dapat membuktikan bahwa anal-anak muda dari desa saya mencuri, tetapi mereka dapat merasa siapa sebenarnya pencuri-pencuri yang menggerogoti harta mereka. Namun, mereka tidak dapat membuktikan tidak berarti tidak dapat membenci. Terhadap kebencian mereka, dengan sendirinya, kami hanya sanggup menyalahkan diri sendiri

sementara itu, hukum alam justru sering bertindak culas. Orang-orang jahat, oleh alam, justru diberi wibawa besar. Karena itulah, perang sering berkecamuk, orang-orang jujur sering menjadi korban, dan orang-orang yang semestinya digilas habis oleh alam justru dipuja-puja. Maka,barang siapa berani melawan pemburu Matropik, pasti kena sikat. Bahkan setelah dia berhasil mengganggu istri sekian banyak penduduk, dan memperkosa beberapa gadis, kami tetap tidak mempunyai pilihan lain kecuali diam

hukum alam, sementara itu, terus berlanjut. Makin diam dan makin menyerah kami., makin girang pemburu Matropik. Tindakan-tindakan dia semakin sewenang-wenang, dan kekejaman dia semakin menjadi-jadi. Dan makin dipujalah dia oleh anak-anak muda.

Sementara itu, saya setiap hari saya tetap melakukan pekerjaan saya. Setiap malam saya berangkat, membawa pedati. Memang saya adalah anak turun penarik pedati, satu-satunya di desa saya. Dan karena nenek moyang saya penarik pedati hukum turun-temurun juga menjadikan saya penarik pedati. Seluk beluk pedati, dengan demikian saya benar-benar tahu. Bagaimana membongkar dan memasang pedati, merawat kuda, dan menghadapi berbagai marabahaya di jalan, hukum turun-temurun telah menjadikan saya penarik pedati yang benar-benar andal.

Demikianlah, setiap malam saya berangkat. Dalam kegelapan, saya harus bergerak melalui jalan-jalan buruk untuk menuju ke pelabuhan ikan terdekat. Dan pelabuhan itu tidak dekat, tapi benar-benar jauh.

Sebelum fajar datang, saya sudah tiba di pasar ikan. Beberapa orang menghampiri saya, sambil menggotong keranjang, keranjang berisi ikan segar. Setelah semua keranjang tertata rapi dalam pedati, dan setelah semua perhitungan dan pembayaran beres, saya meloncat ke pedati, siap menuju kota terdekat. Dan kota terdekat tersebut sebetulnya juga tidak dekat. Begitu pedati berjalan pasti saya mengambil kendi terbuat dari besei peninggalan nenek-moyang, lalu minum. Kalau sudah mencapai jalkan sepi saya turun sebentar untuk membuka satu keranjang ikan segar, agar burung-burung sahabat saya nanti dapat mengambil beberapa ikan segar dengan mudah.

Demikian inilah pekerjaan saya sehari-hari, selama beberapa tahun terakir. Sebelumnya memang saya pernah bekerja ini dan itu, juga sebagai pengangkut barang dengan pedati. Semua pekerjaan saya lakukan dengan sukacita. Dan saya meninggalkan pekerjaan ini itu untuk kemudian menjadi pengangkut ikan segar tidak lain karena pilian saya sendiri, tanpa keluhan terhadap pekerjaan-pekerjaan saya sebelumnya.

Selama bekerja, bekerja apa pun, segala sesuatu selalu saya kerjakan sendiri. Saya memang tidak mempunyai apa-apa selain pedati dan segala macam perlengkapannya termasuk kuda. Dan saya memang tidak mempunyai siapa-siapa. Ayah dan ibu saya sudah meninggal, demikian juga saudara-saudara saya. Entah mengapa, semua meninggal, semua saudara saya meninggal ketika mereka masih muda. Mungkin, karena tidak ada satu pun saudara perempuan saya yang berminat untuk menjadi istri penarik pedati, dan karena tidak ada satu pun saudara laki-laki saya yang berminat untuk menjadi penarik pedati.

Demikian inilah, sekali lagi, pekerjaan saya sehari-hari. Setelah pemburu Matropik datang, pekerjaan saya juga sama. Memang secara tidak langsung saya mendengar, dan kadang-kadang juga menyaksikan, tindakan-tindakan kurang ajar pemburu Matropik. Namun selama ini, saya tidak pernah terganggu secara langsung.

Yang mengganggu saya selama beberapa bulan terakhir ini, justru seekor burung. Bukan burung-burung yang telah sekian lama menjadi sahabat saya, tetapi seekor burung jahanam. Entah burung apa dia, saya tidak tahu. Dia sangat besar, sangat hitam, dan sangat cekatan. Matanya menyorotkan sinar jahat, nafsu mencuri, dan dorongan untuk merusak serta mencelakakan siapapun, karena siapa pun baginya adalah benar- benar musuh. Sebelum bertemu burung ini, saya tidak pernah membayangkan bahwa di dunia ada burung sehitam ini, sekuat ini, selincah ini dan sekeji ini.

Entah mengapa, begitu saya melihat burung ini untuk pertama kalinya, saya berteriak, ”Derabat!” Apa makna teriakan ini saya tidak tahu. Namun, burung ini kemudian melongok ke arah saya. Lalu meluncur dengan cepat, dan berusaha menyerang wajah saya. Untung, saya sudah siap dengan kelincahan tubuh untuk berkelit, dan dengan cemetiuntuk menghajar, kalau perlu.

Sebagai penarik pedati, tentu saja saya mengenal berbagai macam burung. Sudah begitu banyak tempat yang saya kunjungi, dan sudah begitu benyak jalan yang saya lalui. Di berbagai tempat dan di berbagai jalan, entah pagi, entah siang, atau pun malam, begitu banyak burung yang pernah saya jumpai. Perilaku mereka pun sudah benar-benar saya kenal. Bahkan tanpa melihat, dan hanya dengan mendengar kepak sayap mereka dari jauh, saya sudah tahu siapa mereka. Bau tubuh mereka pun, sudah saya kenal dengan baik. Hukum turun-menurun penarik pedati memang telah melengkapi saya dengan penciuman yang tajam pula.

Sementara itu, sebagai pengangkut ikan segar, apalagi sudah bertahun-tahun, saya hafal benar sekian banyak macam burung pemakan ikan segar. Bagaimana cara mereka berkelebat untuk kemudian menukik dan mengambil ikan segar dari pedati, saya tahu benar. Dan memang, saya bersahabat dengan mereka. Silahkan mereka mengambil ikan segar saya sebab saya tahu benar mereka sama sekali tidak serakah. Dari gerak-gerik mereka saya juga tahu bahwa mereka berusaha untuk mengucapkan terima kasih. Dan mereka juga memberi tanda-tanda bahwa mereka siap menolong saya, manakala saya menghadapi bahaya.

Berhadapan dengan Derabat atau semacam Derabat, sekali lagi, saya benar-benar belum pernah. Derabat selalu menyerobot ikan sebanyak-banyaknya. Andaikata semua ikan itu dia makan, atau katidakanlah, dibawa terbang jauh untuk diberikan kepada para kerabat, kalau dia punya, saya tidak berkeberatan. Namun ikan-ikan itu dia buang-buang di berbagai tempat di jalan yang saya lalui. Dan dia sanggup memilih ikan-ikan yang bagus dan besar

Jadi, mula-mula dia berkelebat gagah, kemudian menukik tajam. Dengan kecepatan yang sulit dibayangkan, dia ambil ikan yang paling bagus. Lalu, dia berkelebat menjauh, sekejap kemudian dia datang lagi, mencuri lagi. Demikianlah seterusnya, sampai berkali-kali. Lalu, dengan sikap sangat mengejek dia meninggalkan saya, untuk mendatangi saya lagi keeseokan harinya.

Sebenarnya hukum turun-temurun penarik pedati sudah mengajarkan saya untuk mempertahankan diri dan untuk mempertahankan harta benda, khususnya dalam perjalanan. Saya tahu bagaimana saya harus mempertahankan diri, dan bagaimana saya harus menggempur musuh, baik dengan tangan kosong maupun dengan cemeti, belati, gada, dan apa pun juga yang dapat saya pergunakan. Semua perlengkapan sudah saya siapkan dengan baik.

Namun, saya percaya, kekerasan adalah jalan terakhir. Saya yakin bahwa dengan kasih sayang, saya harus mampu membuat siapa pun, termasuk binatang-binatang kurang ajar, untuk menjadi sabat. Dan selama ini, hanya satu kali saya gagal. Sudah berpuluh-puluh kali saya dirampok dalam perjalanan. Semua perampok, kecuali satu, dapat saya buat yakin bahwa merampok sama sekali tidak baik. Saya ajak mereka bicara, saya jamu mereka dengan bekal makanan saya, dan saya kasih mereka uang dengan tulus. Akhirnya, mereka tidak pernah mengganggu saya. Beberapa di antara mereka, bahkan, pernah menolong saya pada saat saya menemui kesulitan.

Sekali lagi, hanya satu kali saya gagal, yaitu ketika saya berhadapan dengan perampok juling. Sudah berkali-kali saya berusaha untuk mengajak dia berbicara, tapi dia tetap ngotot melancarkan serangan-serangan yang benar-benar mematikan. Setelah benar-benar saya yakin bahwa dia memang suka menyakiti, memperkosa, dan membunuh, saya tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengirim dia ke neraka.

Dengan penuh penyesalan karena tidak mempunyai pilihan lain, saya lempar bangkai dia di tempat yang tidak mungkin dilacak oleh siapa pun kecuali oleh anak-turun penarik pedati yang benar-benar hormat kepada nenek moyang mereka, bangga akan pekerjaan mereka sebagai penarik pedati, cerdas, cerdik, terlatih, dan berpengalaman luas.

Berhadapan dengan Derabat, saya juga bersikap sabar. Akan saya anggap dia sebagai manusia jahil, dan akan saya dekati dia dengan jalan baik-baik. Tidak terlintas di pikiran saya bahwa saya akan menyakiti dia. Bahkan, setelah dia menyerang wajah saya, dan jelas mengincar mata saya untuk dicabut oleh cakar dia, saya masih terus bersabar. Saya memang berkelit dan menghantamkan cemeti bukan untuk melukai dia, tapi untuk memberi tahu agar dia jangan berbuat kurang ajar lagi.

Namun, pada suatu hari dia mulai menghilang. Selama beberapa hari dia tidak pernah tampak. Kemudian ketika muncul kembali, dia hanya berkelayapan di atas sana dengan sikap yang sangat manis. Karena dia sangat besar, tubuh dia juga melempar bayang-bayang yang amat besar dibanding dengan bayang-bayang burung-burung lain. Benar-benar menakjubkan.

Tapi karena dia bersikap manis, dengan sikap manis pula saya berteriak, ”Derabat, turunlah! Mengapa kamu tidak mengambil ikan? Silahkan!”

Dengan sikap sopan dia melesat, kemudian menghilang.

Selama beberapa hari, dia tidak tampak lagi.

Namun beberapa hari kemudian, saya merasa ada sebuah suasana yang benar-benar tidak enak. Tidak seperti biasa, langit sepi tanpa burung, semua sahabat saya tidak ada.

Barulah beberapa saat kemudian, ketika pedati saya sedang melesat dengan kencang, saya melihat pemandangan yang benar-benar mengharukan. Di tengah jalan, tampak bangkai seekor burung. Bahkan dari jauh pun saya sudah tahu bahwa bangkai itu tidak lain adalah burung sahabat saya. Setelah menguburkan bangkai sahabat saya, saya segera melanjutkan perjalanan. Kuda saya pacu lebih cepat, supaya tidak terlambat.

Ternyata, saya menemukan bangkai lain. Demikianlah, pada jarak-jarak tertentu, saya menemukan bangkai-bangkai burung. Dan semua itu adalah bangkai-bangkai sahabat saya.

Dari semua bangkai itu, saya tahu siapa yang telah berbuat begitu keji. Tidak lain dan tidak bukan, dialah derabat. Dia bunuh sahabat saya satu per satu, kemudian dia letakkan bangkai-bangkai sahabat saya di tempat-tempat tertentu yang akan saya lalui.

Setelah yakin tidak akan menemukan bangkai lagi, saya pacu kuda keras-keras. Saya tidak boleh terlambat menyerahkan ikan segar kepada saudagar ikan langganan saya. Dan setelah menyerahkan ikan dan meyelesaikan semua perhitungan, saya putuskan untuk tidak pulang.

Malam itu, setelah merawat kuda dan menyembunyikan pedati, saya menginap di sebuah hutan. Untuk menjaga diri ter hadapberbagai bahaya, saya tidur di sebuah pohon tinggi. Dan agar kuda saya tidak terganggu oleh apa pun, kuda itu itu saya perintah untuk tidur tidak jauh dari pohon. Kalau ada apa-apa, saya bisa segera meloncat ke bawah. Cemeti dan belati sudah saya siapkan dengan baik. Dan di tempat tersembunyi dalam pedati, sudah saya siapkan sebuah gada ampuh peninggalan nenek moyang.

Saya sempat bermimpi. Dalam mimpi saya melihat, bahwa Derabat tidak lain adalah Matropik, dan Matropik tidak lain adalah Derabat. Kalau saya berhasil melumpuhkan salah satu di antara mereka, berarti saya dapat melumpuhkan kedua mereka sekaligus.

Demikianlah, selama beberapa malam saya tidur di hutan-hutanyang berbeda. Saya berpindah-pindah dengan alasan yang saya sendiri tidak bisa tahu. Dan saya tidak pulang hanya hanya karena saya belum tertarik untuk pulang. Tapi kuda dan pedati saya tetap saya rawat dengan baik. Dan pekerjaan saya sebagai pengangkut ikan segar juga berjalan biasa-biasa saja.

Setelah beberapa hari tidak pulang, pada suatu malam saya merasa tidak enak. Tapi saya berjalan terus. Dan memang, ternyata tidak ada apa-apa.

Tapi, mungkin saya keliru. Mungkin pemburu Matropik sedang menciptakan kesengsaraan-kesengsaraan baru di desa saya. Andaikata benar, alangkah terkutuk saya. Seharusnya saya ada di sana, dan menjadikan pemburu Matropik penghuni kubur. Saya sadar bahwa ternyata selama ini saya bersikap diam, kendati kalau perlu seharusnya saya sanggup berhadap-hadapan dengan pemburu Matropik. Andaikata benar-benar terjadi, alangkah menarik.

Maka, saya putuskan untuk kembali, segera setelah pekerjaan saya selesai.

Demikianlah, segera setelah mengambil ikan segar di pelabuhan, seperti biasa saya menuju kota. Seperti biasa, jalan sepi. Namunm, tidak seperti biasa, di langit sama sekali tidak ada burung.

Ternyata, di sebuah ujung jalan ke kota, di sebelah sana tampak ada sebuah sosok berdiri sambil menenteng senapan. Dia menunggu pedati saya mendekat. Dan dia tidak lain adalah pemburu Matropik.

”Ke mana kamu minggat selama beberapa hari ini, penarik pedati anjing?” tanya pemburu Matropik

”Mengapa kamu bertanya, pemburu Matropik?”

”Karena kamu telah berbuat dosa, penarik pedati buduk”

”Apa maksud kamu, pemburu Matropik?”

”Setelah semua burung kamu bunuh, saya tidak mempunyai mangsa untuk saya buru”

”Saya tidak pernah membunuh burung, pemburu Matropik”

”Saya tidak perrrlu penjelasan kamu, penarik pedati anjing”

”Kalau begitu, pemburu Matropik, minggirlah kamu”

”Saya akan minggir, setelah saya puas menembak kepala kamu”

”Untuk apa, pemburu Matropik?”

”Kamu sudah lama ridak pulang, anjing buduk”

”Lalu?”

”Berarti, semua keuntungan kamu sedang kamu simpan dalam pedati”

”Dan kamu menginginkan semua penghasilan saya, pemburu Matropik?”

”Jangan banyak omong, anjing. Saya memerlukan kedua-duanya. Kepala kamu, lalu harta kamu”

”Bodoh benar kamu, pemburu Matropik. Kamu pemburu, tapi kamu tidak tahu. Saya hanya penarik pedati, tapi saya mencium bau sesuatu dan mendengar sesuatu”

bau inilah yang sebenarnya saya cari. Dan suara ini pulalah, yang sebetulnya juga sudah saya tunggu-tunggu. Tanpa mendongak ke sana-sini saya tahu bahwa sebetulnya Derabat sedang melayap di atas sana.

Benar, saya kemudian merndengar Derabat menukik ke bawah, namun pemburu Matropik sama sekali tidak sadar.

Seperti biasa, Derabat memang cerdik. Dia berusaha untuk tidak menimbulkan suara kendati saya tetap mendengar suara dia menukik. Dan dia juga mengambil ancang-ancang dari tempat yang tepat sehingga tubuh dia tidak menampakkan bayangan di tanah.

Ketika pemburu Matropik sadar, sudah terlambat. Derabat sudah berkelebat menuju ke arah pemburu Matropik, dengan kecepatan yang benar-benar tinggi. Pemburu Matropik, dengan senririnya, sudah tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat apa pun.

Demikianlah dengan gerak yang sangat jitu, Derabat menghajar wajah pemburu Matropik. Senapan melesat, dan saya ikut melesat. Senapan segera saya tangkap, saya buang pelurunya, kemudian saya hantamkan ke sebuah batu besar. Rusak.

Derabat segera melesat ke atas, tapi dengan kecepatan melebihi kilat dia merangsak, kembali menyerang pemburu Matropik. Tampak pemburu Matropik benar-benar kelabakan. Namun, sama sekali saya tidak mempunyai minat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Karena pemburu Matropik tidak lain adalah Derabat, dan Derabat tidak lain adalah pemburu Matropik, mereka pasti akan saling memusnahkan. Biarlah iblis bertempur melawan iblis.

Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/derabat.html

Seseorang dengan Agenda di Tubuh

Pringadi Abdi Surya
http://suaramerdeka.com/

(1)
BIASANYA, setiap cerita pembunuhan akan dimulai dengan ditemukan mayat korban. Lalu dimulailah penyelidikan oleh seorang inspektur polisi yang meneliti satu per satu misteri sampai ditemukan motif dan bukti-bukti yang mengarah ke siapa pelaku pembunuhan. Tetapi, saya tidak akan bercerita dengan metode kuno seperti itu. Saya akan mulai dengan sebuah pengakuan: sayalah yang telah melakukan pembunuhan dengan memukulkan benda keras ke kepala, berkali-kali (saya akan berhenti kalau sudah merasa puas), sampai berdarah-darah dan sang korban sudah tak lagi mengembuskan napas. Kemudian, akan saya tinggalkan sebuah jam dinding di samping mayat korban. Jam dinding yang jarum-jarumnya sudah saya atur sesuai urutan dan waktu pembunuhan.

Ini sudah korban yang kesebelas. Tidak seperti cerita-cerita yang umum terjadi, saya tidak butuh topeng darah misterius yang bikin saya jadi gila. Saya juga tidak memiliki kepribadian ganda atau motif biasa seperti untuk melindungi diri, kepentingan bisnis, atau cinta. Tiba-tiba saya jadi ingin membunuh kalau ada orang yang rasanya ingin dan sedang berbohong pada saya. Saya tahu itu dari matanya. Saya tahu dari bahasa tubuhnya. Mudah sekali mengenali orang-orang yang bisa berbohong. Terlebih saya adalah seorang psikolog. Bertahun-tahun bergelut dengan kepribadian dan bahasa tubuh seseorang.

(2)
Namun, cerita ini tidak bisa dimulai dari jarum jam yang kesebelas. Semua akibat pasti memiliki sebab. Setiap perjalanan pasti memiliki permulaan. Begitupun pembunuhan ini yang juga mengenal kata kali pertama. Tetapi, sebelum kamu tahu siapa dan bagaimana saya membunuh korban pertama, hendaknya dipikirkan apa cita-citamu semasa kecil. Cita-cita yang kerap ditanya oleh ibu guru gendut yang tiap bagi rapor akan menanti kue-kue kecil dari muridnya. Kemudian sebagian kue dibagikan lagi ke setiap murid. Sementara sebagian yang lain (yang biasanya lebih banyak atau lebih enak) akan ia bawa pulang ke rumah. Dibagikan kepada anak-anaknya sendiri.

Cita-citaku ingin jadi pesulap. Mengeluarkan burung dari topi. Memotong-motong tubuh tetapi tidak mati. Tetapi mereka bilang pesulap itu tukang bohong. Pesulap itu tukang tipu. Ada pula yang bilang pesulap itu budak setan, penentang Tuhan. Saya ingat siapa yang bilang itu. Dia seorang anak yang bercita-cita jadi polisi. Saya geli dengan profesi yang satu ini. Baru kemarin saya kecurian. Kemudian saya ke kantor polisi melakukan pelaporan. Bukan bantuan yang saya dapatkan, saya malah dimintai biaya Rp 200.000 dengan alasan untuk biaya administrasi. Begitu pula ketika saya baru lulus sekolah, Rp 20.000 melayang untuk mendapatkan surat berkelakuan baik. Bayangkan betapa paradoksnya profesi yang satu ini. Saya hanya miris melihat slogannya yang berbunyi melayani masyarakat. Benar mental pelayan yang bergaji rendah, tetapi diam-diam mencuri barang milik majikan. Tidakkah kamu juga berpikir demikian, bahwa rakyat adalah majikan, adalah Tuan? Tetapi, berkat itu pula saya jadi mengerti, bahwa polisi-polisi di negeri ini banyak tak memiliki dedikasi, tak memiliki kemampuan untuk menyelidiki sebuah misteri. Terlebih misteri pembunuhan.

“Kamu tidak punya cita-cita lain selain jadi tukang sulap, Nak?” tanya ibu guru itu. Saya diam, memikirkan hal-hal lain seperti dokter, pilot atau presiden. Tetapi belum sempat saya menjawab, laki-laki kecil tadi berteriak, “Dia ‘kan anak pelacur, Bu…tidak pantas punya cita-cita!” Dan dia (beserta teman-temannya) menertawakan saya. Saya tidak menjawab meski sangat ingin mengatakan kalau ibu saya bukan pelacur. Ibu saya adalah seorang ibu yang baik hati dan bekerja siang malam untuk menyekolahkan saya.

(3)
Mempunyai ibu yang dicap pelacur adalah takdir saya.

Ibu memang suka pulang malam. Malam sekali sampai televisi hanya menyisakan gambar semut buram. Kata Ibu, semut-semut di dalam televisi itu sedang bertengkar memperebutkan posisi raja. Ibu juga bilang kalau semut itu hanya punya satu ratu yang berkuasa. Ratu yang mengatur segala-galanya. “Ibu adalah ratu saya,” saya katakan itu kepadanya dan dia tersenyum sambil kembali menyanyikan tembang yang tak saya ketahui judulnya. Tetapi, tembang itu selalu berhasil membuat saya tertidur.

Saya juga tidak punya teman. Tetapi tak ada yang berani melawan saya jika sudah menyangkut soal pelajaran. Saya selalu jadi juara kelas. Saya selalu meraih nilai tertinggi di setiap pelajaran yang saya ikuti. Laki-laki kecil yang bercita-cita jadi polisi itu tentu mendapat nilai terendah. Saya jadi tertawa-tawa sendiri kalau memikirkan asumsi ini, bahwa setiap laki-laki yang bercita-cita jadi polisi adalah laki-laki yang paling bodoh dalam pelajaran dan paling pandai membuat ulah pada masa kecilnya. Karena itulah, daripada suatu saat mereka ditangkap polisi, lebih baik mereka jadi polisi.

“Anak pelacur pasti mencontek. Mana ada anak pelacur yang pintar. Anak pelacur hanya akan jadi pelacur.”

Dia mulai mengolok-ngolok saya lagi. Kali ini saya tidak bisa menahan emosi. Saya berjalan mendekat. “Kamu mau apa?” tanyanya menantang.

Seketika saya lemparkan pasir ke matanya. Saya tendang kemaluannya. “Semoga suatu saat kemaluanmu ini tidak kau pakai di tempat pelacuran!” ucap saya dengan kasar.

(4)
Apa dari tadi kamu berpikir saya ini seorang lelaki?

Kamu salah. Saya seorang perempuan. Murni seorang perempuan.

Sudah hampir 17 tahun berlalu sejak saya menendang kemaluan laki-laki (untuk pertama kali). Untuk perihal yang satu ini, saya tidak ketagihan. Tetapi hanya jika ada kesempatan, saya akan melakukan lagi.

O, jangan dulu menuduh kalau ini perihal keturunan. Saya tidak suka disebut buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya.

Ibu memang pernah membawa laki-laki datang ke rumah. Tapi itu cuma satu kali. Hanya satu kali dan itu diakhiri dengan pertengkaran. Saya disuruh Ibu masuk ke dalam kamar, tetapi saya nekat mencuri dengar.

“Kamu tidak pernah bilang kamu punya anak?!” teriak laki-laki itu.

“Tapi kamu bilang mencintai aku apa adanya?” Ibu berkilah.

“Ah, persetan!”

Braak! Pintu dibanting dan laki-laki itu pergi entah ke mana.

Saya muncul dari balik kamar, “Siapa dia, Bu?”

Ibu diam saja.

“Apa dia ayah saya?” tanya saya lagi.

“Ayah? Kamu pikir kamu punya ayah?” Ibu menangis sambil tertawa. “Ayahmu mungkin saja pejabat. Mungkin saja dia wartawan keparat atau preman-preman pasar yang suka menggoda Ibu!” lanjut ibu berteriak.

Saya menangis. “Kenapa Ibu berbohong? Ibu bilang ayah adalah seorang prajurit yang pergi ke medan perang. Bukan pejabat. Bukan wartawan keparat. Bukan preman-preman pasar yang mengoda ibu?”

“Ibu ini cuma pelacur, Nak…,” Ibu diam.

Mengusap air mata. Membenahi rambutnya yang awut-awutan. “Kembalilah ke kamar, tidurlah, sudah terlalu malam,” lanjutnya.

Dan saya menurut saja. Tak lama Ibu menyusul dan memeluk saya. Masih ada air mata yang basah di pipi.

Keesokan harinya, Ibu sudah tergeletak tak bernyawa. Ada pisau yang tertancap di dada kirinya. Saya berteriak memanggil orang-orang. Orang-orang datang. Orang-orang panik. “Kamu tahu siapa pelakunya, Nak?” seorang polisi yang sedang mengidentifikasi bertanya pada saya.

Katanya Ibu bukan bunuh diri, tetapi dibunuh.

“Semalam ada laki-laki…” dan saya mulai bercerita tentang apa yang semalam terjadi. Tetapi saya tahu Ibu tidak mati di tangan sang lelaki. Tetapi di tangan saya sendiri, tentu, tanpa meninggalkan sidik jari.

Tak seharusnya kamu membohongi saya, Ibu…

(5)
Sendok. Air. Gula. Dan gelas. Kamu pilih yang mana?

Perempuan ini sepertinya akan menjadi korban kedua belas. Dia baru mengaku kalau ia tengah selingkuh. Padahal ia sudah bertunangan. Sebentar lagi akan menikah. Dia mengambil gelas. Itu artinya dia merasa menjadi wadah tempat menampung cinta. Pantas saja dia seolah bisa menerima semuanya. “Kamu tahu kenapa jam dinding itu selalu mengarah ke pukul dua belas?”

“Dia akan kembali ke pukul satu dan selanjutnya dan selanjutnya. Tidak hanya menuju pukul dua belas,” ia menjawab dengan enteng.
“Kenapa kamu selingkuh?” tanya saya lagi.

“Karena dia sudah lebih dulu selingkuh. Satu-satu kan?” jawab wanita itu.

“Kamu merasa bersalah?” saya mulai mengetuk-ngetukkan sendok ke gelas.

Matanya mengikuti setiap ketukan-ketukan saya. “Kamu tahu, setiap kamu dengar ketukan ini, kamu akan terlelap dalam dan lebih dalam?” saya mulai memainkan teknik hipnotis.

Dan tentu saja berhasil. Pelan tapi pasti dia mulai memejamkan mata. Lalu tertidur, masuk ke alam bawah sadarnya. “Mulai sekarang kamu akan merasa bersalah dan sangat ingin mati dengan membenturkan kepalamu ke jam dinding yang membentuk angka dua belas,” ucap saya memberi sugesti.

(6)
Apakah wanita tadi sudah mati? Apakah saya tertangkap polisi?

Pasti pertanyaan-pertanyaan semacam itu sekarang ada di dalam benak kamu.

Seorang polisi datang mengetuk pintu. Tentu laki-laki, seusia saya. Rambutnya rapi. Senyumnya juga rapi seakan sudah diatur satu centi ke kanan dan ke kiri. Tetapi, ada yang saya kenali. Matanya yang tengil dan tahi lalat di samping kanan hidungnya membuat saya tertawa geli, akibat sebuah prediksi.

“Maaf, apa benar perempuan ini adalah pasien Anda?” dia bertanya sambil menyodorkan sebuah foto.

Foto perempuan kemarin itu.

“Ya. Baru dua hari yang lalu dia datang kemari, berkonsultasi,” jawab saya.

“Dia ditemukan meninggal hari ini. Kemungkinan dia bunuh diri,” lanjutnya dengan tatapan menyelidik.

Saya tahu tatapan itu. Saya juga tahu harus bagaimana menghadapi tatapan itu. Saya tetap tenang dan juga balik menyelidik.

“Saya pikir dia tipe perempuan yang mandiri. Tidak mungkin bunuh diri. Apa tidak ada kemungkinan lain?” saya balik bertanya.

Balik menatap matanya. “Seperti dibunuh misalnya?” saya ajukan pertanyaan ini dan matanya terkesiap.

“Tidak, tidak ada petunjuk yang mengarah ke sana. Dia membenturkan kepalanya ke jam dinding sampai mati. Tapi…,” dia terdiam sejenak, “tapi ada yang aneh dengan jam dinding itu. Jarum jamnya tepat menunjuk ke jam dua belas, dan setelah diautopsi dia pun mati tepat di jam dua belas. Bukankah ini terlihat seperti bunuh diri yang sangat direncanakan?” gumamnya kebingungan, atau sengaja dibuat kebingungan.

“Sebentar…,” saya ke belakang.

Tak lama kemudian saya kembali dengan secangkir kopi.

“O, terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum. Dia meneguknya dengan pelan. Memandangi belahan di dada saya yang elegan. Saya pun sengaja sedikit menunduk. Matanya sudah seperti banteng yang mau menyeruduk.

“Menurutmu, apakah tukang sulap itu pekerjaan setan? Apakah tukang sulap itu adalah pekerjaan penipuan?”

Sejak saat itulah harusnya dia sadar bahwa matanya tak akan pernah lagi jelalatan. Matanya tak akan pernah lagi sembarangan. Dan jam dinding besar yang ada di ruang tamu ini pun berdentang keras menunjukkan pukul satu yang baru. Pukul satu yang berbeda.

2010

Sebuah Ihtiar Renjana-Reproduksi

Zaki Zubaidi
http://www.seputar-indonesia.com/

Menulis sastra membutuhkan kesetiaan. Untuk menjaga kesetiaan ini masing-masing individu (penulis sastra) memiliki kecenderungan yang berbeda.
Ada yang menjaga kesetiaan itu melalui sebuah kesendirian. Tapi ada juga penulis yang menjaga kesetiaan itu secara komunal.Hal ini memang sangat bergantung pada proses perkenalannya dengan sastra. Seseorang yang lahir dari hasil sharing komunitas maka karyakaryanya akan mempengaruhi sekaligus dipengaruhi anggota komunitas yang lain. Komunitas sastra mutlak dibutuhkan untuk menjaga iklim kesusastraan yang dinamis.

Sebuah lembaga pendidikan yang melabeli dirinya jurusan sastra pun tidak cukup mampu menyangoni mahasiswanya untuk menjadi kritikus maupun penulis sastra.Keluaran terbesar dari lembaga pendidikan itu tidak lain adalah guru, dosen, atau pengajar lainnya.Komunitas sastra pun lahir di tengah-tengah kegelisahan mahasiswa mencari orientasi masa depannya. Namun Surabaya adalah sebuah kota yang bergerak dengan cepat. Surabaya adalah lahan mencari uang.Surabaya tidak bersahabat dengan sastra maupun seni. Surabaya kota tanpa basa-basi.Tidak seperti Yogjakarta, Solo, Bandung, Lampung, maupun Denpasar yang begitu ramah dengan sastra dan kesenian lainnya.

Komunitas sastra kampus pun harus berhadapan dengan berbagai macam persoalan yang kompleks. Maka tak heran, hanya sedikit komunitas sastra kampus yang mampu bertahan. Yang banyak mereka hanya tinggal nama dan kenangan. Dalam sepuluh tahun terakhir komunitas sastra kampus yang masih terjaga eksistensinya hanyalah di Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Di dua kampus ini bercokol komunitas sastra yang sampai kini masih bertahan. Di Unesa misalnya, ada Komunitas Rabo Sore (KRS),di Unair ada Komunitas Gapus, dan terbaru ada juga Cak Die Rezim (CDR).“Di Unair dan Unesa itu sangat bagus.

Geliat komunitas di dua kampus itu sangat patut diperhitungkan,” kata Budi Palopo, pemerhati sastra yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Gresik. “Komunitas di dua kampus itu sama-sama telah mampu mewarnai kesusastraan Indonesia. Telah banyak namanama yang muncul dengan karyanya yang luar biasa.Para penulis itu muncul ke permukaan juga karena gesekan yang ada dalam komunitas mereka,” kata Budi Palopo. Cukup disayangkan jika di kampus-kampus lain tidak ada komunitas semacam itu.Padahal dengan semakin banyak komunitas semakin sehat iklim kesusatraan Surabaya.

Budi Palopo sendiri cukup akrab dengan penulis Surabaya karena pernah menjadi redaktur sastra sebuah media cetak. Dia sendiri adalah pelaku sastra yang aktif menulis geguritan. Bagi Budi Palopo, banyak hal yang membuat sebuah komunitas sastra tidak bisa bertahan lama.Salah satunya karena politik sastra.“Plerok-plerokan nang sastra itu gak penting blas,” tandasnya.Jika sesama penulis sastra atau komunitas sudah saling jegal,saling sikut,saling menjatuhkan, maka tidak akan lama eksistensinya akan hilang.Penulis jika sudah terjebak dalam politik sastra itu sama saja dengan bunuh diri. Hal itu merupakan eksistensi diri sendiri.

“Sudah tidak punya karya, hanya mengurusi eker-ekeran,”lanjutnya. Apakah kondisi saling menjatuhkan antar-komunitas atau antar-sastrawan ini sudah terjadi di Surabaya? Budi Palopo mengaku kalaupun ada tidak perlu dibesar-besarkan. “Sejarah akan mencatat semuanya,” ucapnya. Ditambahkan, yang penting juga adalah anjangsana antar-komunitas untuk sharing pengetahuan. Komunitas yang bisa dijadikancontohsaatiniadalahGapus dan Rabo Sore.“Strategi eksistensi sudah dipegang komunitas tersebut,”ungkapnya.

Komunitas Gapus memang lebih dulu meramaikan belantika sastra. Di tahun 90an karya-karya anggota komunitas itu sudah bermunculan di media cetak yang merupakan salah satu parameter produktivitas dan kualitas seorang penulis.“Saya tahu semangat mereka.Dimuat gak dimuat yang penting menulis dan kirim ke media.Saat itu internet belum seperti sekarang.Belum ada cyber sastra dan sejenisnya,” terangnya Eksistansi sastrawan Unair ini pun masih bertahan sampai sekarang. Adalah hal yang menggembirakan ketika pada tahun 2003 di Unesa lahir Komunitas Rabo Sore.

Budi Palopo mengaku sangat gembira dengan perkembangannya.“Dan teman- teman Unesa ini juga sudah semakin eksis sekarang. Karya-karya mereka juga sudah menyerbu media-media nasional. Sekarang menurut saya kondisi kesusastraan Surabaya, Jatim pada umumnya sedang bagus,”pungkas Budi Palopo. Sementara itu, pendiri Komunitas Rabo Sore Alek Subairi mengaku pentingnya sebuah komunitas untuk proses kreatif penulisan sastra.“Komunitas atau perkumpulan mutlak dibutuhkan untuk memperjuangkan gagasan-gagasan kreatif menjadi tindakan agar daya jangkaunya lebih luas.

Begitu kira-kira pada mulanya kami berdebat,” kata cowok gondrong ini yang mendirikan Komunitas Rabo Sore bersama Didik Wahyudi dan A Muttaqin Senada dengan hal-hal tersebut, Indra Tjahyadi juga menyatakan tidak mudah untuk mempertahankan sebuah keutuhan komunitas sastra kampus. Komunitas Gapus yang lebih dulu ada pun mengalami gesekan hingga keretakan.Namun karena kesadaran yang sama tentang pentingnya sebuah komunitas,maka Gapus bisa bertahan.

Dalam perkembangannya, dari Gapus ini lahir Forum Studi Seni dan Sastra Luar Pagar (FS3LP).“Sebut saja komunitas itu Luar Pagar,” kata Ketua Divisi Penelitikan FS3LP ini.

19 September 2011

Firasat

Ilham Yusardi
http://www.harianhaluan.com/

(I)

“Niar, kau lihat hape?” Bahar menyonsong istrinya di dapur. Niar mengaduk minuman pagi suaminya itu. Niar menoleh, menangkap suaminya menyembul separuh badan di pintu. Niar agaknya sedikit heran dengan kelabat lakinya.

“Hape Uda? Tidak. Biasanya sebelum tidur, Uda taruh di lemari kamar. Tentu masih disitu.” Tidak biasanya, pagi-pagi ia menanyakan hape. Lagi pula hape yang dibelikan Lara, putri tunggal mereka yang sekarang bekerja di ibu kota, memang jarang berbunyi. Hape itu baru seminggu di tangan Bahar. Ia sangat senang. Menangis mene­rima hape itu dari tangan Lara. Menangis bukan karena hapenya, tapi Bahar terharu, sebab itulah pemberian pertama Lara dari hasil jerih peluhnya bekerja. Ia bangga dengan pemberian itu.

Hape itu diberikan waktu Lara pulang, saat Lebaran. Mereka tiga beranak tertawa gembira dan suka cita dalam gurau di rumah, sewaktu Lara mengajarkan Bahar cara memegang hape, cara memencet tombol-tombol yang kecil. Mak­lumlah, penglihatan mata tua Bahar memang sudah sedikit kabur. Melihat huruf di tombol itu, ia mesti mendekatkan hape ke pelupuk matanya, mengernyitkan mata agar sedikit jelas. Dengan gigih dan berkali-kali, Lara ajarkan tombol apa yang mesti ditekan bila ada panggilan masuk. Kemudian bagai­mana pula cara menghubungi seseorang. Sehari dua-hari sejak itu, ayahnya mulai pandai cara menghu­bunginya, cara menerima telepon darinya.

“Nanti kalau Ibu atau Ayah rindu pada Lara, tinggal telpon pakai hape saja.”

Mereka gelak terbahak-bahak melihat cara kerja hape yang menurut mereka ajaib. Tentulah ajaib bagi meraka yang tidak tamat pendidikan dasar itu. Lagi pula, selama ini Bahar belum sekalipun menyentuh hape.

Bahar balik ke kamar. Gelagat­nya terdesak sangat. Diperiksa satu per satu laci lemari, tidak tampak. Dibalik-balik pula lipatan kain, tak terlihat.

“Tak ada, Niar!” Setengah bersorak ia memberitahu. Niar yang kini menating gelas kopi ke ruang tengah mulai terbawa panik.

“Lha, kan hapenya tidak berka­ki. Masa bisa jalan sendiri? Coba bawa bertenang dulu, terakhir kali Uda bersama hape itu kapan?”

“Tadi malam. Hape itu kuma­tikan sebelum ke surau. Sepulang dari surau. Sebelum tidur aku ke jamban. Kutaruh hape…”

“Nah tuh kan, jelas. Lihat di dalam saku celana yang Uda pakai tadi malam”

“Celana itu ke mana?”

“Tergantung di paku pintu kamar mandi.”

Berlari ia ke kamar mandi. Agak gemetar, diraihnya hape.. Matanya setengah berpicing me­nang­kap cahaya dari layar hape. Seperti yang pernah diajarkan, ia cari nama anaknya itu. Lara. Menemukan, ditekannya tombol hijau. Beberapa detik suara sambu­ngan, tuuuuuuuut… tuuuuut…

“Asalamualaikum, Ayah,” suara lembut dari lubang speker. Tak lain tentulah suara putrinya itu. Di seberang yang jauh.

“Lara? Kau biak-baik saja, Nak?”

“Alhamdulillah, baik Ayah. Sekarang Lara sedang mengajar. Ada apa, Ayah?”

“O, anu, ah…, tidak. Ayah cuma mencoba hapenya.”

“Ooo, Lara mengajar dulu ya, Ayah. Nanti kalau pulsa habis Lara kirim lagi.”

“Nggg, anu, tak perlu. O, mmm, Teruskanlah pekerjaanmu.”

Ia matikan hape. Seketika, perasaan galau yang memaksa ia bergesa mencari hape selesai sudah. Lega tegangan nadi yang merengsek jantungnya. Berhenti peluh dingin bersimbah di lekuk tengkuknya. Bagaiman tidak, ia tidak bisa lepas dari mimpi yang didapati tadi malam. Mimpi baralek, pesta kawinan di rumahnya. Lara, anak gadis tunggalnya itu menjadi anak dara. Ramai orang yang datang bertamu, bersuka cita. Mimpilah itulah menumbuh risau. Setahu Bahar, dari cerita yang beralih dari mulut ke mulut, yang telah menjadi rahasia umum, jika seseorang bermimpi baralek, akan ada seseorang dari keluarga yang bermimpi itu bakal meninggal.

Bahar keluar dari dalam kamar mandi.

“Ada apa Uda, pagi-pagi mencari hape?”

Dengan sendi yang kaku Bahar menghenyakkan badan di kursi busa yang sudah reot berpalung itu.

“Ada apa, Uda?”

Bahar menggeleng. Tanpa kata.

(II)

Jingga senja lingkar matahari luluh ke lambung bukit. Dari Towa, pengeras suara yang ditempatkan di puncak kubah surau, terdengar lengking bacaan Qur’an. Biasanya, kalau bacaan Qur’an sudah terde­ngar, itu tandanya waktu Magrib beberapa saat lagi.

Niar baru saja selesai mandi, duduk di kursi kayu, menghadap jauh lurus ke ujung jalan. Pintu rumah itu persis bergaris lurus dengan jalan yang menghampar panjang, sebelum kelok pertama ke balik bukit menumbuk pandang­an. Niar mendapatkan tanah jalan bersepuh emas langit. Bahar belum juga tampak di jalan. Tidak biasa­nya lakinya pulang keburu Magrib. Biasanya, pukul enam sudah di rumah, mandi dan bersiap ke surau.

Ada yang dirinduinya. Sejak Lara menamatkan sekolah MAN di nagari, Lara pindah untuk kuliah di kota. Kini, mereka berdua saja laki-bini di rumah gadang itu. Sudah empat tahun lebih rumah ini tidak terlalu riang. Bagi mereka berdua, hari-hari yang terlewati, terlebih perasaan hati Niar, sedikit sunyi agaknya.

Udara bergerak lamban, pelan menikungi baris pohon pinang, beringsut mengayunkan dahan cokelat yang merimbun di halaman rumah, merengsek ke segala sudut beranda rumah. Membelai kuduk Niar, sehingga ia bergeletar dingin, karena lembab sehabis mandi masih lekat di pori kulitnya.

Tiba tiba, Niar terkesiap dengan gerak melayang sesosok mahkluk dari kiri beranda. Rama-rama besar, sayapnya seukuran dua kali telapak tangannya. Warnanya hitam pekat dengan sedikit bercak kuning di tengah sayap. Seketika, entah sebab apa pula, ada sesuatu yang menyer­gap seluruh penjuru pembuluh darahnya, ada hentakan yang kuat menabuh jantungya. Matanya terpaku hampa menatapi gerak turun-naik kepak sayap yang pelan. Mulut Niar terkatup. Kerong­kongan­nya tercekat. Peluh menguap dari pori tubuhnya. Dingin.

Niar coba mengusir pikirannya yang spontan muncul begitu meli­hat rama-rama itu. Ia berusaha tidak larut dalam petanda yang diyakini oleh kebanyakan orang di nagari, bahwa kalau ada rama-rama besar, Rama-rama Orang Mati, begitu mereka menamainya, yang berkitar ke dalam rumah, itu membawa isyarat gaib, bahwa akan ada sanak saudara yang meninggal dari keluarga rumah itu. Lama Niar tertawan, rama-rama besar itu terus merengsek. Meski terantuk-antuk pada ukiran kayu dinding, si rama-rama seakan tahu arah pintu.

Walau ia telah dengan sepenuh hati membuyarkan pikiran itu, pada kali lain ia terseret juga arus geletar desir di nadinya. Segera Niar bangkit dari kursi, ia begerak ke dalam rumah, meraih gagang pintu, dengan pelan, terdengar ringkik engsel. Pintu mengatup. Tertutup rapat. Niar ia tak mau rama-rama besar itu menyelusup ke dalam rumah. Ia tak mau rama-rama itu menggerogoti dirinya.

“Niar…, Niar, kau di rumah Niar?” Ia tahu itu suara yang sedari tadi ia tunggu.

“Ya, Uda.” Pintu terbuka. Terlihat wajah Niar yang lembab dan pasi.

“Ada apa, Niar. Kenapa Kau pucat?”

Niar menggeleng. Tak ada kata.

Sepulang Magrib di surau, begitu ia menguakkan daun pintu, langkah Niar terantuk. Terkesiap alang kepalang,

“Lihat itu, Uda. Rama-rama urang mati!”

(III)

Lepas dua hari, Bahar juga istrinya, coba mengikis begalau hati mereka. Mereka mulai tidak mempersoal hal-hal yang tidak masuk akal. Tiap malam, sehabis Isya atau sebelum tidur, mereka selalu ditelpon oleh Lara. Penuh keceriaan mereka berbincang. Karena itu pulalah, mereka merasa semua berjalan baik-baik saja.

Namun hari itu, sebagaimana yang ia rencanakan pagi tadi, Bahar tidak pergi ke ladang yang letaknya di punggung bukit. Rencananya, ia mau membersihkan parak di belakang rumah saja.

Sore menjelang, Bahar masih sibuk mengayunkan parang mene­bas ranting-ranting perdu. Meski langit mendung, Bahar tidak terlalu khawatir. Sebab, bila hujan tiba tiba turun, tentunya ia bisa segera berlari ke rumah.

Di sela keasyikannya, di antara bunyi detusan mata parang mengena kayu, sayup-sayup tapi perlahan kemudian menjelas, tertangkap oleh indra dengar Bahar. Kicau burung. Tapi kicau itu, bukan pula kicau biasanya.

Pic…ciang! picciang!

Ia tahu sekali. Kicau itu, kicau burung murai. Suranya sangat deras dan dekat. Bahar menghentikan ayunan parangnya. Ia telusuri arah, asal suara itu. Dan…

Pic…ciang! picciang!

Seekor burung Murai hitam bertengger gelisah di pokok kakao.

Setahu ia, sebagaimana yang ia pahami dari turun temurun, burung itu menyebut kata piciang, mak­sudnya picing, menutup mata. Jika burung itu berkicau di sekitar rumah, burung tersebut hendak berkabar dalam isyarat, bahwa akan ada seseorang yang akan memicing­kan mata untuk selamanya.

Lagi lagi, ia menarik nafas dalam. Telapak tanganya dingin berpeluh. Dengan sekuat daya, ia buang pikiran itu.

Tapi…, pada detik berikutnya. Tanah tempat ia berpijak bergetar, dan dalam sekejap kian keras berguncang. Kuat sangat. Ia terhu­yung.

“Gempaaaaaa! Allahuakbar! Gempa, Uda! Gempaaaa!”

Niar berhamburan keluar. Bahar, dengan risau yang bersisa, mengumpul tenaga menyusul istrinya yang berlarian ke arah tanah lapang. Beberapa orang pun sudah berlari, berhimpun di tengah lapangan. Gempa itu sangat kuat berguncang.

Sejenak ia tercenung di samping istrinya yang masih mengatur napas. Pikiran Bahar berkelabat secepat kilat. Gempa sangat kuat yang baru saja terjadi dimanakah pusatnya? Biasanya, seperti yang ia saksikan di televisi, gempa sering terjadi di laut. Secepat kilat berkelabat ia teringat Lara, yang tinggal di ibu kota propinsi yang terletak di pesisir pantai. Secepat kilat ingatannya memutar balik tayangan gelombang Tsunami yang berkali kali ia lihat di televisi.

Setengah jam berlalu, sebagian orang balik ke rumah. Ia pun mengajak pulang istrinya. Tanpa menyebut risaunya pada Lara, ia menuntun istrinya pulang.

Sesampai di rumah, “Cepat, Uda. Cepat hubungi Lara,” ternyata istrinya pun sudah memendam risau yang sama.

Bahar menggengam hape dengan seksama. Di kepalanya berhimpum segala petanda duka yang belakang ini menyergap mereka. Mimpi baralek, Rama-rama Orang Mati, dan kicau burung Murai itu. Dengan se­genap daya, ia kuatkan menekan tombol seperti yang sudah ia pelajari.

Ia tempelkan hape ke telinga­nya. Ia tunggu denyit nada sam­bung. Namun…

Nomor yang anda tuju sedang…

“Lara? Kau baik-baik saja? Lara! Lara!” Ia menatap Niar yang sudah menggigit bibir…

Berulang kali Bahar menekan hape. Selalu saja, sesuara di hape menjawab…

The number you are calling is not active or out of coverage area. Please try again in a few minute…

Sementara istrinya, ada yang hendak runtuh di tebing matanya.

24 April 2011

Kamis, 22 September 2011

BUTON, PUISI DAN SEKANTONG LUKA

Sarabunis Mubarok
http://sastra-indonesia.com/

Selain aspal, tak banyak orang tahu tentang Buton -salah satu daerah di Sulawesi Tenggara. Buton masa lalu tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni, yang merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Buton yang pernah berjaya sejak abad 15, di masa Buton menjadi wilayah kesultanan yang berlangsung ± 600 tahun, hingga akhirnya menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1959.

Dan di akhir bulan Juni 2010, tiba-tiba Buton dibicarakan banyak orang pada forum-forum diskusi di Yogyakarta, Tasikmalaya dan Jakarta. Sebuah antologi puisi berjudul Buton, Ibu dan Sekantong Luka yang diterbitkan Frame Publishing, Yogyakarta, membawa suara nyaring namun mengiris hati. Adalah Irianto Ibrahim, seorang penyair muda dari Kendari datang dari masa lalu sejarah leluhurnya dengan membawa sekantong luka, mandat dari seorang ibu yang dadanya bertahun-tahun terhimpit sakit karena suaminya dipukuli, dicambuk, disetrum listrik dihimpit dengan meja hingga akhirnya digantung hidup-hidup di dalam penjara, dan lalu dinyatakan sebagai bunuh diri.

Puisi “Buton 1969” berangkat dari sebuah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di sana. Tahun 1969 Buton dituduh sebagai basis PKI hanya karena sebuah informasi bahwa Buton menjadi tempat penyelundupan senjata dari Cina. Bupati Buton, Muh. Kasim beseta lebih kurang 40 orang aparat pemerintah Buton dan anggota ABRI asal buton ditangkap tanpa surat perintah. Rumah-rumah penduduk digeledah dan banyak harta mereka dirampas. Buton banjir darah 4 tahun setelah G30S PKI. Padahal setelah dilakukan penyelidikan ternyata di Buton tidak ditemukan senjata dan tidak ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari Cina.

Dan puisi berjudul Buton 1969 adalah puisi pembuka antologi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim. Sebuah puisi yang bernafas berat, sentimentil, nestapanya mampu menyilet puisi-puisi yang lainnya, menebar darah yang lebih kental dari luka, lebih sakit dari kenangan.

Lalu sekantong luka, dititipkan seorang ibu bernama Ainun Kasim, Istri mantan Bupati Buton, Muh. Kasim kepada puisi-puisi Irianto Ibrahim. Puisi berjudul “Sekantong Luka Dari Seorang Ibu” merupakan puisi kedua dalam antologi tersebut. Dan Irianto Ibrahim berhasil menyuguhkan 2 puisi pembuka yang menyayat rasa kemanusiaan pembaca.

Bagi Irianto Ibrahim, tak hanya doa-doa, tapi bau tubuh seorang ibu adalah imaji lain yang ia bawa selain sekantong luka, ini dilukiskannya dalam puisi “Bunda, Kirimkan Nanda Doa-Doa”. Lalu dalam kegelisahan yang membara, kesepian begitu sakral dengan luka yang kian nganga. Hal ini menghembus dari sajak-sajak Irianto Ibrahim yang berjudul “Pertapaan Duka”, “Peminang Sepi”, “Alamat Maut”, “Ibu Tak Pernah Menangis”, “Kesaksian”, dan “Percakapan Maut”.

Tak perlu alasan apapun bagi Irianto Ibrahim, kenapa ia menuliskan peristiwa Buton 1969 dan segala realitas sosial di sana ke dalam puisi. Tapi justru alasan yang dibuat-buatlah yang memasuki puisi Irianto Ibrahim yang berjudul “Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana”. Bagaimana Irianto memuisikan para pendulang emas tradisional Bombana harus pulang dengan dada lapang karena 3 alasan: ancaman, mitos dan doktrin. 3 Alasan ironis yang dibuat-buat untuk memuluskan investor asing mengekplorasi kekayaan Bombana.

Dalam kegelisahan yang nanar atas realitas sosial yang ada, Irianto Ibrahim mampu menuliskan kemesraan yang ditata apik dalam puisi ”Suatu Ketika di Kamar Kontrakan”. Dalam puisi ada latar belakang sosial yang keras, perebutan tanah, peperangan karena lahan, membaur dalam diksi-diksi yang mengalir lembut. Sebuah kekhusukan menerima hidup apa adanya. Dalam ironi, bersama istri yang dicintainya, menata bisik di sebuah kamar kontrakan, kaulah rumah bagiku/ dan akulah rumah bagimu//.

Pada proses pengembaraanya, Irianto Ibrahim telah menyatakan dirinya sebagai perahu yang akan mengarungi lautan kepenyairannya. Menjaring ikan-ikan kebijaksanaan, memaknai kedalaman samudera cinta, dan bersama gelombang pasang, puisi-puisinya akan mengasinkan kehidupan. Ini ia tegaskan pada bait terakhir puisi ”Perahu Kanak-kanak” sebagai berikut:

Aku sangat bersungguh-sungguh menjadi perahu. Sebab/ kata ibu, perahulah hidup kami. Dan setiap kutanya pada/ ayah kemana akan ia tambatkan perahu itu saat pulang/ dari mata senja, ia dengan pelan membisikkan di telinga/ mungilku, dihati ibumu, katanya./ /

53 puisi hadir dalam antologi ”Buton, Ibu dan Sekantong Luka”. Ditulis dalam rentang tahun 2007-2010. Puisi-puisi yang ditulis tahun 2007 dan 2008 menggunakan diksi-diksi yang lebih longgar dan sedikit monoton. Sedang puisi-puisi yang ditulis tahun 2009 dan 2010 ada upaya untuk memperketat metafor dan menjaga benang merah dalam setiap sajaknya. Sebagai sebuah proses, Irianto Ibrahim tak hanya konsen pada tema-tema sosial-lokal, tapi juga berupaya untuk terus menemukan bentuk pengucapan puisinya agar menjadi lebih tajam dan mumpuni.

Paling tidak antologi ini telah berhasil memotret realitas sosial, korban dan rasa sakitnya. Dengan pengucapan yang lugas dan sederhana, tema besar antologi ini merembes ke hampir semua puisinya, membaur kedalam berbagai wacana, dan menjadikan antologi ”Buton, Ibu dan Sekantong Luka” penting untuk dibaca.(*)

Dikutip dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150237882810587
Dijumput dari: http://sastrakendarisultra.blogspot.com/2010/12/buton-puisi-dan-sekantong-luka.html

Profesi yang Terlupakan

Aguk Irawan MN
http://cetak.kompas.com/

Novel spektakuler Harry Potter tidak akan bisa dinikmati jutaan penggemar novel di Indonesia bila tanpa melalui proses penerjemahan. Berita-berita internasional yang berasal dari berbagai belahan dunia bisa dinikmati pembaca dalam negeri juga tidak terlepas dari jasa penerjemah.

Bisa dibayangkan, tanpa penerjemahan buku-buku berbahasa Inggris atau kitab-kitab berbahasa Arab, masyarakat akan kesulitan mengerti isi dari suatu buku atau kitab.

Namun, tahukah Anda, siapa yang berjibaku di balik penerjemahan karya JK Rowling sehingga karya itu bisa booming dan dinikmati jutaan orang di negeri ini. Siapa pula yang berperan besar dalam penerjemahan buku berbahasa Inggris atau kitab berbahasa Arab itu?

Pertanyaan seperti ini patut diajukan sebab harus diakui apresiasi masyarakat di negeri ini cenderung melupakan jasa seorang penerjemah. Hal ini bisa dibuktikan ketika karya terjemahan booming, penerjemahnya tak ikut terserempet rezekinya. Di dapur penerbit, seorang penerjemah sering menjadi bulan- bulanan editor dan penyunting. Ironisnya, tak sedikit redaktur penerbit itu, dengan sengaja atau tidak, sering alpa mencantumkan nama penerjemah dari buku-buku karya impor yang mereka terbitkan.

Kenyataannya memang, di negeri ini, profesi sebagai ”penerjemah” masih terasa asing, bahkan cenderung tidak dipedulikan. Tak ada remaja atau anak muda yang berminat untuk menggelutinya atau merebutnya sebagai jalan hidup atau profesi. Buat orang tua, apalagi. Kerja semacam itu tidak memberi kebanggaan apalagi jaminan kesejahteraan.

Hal itu seperti ”didukung” oleh industri buku karya terjemahan yang menjamur sekarang ini, masih belum memberikan penghargaan yang cukup pantas bagi seorang penerjemah. Hal ini bisa dibuktikan dengan sangat minimnya bayaran atas jerih payah mereka. Akibatnya, banyak penerjemah di negeri ini hidup dalam keprihatinan yang sangat.

Penerjemah dalam sejarah

Sebelum Islam datang di semenanjung Arab, terlebih dahulu telah berkembang pendidikan Sassanian yang dipelopori oleh Ardeshir Papakan, misalnya, dengan mengirimkan orang-orang terpelajar ke India dan kekaisaran Romawi untuk belajar bahasa mereka. Kemudian ia memerintahkan penerjemahan karya-karya tersebut ke dalam bahasa Pahlavi.

Mereka, kaum terpelajar yang menerjemahkan karya-karya itu, difasilitasi oleh penguasa. Tak sedikit nama-nama mereka dijadikan ”simbol” kebesaran kekuasaannya sehingga tradisi penerjemahan terus terpelihara secara turun-temurun.

Lambat laun, dari kegiatan penerjemahan ini terbentuk lembaga-lembaga pendidikan baru di kota-kota penting Persia, seperti Akademi Jundi-Shapur dan Akademi Maan Beit Ardeshiri. Dari kedua akademi ini pula muncul beberapa penerjemah ulung dari bahasa Sanskerta, Pahlavi, dan Syria.

Ketika Islam datang dan menemukan kejayaannya, kejayaan itu tidak diperoleh dengan tiba-tiba. Kejayaan itu diperoleh berkat kesadaran penguasa akan pentingnya ilmu pengetahuan dan keuletan para penerjemah. Misalnya, Khalid ibn Yazid ibn Murawiya (704-708 M), seorang penguasa Umayyah dianggap sebagai orang yang mendorong para sarjana Yunani di Mesir untuk menerjemahkan buku- buku Yunani ke dalam bahasa Arab dengan imbalan yang sangat tinggi. Peristiwa ini sering disebut sebagai proses penerjemahan pertama yang terjadi dalam dunia Islam.

Harun al-Rasyid (786-809 M), salah satu penguasa Abbasiyah, mempunyai peranan aktif dalam kemajuan dunia penerjemahan. Bahkan diriwayatkan ia telah mewakafkan lebih dari separuh harta bendanya untuk kepentingan penerjemahan manuskrip-manuskrip kuno Persia ke dalam bahasa Arab.

Al-Makmun, penguasa Baghdad (786-833 M), khalifah Abbasiyah paling berpengaruh, merupakan pemrakarsa pengetahuan dan karya-karya ilmiah melebihi Harun al-Rasyid serta menjadikan pencarian dan penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani sebagai tujuan hidupnya. Ia secara khusus mengirim sebuah misi kepada Raja Byzantium, Leon De Armenia, demi tujuan itu.

Dorongan kerja penerjemahan pada masa kejayaan Islam (golden age) terlihat dari penghargaan penguasa kepada jasa para penerjemah. Hunain ibn Ishaq (808-877 M), misalnya, ketika diangkat dan sebagai pengawas perpustakaan Bait al-Hikmah, setiap selesai menerjemahkan buku diberi hadiah emas oleh Al-Makmun senilai dengan berat buku yang diterjemahkan. Karena itu, tak mengherankan bila Jamil Shaliba dalam bukunya, Al-Falsafah al-Arabiyyah, berkesimpulan bahwa munculnya peradaban Islam disebabkan oleh dua hal utama: penghargaan yang tinggi penguasa kepada penerjemah dan keuletan para penerjemah. Karena dua hal tersebut, pilar-pilar peradaban Islam berhasil melahirkan banyak filsuf, dokter, astronom, ahli matematika hingga hukum berkelas dunia.

Ketika Imperium Islam Bani Abbasiyah semakin lemah oleh konflik internal, dan ketika bangsa Mongol masuk untuk menghancurkan Kota Baghdad, rotasi transmisi ilmu pengetahuan dari Islam ke Barat berjalan juga dengan cara penerjemahan buku-buku. Koleksi buku berbahasa Arab di Kordoba sebagai pusat peradaban kaum Muslim di Eropa telah menjadi cahaya penerang bagi seantero jagat Eropa.

Kemudian ribuan peneliti, pengajar, dan siswa dari seluruh dunia dan terkhusus Eropa telah menjadikan Kordoba sebagai kiblat ilmu pengetahuan dan kemajuan sains. Seluruh ide awal Renaissance dan revolusi sains Eropa berawal dari Kota Kordoba itu. Terbukanya tirai kehidupan baru ini mendorong masyarakat intelektual Eropa untuk menerjemahkan kembali sisa-sisa manuskrip Arab yang berisi berbagai disiplin ilmu ke dalam bahasa Latin, Hebrew, Spanyol, Italia, Catalan dan bahasa lain pada abad ke-12 dan ke-13.

Komitmen kuat

Disadari atau tidak, ilmu pengetahuan yang kita dapatkan sejak sekolah dasar hingga sekarang ini pun tidak terlepas dari jasa seorang penerjemah.

Namun, sekali lagi, profesi penerjemah di negeri ini masih terpinggirkan, bayarannya kecil, dan hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Karena itu, tak sedikit yang menjadikan profesi penerjemah sebagai profesi sampingan. Akibatnya, banyak buku terjemahan yang kualitasnya memprihatinkan.

Tidak bisa lain, jika negara ini ingin maju dalam ilmu pengetahuan dan peradaban, semua pihak harus punya komitmen kuat untuk meningkatkan penghargaan kepada profesi penerjemah. Sejarah telah membuktikan itu.

Aguk Irawan MN Pendiri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Menerjemahkan dan Menulis Sejumlah Sajak, Cerpen, Esai, dan Novel, Menetap di Yogyakarta.

Senin, 19 September 2011

Sang ‘Mata Kiri’ yang Mengembara

Sutardji Calzoum Bachri / Wawancara
Republika, 19 Agustus 2007

Untuk membuat janji wawancara dengan Sutardji Calzoum Bachri, ternyata tak mudah. Saat pembicaraan awal Senin (13/8) lalu untuk minta kesediaannya, dia menyediakan waktu Rabu (15/8) malam, dua hari berselang. Tapi sebelum pembicaraan melalui telepon genggam itu terputus, ia mengingatkan agar menelepon kembali sebelum waktu yang sudah ditetapkan.

Rabu itu, sebagaimana kesepakatan awal, telepon genggamnya yang berulang kali dihubungi tak pernah tersambung. Dari seberang memang terdengar nada sambung, tapi tak ada sahutan.

Namun, Asrizal Nur, rekan dekatnya, meyakinkan pada komitmen Sutardji, meski tidak seperti pada pembicaraan sebelumnya untuk menelepon lebih dulu. ”Datang saja. Dia pasti ke TIM (Taman Ismail Marzuki),” kata Asrizal Nur, ketua Yayasan Panggung Melayu, lembaga yang baru saja sukses menggelar Pekan Presiden Penyair, sebuah hajatan menghormati 66 tahun perjalanan hidup Sutardji.

Asrizal, yang saat itu berada di Pekanbaru meyakinkan, janji yang sudah disepakati dengan Sutardji tidak akan bergeser. Asrizal membuktikan ‘kedekatannya’ dengan Presiden Penyair Indonesia itu. Rabu malam di TIM –sebagaimana waktu yang disebutkan sebelumnya– telepon genggam Sutardji sudah on. Saat kembali dihubungi, terdengar suara, seakan meyakinkan bahwa ia memang memahami telah membuat janji untuk wawancara. ”Ya, tapi saya mau shalat dulu,” ucapnya.

Pria kelahiran Rengat, Riau Daratan, 24 Juni 1941 itu tampak berjalan menyusuri lorong kecil menuju masjid yang berada di bagian belakang pusat kesenian itu, beberapa saat setelah pembicaraan terakhir terputus. Dengan tas ransel yang menggantung di bahu kanan, Sutardji berjalan menunduk, menyeruak di balik cahaya lampu yang temaram.

Usai shalat Maghrib, penyair yang tidak merampungkan kuliahnya di Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran Bandung, ini kembali dengan langkah yang sama. Ketika jalan beriringan, Sutardji mengajak masuk ke sebuah warung di dalam kompleks kesenian tersebut. ”Kau bikin kopi yang enak,” pintanya kepada penjaga warung, sembari menanggalkan jaket dan topinya, dua benda yang akrab membalut tubuh lelaki berusia 66 tahun itu. Ia duduk di sebuah kursi, tas ranselnya diletakkan di kursi yang lain. Kopi pesanannya yang datang beberapa saat berselang segera ia aduk dengan sendok. Dia seolah ingin memastikan minuman itu pas sesuai kehendaknya. Lalu ia membuka pembicaraan dengan sebuah kalimat mengingatkan, ”Saya tidak mau bicarakan soal yang ramai dibicarakan.”

Sutardji, agaknya, tak ingin terlibat dalam perdebatan yang berkembang di kalangan seniman dan budayawan belakangan ini. Ia juga minta agar tidak ditanya soal-soal yang dianggapnya tidak ‘penting’ seperti sumber penghasilan sebagai seorang seniman dan penyair. ”Tidak usahlah yang gitu-gitu,” katanya kepada Burhanuddin Bella bersama fotografer Amin Madani. Maka, setelah kalimat-kalimat itu, wawancara yang berlangsung di sebuah rumah makan dimulai.

Acara Pekan Presiden Penyair yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun Anda ke-66 cukup meriah dan terbilang sukses. Tapi Anda sendiri, kabarnya, jarang merayakan ulang tahun. Bagaimana ceritanya hajatan besar itu bisa terselenggara?
Saya diberi tahu tiga bulan sebelum penyelenggaraan. Ternyata dia (Asrizal Nur) sudah punya rencana sejak lama.

Apa pertimbangan Anda sehingga mau menerima tawaran itu?
Saya lihat track record-nya, bagus. Dia orangnya mampu (bekerja), jadi saya mau. Dia sudah membuat acara-acara besar dan bukan (tipe) yang mencari uang. Tentu saya tanya kawan-kawan tentang dia.

Acara itu sukses, dihadiri banyak penyair dalam dan luar negeri. Bagaimana perasaan Anda atas kesuksesan itu?
Senanglah. Itu suatu acara yang menurut hemat saya bukan hanya penghargaan terhadap kepenyairan saya tetapi terutama sebagai suatu upaya untuk memberikan penghormatan terhadap perpuisian Indonesia pada umumnya.

Anda tampaknya kian religius. Sejak kapan?
Puisi-puisi saya sejak dulu sudah religius. Puisi-puisi saya dalam O, Amuk, Kapak (buku-buku buku kumpulan puisinya), itu religius. (Dia lalu membaca ulang beberapa bait-bait dalam puisi tersebut).

Anda akrab dengan julukan Presiden Penyair Indonesia. Bagaimana ceritanya sampai muncul julukan itu?
Itu awalnya waktu saya mau baca puisi. Dengan ‘pede’ (percaya diri) aku menyebut diri Presiden Penyair Indonesia. Jadi, itu karena percaya diri saja. Tapi, tentu saja orang melihat sendiri (karya-karya saya).

Apakah Anda tidak risih disebut begitu?
Ndaklah.

Di berbagai media massa, Anda menyebut diri mau menjadi Tuhan. Bisa dijelaskan maksudnya?
Kita mau mendekati sifat-sifat Tuhan, seperti sifat-sifat Tuhan yang Maha Penyayang, Maha Pemurah. Kita hanya mungkin bisa satu persen, tapi kita kan berusaha mendekati sifat-sifat itu.

Masa kepenyairan yang melebihi separuh dari usianya itu melahirkan pandangan sarat makna terhadap penyair dan karyanya. Puisi, bagi Sutardji, penting dilihat dari sisi manusia sebagi individu. Puisi bisa meninggikan dan meluhurkan martabat manusia. Yang penting dari sisi sosial, puisi bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah. ”Dilihat dari sisi kenyataan maupun secara teoretis puisi bisa menjadi unsur yang menciptakan sejarah, sebagaimana firman Tuhan menciptakan sejarah jagat raya,” ucapnya.

Dia lalu menjelaskan pemahaman itu dengan mengutip teks Sumpah Pemuda, sebagai teks puisi. Selama ini, urai Sutardji, teks Sumpah Pemuda selalu dilihat sebagai teks atau dokumen sosial politik. Tapi kalau kita ingin mencermati dari sudut puisi maka segera terlihat, ia juga bisa dianggap sebuah teks puisi yang utuh. Syarat yang diharuskan pada puisi ada terkandung penuh padanya.

Sebagaimana halnya puisi, seluruh isi teks Sumpah Pemuda itu adalah imajinasi atau mimpi, sesuatu yang tidak ada atau belum ada dalam kenyataan. ”Kami putera-puteri Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia. Waktu itu, 1928, belum ada dalam kenyataan putera-puteri Indonesia. Yang ada pemuda Jawa, pemuda Sumatera, pemuda Sulawesi, dan seterusnya. Juga belum ada Indonesia, yang ada dalam kenyataan Hindia Belanda,” ujarnya.

Demikian pula dengan ‘Kami putera-puteri Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia’. Waktu itu belum ada bahasa Indonesia. Yang ada dalam kenyataan adalah bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua-franca.

Teks Sumpah Pemuda itu, kata dia, menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata bagaikan mantera. ”Mantera Sumpah Pemuda inilah yang memukau para pembaca atau pendengarnya yang kemudian merealisasikannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan agar mimpi dalam Sumpah Pemuda menjadi kenyataan,” ujarnya.

Sutardji juga mengaku terkagum-kagum dengan Alquran terutama dalam surat Al Shu’ara. Bagi dia, surat itu secara tepat mendefinisikan profesi penyair: ”Mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya.” Memang, ulas Sutardji, pada kenyataannya penyair yang serius selalu mengembarakan perasaannya dan selalu konsentrasi pada penciptaan karya puisi dan bukan pada realisasinya atau pada upaya mengerjakan mimpinya itu –puisinya– agar menjadi kenyataan.

Profesi penyair, lanjut dia, adalah menciptakan sajak dan bukan mengerjakan sajak atau merealisasikan sendiri puisinya menjadi kenyataan. Tugas terakhir ini dibebankan pada pembacanya. Pada para pembacalah terjadi realisasi dari puisi itu berupa perasaan, empati, simpati, dan sebagainya. Berikutnya realisasi psikologis ini mungkin berkembang menjadi realisasi konkret di dunia nyata berupa tindakan-tindakan yang terinspirasi dari sajak tersebut.

Di usia Anda seperti ini yang kini sudah 66 tahun, apakah ada keinginan kembali ke daerah asal?
Maulah. Tapi, saya bisa bikin apa, ya. Di sini kan banyak teman, banyak yang bisa diperbuat.

Kabarnya, –bila Tuhan memanggil– Anda ingin dimakamkan di Riau, daerah asal Anda?
Saya ingin dimakamkan di Riau Kepulauan, tempat saya besar.

Kenapa bukan Riau Daratan, tempat kelahiran Anda?
Di sana (Riau Kepulauan) ada makam orangtua saya.

Anda tidak ingin pensiun sebagai penyair?
Sejak memutuskan jadi penyair, orang sudah pensiun.

Anda kok masih merokok. Tidak ada masalah dengan kesehatan?
Adalah (Ia terdiam sejenak).

Membebaskan Kata dari Makna

Predikat maestro perpuisian Indonesia tampaknya telah pantas disematkan padanya. Membandingkan dengan Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono menempatkan Sutardji Calzoum Bachri sebagai ‘mata kiri’ dan Chairil Anwar sebagai ‘mata kanan’ kesusastraan Indonesia. Namun, dalam dialog sastra di Kafe Penus, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), beberapa waktu lalu, kritikus sastra Maman S Mahayana menilai Sutardji lebih besar dibandingkan dengan Chairil Anwar.

Sutardji mengawali karier kepenyairannya di Bandung. Ketika itu ia masih tercatat sebagai mahasiswa FISIP Universitas Padjadjaran, pertengahan 1960-an. Bersama mahasiswa lain, ia aktif sebagai redaktur di Indonesia Express dan Duta Masyarakat, koran yang masa itu dikenal sering membuat tulisan-tulisan kreatif dan kritis menentang pemerintah.

Sajak-sajaknya juga banyak dimuat di Majalah Horison dan Harian Sinar Harapan Jakarta. Karya-karyanya sempat mengejutkan dunia sastra Indonesia di era tahun 1970-an karena ia menyodorkan puisi-puisi yang lain, berbeda dengan karya-karya sejenis masa itu. Bila penyair lain mengungkapkan kata-kata dalam karya, Sutardji oleh banyak kalangan dianggap membebaskan kata dari makna. Bait-bait puisinya bak mantera. Belakangan ini ia kemujdian dikenal sebagai penyair mantera. Itu tecermin dalam antalogi O, Amuk, dan Kapak yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, 1981.

Tidak heran bila pada 1975, Harry Aveling menerjemahkan dan menerbitkan sajak-sajaknya dalam kumpulan berjudul Arjuna ini Meditation. Judul kumpulan puisi terjemahan Harry, boleh jadi, tidak keliru. Pada seminar internasional yang diselenggarakan dalam Pekan Presiden Penyair, Juli lalu, karya-karya Sutardji dibedah dan dikaji oleh sejumlah sastrawan, dalam dan luar negeri. Sebutlah misalnya, Prof Dr Koh Young-Hun (Korea), Dr Maria Emelia Irmler (Portugal), Dr Muhammad Zafar Iqbal (Iran), Dr Harry Aveling (Australia), Dr Haji Hasyim bin Haji Abdul Hamid (Brunei), Suratman Markasan (Singapura), Dr Asmiaty Amat dan Dr Dato Kemala (Malaysia), serta Prof Dr Suminto A Sayuti (UNY) dan Dr Abdul Hadi WM (UI).

Salah satu kesimpulan dalam seminar itu menempatkan sajak-sajak berestetika mantera Sutardji umumnya sangat religius dan bahkan sangat sufistik.

Abdul Hadi WM bahkan menganggap nilai-nilai religiusitas sajak-sajak penyair ini sangat penting untuk diaktualisasikan guna mengimbangi kecenderungan budaya yang sangat sekuler dewasa ini.

Jejak langkah kepenyairan lelaki yang menikahi Mariam Linda, tepat di Hari Pahlawan 10 November 1982 ini, tak sebatas di dalam negeri yang ditandai dengan raihan berbagai penghargaan. Misalnya, hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1997-1998) dan Anugerah Sastra Chairil Anwar Dewan Kesenian Jakarta (1998).

Kiprah penyair ini juga bergema di luar negeri. Ia adalah peraih South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand (1979); pernah memperoleh kesempatan membacakan puisi-puisinya di Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda; mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika, 1975, dan menerima Anugerah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 2006.

Maka, tak salah bila Maman S Mahayana menyebutkan, ”Sutardji dapat dianggap sebagai salah satu tonggak terpenting perjalanan sejarah sastra Indonesia,” ujar Maman. Dia memang maestro.

Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VQVXUAJQVVdS

Menjawab Tantangan Guru

Batam Pos, 27 Des 2009)
Judul buku : Menjelajah Pembelajaran Inovatif
Penulis : Dr. Suyatno, M.Pd.
Penerbit : Masmedia Buana Pustaka
Cetakan : Oktober 2009
Tebal : viii +176 halaman
Peresensi : Salamet Wahedi *

Memperbincangkan pendidikan dewasa ini, seperti menelisik setiap sendi kehidupan manusia. Peranan dunia pendidikan tidak hanya sekadar mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih dari itu, dunia pendidikan memiliki tanggung jawab moral membentuk manusia seutuhnya. Yaitu manusia yang mampu memahami dirinya sendiri.

Terlepas dari peran-fungsinya bagi setiap manusia, dunia pendidikan juga menjadi cerminan bagi survivenya suatu Negara-bangsa di tengah kancah pertarungan globalisasi. Maupun sebaliknya, kemajuan suatu Negara-bangsa juga dapat diukur sejauh mana dunia pendidikan yang dibangun di dalamnya. Dengan kata lain, dunia pendidikan menjadi barometer suatu Negara-bangsa dalam membaca dan melihat posisinya.

Maka tidak heranlah, sepanjang sejarah Negara-bangsa Indonesia, persoalan menemukan konsep dunia pendidikan yang ideal tak pernah usai. Hal ini berbanding lurus dengan gerak laju zaman yang selalu ditentukan dari riuh redam ruang kelas ataupun ruang kuliah para cendekia.

Lebih jauh, mencuat gonjang-ganjing Ujian Nasional (Unas) yang meresahkan berbagai elemen peserta didik, merupakan bukti paling mutakhir, bahwa dunia pendidikan selalu menuntut pada setiap peserta didik untuk selalu memikirkan, merumuskan dan menemukan konsep pendidikan yang ideal.

Selain persoalan konsep yang ideal dalam membentuk manusia yang seutuhnya, yang perlu diperhatikan adalah substansi dan esensi pendidikan itu sendiri. Seperti disinyalir dalam beberapa dekade terakhir ini, bahwa dunia pendidikan telah banyak mengalami berbagai kegagalan dalam membentuk karakter manusia seutuhnya. Dengan kata lain, tugas pendidikan banyak terabaikan. Terutama memanusiakan manusia. Artinya, dunia pendidikan selama ini tak ubahnya penjara bagi anak didik.

Di sinilah, kehadiran paradigma dunia pendidikan kritis yang diusung Paulo Freire (1986) menemukan ruang kontemplasinya. Lewat keyakinan akan pentingnya landasan pendidikan sebagai sebuah proses memanusiawikan manusia kembali, Freire coba memberikan jalan alternatif untuk memberontak pada tradisi dehumanisasi yang menyelimuti dinding ruang sekolah.

Untuk lebih memahami konsep pendidikannya, Freire menjabarkan kesadaran manusia menjadi tiga macam. Pertama, kesadaran magis, yakni kesadaran yang tidak mampu mengetahui antara faktor satu dengan faktor lainnya. Kedua, kesadaran naïf, yakni kesadaran yang melihat aspek manusia menjeadi penyebab masalah yang berkembang di masyarakat. Ketiga, kesadaran kritis, yakni kesadaran yang melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah.

Dengan mengacu pada kesadaran yang terakhir ini, dunia pendidikan selalu mendapatkan pertanyaan dari setiap peserta didiknya. Pertanyaan yang selalu merongrong kemandekan dan kejumudan lingkungan tumbuh kembangnya dunia pendidikan. Dengan kata lain, kesadaran kritis ini menuntut pada setiap peserta didik untuk terus menerus mempertanyakan, merombak, mencari dan merumuskan kembali setiap konsep pendidikan sesuai ruang waktu ke-disini-an dan ke-kini-an.
***

Di tengah tuntutan, tantangan serta berbagai persoalan kegagagalan dunia pendidikan, sosok guru merupakan pihak yang paling tertuduh. Sosok guru merupakan orang paling dimintai pertanggung jawabannya. Bahkan tidak ada alasan apa pun, yang dapat diberikan oleh seorang guru untuk membela dirinya.

Maka, ketika ujian nasional digulirkan dengan standar kelulusan yang cukup fantastis, sosok guru pulalah, yang mula-mula merasa ketar-ketir. Ia mesti bertanggung jawab atas segala apa yang akan terjadi pada peserta didik: frustasi, stress, depresi dan segala keputuasaan mental generasi bangsa ini.

Maka perbaikan dan evaluasi pada kemampuan seorang guru, seolah menjadi hal yang logis untuk dilakukan pertama kali dalam memecahkan persoalan dunai pendidikan. Maka, kehadiran buku "Menjelajah Pembelajaran Inovatif" karya Dr. Suyatno, M. Pd. merupakan menu mujarab setiap guru dalam mempersiapkan dirinya sebagai peserta didik yang paling dituntut.

Dalam buku ini, sosok guru diajak untuk berkenalan dengan paradigma baru pendidikan, yang menekankan hadirnya prinsip pembelajaran yang inovetif dan keberanian seorang guru untuk melakukan inovasi. Dengan prinsip pembelajaran inovatif, seorang guru akan mampu memfasilitasi siswanya untuk mengembangkan diri dan terjun di tengah masyarakatnya. Hal ini dapat dipahami dengan memerhatikan beberapa prinsip pembelajaran inovatif, yaitu: (a) pembelajaran, bukan pengajaran; (b) guru sebagai fasilitator, bukan instruktur; (c) siswa sebagai subjek, bukan objek; (d) multimedia, bukan monomedia; (e) sentuhan manusiawi, bukan hewani; (f) pembelajaran induktif, bukan deduktif; (g) materi bermakna bagi siswa, bukan sekadar dihafal; (h) keterlibatan siswa partisipasif, bukan pasif.

Selain memberikan beberapa prinsip dasar, pembelajaran inovatif juga menekankan adanya pola dan strategi pendidikan yang utuh. Pola dan strategi pendidikan yang menitik bertakan pada tercipanya kesadaran peserta didik pada dirinya sendiri dan lingkungannya.

Selanjutnya, ketakutan dan keminderan seorang guru dalam melakukan ekpresi merupakan salah satu tumor pendidikan yang urgen untuk disembuhkan. Inilah salah satu hal yang esensial yang dibawa buku ini. Seorang guru sudah seyogyanya untuk yakin bahwa setiap guru tanpa terkecuali dapat berinovasi dalam pembelajarannya; seorang seyogyanya untuk yakin bahwa perbuatan-perbuatan kecilnya yang teliti, semisal mencatat perubahan tentang cara dan gaya mengajar setiap hari akan melahirkan hasil yang besar; serta seorang guru seyogyanya untuk terbuka menerima saran dan kritik dari guru lain, bila pola pembelajaran yang disampaikannya sama seperti yang kemarin (halaman 17)

Lebih jauh, keberanian seorang guru dalam berinovasi, serta merta akan membentuk karakternya menjadi kreatif. Kemampuan dan kapasitasnya, baik hard skill maupun soft skill, akan terasah dengan sendirinya. Kekreatifan seorang guru, akan berdampak tidak hanya pada pola komunikasi pembelajaran, tetapi juga akan membentuk suasana serta atmosfir pembelajaran yang menyenangkan (enjoy learning). Pembelajaran yang mampu mentransformasikan ilmu sekaligus mampu membetuk karaketr siswa yang manusiawi.

Di bagian akhir buku, juga diuraikan beberapa metode yang dapat digunakan oleh seorang kreatif dalam membangun suasana kelas yang familiar dan manusiawi. Suasana kelas yang tak lagi hadir sebagai ruang penjara yang dijejali teori, konsep dan tugas dari guru. Tetapi raung kelas yang mampu menggali potensi siswa dan menjernihkan nalar pikir anak didik dalam memahami dan mengaplikasikan kemampuannya untuk dirinya sendiri dan lingkungannya.
***

Di tengah berbagai tuntutan dan gonjang-ganjing dunia pendidikan, serta terealisasinya anggaran dua puluh persen APBN untuk pendidikan, kehadiran buku "Menjelajah Pembelajaran Inovatif'" memiliki arti dan peranan yang cukup penting. Pertama, buku ini dapat dijadikan referensi bagi setiap peserta didik untuk melihat paradigma baru dunia pendidikan masa kini.

Kedua, buku ini dapat menjadi media motivasi bagi setiap guru untuk lebih berani dalam melakukan pola dan strategi pembelajaran yang inovatif; pembelajaran yang mampu menciptakan ruang dan suasana kelas yang familiar dan harmonis, serta dinamis bagi anak didik.

Ketiga, buku ini dapat mendorong guru untuk lebih kreatif dalam melakukan transformasi keilmuan. Kreatifitas guru tentunya terletak pada kekayaannya memiliki metode dan aneka model pembelajaran, serta kecermatannya untuk memilih dan memilah metode dan aneka pembelajaran yang akan digunakan di setiap waktu yang berbeda.

Terlepas dari arti dan peran-fungsinya bagi peserat didik, terutama guru, buku "Menjelajah Pembelajaran Inovatif" memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi dunia pendidikan. Kehadirannya telah membuka simpul cakrawala dunia pendidikan yang masih dirundung ketidakpastian ujian nasional, yaitu simpul untuk menghadirkan suasana pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada akumulasi angka, tetapi juga nilai-nilai kemanusiawian.{}

*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=260597862274

Jumat, 16 September 2011

Puisi-Puisi Joko Pinurbo

Kompas, 21 Maret 2010
Embun

Subuh nanti aku akan jadi sebutir embun
di atas daun talas di sudut kebun.

Pungut dan sembunyikan di kuncup matamu
sehingga matamu jadi mata embun.
Atau masukkan ke celah bibirmu
sehingga bibirmu jadi bibir embun.

Sabar…, aku harus pergi dulu menjenguk
seorang bocah perantau yang sedang tertidur pulas
di bawah pohon besi di sudut kotamu.
Aku akan menetes di atas luka hatinya
yang merah menganga sampai ia terjaga:
“Terima kasih, telah kausangatkan perihku.”

Mungkin aku tetes terakhir dari hujan semalam
yang belum rela sirna sebelum bertemu
dengan ibusunyi dari bocah perantau itu.

Mungkin kau hanya akan memandangiku berkilau
di atas daun talas di sudut kebun
sampai aku menguap, lenyap, ke cerlap matamu.

(2010)



Orang Gila Baru

Sesungguhnya saya malas membaca sajak-sajak saya sendiri.
Setiap saya membaca sajak yang saya tulis, dari balik
gerumbul kata-kata tiba-tiba muncul orang gila baru
yang dengan setengah waras berkata,
“Numpang tanya, apakah anda tahu alamat rumah saya?”

Kuantar ia ke rumah sakit jiwa dan dengan lembut kukatakan,
“Ini rumahmu. Beristirahatlah dalam damai.”
Gila, ia malah mencengkeram leher baju saya dan meradang,
“Ini rumahmu, bukan rumahku.”

Pernah saya mendapatkannya sedang berlari-lari kecil
di jalanan panas, lalu mendadak berhenti, mendongak ke langit,
menghormat matahari. Kali lain saya menemukannya
sedang tercenung di pinggir jalan sambil tersenyum terus,
seperti orang malang sedang menertawakan nasibnya sendiri.
Saya hanya bisa berdoa dalam hati, semoga ia tidak pulang
ke dalam sajak-sajak saya.

Mungkin cara terbaik untuk mencegah kemunculannya
dan terhindar dari gangguannya adalah berhenti menulis.
Tapi kawan saya bilang, “Tanpa dia, sudah lama kamu mati.”

(2010)



Mas

Kota telah memberikan segala yang saya minta,
tapi tak pernah mengembalikan sebagian hati saya
yang ia curi saat tubuh saya dimabuk kerja.
Saya perempuan cantik, cerdas, sukses, dan kaya.
Semua sudah saya raih dan miliki kecuali diri saya sendiri.

Ah, akhir pekan yang membosankan. Ingin sekali
saya tinggalkan kota dan pergi menemuimu, mas.
Pergi ke pantai terpencil yang tak seorang pun bisa
menjangkaunya selain kita berdua. Saya ingin mengajakmu
duduk-duduk di bangku yang menghadap ke laut.
Akan saya bacakan sajak-sajak seorang penyair
yang tanpa sengaja menyampaikan cintamu kepada saya.

Wah, mas sudah lebih dulu tiba. Ia tampak gelisah
dan mondar-mandir saja di pantai. Saya segera memanggilnya:
“Ke sinilah, mas, jangan mandir-mondar melulu.”

Mas mendekat ke arah saya dan saya menyambutnya:
“Mas boleh pilih, mau duduk di sebelah kiri atau di sebelah
kanan saya.” Ia sedikit terperangah: “Apa bedanya?”
“Kiri: bagian diri saya yang dingin dan suram.
Kanan: belahan jiwa saya yang panas dan berbahaya.”

Diam-diam mas memeluknya dari belakang dan berbisik
di telinganya: “Kalau begitu, aku duduk di pangkuanmu saja.
Aku ingin lelap sekejap sebelum lenyap ke balik matamu
yang hangat dan sunyi. Sebelum aku tinggal ilusi.”
Perempuan itu merinding dan menjerit: “Maaasss….”

Pantai dan bangku mulai hampa. Senja yang ia panggil mas
lambat-laun sirna. Ah, begitu cepat ia rindukan lagi kota.

(2008)



Durrahman

Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.

Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kubereskan sekarang juga.”

Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.

Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.

(2010)



Doa Seorang Pesolek

Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.

Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.

Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.

Taburkan hitam
pada rambutku yang suram.

Hangatkan merah
pada bibirku yang resah.

Semoga kecantikanku tak lekas usai
dan cepat luntur seperti pupur.

Semoga masih bisa kunikmati hasrat
yang merambat pelan menghangatkanku

sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek bajuku.
Sebelum Kausenyapkan warna.

Sebelum Kauoleskan lipstik terbaik
ke bibirku yang mati kata.

(2009)

Joko Pinurbo lahir 11 Mei 1962. Ia tinggal di Yogyakarta. Buku kumpulan puisinya antara lainCelana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007).

Puisi-Puisi Fikri MS

http://sastra-indonesia.com/
Syair Penulis Tua dan Mesin Tik

Tidakkah kau tahu di balik tirai mata ini
Tersimpan harmoni hidup; memberi tanpa meminta.
Engkau adalah kekasih dalam dunia kisahku
Kita menari berdansa mencipta kata dan bahasa.

Kesendirian oh kesendirian ini
Karna waktu telah berubah

Dan
Ketika air mata pecah kau pergi menjauh aku sendiri mengurai mimpi
Menyala bagai pelita.

November 2010



Akulah Perempuan

Seperti rajawali terbang lepas
Menatap mengabarkan kisahnya kepada dara-dara yang dewasa.

Bahwa aku perempuan terlupakan.

Terbiasa dengan bahaya dunia menangis tanpa derai air mata
Karena cintaku hanya kehidupan bukan untuk meminta rawatan

Akulah perempuan karya diberkati cinta
Menjelma berganti rupa tundukkan duka derita

Dengarlah
Kusampaikan padamu kisah hidupku tentang dara dan cinta tanpa duka atau derita hidup ini.

Karena aku adalah perempuan.

November 2010



Aku Masih Ingat

Ini malam dingin sekali kita tumpahkan segala rindu
di bangku putih tempat biasa asmara terurai,

Cerita tentang esok…

Kau punya anak dariku
Aku jadi ayah engkau bundanya; bagi Lintang yang paling tua, untuk Jingga gadis nomor dua, dan Senja si bungsu yang lucu

Kita bicara tentang Lintang yang merengek minta dibelikan kaca mata
Sebab matanya silau karna begitu banyak papan iklan di jalanan

Kaca mata belum dibelikan
Si Jingga gadis kecil kita yang cantik mengadu padamu karna susu yang ia minum tak sama dengan minuman teman-temannya yang ber-strawberry

Dan Senja yang lincah menangis menjerit-jerit tak tahu apa maunya
Kita tersenyum menggelitikkinya sebab ia lebih suka naik di punggungku daripada mandi bola di Playing kids.

Ini malam dingin sekali, aku tersenyum sendiri mengenangmu
Dan anak-anak khayalan kita

Di bangku putih yang kian berlumut ini malam
Aku mengenang itu semua

Januari 2010-2011

———–
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.

Kamis, 15 September 2011

Pengakuan Djenar Maesa Ayu

Sandipras
http://warisanindonesia.com/

Mengaku mengidap obsessive compulsive disorder (OCD), Djenar Maesa Ayu menolak kesuksesannya dalam dunia sastra dan film dikait-kaitkan dengan mendiang sang ayah, sutradara Sjuman Djaja.

Empat belas lelaki baru saja selesai mengeroyok Djenar Maesa Ayu awal tahun ini, lahirlah antologi 1 Perempuan 14 Laki-Laki yang dalam tempo singkat sukses menarik peminat sastra negeri ini. Khalayak terpincut melihat daftar nama: Sardono W. Kusumo; Indra Herlambang; Agus Noor; Sujiwo Tedjo; Butet Kartaredjasa; hingga JRX (baca: Jerinx), musisi punk yang jauh dari gempita sastra, ikut menulis dengan gaya masing-masing.

Seolah belum puas merasakan “orgasme” buku tersebut, Djenar sudah kembali “asyik-masyuk” dengan novel terbarunya, Ranjang. Toh, waktunya tidak melulu habis membangun alur cerita novel yang direncanakan terbit tahun depan itu.

Tiba-tiba ia terlibat jadi penulis naskah film It’s Takes to Two Tattoo. Jadwal rapat ini-itu, tawaran ini-itu, sosialisasi ini-itu, menghambat kelancarannya menyelesaikan Ranjang.

“Ranjang itu punya banyak sekali gangguan, distraksidistraksi. Yah, karena bermunculan ide-ide yang lain, jadi enggak bisa fokus. Tapi, bagaimana pun juga harus selalu ada, dia sudah menjadi bagian dan menjadi utang,” demikian pengakuan Djenar, baru-baru ini.

Distraksi itu tidak muncul semata karena kesibukannya yang segudang. Sebagai orangtua tunggal, ibu dari Banyu Bening dan Btari Maharani sekaligus status baru sebagai Eyang Putri, mengharuskannya membagi waktu dengan malaikat-malaikat kecilnya.

Sesuai perjanjian dengan mantan suaminya, tercipta pembagian waktu kapan anak-anak berada di sekelilingnya, atau saat harus dalam asuhan sang mantan.

Seperti ucapan “nenek muda” berkelahiran 14 Januari 1973 berikut ini, “Kami mengatur waktu seminggu di rumah aku dan seminggu di rumah bapaknya. Sekarang ini seminggu bebas, jadi gue bisa rock n’ roll.”

Begitu ringan, begitu lepas dalam menyikapi hidup. Seperti ketidakpeduliannya pada keadaan sekitar saat asyik dalam dunianya sendiri, dengan laptop di hadapan, serta headphone besar membekap kupingnya di Birdie, sebuah warung bir di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Dan, ketika suntuk menjelang, ia akan bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah bar mencari papan catur siap menantang siapa pun yang berani melawan.

Sumber: http://warisanindonesia.com/2011/08/pengakuan-djenar/

Manunggaling Kawulo-Gusti

Theresia Purbandini
Jurnal Nasional, 14 Sep 2008

ABDUL Hadi WM pernah melahirkan kumpulan puisi yang begitu pekat diwarnai pemikiran tasawuf Islam. Kumpulan puisi tersebut, Meditasi, memenangkan hadiah buku puisi terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1978. Lalu, bukunya yang juga banyak mendapat perhatian, Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh, melukiskan kecenderungan pemikiran sufistiknya.

Menurut penyair Yonathan Rahardjo, gaya sufistik ini juga disosialisasikan oleh Abdul Hadi WM yang mengembangkan pengaruhnya pada tradisi penulisan puisi 1970-1980an. Ia bersama Kuntowijoyo dengan sastra profetik dan sastra transenden, Emha Ainun Nadjib dengan estetika kaffah, Danarto dengan cerpen-cerpen Islam kejawen, Darmanto Jatman dan Linus Suryadi AG dengan estetika Jawa, serta Wisran Hadi dengan estetika Minang, Taufiq Ismail dengan sajak-sajak sosial-religiusnya — sama-sama mengembangkan estetika sastra yang kemudian dikenal sebagai sastra sufistik.

Pendapat Yonathan ini didukung oleh penyair Akhmad Sekhu, yang menyebutkan gerakan tersebut sebagai arus utama dari gerakan “kembali ke akar”. Kembali ke sumber. Di antaranya: menjadikan nilai-nilai Islam dan sufisme sebagai sumber ide dalam bersastra. “Jadi puisi sufistik di Indonesia tidak lahir begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh sastra klasik Timur Tengah. Sebuah tempat yang disebut-sebut juga sebagai awal atau cikal-bakal peradaban dunia,“ kata Akhmad.

Begotulah mata rantai yang panjang dari tradisi sastra sufistik pun bisa ditarik dari Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, Al-Hallaj, yang di Indonesia mata rantai pun sudah mentradisi sejak Hamzah Fansyuri dengan Syair Perahu, lalu Amir Hamzah dengan sajak-sajak romantik-religiusnya. Barulah pada 1970-an, Abdul Hadi WM menghidupkannya kembali.

Estetika Timur

Sosok penting Abdul Hadi WM dianggap Yonathan tak hanya popularitas kepenyairannya, tapi juga dibekali paradigma sastra sufistik yang dikembangkannya. “Jelas sebetulnya dialah yang menyebarkan konsep ini, selain sebagai seniman dia juga ilmuwan sastra,” kata Yonathan.

Sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporer, melalui puitika sufistik yang dikembangkan AbdulHadi WM. “Abdul Hadi WM ikut menafasi kebudayaan kita dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami, yang ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual. Pemikiran sufistik dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat yang hedonis dan sekular,“ kata Yonathan lagi.

Dalam salah satu puisinya, Tuhan Kita Begitu Dekat, diakui Yonathan, Abdul Hadi rupanya dengan tandas menuliskan tentang kemanunggalan atau menyatunya dirinya dengan Tuhan, seperti kemanunggalan api dengan panasnya. Dengan puisi itu Abdul Hadi ikut mengkristalkan konsep kemanunggalan makhluk dengan Tuhan yang dalam mistik Jawa disebut manunggaling kawulo-gusti dan dalam ilmu tasawuf disebut tasawuf union mistica atau wahdatul wujud.

Abdul Hadi menyediakan diri sebagai nyala, cahaya, penyuluh, penerang jalan, jika lampu Tuhan (agama) padam. Hal ini tampak sebagai komitmen Abdul Hadi dalam bersastra, seperti tersirat pada sajak-sajaknya yang lain, bahwa bersastra, menulis puisi, adalah bagian dari upaya untuk mencerahkan rohani masyarakat (pembaca).

Disisi lain, Akhmad Sekhu juga menambahkan bahwa puisi Abdul Hadi menyiratkan makna yang dalam di balik kesederhanaan kata-katanya. Sebuah karya yang populis, dikaryakan dengan totalitas melalui sumber-sumber agama dengan menyiratkan ayat-ayat agamanya serta bersentuhan dengan alam, karena alam merupakan ayat yang tercipta dari Tuhan. Yang tersirat dan yang tercipta disandingkan di dalam karya-karyanya yang bersifat pribadi, langsung menuju sang Penciptanya.

Mempengaruhi penyair 1980-an

Selanjutnya, gerakan sastra sufistik yang didukung oleh Abdul Hadi WM ini ternyata cukup “mempengaruhi” beberapa penyair 1980-an. Di antaranya sebutlah Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Achmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Soni Farid Maulana, dll.

“Mereka dianggap memilih puitika sufistik sebagai landasan kreatifnya, dengan intensitas penulisan puisi yang juga bertema sufistik itu. Tapi, jelas di sini bisa terjadi politik sastra. Kecuali dengan jujur dan mau mempelajari begitu banyak karya lain yang bermunculan, kita akan menemukan karya puisi sufistik sejati,” ungkap Yonathan.

Yonathan mengingatkan, “dalam berkarya, tidak usahlah terbebani tema maupun kaidah yang akan membelenggu. Pelajari semua, namun dalam mencipta biarlah muncul secara alami. Sufistik adalah hubungan dengan Tuhan, jujurlah dengan hubungan itu dan jujurlah dalam menulis. Tak peduli apa pun label yang bakal disandang, sebab yang penting semua karya sebetulnya adalah menuju karya sufistik, meski bukan sufistik gaya Abdul Hadi WM.”

Sementara, perkembangan tema sufistik di kalangan penyair sekarang menurut Akhmad Sekhu, masih tetap ada. Tentu dalam rangka untuk mengenal dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Di tengah gelombang kehidupan hedonis yang serba materialistis ini, wajar tetap ada penyair yang agamis. “Hal ini patut kita syukuri, karena ada yang masih berpegang teguh pada norma agama. Ini berkaitan dengan keyakinan. Fenomena ini sungguh dahsyat.”

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/09/oase-budaya-manunggaling-kawulo-gusti.html

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi