Selasa, 30 Agustus 2011

Paus Merah Jambu Zen Hae, Puisi di Luar dan di Dalam Sistem Bahasa

Jamal D Rahman*
Media Indonesia, 29 Sep 2007

PUISI-PUISIi Zen Hae adalah percobaan membangun struktur puisi di dalam dan di luar sistem bahasa. Disadari atau tidak, beberapa puisi Zen Hae yang terhimpun dalam Paus Merah Jambu (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2007) menyediakan sarana yang memadai bagi pembaca untuk mendekatinya, tetapi sebagian puisinya hanya menyediakan sarana yang amat terbatas untuk mendekatinya. Dengan kata lain, sebagian puisinya memudahkan saya memasuki inti puisi itu sendiri, sedangkan beberapa puisi lainnya menyulitkan saya masuk ke inti puisi. Memudahkan atau menyulitkan itu rupanya sangat tergantung, apakah jalinan internal puisi berada di dalam atau di luar sistem bahasa.

Kesan pertama puisi-puisi Zen Hae memaksa saya menunda membicarakan aspek tematik puisi-puisinya untuk sementara, kecuali dalam batas yang saya anggap perlu dan relevan dalam rangka membicarakan aspek teknis puisi-puisi itu sendiri. Di sini akan dibicarakan bagaimana puisi-puisi Zen Hae beroperasi di luar dan di dalam sistem bahasa, berikut konsekuensi yang ditimbulkannya. Kita lihat juga sepintas lalu kemungkinan lain sebagai sebuah percobaan dalam puisi Indonesia, jika struktur (diksi) puisi di luar sistem bahasa memang dilakukan secara sengaja.

Unsur penting dalam sistem bahasa adalah kohesi dan koherensi. Kohesi menunjuk pada keserasian dan kepaduan unsur-unsur bahasa secara sintaksis, sedangkan koherensi menunjuk pada keserasian dan kepaduan ide, gagasan, ungkapan perasaan, citraan, atau asosiasi secara semantik. Kohesi dan koherensi dengan demikian adalah kepaduan jalinan internal bahasa yang akhirnya memproduksi makna yang kukuh dan konstruktif. Dalam arti itu, kegagalan bahasa mengikuti sistem bahasa akan menimbulkan kekacauan sintaksis dan kekaburan semantik yang akhirnya mengakibatkan kegagalan bahasa itu sendiri dalam memproduksi makna. Pada tataran itu, bahasa kehilangan fungsi komunikatifnya.

Hemat penulis, karena puisi menggunakan medium bahasa, bagaimanapun, puisi sejatinya bekerja dalam sistem bahasa. Bahkan puisi yang paling eksperimental sekalipun. Puisi yang memanfaatkan licentia poetica secara maksimal pun sejatinya bekerja dalam sistem bahasa. Sudah tentu dalam batas tertentu sistem bahasa puisi berbeda dengan sistem bahasa umum. Jika sistem bahasa umum melakukan fiksasi makna atau membuat makna bahasa sedemikian pasti sehingga ambiguitas dihindari sejauh mungkin, bahasa puisi justru merangsang ambiguitas seluas mungkin. Namun, dasar-dasar sistem bahasa umum tetap berlaku pada puisi. Ambiguitas bahasa puisi disuburkan bukan di luar sistem bahasa, melainkan di dalam sistem bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, membiarkan puisi bekerja di luar sistem bahasa akan mengaburkan makna yang mungkin diproduksi bahasa puisi. Puisi yang bekerja di luar sistem bahasa akan menyulitkan pembaca untuk memasuki inti (makna, pesan) puisi itu sendiri.

Dengan demikian, sistem bahasa bisa menghindari ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi, namun bisa juga menyuburkannya. Dalam bahasa puisi, ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi disuburkan secara maksimal terutama oleh metafora. Keberhasilan puisi dalam mendorong ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi untuk memproduksi makna sangat bergantung pada sejauh mana metafora dan imaji terorganisasi dan terstruktur dalam sebuah sistem bahasa.

Dengan dasar pikiran sederhana itu, marilah kita memeriksa puisi Di Halte Malam Jatuh (halaman 1), puisi pertama dalam Paus Merah Jambu

….
akhirnya, aku mahir menggambar hujan
menirukan langkah-langkah pulang
menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya
di bebatang pohon sepanjang jalan
dan di sebuah tikungan tujuh kelopak bintang
gugur sebelum pagi kembali
bus yang penuh sesak itu akan berangkat??
tanyamu. orang-orang masih terus mengembara
tak ada bintang di langit;
nujuman nasib, kompas para kafilah
di mana-mana kautanam bendera. aku ingin
berkibar-kibar mengikut gelombang hujan
menjejaki liang rahasia sepanjang uluran senja
tetapi, duh, selalu ada yang kauisyaratkan
lewat deru angin yang tertahan di awal musim

Dari segi sintaksis, puisi di atas kohesif. Di situ tidak ada struktur kalimat yang membingungkan. Tetapi secara semantik, kita dibuat bertanya-tanya apa hubungan antara ‘aku mahir menggambar hujan’ dan ‘(aku mahir) menirukan langkah-langkah pulang’ serta ‘(aku mahir) menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya/ di bebatang pohon sepanjang jalan’. Pertanyaan serupa dapat diajukan untuk bait-bait berikut dalam puisi tersebut. Jawaban saya negatif. Yang lebih musykil lagi, ide demi ide atau citraan demi citraan itu bukan saja tidak saling berhubungan, melainkan dibiarkan berdiri sendiri-sendiri dari awal hingga akhir puisi sehingga kita tidak mendapatkan kesatuan makna yang dapat dipandang sebagai inti puisi. Dengan kata lain, dalam pandangan saya, karena inkoheren secara semantik, puisi tersebut tidak bisa memproduksi makna secara maksimal.

Agar lebih jelas bahwa kesulitan saya memasuki beberapa puisi Zen Hae lebih karena diabaikannya sistem bahasa dalam puisi-puisi Zen Hae sendiri, marilah kita bandingkan puisi di atas dengan puisi Ira dalam Ruang (halaman 15) berikut:

Ira, kapan ranjang ini akan diberangus
berahi di kelaminku jadi salju. sementara
kau masih menangisi bulan padam di jambangan
itu hanyalah warna kutukan dari mayatku yang gelisah
dari suara-suara hujan yang parau
Ira, rentangkanlah tanganmu ke langit
di sana pelangi akan mengepakkan sayapnya
menjadi burung-burung dan halilintar.

Saya bisa memasuki puisi Ira dalam Ruang dengan mudah. Saya menikmati imaji-imajinya, membayangkan asosiasi-asosiasi yang ditimbulkannya, menangkap ambivalensi perasaan aku-lirik yang gelisah menunggu sebuah ‘akhir’ dari kehancuran dan kesia-siaan, namun tetap memiliki harapan meskipun di dalamnya ada juga kecemasan. Makna seperti itu hanya mungkin lahir dari puisi Ira dalam Ruang yang bekerja dalam sistem bahasa, kohesi sintaksis dijaga dengan rapi dan koherensi semantik diperhitungkan dengan hati-hati. Dengan koherensi, metafora demi metafora terorganisasi dan terstruktur sedemikian rupa membangun satu kesatuan makna.

Puisi lain yang mengesankan bagai saya adalah Dalam Ribuan Sajakmu (halaman 32). Pertama-tama, puisi tersebut bekerja dalam sistem bahasa dengan kohesi dan koherensi dijaga dengan amat baiknya, lalu di atas itu ia menghidupkan makna dengan cara mempererat hubungan-hubungan internal puisi itu lewat jalinan metafora dan citraan-citraan yang memesona. Secara tematik, puisi itu berbicara tentang kematian, tema yang ditulis banyak penyair lain, dan Zen Hae sampai pada citraan yang khas miliknya.

Kecemasan menghadapi kematian dilukiskan dengan: Sunyi dan badai kembali membakar kenangan/ di jendela dan udara dingin berguguran/ dalam paruku dalam kamarmu/ menyelimuti reruncing sajak. Sementara, keikhlasan menerima maut dilukiskan dengan bersama rumput dan para pelayat kau mengantarku/ ke bukit-bukit batu. di sini, katamu/ kepulanganmu dipercepat api dan air mata?. Ketika kematian itu benar-benar tiba, dalam ribuan sajakmu tak pernah lagi kautemukan/jejakku.

Hemat saya, puisi itu menunjukkan Nur Zen Hae sangat potensial menjadi penyair lirik yang kuat yang mampu mengolah metafora dengan cermat, mengeksplorasi bahasa dengan autentik, sekaligus mengekspresikan renungan dan penghayatannya secara orisinal.

Sunyi dan badai kembali membakar kenangan
di jendela. lalu tubuhku lindap dalam gelombang
awan mendung. menzuhurkan kepedihan hidupmu
dan udara dingin berguguran
dalam paruku dalam kamarmu
menyelimuti reruncing sajak
tapi aroma kematianku tercium sampai pembaringan
melewati kamar-kamarmu: terburai oleh tangisan
juga matahari masih menembakkan keranda lewat
serpihan hujan. lalu kengerian tidurmu tersulut
dalam cuaca pagi. penuh kabut mengucur
tapi gagal memeluk hujan yang jatuh di tepi jurang
didera kegamangan
bersama rumput dan para pelayat kau mengantarku
ke bukit-bukit batu. di sini, katamu
“kepulanganmu dipercepat api dan air mata”
dalam ribuan sajakmu tak pernah lagi kautemukan
jejakku. juga jerit anak-anak yang terbadik jalanan.

Sampai di sini, tak perlu diragukan kemampuan Zen Hae menulis puisi yang bisa bekerja secara efektif dalam sistem bahasa, yaitu puisi yang dengan amat bagus mempertimbangkan kohesi sintaksis dan koherensi semantik. Sehubungan dengan beberapa puisinya yang mengabaikan koherensi, pertanyaan kita adalah, apakah inkoherensi atau ketidakteraturan semantik dalam beberapa puisinya disengaja atau tidak? Jika tidak, kita sedang menghadapi kelalaian berbahasa seorang penyair. Jika ya, sejauh mana konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkannya telah dipertimbangkan?

Dalam pertimbangan saya, kalau inkoherensi dalam puisi-puisi Zen Hae disengaja, artinya dilakukan secara sadar, puisi-puisinya dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap norma keteraturan dalam sistem bahasa? Lepas dari apakah perlawanan itu membuahkan hasil atau tidak, di sisi lain Zen Hae ternyata tidak melepaskan diri sepenuhnya dari norma keteraturan sistem bahasa, seperti ditunjukkan dua puisi terakhir di atas. Ambivalensi itu membuat perlawanannya terhadap norma keteraturan dalam sistem bahasa sebagai perlawanan yang tidak radikal. Dengan kata lain, perlawanan itu hanyalah perlawanan setengah hati yang justru bisa membatalkan pentingnya inkoherensi sebagai tindakan yang dilakukan secara sadar.

Tapi, bagaimanapun, jika inkoherensi itu merupakan tindakan sadar seorang penyair, sesuatu tengah menantang di hadapan kita, yakni bagaimana inkoherensi itu bisa memproduksi makna yang memesona dan mengesankan? Kalau bukan kohesi dan koherensi, sarana apa yang disediakan puisi demi mengorganisasi metafora-metafora dan citraan-citraannya yang sering kali berlepasan satu sama lain sekaligus saling berdesakan? Bisa juga, di antara metafora dan citraan yang berlepasan satu sama lain itu terdapat ruang kosong yang bisa mengaktifkan pembaca mengorganisasikannya secara koheren menurut caranya sendiri demi memproduksi makna. Tapi kalau begitu, bukankah puisi akan kehilangan kecemerlangan intrinsiknya.

Salam.

*) Jamal D. Rahman, penyair, Pemimpin Redaksi Majalah Horison
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/09/khazanah-paus-merah-jambu-zen-hae-puisi.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi