Jamal D Rahman*
Media Indonesia, 29 Sep 2007
PUISI-PUISIi Zen Hae adalah percobaan membangun struktur puisi di dalam dan di luar sistem bahasa. Disadari atau tidak, beberapa puisi Zen Hae yang terhimpun dalam Paus Merah Jambu (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2007) menyediakan sarana yang memadai bagi pembaca untuk mendekatinya, tetapi sebagian puisinya hanya menyediakan sarana yang amat terbatas untuk mendekatinya. Dengan kata lain, sebagian puisinya memudahkan saya memasuki inti puisi itu sendiri, sedangkan beberapa puisi lainnya menyulitkan saya masuk ke inti puisi. Memudahkan atau menyulitkan itu rupanya sangat tergantung, apakah jalinan internal puisi berada di dalam atau di luar sistem bahasa.
Kesan pertama puisi-puisi Zen Hae memaksa saya menunda membicarakan aspek tematik puisi-puisinya untuk sementara, kecuali dalam batas yang saya anggap perlu dan relevan dalam rangka membicarakan aspek teknis puisi-puisi itu sendiri. Di sini akan dibicarakan bagaimana puisi-puisi Zen Hae beroperasi di luar dan di dalam sistem bahasa, berikut konsekuensi yang ditimbulkannya. Kita lihat juga sepintas lalu kemungkinan lain sebagai sebuah percobaan dalam puisi Indonesia, jika struktur (diksi) puisi di luar sistem bahasa memang dilakukan secara sengaja.
Unsur penting dalam sistem bahasa adalah kohesi dan koherensi. Kohesi menunjuk pada keserasian dan kepaduan unsur-unsur bahasa secara sintaksis, sedangkan koherensi menunjuk pada keserasian dan kepaduan ide, gagasan, ungkapan perasaan, citraan, atau asosiasi secara semantik. Kohesi dan koherensi dengan demikian adalah kepaduan jalinan internal bahasa yang akhirnya memproduksi makna yang kukuh dan konstruktif. Dalam arti itu, kegagalan bahasa mengikuti sistem bahasa akan menimbulkan kekacauan sintaksis dan kekaburan semantik yang akhirnya mengakibatkan kegagalan bahasa itu sendiri dalam memproduksi makna. Pada tataran itu, bahasa kehilangan fungsi komunikatifnya.
Hemat penulis, karena puisi menggunakan medium bahasa, bagaimanapun, puisi sejatinya bekerja dalam sistem bahasa. Bahkan puisi yang paling eksperimental sekalipun. Puisi yang memanfaatkan licentia poetica secara maksimal pun sejatinya bekerja dalam sistem bahasa. Sudah tentu dalam batas tertentu sistem bahasa puisi berbeda dengan sistem bahasa umum. Jika sistem bahasa umum melakukan fiksasi makna atau membuat makna bahasa sedemikian pasti sehingga ambiguitas dihindari sejauh mungkin, bahasa puisi justru merangsang ambiguitas seluas mungkin. Namun, dasar-dasar sistem bahasa umum tetap berlaku pada puisi. Ambiguitas bahasa puisi disuburkan bukan di luar sistem bahasa, melainkan di dalam sistem bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, membiarkan puisi bekerja di luar sistem bahasa akan mengaburkan makna yang mungkin diproduksi bahasa puisi. Puisi yang bekerja di luar sistem bahasa akan menyulitkan pembaca untuk memasuki inti (makna, pesan) puisi itu sendiri.
Dengan demikian, sistem bahasa bisa menghindari ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi, namun bisa juga menyuburkannya. Dalam bahasa puisi, ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi disuburkan secara maksimal terutama oleh metafora. Keberhasilan puisi dalam mendorong ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi untuk memproduksi makna sangat bergantung pada sejauh mana metafora dan imaji terorganisasi dan terstruktur dalam sebuah sistem bahasa.
Dengan dasar pikiran sederhana itu, marilah kita memeriksa puisi Di Halte Malam Jatuh (halaman 1), puisi pertama dalam Paus Merah Jambu
….
akhirnya, aku mahir menggambar hujan
menirukan langkah-langkah pulang
menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya
di bebatang pohon sepanjang jalan
dan di sebuah tikungan tujuh kelopak bintang
gugur sebelum pagi kembali
bus yang penuh sesak itu akan berangkat??
tanyamu. orang-orang masih terus mengembara
tak ada bintang di langit;
nujuman nasib, kompas para kafilah
di mana-mana kautanam bendera. aku ingin
berkibar-kibar mengikut gelombang hujan
menjejaki liang rahasia sepanjang uluran senja
tetapi, duh, selalu ada yang kauisyaratkan
lewat deru angin yang tertahan di awal musim
Dari segi sintaksis, puisi di atas kohesif. Di situ tidak ada struktur kalimat yang membingungkan. Tetapi secara semantik, kita dibuat bertanya-tanya apa hubungan antara ‘aku mahir menggambar hujan’ dan ‘(aku mahir) menirukan langkah-langkah pulang’ serta ‘(aku mahir) menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya/ di bebatang pohon sepanjang jalan’. Pertanyaan serupa dapat diajukan untuk bait-bait berikut dalam puisi tersebut. Jawaban saya negatif. Yang lebih musykil lagi, ide demi ide atau citraan demi citraan itu bukan saja tidak saling berhubungan, melainkan dibiarkan berdiri sendiri-sendiri dari awal hingga akhir puisi sehingga kita tidak mendapatkan kesatuan makna yang dapat dipandang sebagai inti puisi. Dengan kata lain, dalam pandangan saya, karena inkoheren secara semantik, puisi tersebut tidak bisa memproduksi makna secara maksimal.
Agar lebih jelas bahwa kesulitan saya memasuki beberapa puisi Zen Hae lebih karena diabaikannya sistem bahasa dalam puisi-puisi Zen Hae sendiri, marilah kita bandingkan puisi di atas dengan puisi Ira dalam Ruang (halaman 15) berikut:
Ira, kapan ranjang ini akan diberangus
berahi di kelaminku jadi salju. sementara
kau masih menangisi bulan padam di jambangan
itu hanyalah warna kutukan dari mayatku yang gelisah
dari suara-suara hujan yang parau
Ira, rentangkanlah tanganmu ke langit
di sana pelangi akan mengepakkan sayapnya
menjadi burung-burung dan halilintar.
Saya bisa memasuki puisi Ira dalam Ruang dengan mudah. Saya menikmati imaji-imajinya, membayangkan asosiasi-asosiasi yang ditimbulkannya, menangkap ambivalensi perasaan aku-lirik yang gelisah menunggu sebuah ‘akhir’ dari kehancuran dan kesia-siaan, namun tetap memiliki harapan meskipun di dalamnya ada juga kecemasan. Makna seperti itu hanya mungkin lahir dari puisi Ira dalam Ruang yang bekerja dalam sistem bahasa, kohesi sintaksis dijaga dengan rapi dan koherensi semantik diperhitungkan dengan hati-hati. Dengan koherensi, metafora demi metafora terorganisasi dan terstruktur sedemikian rupa membangun satu kesatuan makna.
Puisi lain yang mengesankan bagai saya adalah Dalam Ribuan Sajakmu (halaman 32). Pertama-tama, puisi tersebut bekerja dalam sistem bahasa dengan kohesi dan koherensi dijaga dengan amat baiknya, lalu di atas itu ia menghidupkan makna dengan cara mempererat hubungan-hubungan internal puisi itu lewat jalinan metafora dan citraan-citraan yang memesona. Secara tematik, puisi itu berbicara tentang kematian, tema yang ditulis banyak penyair lain, dan Zen Hae sampai pada citraan yang khas miliknya.
Kecemasan menghadapi kematian dilukiskan dengan: Sunyi dan badai kembali membakar kenangan/ di jendela dan udara dingin berguguran/ dalam paruku dalam kamarmu/ menyelimuti reruncing sajak. Sementara, keikhlasan menerima maut dilukiskan dengan bersama rumput dan para pelayat kau mengantarku/ ke bukit-bukit batu. di sini, katamu/ kepulanganmu dipercepat api dan air mata?. Ketika kematian itu benar-benar tiba, dalam ribuan sajakmu tak pernah lagi kautemukan/jejakku.
Hemat saya, puisi itu menunjukkan Nur Zen Hae sangat potensial menjadi penyair lirik yang kuat yang mampu mengolah metafora dengan cermat, mengeksplorasi bahasa dengan autentik, sekaligus mengekspresikan renungan dan penghayatannya secara orisinal.
Sunyi dan badai kembali membakar kenangan
di jendela. lalu tubuhku lindap dalam gelombang
awan mendung. menzuhurkan kepedihan hidupmu
dan udara dingin berguguran
dalam paruku dalam kamarmu
menyelimuti reruncing sajak
tapi aroma kematianku tercium sampai pembaringan
melewati kamar-kamarmu: terburai oleh tangisan
juga matahari masih menembakkan keranda lewat
serpihan hujan. lalu kengerian tidurmu tersulut
dalam cuaca pagi. penuh kabut mengucur
tapi gagal memeluk hujan yang jatuh di tepi jurang
didera kegamangan
bersama rumput dan para pelayat kau mengantarku
ke bukit-bukit batu. di sini, katamu
“kepulanganmu dipercepat api dan air mata”
dalam ribuan sajakmu tak pernah lagi kautemukan
jejakku. juga jerit anak-anak yang terbadik jalanan.
Sampai di sini, tak perlu diragukan kemampuan Zen Hae menulis puisi yang bisa bekerja secara efektif dalam sistem bahasa, yaitu puisi yang dengan amat bagus mempertimbangkan kohesi sintaksis dan koherensi semantik. Sehubungan dengan beberapa puisinya yang mengabaikan koherensi, pertanyaan kita adalah, apakah inkoherensi atau ketidakteraturan semantik dalam beberapa puisinya disengaja atau tidak? Jika tidak, kita sedang menghadapi kelalaian berbahasa seorang penyair. Jika ya, sejauh mana konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkannya telah dipertimbangkan?
Dalam pertimbangan saya, kalau inkoherensi dalam puisi-puisi Zen Hae disengaja, artinya dilakukan secara sadar, puisi-puisinya dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap norma keteraturan dalam sistem bahasa? Lepas dari apakah perlawanan itu membuahkan hasil atau tidak, di sisi lain Zen Hae ternyata tidak melepaskan diri sepenuhnya dari norma keteraturan sistem bahasa, seperti ditunjukkan dua puisi terakhir di atas. Ambivalensi itu membuat perlawanannya terhadap norma keteraturan dalam sistem bahasa sebagai perlawanan yang tidak radikal. Dengan kata lain, perlawanan itu hanyalah perlawanan setengah hati yang justru bisa membatalkan pentingnya inkoherensi sebagai tindakan yang dilakukan secara sadar.
Tapi, bagaimanapun, jika inkoherensi itu merupakan tindakan sadar seorang penyair, sesuatu tengah menantang di hadapan kita, yakni bagaimana inkoherensi itu bisa memproduksi makna yang memesona dan mengesankan? Kalau bukan kohesi dan koherensi, sarana apa yang disediakan puisi demi mengorganisasi metafora-metafora dan citraan-citraannya yang sering kali berlepasan satu sama lain sekaligus saling berdesakan? Bisa juga, di antara metafora dan citraan yang berlepasan satu sama lain itu terdapat ruang kosong yang bisa mengaktifkan pembaca mengorganisasikannya secara koheren menurut caranya sendiri demi memproduksi makna. Tapi kalau begitu, bukankah puisi akan kehilangan kecemerlangan intrinsiknya.
Salam.
*) Jamal D. Rahman, penyair, Pemimpin Redaksi Majalah Horison
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/09/khazanah-paus-merah-jambu-zen-hae-puisi.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar