Sabtu, 28 Mei 2011

Kritikus Seni Sudah Mati

Arif Bagus Prasetyo
Kompas, 9 Januari 2011

TEMU Sastrawan Indonesia III di Kota Tanjung Pinang pada 28-31 Oktober menyoroti mendung krisis kritik sastra yang sejak lama dirasakan merundung ranah kesusastraan kita. Sastra Indonesia mutakhir dianggap tumbuh nyaris tanpa kritik. Diperlukan upaya serius dalam meningkatkan jumlah ataupun mutu kritik sastra untuk mengimbangi pertumbuhan karya sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini.

Kritikus sudah mati, kata Profesor Ronan McDonald dalam The Death of the Critic (2007). Era kritikus sebagai penentu selera publik dan konsumsi kultural telah berlalu. Dulu, khususnya pada masa puncak Modernisme pada abad ke-20, kritikus seni (termasuk kritikus sastra) menduduki peran hierarkis sebagai figur yang dipandang lebih tahu tentang seni daripada orang kebanyakan. Kritikus seni menjadi sosok panutan yang sabdanya diyakini berbobot istimewa dan layak ”diimani” khalayak. Pada era postmodern abad ke-21 sekarang, aspek hierarkis tersebut kian pudar ditelan perubahan besar dalam relasi sosial dan pergeseran sikap masyarakat terhadap nilai dan penilaian seni.

Dewasa ini, palu penilaian seni telah menyebar, tak lagi berada dalam genggaman kritikus semata. Pemirsa/pembaca juga berkuasa menilai karya, tak jarang bahkan lebih berwibawa daripada kritikus atau pakar seni. Peran dan otoritas kritikus sebagai penentu nilai artistik telah diambil alih oleh khalayak umum: blogger, kelompok diskusi pembaca, juri kompetisi sastra seperti Khatulistiwa Literary Award atau Anugerah Pena Kencana (yang sering kali bukan kritikus sastra), penerbit, selebriti yang menulis endorsement atau blurb di sampul buku, pengguna Facebook atau Twitter yang mengetik komentar pendek atau mengeklik tanda jempol.

Demokratisasi

Respons terhadap seni telah mengalami demokratisasi besar-besaran. Kritik evaluatif kian dipandang sebagai urusan selera pribadi. Nilai artistik makin menjadi soal suka atau tak suka belaka. Bahkan, nyaris dalam hal apa pun, kini pendapat semua orang dianggap sama berharganya. Opini awam tak lebih rendah daripada komentar pakar. Lihatlah acara talk show di TV yang melibatkan partisipasi penonton di studio atau di rumah. Pihak yang berkuasa menentukan pemenang kompetisi seni semacam Indonesia Mencari Bakat atau Indonesian Idol bukanlah dewan juri yang kompeten di bidang seni, melainkan para penonton TV yang mengirim SMS dukungan kepada peserta. Ingat pula bagaimana proses hukum bisa dipengaruhi oleh suara para Facebooker dalam kasus Bibit-Chandra.

Internet berperan besar mendorong demokratisasi kultural dan memudarkan aura kritikus. Merebaknya cara-cara ”mengulas” baru yang ditawarkan oleh berbagai aplikasi jejaring sosial seperti Twitter dan situs-situs ulasan amatir seperti Yelp kian menguatkan pandangan bahwa kritik gaya lama telah kehilangan audiens dan relevansi. Kritikus makin tidak dibutuhkan karena kini semua orang bisa menjadi kritikus. Everyone’s A Critic, kata Brian Hieggelke, sambil menyebut sejumlah nama kritikus profesional yang diberhentikan dari media tempatnya bekerja karena tidak diperlukan lagi: Todd McCarthy (kritikus film) dan David Rooney (kritikus teater) dipecat dari Variety, Raymond Solokov (kritikus restoran) dipensiunkan dari The Wall Street Journal.

Di lapangan sastra, menurut McDonald, era kematian kritikus dimulai ketika Roland Barthes mengumumkan manifesto ”kematian pengarang” yang begitu terkenal itu. Barthes berpandangan bahwa membaca adalah proses yang cair, berujung terbuka dan individual, yang tidak perlu menyandarkan keabsahannya pada maksud pengarang. Terpaku pada maksud pengarang berarti mencekik kesuburan bahasa dan potensi pluralitas makna dalam karya sastra. ”Kematian pengarang” telah memerdekakan pembaca untuk bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas. Akibatnya, kritikus pun menjadi ”mati” karena otoritasnya sebagai agen penilai-penafsir karya telah direbut pembaca. Kritikus tidak dibutuhkan lagi oleh khalayak pembaca yang kini bebas dan berkuasa menilai karya dan menafsir maknanya.

Pada hemat saya, kritikus yang ikut mati bersama matinya pengarang adalah kritikus dalam pengertian tradisional: kritikus yang semata-mata berkutat mencari makna orisinal yang diandaikan terkandung (atau tersembunyi) dalam karya. Makna orisinal inilah yang sering dibayangkan orang ketika berbicara tentang ”maksud karya” atau ”maksud pengarang”. Tugas kritikus tradisional adalah menemukan makna orisinal sebuah karya dan menyampaikan temuannya itu kepada khalayak pembaca untuk digunakan sebagai panduan dalam memahami karya.

Namun, sejak Barthes memproklamasikan ”kematian pengarang”, tak ada lagi makna orisinal. Bagi Barthes, karya itu seperti bawang, sebuah konstruksi lapisan-lapisan yang tidak berjantung, tidak berinti, tidak berisi rahasia, tidak berisi apa pun kecuali ketakterbatasan pembungkus-pembungkusnya. Kalaupun ada makna orisinal, makna tersebut selamanya tak terjangkau, tak dapat diringkus oleh kritikus. Menurut Barthes, makna bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam karya dan menunggu ditemukan, melainkan diproduksi oleh pembaca. ”Kematian pengarang” adalah momen ”kelahiran pembaca”.

Dalam pandangan saya, kritikus yang mencari-cari makna orisinal sebuah karya seolah dituntut (atau menuntut dirinya) untuk memelototi karya dengan mata pengarang karya bersangkutan. Sesuatu yang cukup absurd karena kritikus sesungguhnya tidak lebih daripada pembaca. Ia tak dapat melampaui posisinya sebagai pembaca. Jika kritikus menyadari posisinya sebagai pembaca, maka ”kematian pengarang” tidaklah mengakhiri riwayat kritikus, tetapi justru menjadi momen pembebasan kritikus. Sejak pengarang mati, kritikus menjadi merdeka untuk ikut bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas yang dirayakan khalayak pembaca.

Kalau begitu, apa bedanya seorang kritikus dengan pembaca yang bukan kritikus? Bedanya, menurut saya, terletak pada tingkat produktivitas dalam menghasilkan makna. Kritikus memang ”sekadar pembaca”, tetapi bukan ”pembaca sekadar”. Kritikus adalah pembaca yang bukan saja memproduksi makna, tetapi juga menghasilkan ”surplus makna”. Ibaratnya, ketika semua orang bisa berjoget, kritikus adalah ia yang menari. Orang menari atau melukis menghasilkan ”surplus makna” yang membedakannya dari orang berjoget atau mengecat. ”Surplus makna” inilah yang diproduksi oleh seni. Seni sastra, misalnya, memberikan makna ekstra kepada bahasa; seni musik memberikan makna ekstra kepada bunyi.

Era kematian kritikus memungkinkan kritik seni (termasuk kritik sastra) dilahirkan kembali sebagai seni kritik. Jika dulu kritik sastra bekerja dalam paradigma kaji, yakni pencarian makna, kini kritik sastra dapat beroperasi dalam paradigma seni, yakni penciptaan makna. Kritik sastra pada masa lalu sering serupa pisau bedah yang mengotopsi seonggok ”mayat sastra” untuk menemukan maknanya yang tersembunyi. Kritik sastra di masa kini bisa lebih menyerupai pisau pahat yang mengolah sepotong ”kayu sastra” demi memberinya makna baru.

Pada zaman sekarang, kritikus dapat menelaah karya sastra tanpa terpancang pada pencarian makna orisinal. Dia tak perlu berusaha merekonstruksi makna orisinal karya, melainkan membubuhkan makna baru pada karya.

Pada era kematian kritikus, ketika semua pembaca bisa menjadi kritikus, kritik sastra tidak perlu berupaya membangun jembatan antara karya sastra dan khalayak pembaca. Karya sastra tidak ditulis untuk menyembunyikan pesan atau maksud pengarangnya. Dalam sebuah karya sastra, pengarang sudah menyampaikan seluruh maksudnya secara lengkap dan utuh. Pengarang tidak dapat mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya dalam sebuah karya sastra dengan lebih baik dan lebih tepat lagi kecuali melalui karya bersangkutan.

Dipahami sebagai organisme yang menyatakan dirinya sendiri secara total dan sempurna, karya sastra tidak membutuhkan jembatan untuk berbicara kepada khalayak pembaca. Karya sastra tidak butuh penyambung lidah. Karena itu, kritik sastra pada masa kini sebaiknya berkonsentrasi membangun jembatan antara karya sastra dan sang kritikus sendiri, sebagai bagian dari proyek penciptaan arsitektur makna baru yang memperluas dan memperkaya karya sastra.

Arif Bagus Prasetyo, Penulis; Tinggal di Denpasar
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/kritikus-seni-sudah-mati.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi