Minggu, 17 Juli 2011

CAKRAWALA TERTUTUP ASAP HITAM (I)

(sekilas ingatan pada kebakaran kapal Mustika Kencana 2)
Muhammad Zuriat Fadil
http://sastra-indonesia.com/

hasbunallah wa nikmal wakiil,,,,, ni’mal mwla wa ni’ma natsir

Maha Suci Allah pemilik segala nama, penguasa alam semesta. Maha Kuasa Dia yang dengan kasihNya mengutus para jiwa suci ke dunia, mengutus Rasulullah Muhammad Sholllallahu alaihi wa sallam dengan yang akhlak mulia lagi terpuji menjadi penebar syafaat bagi seluruh makhluk.

Ini catatan saya tulis sebagai ujud syukur saya atas sebuah pengalaman yang baru saja saya alami, ini cuma pengalaman pribadi saya saja. Semoga pembaca yang budiman bisa mengambil pelajaran darinya, jikapun tidak ada kemanfaatan apa-apa ya anggap saja saya sedang melega-legakan diri karena telah lolos dari sebuah kejadian yang tak disangka-sangka kedatangannya.

Kisah ini baiknyalah saya mulai pada hari Ahad tertanggal 3 Juli 2011.

Saya sedang berada pada sebuah kapal yang akan membawa saya dan ayah saya menuju ke kampung halaman kami; Makassar. Hari itu, tidak berapa lama selepas sholat maghrib, kapal bertolak dari pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Cuaca sangat baik untuk pelayaran, penumpang kapal ferry ‘Mustika Kencana 2′ cukup lengang. Tempat mobil hanya penuh di lantai paling bawah, sedangkan lantai kedua penyimpanan mobil hanya berisi dua atau tiga mobil sejauh pengamatan saya. Ini berarti, kami tidak akan terlalu berebutan makanan atau air tawar untuk minum dalam kapal.

Hari Senin tanggal 4 Juli, subuh.

saya dibangunkan oleh ayah saya untuk segra melaksanakan sholat subuh di musholla. Saya liat jam di hape, masih sekitar pukul 04.15. ah, bagus juga saya memang berencana untuk keluar sebentar ke dek sebelum fajar karena ingin memotret sunrise yang selalu indah apalagi bila dipandang dari lautan. Setelah saya sholat subuh, saya beranjak segra naik ke dek kapal, tapi ada suasana yang agak rusuh, saya liat para awak kapal berlarian ke bawah dan membangunkan teman-temannya. Karena penasaran saya ikut ke bawah, ruangan sedikit dipenuhi asap.

Saya mulai berpikir kemungkinan adanya kebakaran kecil. di negri yang kapal-kapalnya kebanyakan berasal dari bekas pakai negara lain (yang sebenarnya aneh juga, karena ini kan negara kepulauan dan dipersatukan oleh lautan) kasus semacam ini bukan hal yang mengejutkan amat jadi saya pun kembali menuju ke dek di atas. Saya mulai mempersiapkan kamera hape, semburat jingga di seblah timur mulai nampak, namun ternyata masih tertutup oleh sedikit awan mendung, pertanda badai akan datang? entahlah.

Namun perhatian saya teralihkan pada asap hitam yang keluar dari jendela di bawah, berarti kebakaran belum dapat diatasi. Sementara itu, naluri perut saya yang mulai keroncongan membimbing langkah kaki menuju dapur. Saya liat para koki masih memasak, sayapun kembali tenang (karena jam makan sudah akan tiba mungkin)

Tapi tiba-tiba seorang awak kapal berlari menuju dapur, memberitahukan sesuatu yang membuat aktivitas memasak para koki (dan perut saya pun kecewa berat!) saat awak kapal itu melihat saya dia bilang “pak, maaf ini di bawah ada kebakaran tolong siap-siap ya” saya pun segra menuju ke ruang kelas ekonomi tempat ayah saya masih tertidur, saat saya melalui tangga asap sudah mulai memenuhi ruangan dan lorong-lorong. Tepat ketika saya baru saja membangunkan ayah saya, tiba-tiba ada pengumuman agar semua penumpang berkumpul di dek. Baju pelampung dibagikan. Penumpang panik. Keadaan kacau. Ayah saya : “Aqua yang kemarin dibeli mana?” Lalu kami semua berlari ke atas. Di dek, saya masih sempat melihat sunrise yang saya nanti-nantikan itu, indah sekali. Tapi kali ini, dia berselimutkan asap hitam!

Asap semakin pekat, kami diinstruksikan untuk segra menaiki sekoci agar sekoci bisa segra diturunkan, iya kapal sekoci hanya diturunkan pabila ada sekitar lima orang di atasnya karena bila kurang dia akan terbalik di laut. Kami pun berebut naik ke sekoci, saya dan ayah saya segra berlari menuju sekoci yang masih agak sepi isinya. Masih banyak sekoci berjejer sebenarnya, namun sisi itu sudah tertutup asap, akhirnya semua penumpang yang tersisa berebut naik ke sekoci kami. Makin lama-makin berat, makin penuh, gaduh dan tambah sesak, sekoci malah jadi seperti ayunan besar berayun-ayun tidak karuan. Sekoci yang diseblah kami mulai diturunkan, suaranya makin membuat suasana makin panik “rrrrr……zzzrrrrtttttt…..” ditambah suara teriakan, jeritan ibu-ibu yang mencari anaknya dan para sopir yang sepertinya belum sepenuhnya sadar dari mabuknya sejak dangdutan semalam. Sekoci itu berhasil turun ke laut, lalu kami menunggu giliran kami. Semua terdiam, menunggu.

Beberapa saat kami menunggu, namun sekoci tidak beranjak diturunkan tiba-tiba ada yang berteriak dari bawah

“Woooiii…!!! sekoci yang ini ndak bisa diturunkaaaaaan” —-WHAT?????!!!!!

Sementara skoci yang satu lagi mulai diturunkan ternyata sekoci kami tidak jadi diturunkan, kamipun berhamburan keluar dari sekoci. Tas laptop dan tas baju saya lempar keluar dari sekoci untuk kemudian saya pun melompat keluar. Saya masih menggandeng dua tas, ayah saya menggandeng ransel besarnya, kami berlari melewati sekoci yang segra akan diturunkan itu, ternyata…. hanya satu tali yang bisa diturunkan sedangkan tali satunya macet. Posisi sekoci menjadi miring, moncongnya mengarah ke atas, saya tidak sempat sempat melihat kejadian selanjutnya hanya belakangan saya dengar kebanyakan penumpang sekoci tersebut langsung terjun bebas ke laut.

Saya dan ayah saya berlari ke dek bawah lagi, asap semakin tebal dengan bau gak karuan. Nafas sesak, mata berair, kepala terasa berat. Saya lihat ke bawah, orang-orang sudah pada terjun ke laut, laki-laki, perempuan, tua muda bahkan anak kecil. lifecraft mulai dilempar ke laut, ini adalah alternatif setelah sekoci, lifecraft adalah sejenis perahu karet yang bila dilemparkan ke laut akan mengembang dengan sendirinya. Entah berapa lifecraft di lempar, namun beberapa langsung hanyut menjauh tanpa sempat ada yang menaiki. Kami akan menju ke dek depan yang ada tangga monyet (tangga darurat dari tali) tapi asap yang keluar dari ruang komando kapal menghalangi, sementara besi-besi di kapal mulai menghangat, ini pertanda tidak baik, sebab pabila besi-besi di kapal sudah memanas apalgi berpijar, tak usah menunggu api datangpun itu sudah cukup untuk memanggang kami hidup-hidup. pilihannya adalah SEGRA TINGGALKAN KAPAL!

Saya lihat ada awak kapal yang masih mengusahakan untuk melepas baut yang mengaitkan tali sekoci, besi itu sudah karatan sehingga tak bisa dilepas. Saya tanya “Pak! ini sekocinya bakal bisa diturunin gak?!!!” awak kapal itu bilang “Bisa Mas, asal ini udah lepas” lalu ada orang yang bertanya “koq pake tangan kosong, getok aja pak pake kapak!” awak kapal itu dengan masih bermimik tegang menjawab “ITU DIA PAK! TERNYATA SEMUA KAPAK DI KAPAL INI UDAH PADA ILANG” bagus, baru kali ini saya menyadari perbuatan kita yang biasa menjarahi barang-barang emergency itu benar-benar terkutuk. Awak kapal yang masih mengusahakan turunnya sekoci itu bilang “bapak nak aja ke sekoci, ini sambil saya kerjakan kalo udah bisa langsung diturunin” begitu mendengar ini saya langsung ajak ayah saya ke atas lagi untuk naik ke sekoci, bersama kami -entah sejak kapan- seorang pria bersama anak dan istrinya ikut menaiki sekoci. Pria ini berusaha menenangkan anak dan istrinya, ditengah asap hitam, deru mesin yang suaranya makin kacau dan… suara kobaran api usaha menenangkan anak istri seperti itu tentu saja percuma.

Asap membuat kami terbatuk, dan hampir tak bisa melihat apa-apa dalam jarak 2-3 meter di depan mata. GELAP.

Kami naik ke sekoci (lagi) samar mulai terdengar ada suara logam digetok, ah berarti awak kapal tadi sudah mendapatkan sesuatu untuk melepaskan besi yang mengaitkan tali sekoci. Tapi tidak berapa lama kemudian, suara getokan tersebut berhenti, saya melongok ke bawah dan…. AWAK KAPAL IU SUDAH GAK ADA! Sekoci kami sudah tidak diusahakan untuk turun lagi! panik, kami pun melompat keluar sekoci, turun lagi ke dek ternyata asap sudah semakin pekat. Sudah tak mungkin bernafas, melihat pun hanya samar, seorang perwira kapal melihat kami “Mas, LOMPAT!!!!” lalu dia pun terjun duluan. SIAL! kapal semakin sepi. Saya mulai ke pinggiran kapal, mengambil ancang-ancang untuk terjun. Tapi sebelum saya sempat lompat, saya lihat disitu ada tanga monyet, menempel di dinding kapal dan di bawah… ah ya, itu sebuah lifecraft penuh berisi orang-orang, sepertinya menunggu kami. Lalu saya mulai meraba menuju tangga monyet, turun secepat yang saya bisa menuju lifecraft. Bruk! saya hempaskan badan di lifecraft sebelum benar-benar sampai di tangga paling bawah.

Baru saya sadari, bila tadi saya jadi melompat ke laut, maka tak ada harapan saya bisa kembali naik ke permukaan, sebab walaupun bisa berenang dan mengenakan rompi pelampung, tapi saya mengenakan jaket kulit yang sangat berat dan di bahu kiri-kanan saya melilit ransel-ransel yang berisi laptop, buku-buku dan pakaian. Bila tadi saya sempat melompat….. ah entahlah.

Lifecraft sudah penuh, tapi belum juga menjauh dari kapal, posisi kami masih sangat mepet dengan tubuh kapal. Saya teriak ke seorang pria “Mas! kenapa belum jalan?” Pria itu bilang “sebentar Pak, nunggu yang itu” dia menunjuk ke atas dan dua sosok tubuh sedang terjun langsung menuju lifecraft kami, mereka sempat menimpa saya, untuk tak ada yang kenapa-napa.Sesaat saya mulai tenang, setidaknya terhindar dari asap hitam menyesakkan di kapal. Tapi lifecraft kami tidak juga menjauh dari kapal, masalahnya ternyata lifecraft kami diikat pada pagar kapal!

Saya dan seorang pria berusaha memutuskan tali pengikat, tapi talinya kokoh sekali. Panik semakin menjadi-jadi, sebab semua orang di lifecraft ini tahu bahwa bila lifecraft tidak segra menjauh dari kapal, itu berarti BUNUH DIRI!

Lalu kami mulai berfikir menggunakan korek api gas untuk memutuskan tali tersebut, saya berusaha menyalakan korek saya namun gagal karena tadi sudah terndam saat masuk ke lifecraft. Namun ada yang berhasil menyalakan koreknya, saya gabungkan dengan gas dari korek saya akhirnya korek api saya berhasil menyala. Berdua kami coba membakar tali itu, namun tali itu seperti tak terpengaruh apa-apa. Panik lagi, bahkan mas yang tadi mulai memukul-mukul tali itu, menggigitnya, menarik dan segala macam lagi dia lakukan namun tali itu tak kunjung putus.

Sementara itu, seorang ibu menangis, putrinya diseblahnya juga menangis, ternyata anak bungsunya masih di kapal. Ibu ini menangis sambil memluk suaminya, erat… seerat tali yang mengikat lifecraft kami dengan kapal yang semakin terbakar. Putus asa, tiba-tiba ibu itu mellihat ke atas dan…. “Pak, itu anak kita pak!” (kalimat ini jelas bukan untuk saya) sontak kami melihat ke atas, seorang anak berdiri di pinggiran kapal, sendirian, menangis.”Pak…. anak kita pak….. anak kita huhuhuhuuuuu” ibu itu dan putrinya menangis, suaminya lalu mengambil tangga monyet, dia akan segra naik ke kapal yang sudah tertutup asap ketika istrinya bilang lagi

“jangan naik pak.. jangan naik…. di sini aja Pak… tapi itu anak kita pak”

yeah, seorang pria tak kan pernah berhasil memahami keinginan wanita bukan?

Si suami melihat ke atas, lalu sepertinya dia melihat sesorang yang dia kenal, dia berteriak-teriak memanggil kawannya itu, untunglah yang dipanggil mendengar. Si suami itu lalu meminta kawannya untuk menyelamatkan anaknya, kawannya yang masih di atas kapal lalu berlari ke arah si anak, digendong dan entah setelah itu dibawa kemana. Masalah tentang anak tersebut selesai, namun lifecraft kami belum menemukan penyelesaiannya. Kami sudah tak menemukan harapan ketika tiba-tiba ada yang menyodorkan sebuah silet kecil, silet diambil, disabetkan ke tali dan sekali lagi, sekali lagi sekali lagi…. dan talipun putus seiring Mas itu ngomong “ancuk! ngopo gak ket mau”

lifecraft langsung meluncur menjauhi kapal.

Masalah selesai, sekarang tinggal harapan. Kami entah berapa orang berada dalam lifecraft yang sempit, bertumpuk-tumpuk. Sejenak saya menenangkan diri, lalu saya melihat ke atas. Langit sudah terang, ternyata kami sudah begitu jauh dari kapal sehingga bisa bernafas tanpa terganggu asap hitam lagi. Lalu kami bergotong royong mengeluarkan air dari lifecraft, dengan sepatu, dengan kantong plastik, dengan tangan dengan apa saja yang kami bisa. Kami baru sadar bahwa ternyata lifecraft yang kami tumpangi ini posisinya terbalik, dan lifecraft kami meluncur terus menjauh semakin menjauh sehingga bahkan terpisah dari rombongan lifecraft dan sekoci lain.

Dan hanya hamparan laut yang seolah tanpa batas. Tak ada manusia yang terlihat, tak ada kapal, hanya laut sepanjang mata memandang disitulah terasa betapa kecilnya kita ini, dibandingkan luas lautan itu bahkan sepertinya kami hanya titik yang tidak berarti, apalagi didepan Pemiliknya. Langit dan laut hanya itu yang bisa kami lihat. Tugas kami sekarang hanya menjaga agar lifecraft ini bisa bertahan sampai bantuan datang entah dari mana dan entah kapan. Pada saat-saat seperti inilah, hanya Tuhan yang bisa kami andalkan. Semua orang berdoa dengan caranya masing-masing, berdzikir dan segala macam bacaan dibaca. Semua berdoa pada Tuhan yang sama, Yang memiliki lautan Maha Luas itu, yang menciptakan langit tanpa batas itu. Semua berdoa, walau mungkin menyebut Tuhan dengan nama yang berbeda-beda.

Pada keadaan seperti ini, tak ada yang bisa diandalkan selain berpasrah pada Nya, Bersandar pada Nya dan mencari ketenangan dalam sejuk nama Nya.

Dan tiba-tiba……blusssssshhhhhh……. LIFE CRAFT KAMI BOCOR!

bersambung partII: URIP MUNG MAMPIR UDUTAN
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150239051732393

CAKRAWALA TERTUTUP ASAP HITAM (II)

(sekilas ingatan pada kebakaran kapal Mustika Kencana 2)
Muhammad Zuriat Fadil
http://sastra-indonesia.com/

Dan ya! Ini adalah hal yang paling tidak diinginkan ditengah lautan. Berada dalam lifecraft yang tergenang air laut saja cukup membuat kami sulit bertahan, apalagi lifecraftnya tenggelam, itu berarti kami harus bertahan dengan tenaga sendiri selama rentang waktu yang tidak menentu. Tanpa perlu menunggu lama, lifecraft kami sudah menjadi setumpukan karet yang berat dan mulai masuk kelelep ke dalam air. Pria yang bersama istri dan anaknya tadi lantas bilang “Semuanya jangan mencar! Pegangan tangan!!!” kami pun saling berangkulan, posisi kami sudah mengapung dilaut. Saya mendongak ke atas, matahari bersinar, hal ini membuat saya agak heran juga karena waktu di kapal tadi saya perkirakan awan hitam akan datang membawa hujan dan bahkan mungkin… badai!

Tak lama kemudian sesuatu muncul dari laut, tepat dibawah saya dengan bunyi “”bloopppp…” ternyata lifecraft itu masih bias mengembang lagi asal kena sinar matahari, perlahan lifecraft mulai mengembang dan muncul sedikit demi sedikit di permukaaan. Spontan kami mendongak ke atas, sepertinya tidak pernah kami benar-benar merindukan sinar matahari seperti hari itu. Sinar matahari tiba-tiba menjadi barang mewah yang akan kami bayar berapapun yang kami bisa asal dia mau bersinar terus. Posisi saya tepat berada di tengah lifecraft yang sedang mengembang, awalnya lifecraft menggelembung dengan sangat cepat namun ketika lifecraft itu sudah mengembang sebesar sekitar empat biji bantal guling, lifecraft berhenti mengembang dan memompa dirinya. Saya tengok kembali ke langit, ternyata matahari tertutup oleh segumpal awan hitam, kecil awan hitam itu tapi posisinya tepat menutupi sinar matahari. Kami, para lelaki yang tadi sempat berada di atas lifecraft langsung turun dan menaikkan seorang anak kecil (saya juga bingung, sejak kapan anak itu ikut kami) serta ibu yang tadi kehilangan anaknya dan putrinya yang seperkiraan saya mungkin masih sekitar kelas5-6 SD.

Selain mereka, seingat saya dalam lifecraft yang tinggal seperempat saja itu, ada juga sepasang pria dan wanita yang menurut hemat saya sepertinya pengantin baru atau bahkan mungkin hanya pasangan pacaran –sebab usia pasangan ini sepertinya masih sangat muda – lalu ada sekitar lima orang pria dan saya serta ayah saya. Berarti dalam lifecraft yang sekarang tinggal menjadi pelampung bersama ini, ada lebih dari sepuluh orang. Sementara lifecraft entah kenapa tidak mengembang lagi. Kondisi kami saat itu mengelilingi lifecraft, berpegangan sambil setengah berenang. Si ibu, anaknya dan anak kecil yang di atas lifecraft tetap terendam sampai batas dada. Anak kecil masih sambil digendong oleh seorang pria, saya tidak tahu apakah dia ayahnya atau bukan, namun herannya anak kecil ini, yang mungkin berusia sekitar3-4 tahun, tidak menangis! dia hanya diam saja sehingga tidak ada yang terepotkan kecuali ya, Pria yang menggendongnya sambil berenang itu.

Entah berapa lama, kami mengambang seperti itu. Maka disebut-sebutlah kembali nama-nama Tuhan Yang Maha Kuasa, disebut dengan beragam cara sesuai yang diketahui masing-masing dari kami. Ayah saya mendekat pada saya lalu bilang “dzikir, terus berdzikir” Lalu saya ingat di dalam tas laptop saya ada tasbih. Saya ambil dan saya kembali berdzikir sambil membulirkan biji-biji tasbih. Sebenarnya tak perlu juga saya pakai tasbih, dalam keadaan seperti itu tak ada niatan juga mau menghitung berapa kali dzikir yang terucap oleh mulut namun karena tasbih itu biasanya menemani saya sebelum tidur, entah kenapa saya merasa agak tenang bila menggenggamnya.

Masih tak tau juga, berapa lama kami dilautan lepas itu. Sementara matahari semakin terik (dan sayangnya tidak lagi berefek apa-apa pada lifecraft, air laut malah makin terasa dingin di tubuh. Kulit mulai mengkerut, bibir bergetar, lemas dan sudah tak jelas kalimat apa yang keluar dari mulut. Dalam pikir, saya ingin mengucapkan “hasbunallah wa ni’mal wakiil ni’mal mawla wa ni’man natsir” tapi yang terdengar dari bibir yang gemetaran ini cuma “awoohh…. awooohh” sempat seseorang bilang “ADA KAPAL!!!” tubuh saya yang lemas langsung bersemangat, mencoba meninggikan kepala dan melihat ke sekeliling namun selain asap dari kejauhan, tak ada apa-apa. Salah lihat ternyata dia, sial!

Lalu seorang pria berseru kembali tak lama kemudian “itu ada kapal!!!” kami mencari-cari namun tak ada “Mana???” pria itu menjawab “itu lho, kapal kita yang tadi kebakar” lalu dari ucapan dzikir, semuanya beralih mengumpat-ngumpat orang itu. Tapi sebenarnya informasi dari Mas ini berguna juga, karena memang tiba-tiba kapal Mustika Kencana 2 yang sedang terbakar itu kelihatan jelas dari tempat kami mengapung, itu bisa dikarenakan kapal yang masih jalan atau karena kami mengambang justru mengarah ke kapal kagi.

Masih menunggu, masih menunggu di lautan luas, kondisi tubuh kami semakin lemas. Lemas, tubuh bergetar hebat, berbicara pun semakin susah bahkan beberapa orang sudah mulai muntah-muntah. Namun ayah saya sempat mengeluarkan bungkusan apel dari tas ranselnya, apel itupun mengapung. Kami bagi satu-satu, sementara apel lain terlepas ikatannya dan mengapung disekeliling kami. Namun saya tidak begitu berselera, eh Mas yang diseblah saya dengan wajah lugunya mengambil apel yang mengapung dan mengantongi beberapa. Ketika saya menoleh padanya dia malah memasang tampang malu-malu. Aduh duhh…. Kita ini memang bangsa yang benar-benar pemalu, ingin saya katakana pada Mas itu “sudahlah Mas, ambil aja, ndak apa-apa koq ” tapi mulut saya sudah ndak bisa bicara lagi.

Sementara itu, kaki saya sudah keram. Sudah tidak bias digerakkan lagi, sandal saya ternyata lepas dan mengapung-ngapung.

Ayah saya mengambil sandal saya yang tinggal seblah dan ngomong

“ini, pake sendalnya”

APA-APAAN???!!!!!

Ayah saya memang terkenal sangat disiplin soal waktu dan kerapihan, tapi ya ampun di tengah laut gini masih sempat merhatiin sendal? Plis deh Pak…..

Tapi sebenarnya saran untuk tetap mengenakan sandal itu saya fahami sebagai usaha untuk mengantisipasi bila ada hiu. Hiu akan langsung mengincar kaki manusia yang berada di laut, karena kulit manusia terlihat cerah di dalam air. Bila mengenakan sepatu, itu akan meminimalisir risiko diserang oleh hiu. Namun entah musti bersyukur atau gimana, memang kami tidak sempat diserang hiu tapi tiba-tiba beberapa orang menjerit kesakitan, satu-satu bergantian mereka menjerit-jerit.

Ternyata disekeliling kami terdapat banyak ubur-ubur yang menyengat itu. Kamippun kembali panik, tapi terus saja ada yang terkena sengatannya. Ubur-ubur….. saya lalu teringat Spongebob (serius ini, sumpah!), hmmmm… bagaimana Spongebob bisa bersahabat dengan ubur-ubur dan tidak pernah disengat sementara Squitworth selalu disengat? Lama saya berpikir lalu saya ingat…. SPONGE BOB KAN SPONS BUSA!!! Mana bisa dia disengat listrik???!!!!

Akh! Fuck Sponge Bob!

Selintas saya teringat ucapan kiai saya, dulu beliau pernah berkata“Hewan itu ummatnya Nabi Sulaiman, kirim fatihah ke Nabi Sulaeman” Maka sayapun membaca alfatihah yang diniatkan untuk Kanjeng Nabi Sulaeman. Entah karena alhatihah nya atau mungkin ubur-uburnya juga udah bosan menyengat kami yang rasanya ndak gitu enak-enak amat dan kurang gizi karena belum sempat sarapan, rombongan ubur-ubur itu mulai menyingkir. Hanya sesekali saja kami disengat, tapi tidak sesering saat rombongan ubur-ubur itu dating pertama kali tadi.

Di kejauhan, ada yang melontarkan tanda S.O.S yang seperti petasan itu. Semua berharap semoga ada yang melihat. Lalu satu tanda S.O.S lagi dilontarkan, harapan kembali…..

Namun masa kritis tidak berlalu begitu saja, sengatan ubur-ubur memang semakin jarang, namun kondisi badan kami semakin tak berdaya. Semua orang menggigil, sesaat saya pejamkan mata.

Tiba-tiba seperti wajah-wajah orang-orang yang pernah saya kenal berkelebat begitu saja. Keberhasilan dan kegagalan yang pernah saya alami juga melintas dalam ingatan, namun anehnya semua pencapaian dan kegagalan hidup saat itu terasa tidak begitu benar-benar berarti. Saya hanya ingin sekali melihat wajah orang-orang yang saya kenal itu tersenyum. Percayalah, semua wajah yang berkelebat itu sedang tersenyum. Dalam keadaan seperti ini bahkan orang yang pernah menyakitipun akan muncul dihadapanmu dan semuanya tersenyum ramah.

Dan tentu saja, ingatan saya pada sebatang rokok. Menghisap sebatang rokok, hmmm… pasti nikmat sekali raanya bukankah ‘urip mung mampir udutan?’ (hidup hanya mampir buat ngerokok) dan….. eh?! Rokok!??? Tiba-tiba saya terbangun…. Saya baru ingat, ada dua bungkus rokok yang plastiknya belum dibuka dalam kantong celana saya. Saya raba, saya cari namun sudah tidak ada (sekarang baru mikir, emang kalo ada mo ngapain? Emang ada korek di tengah laut?) Ternyata saya sudah lama juga tidak sadarkan diri, sekarang orang-orang ini sedang sibuk ingin membalik posisi lifecraft kami namun karena karetnya yang berat itu ditambah kondisi tubuh yang lemas usaha itu tetap sia-sia (ternyata sejak awal posisi lifecraft ini memang terbalik).

Lama-kelamaan, bahu dan kaki saya rasanya semakin keram. Tasbih yang sejak tadi saya pegang sudah raib entah kemana. Karena tidak kuat lagi, akhirnya tas laptop saya lepas. Tas laptop pun lenyap sudah ditelan lautan lepas.

Lama kami berusaha lagi untuk membalikkan lifecraft itu, namun tidak juga berhasil. Justru yang ada badan semakin lemas, mata saya kembali terpejam. Seorang diseblah saya mengguncang-guncang tubuh saya “Mas, jangan tertidur” Saya terbangun, tetapi rasanya mata saya kembali memejam. Bibir sudah gemetar, badan dan kaki sudah keram. Sementara itu, ombak sudah mulai membesar, kami yang semakin lemas ini malah timbul-tenggelam kayak teh celup di tengah laut. Air laut sudah tertelan banyak, mual.

Samar-samar, saya dengar “itu kapal..! itu kapalll…!!!!” saya sudah tidak bisa perduli, terutama karena yang tadi-tadi seruan seperti itu hanya tipuan. Tapi kali ini memang, saya mendengar suara deru mesin kapal….

Dan harapan datang, semangat pun kembali, seorang pria kami suruh naik dan berdiri di lifecraft untuk memberi kode. Peluit-peluit dari baju pelampung ditiup (ternyata tidak semua baju pelampung ada peluitnya, di rombongan kami hanya ada tiga yang dapat) lambat tapi pasti, kapal itu mengarah pada kami. Sungguh, rasanya lambaat sekali. Tapi akhirnya kapal itu tiba juga, ternyata sebuah kapal nelayan Madura (melihat corak dan warna kapal dan tentu saja logat nelayannya)

Beberapa orang -juga ayah saya- langsung berenang kea rah perahu nelayan, ini keputusan berani juga sebenarnya. Pertama karena jarak kapal itu tidak begitu dekat dan kedua, ombak sudah semakin meninggi. Tapi mereka berhasil sampai ke perahu dan langsung naik, sementara ada seorang pria di atas perahu nelayan itu yang memegang handy talky bilang “Pak pak, tetap disini dulu ya… jangan kemana-mana (sewot gw: LU PIKIR KAMI BISA KEMANA??) ini kami bawa dulu nanti bapak-bapak ikut kapal yang selanjutnya, tenang saja ada kapal lagi koq”

Namun kau tahu, di negri ini sekali kau menyelamatkan segolongan orang maka kau tak kan dilepas begitu saja sampai semuanya ikut terselamatkan atauy kau juga ikut tenggelam.

Saat perahu nelayan itu mulai menjauh, orang-orang di lifecraft berteriak “Paaaakkk… ini ada anak kecil paaaakkkk…. Tolong paakkkk…o kodoonng mau mi mati ini anak e” (logat Makassar) aksi ini sangat teatrikal, didukung ekspresi yang meyakinkan dan property acting yang sangat mendukung; ya anak kecil itu.

Bapak Nelayan Madura langsung menghentikan laju kapal, bapak dengan handy talky marah-marah

“jalan pak!!!! Yang mereka nanti saja!!!!”

nelayan Madura bilang “ kasiian pak, itu ada anak keccil pak….”

Singkat cerita, kapal nelayan itu berbalik kea rah kami untuk menjemput si anak, namun begitu kapal nelayan cukup dekat

maka berebutanlah semua orang untuk naik ke kapal, keadaan rusuh, kapal nelayan miring, pria dengan handy talky marah-marah….. Nelayan Madura: “addooo pak, kapal sayya bissa tenggelam pak…. Addooo pak… ndak bissa kayak ginni pak”

Sementara keadaan semakin rusuh dan alot, saya putuskan untuk tidak ikut ke kapal nelayan dulu dan menunggu pertolongan berikutnya. Namun ayah saya yang sudah berada di kapal memanggil, saya julurkan tangan, sayapun berhasil naik ke atas kapal sementara pria dengan handy talky masih marah-marah dan nelayan Madura pemilik kapal ini memohon-mohon dengan dramatis. Namun saya salut pada tiga orang yang memutuskan tetap tinggal di lifecraft agar yang lain bias diselamatkan lebih dulu. Salute…

Begitu sampai di kapal nelayan, kami dibagikan air yang hanya seukuran sachetan, cuma seteguk air dan tenaga kembali segar. Saya ambil tas pakaian saya, semestinya di dalamnya ada beberapa oleh-oleh, namun ternyata isinya sudah kosong, ambyar semua di lautan. Saya ingat di dalamnya ada juga beberapa gantungan kunci dengan gambar logo kraton Ngayogyakartahadiningrat. Yah, mungkin juga nelayan Madura ini adalah keturunan Pangeran Cakraningrat yang pada era Sultan Agung Anyokrokusumo ditugaskan mengelola Pulau Madura yang sangat istimewa itu.

Kemudian kami dibawa ke kapal tongkang, awalnya saya kira ini kapal penyelamat, sampai saya liat di depannya ada rantai yang tersambung pada tak boat. Wajar bila saya pikir ini adalah kapal penyelamat, betapa tidak? Chief kapalnya terlihat sangat keren dengan potongan rambut kayak Ekin Cheng, berkacamata hitam, tinggi besar. Lalu dengan sigap dia mengosongkan ruangan kru kapal untuk wanita dan anak-anak. Ini adalah sikap yang sangat tepat, wanita selalu punya kebutuhan yang tidak bisa diketahui sepenuhnya oleh pria. Memberi mereka ruangan untuk mengurus kebutuhan mereka itu benar-benar professional.

Dan bagi saya, pertolongan yang paling utama adalah sebatang rokok. Selesai melepas pakaian, menyiram tubuh dengan air tawar. Saya lalu ke ruang komando kapal tongkang, memasang wajah memelas dan “Pak, saya kedinginan….. ada rokok enggak?” lalu para kru kapal bahkan chief kapal itu menyodorkan semua rokok yang mereka punya, awalnya merk rokok tidak begitu masalah, namun ketika ada yang menyodorkan Gudang Garam Inter, saya langsung menyambarnya. Meminta korek, membakar dan menghisapnya, menyesapnya jauuuhhhhhh ke paru-paru ssssshhhh….. lalu pppoooosssshhhh…..menghembuskan asapnya sambil bergumam “ah, urip mung mampir udutan”

Setelah itu, nelayan Madura yang pada kahirnya berjumlah tiga perahu itu bolak-balik menyelamatkan korban-korban lain dan mengangkutnya ke kapal tongkang. Baru kami tahu saat itu sekitar pukul setengah sebelas. Selesai penyelamatan korban, kami lalu dipindah ke kapal pengiriman barang yang sudah mendekat, di kejauhan saya lihat ada sekitar dua-tiga kapal sejenis yang merapat ke lokasi kami. Ternyata sebelum terjun ke laut, kapten kapal sempat mengirim sinyal keadaan darurat.

Perjalanan dengan kapal peti kemas berlangsung hingga sekitar tengah malam. Awalnya, ketika para penumpang ditawari makan di kapal barang ini awalnya mereka masih malu-malu atau mungkin juga tidak begitu berselera makan karena masih trauma. Namun begitu hari menjelang sore, kelaparan menjadi-jadi. Maka rebutan makan pun tak terhindarkan. Untung kru kapal barang ini juga tidak keberatan berbagi jatah makan dengan kami, nasi dengan lauk garam menjadi barang yang sangat mewah untuk kami bertahan selama seharian di kapal peti kemas. Tidur bisa dimana saja, karena kapal peti kemas memang tidak menyediakan kamar yang cukup.

Sesaat tadi, waktu terapung di laut semua masalah kehidupan terasa begitu remehnya. Namun tidak butuh waktu lama bukan untuk manusia kembali meributkan rebutan makanan dan lainnya. Hanya saja, segala dinamika itu sekarang dihadapi dengan lebih enteng. Terbukti semua bisa tertawa kembali, ceria kembali dan bercanda-canda lagi. Bahkan yang tadinya tidak saling kenal sekarang menjadi saling kenal dengan mesra. Benarlah, urip mung mampir udutan koq.

Setelah mendekat ke Madura, sekitar pertengahan malam, kami dijemput oleh kapal ferry dari perusahaan Darma Lautan Utama, merekalah pemilik kapal Mustika Kencana 2 yang terbakar itu. Naik ke kapal ferry menuju Surabaya kembali, diiringi lambaian tangan para kru kapal peti kemas (o iya, nama kapal peti kemasnya K.M PEMUDI) Terima kasih kami yang begitu besar pada mereka-mereka yang menolong kami dengan tulus. Nelayan Madura, Kapal Tongkang beserta kru, dan kapal PEMUDI beserta seluruh awak kapalnya.

Sampai di kapal ferry perusahaan, sudah menyambut kami nasi bungkus dan air mineral yang langsung kami serbu. Kami diberi selimut, sarung dlsb. Tenaga medis pun telah sigap. Minuman teh dan kopi tersedia. Tapi tentu saja yang sangat dibutuhkn oleh kami ini adalah: ROKOK.

Ini pelajaran buat mereka yang selanjutnya akan bekerja sebagai penyelamat professional, kita semua tahu bahwa ada beberapa penyakit yang datang justru karena adanya dokter bukan? Itu pula yang kami alami. Begitu tim medis mulai menanyakan keluhan-keluhan, barulah muncul rasa sakit disekujur tubuh, kulit yang terasa panas dan…. Kelelahan.

Terakhir, bila anda suatu saat menjadi penyelamat dalam kasus-kasus seperti ini, siapkanlah rokok yang banyak.

Karena menurut pengalaman saya, akibat tidak disiapkannya rokok oleh fihak yang bertanggung jawab (dalam hal ini perusahaan Dharma Lautan Utama) maka yang menjadi korban adalah para awak kapal yang membawa rokok, kami serbu untuk kami ajak bercerita bahkan sebenarnya para awak kapal malah menjadi tong sampah curhatan kami sambil kami mintai rokoknya .

“wah gila! gak nyangka saya bisa bertahan… Empat jam lho Mas… empat jaammm!!!! Makanya saya ni kedinginan klo gak ada rokok, punya rokok mas?”

Sementara yang lain bercerita

“jadi begini lho ceritanya Mas…. Wwuuuiiihh… waktu itu saya tu tueerrjjun ke laut Mas… eddiann pokokke….. ada rokok lagi Mas?”

Satu orang juga ngomong disaat bersamaan

“hooh Mas, ada juga itu ibu-ibu di duorong Mas sama suaminya, lha piye menneh to??? Rokoknya satu lagi donk Mas…”

Ah yaaa…. Urip mung mampir udutan.

Hasbunallah wa ni’mal wakiil nimal mawla wa ni’ma natsir….

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150239923442393

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi