Rofiqi Hasan, Kurniawan
http://majalah.tempointeraktif.com/
Potret adalah citra tak bergerak. Figur yang dia wakili, kata Roland Barthes, filsuf Prancis penulis Camera Lucida, tak hanya diam, tapi juga dibius dan diikat, seperti kupu-kupu. Tapi kita sengaja membekukan kupu-kupu itu untuk mengabadikan kenangan, menjadikannya saksi atas kehidupan, karena hidup itu pada akhirnya mati.
Banyak kenangan berlesatan di benak perupa Yogyakarta, Agung Kurniawan, ketika membuka album foto keluarganya beberapa tahun lalu. Kenangan itu kini dia eksplorasi dalam berbagai media pada pameran The Lines that Remind Me of You di Kendra Gallery, Seminyak, Kuta, Bali, sejak pekan lalu hingga 22 Mei nanti. Inilah pameran tunggal pertamanya setelah lima tahun vakum tampil solo.
Salah satu kenangan yang ia bangkitkan dalam sebuah karya adalah adegan pada masa kecilnya ketika bersama saudara-saudaranya mengikuti suatu pawai. “Saya ingat itu acara Agustusan, tapi lupa kapan dan di mana,” ujarnya.
Karya berjudul My First Parade in 1974 itu berupa batangan besi tipis yang dibentuk menjadi garis-garis yang menggambarkan tiga anak berseragam sekolah sedang bergandengan tangan dan satu anak di depan berpakaian polisi. Agung suka menyebutnya besi gambar, tapi kita mengenalnya sebagai terali. Ya, terali seperti batangan besi melengkung-lengkung yang menghiasi pagar rumah Anda.
Tapi, di tangan Agung, terali itu ditempelkan dengan jarak tertentu ke tembok putih dan mendapat sorotan lampu. Akibatnya, terali itu menghasilkan garis-garis bayangan pada dinding. Agung mengibaratkan foto-foto itu sebagai terali yang kokoh dan padat, tapi kenangan hanyalah lapisan tipis yang tersimpan di alam bawah sadar. Ketika ditampilkan secara bersamaan, keduanya saling mengisi sekaligus tumpang-tindih dan mengaburkan. Agung sebenarnya mengeksplorasi terali sejak dua tahun silam. Beberapa karya teralinya pernah pula dia pajang di Kedai Kebun, kedai merangkap galeri miliknya di Yogyakarta.
Tentu saja penggunaan teknik ini bukan perkara mudah. Agung harus berkeliling ke mana-mana untuk menemukan tukang las yang peka terhadap kelenturan besi setebal lima milimeter dan mampu membuat bentuk sesuai dengan sketsa yang dibuat Agung.
Pada karya lainnya, seniman dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu menggunakan media kertas untuk melukiskan pedihnya rasa kehilangan seorang kakak yang menjadi kebanggaan keluarga. Foto-foto profil sang kakak serta saat-saat menyenangkan bersamanya dilukiskan kembali dan dibaurkan dengan aneka pertanyaan mengenai keberadaannya sekarang. Ia menyiratkannya dengan menghilangkan wajah-wajah dan menjadikannya ruang kosong tempat dahan-dahan tumbuh.
Agung adalah pendiri Yayasan Seni Cemeti, yang kini menjadi Indonesian Visual Art Archive. Karyanya sudah tersebar luas dan dikoleksi kolektor serta lembaga di beberapa negara. Karya terakhirnya pada 2008, sebuah instalasi Becom(ing) Dutch Project, kini menjadi pinjaman permanen di Van Abbe Contemporary Art Museum, Eindhoven, Belanda.
Karya-karya terbarunya yang sangat sublim dan individual ini seakan menegaskan pergeseran Agung sebagai perupa yang dulu sangat getol mengangkat tema sosial dan politik. Ia dulu dikenal, antara lain, karena karya Very Very Happy Victim (1996), yang menampilkan sepuluh wujud manusia yang digantung terbalik dengan wajah bertopeng tersenyum lebar. Karya ini merepresentasikan situasi politik Orde Baru, ketika masyarakat terbuai oleh kenyamanan semu dan abai terhadap persoalan sosial-politik.
Premis akan perubahan orientasi Agung itu ditegaskan lagi oleh seri lukisan cat air The Things Write Their Own Stories. Pada seri ini, Agung asyik melukiskan secara spontan benda-benda dan gagasan yang menyelinap dalam pikirannya. Dia menghindari rencana-rencana karena percaya adanya narasi tersembunyi yang merupakan hasil rekaman kejadian sehari-hari. “Seperti mengigau dan menuangkan mimpi-mimpi,” ujarnya.
Perupa kelahiran Jember, 14 Maret 1968, itu juga mengabaikan penilaian orang. Ia menganggap perkembangannya saat ini adalah hasil dari hibernasi atau penyimpanan energi setelah selama lima tahun menolak melakukan pameran tunggal. Dalam pameran kali ini, ia merasa memiliki kebebasan, termasuk menolak harapan orang akan dirinya.
Namun ia bukan berarti tak menyentuh tema politik. Lihatlah karya terali yang menampilkan adegan saat Saddam Hussein ditangkap marinir Amerika Serikat. Tentara itu dengan pongah sengaja memamerkan kondisi Saddam yang tampak tak berdaya, berewokan, lusuh, dan awut-awutan setelah ditangkap di lubang persembunyiannya. Adegan pada foto yang tersebar di media-media internasional itu menjadi memori kolektif akan keperkasaan Amerika sebagai penguasa dunia.
Karya teralinya melambangkan kekokohan memori yang dibangun foto itu. Tapi, pada saat yang sama, ia menampilkan bayangan di tembok sebagai garis-garis tipis dan membuat adegan penangkapan Saddam layaknya sekadar permainan cahaya. Bila sudut-sudut pencahayaan atau warnanya diubah, bisa jadi memori itu pun akan semakin jauh dari faktanya. Karya itu mengkritik kenyataan bahwa setiap media selalu memiliki agenda tersendiri.
Briggita Isabella, penulis yang menjadi kurator pameran ini, menilai karya-karya terbaru Agung meneguhkan kecenderungan perubahan tematik Agung pascareformasi 1998, yakni karya-karya yang lebih humanis dan universal dibanding karya-karya kritis yang bercorak politis. “Mungkin karena dia sudah kehilangan lawan yang jelas. Sedangkan dunia politik semakin kurang jelas,” katanya.
Perubahan tematik itu merupakan kecenderungan umum para seniman karena pernyataan politik kini nyaris tak lagi memerlukan komodifikasi. Seni tidak lagi diperlukan sebagai substitusi atau pengganti untuk mewakili aspirasi masyarakat. Pernyataan “Ketika jurnalisme dibungkam, maka sastra harus bicara”, yang sempat populer, kini tak berlaku lagi. Namun, menurut Isabella, “kenyinyiran” Agung sebagai seniman tak bisa hilang begitu saja, khususnya saat ia berbicara tentang kalangannya sendiri: para perupa.
Hal itu terwakili dalam dua karya yang ditampilkan. Satu karya adalah apropriasi atau “daur ulang” atas karya pelukis pada 1480, Andrea Mantegna. Dalam lukisan The Lamentation of Christ itu, Mantegna menggambarkan kematian Yesus sebagai kematian orang-orang biasa dengan mengabaikan kode-kode sakral yang telah ditetapkan pihak gereja. Agung kemudian mengganti wajah Yesus dengan wajah seorang seniman gendut untuk menyatakan sindiran bahwa seorang seniman besar pun bisa mati seperti orang biasa bila telah dibuai oleh kenyamanan.
Lukisan itu ditampilkan pada tembok. Kali ini dengan menambahkan elemen infus yang dihubungkan dengan gitar elektrik. Agung seperti hendak berkata, bila mau memperpanjang hidup, mestinya si seniman bergaul dengan dunia anak-anak muda.
Karya lainnya menggambarkan aksi membunuh naga, yang merupakan simbol para kolektor yang selama ini menjadi sasaran keluhan para perupa muda. Lukisan itu merupakan saran Agung agar para perupa muda berani melawan kolektor yang berusaha menyetir pasar seni rupa. Meski demikian, Agung menyiratkan hubungan antara kolektor dan seniman adalah hubungan saling menghidupi. Di tengah naga yang bergelimpangan terlihat aksi si pembunuh meneteskan darah ke mulut sang naga, yang dalam tradisi tertentu diyakini akan menghidupkan kembali monster raksasa itu.
Perlawanan terhadap kemapanan juga ditunjukkan dengan medium yang beragam. Agung menuturkan, selama ini ia menolak berpameran tunggal karena dipaksa mendahulukan lukisan, jenis karya rupa favorit para kolektor. Kini dia merayakannya dengan aneka media, seperti terali, cat air, serta lukisan di tembok.
02 MEI 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar