Selasa, 28 Desember 2010

SASTRA DI TENGAH BUDAYA KAUM PECUNDANG

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sungguh luar biasa sihir Piala Dunia! Perhatian segenap bangsa di jagat ini seperti tersedot dan tumpah pada layar kaca. Tukang beca berteriak histeris. Kesebelasan yang dijagokannya, menang. Ia berjingkrak memegang uang taruhan. Dan kaum cerdik-pandai, politisi, para eksekutif atau buruh bangunan, hanyut pula dalam tontonan yang secara langsung, sebenarnya tak ada kaitannya dengan keadaan yang terjadi di negeri ini.

Sebuah stasiun tv swasta, memahami betul maniak para pecandu bola. Berbagai mata tayangan seperti hendak memanjakan mereka. Kuis-kuis dengan hadiah uang berlimpah memperlihatkan, betapa pentingnya sepak bola. Sponsor pun berlomba-lomba menjadi sinterklas. Tak ketinggalan, koran-koran menambah jumlah halamannya. Begitu royal media cetak itu memajang potret apa pun yang berkaitan dengan sepak bola.

Sihir hiburan massal memang dahsyat. Ia dapat menghipnotis berbagai lapisan masyarakat. Dalam sesaat seseorang bisa mendadak menjadi mitos; pahlawan yang tiba-tiba dipuja macam dewa, diangkat setinggi langit dan dihujani bonus kemewahan. Setelah itu, ia sekadar jadi legenda yang hanya penting untuk dirinya sendiri atau dicampakkan. Yang tersisa hanya cerita masa lalu; catatan sepenggal nostalgia tentang zamannya.

Pertanyaannya: apa maknanya buat kehidupan manusia? Adakah sangkut-pautnya dengan kehidupan bangsa kita ini? Apakah dengan segala keroyalan dan kemewahan itu, kesebelasan kita tiba-tiba mampu menyeruak masuk menjadi salah satu tim Piala Dunia? Dengan memanjakan para maniak bola, adakah jaminan bahwa mereka tak membuat lagi kerusuhan ketika kesebelasan yang dijagokannya kalah? Itulah sihir sepakbola yang seketika bisa membuat banyak orang lupa apa pun. Sepak bola seolah-olah telah menjadi segala-galanya bagi kehidupan ini. Ia seperti telah menjadi agama baru.

Boleh jadi, dilihat dari satu sisi, itu merupakan representasi kultur pecundang. Mereka bangga atas kehebatan orang lain. Meringkuk dan menikmati hidup dalam ketiak orang lain, seolah bakal menyelesaikan semua masalah. Hidup menjadi bayang-bayang, memang tak berisiko. Tetapi itulah seburuk-buruknya karakter. Itu pula yang diharamkan eksistensialisme. Maka, pernyataan: “Jadilah diri sendiri, dan hiduplah sebagai manusia unggul!” seperti suara tak bermakna. Adagium Descartes, cogito ergo sum ‘aku sadar maka aku ada’ juga bagai kehilangan relevansinya lagi, karena memang, menonton sepak bola tidak perlu berpikir.

***

Tradisi menonton tanpa dibebani macam-macam, apalagi jika mesti berpikir segala, agaknya telah menjadi virus yang tanpa sadar menggerogoti sikap kritis dan budaya baca. Berbagai macam bentuk tontonan yang ditayangkan stasiun tv di negeri ini seperti memberi pembenaran pada usaha untuk tidak menghargai pikiran. Perhatikan saja iklan-iklan tv. Yang ditawarkan tak jauh berkisar pada persoalan perut (makanan dan minuman), urusan mandi (sabun, sampo, sikat dan pasta gigi), gaya hidup, dan tak satu pun iklan buku! Lihat juga tayangan sinetron, telenovela atau kuis-kuis dengan iming-iming hadiah menggiurkan. Titik tekannya sekadar hiburan an sich. Manakala hiburan ditempatkan di atas segalanya maka tak dapat lain, pilihannya jatuh pada budaya populer. Sebuah produk budaya yang mengumbar selera rendah dan mengeksploitasi emosi murahan, naif, dan primitif.

Sebagai produk budaya yang bersifat massal, ia dapat diapresiasi oleh hampir semua kalangan. Massalisasi itu erat kaitannya dengan tujuan ekonomi yang hendak dicapainya. Jadi, sejauh menguntung dan mendatangkan materi, ia akan diproduksi secara massal sekadar hendak memanjakan selera publik, gaya hidup, dan mimpi-mimpi. Itulah kecenderungan yang kini sedang terjadi dalam diri sebagian besar masyarakat kita. Hidup tanpa berpikir, menonton sebagai bagian penting dari aktivitas keseharian, dan cita rasa pada gaya hidup sebagai usaha mengangkat martabat; gengsi.

Lalu, bagaimanakah dampaknya bagi kelangsungan hidup sebuah bangsa? Jika kondisi ini terus berlangsung, pemerintah masih tetap menempatkan dirinya sebagai penguasa, elite politik sekadar mengurusi perutnya sendiri, aparat masih kerap pat-pat-gulipat, dunia pendidikan masih jadi alat uji-coba yang tiada henti, dan stasiun tv terus-menerus mencekoki masyarakat dengan sajian mimpi, maka menjadi bangsa pecundang tinggal menunggu waktu saja (atau kini bangsa ini telah jadi pecundang?).

***

Mencermati sejarah perjalanan hidup bangsa ini, jelas sudah bahwa Indonesia dibangun dan didirikan oleh kaum intelektual. Sejumlah nama dengan gampang dapat kita sebutkan begitu saja. Mereka, para pendiri bangsa ini, tentu saja memainkan peran kebangsaannya dengan intelek dengan memanfaatkan wawasan dan pemikirannya. Tanpa itu, mustahillah lahir kesadaran kebangsaan (1908), kesadaran untuk membangun kultur sendiri (Polemik Kebudayaan—Surat Kepercayaan Gelanggang—Manifes Kebudayaan). Jika kini pembangunan kebudayaan seperti terpinggirkan dan marjinal, maka sungguh, itu tidak hanya berkhianat pada semangat para pendiri bangsa ini, tetapi juga “murtad” pada ruh yang mendiami pelosok negeri.

Ruh keindonesiaan adalah keberagamanan etnisitas. Maka yang disebut Indonesia adalah kepelosokan itu yang di dalamnya lahir, hidup, dan berkembang-biak etnis-etnis dengan keanekaragaman kultur yang menyelimuti dan memancar dalam peri kehidupan kesehariannya. Kesadaran ini boleh jadi memberi ruang yang lebih bebas dan leluasa bagi pertumbuhan dan perkembangan kultur etnis. Kesadaran ini juga mesti dipahami sebagai keniscayaan yang sesuai dengan semangat keindonesiaan. Dengan begitu, desentralisasi merupakan salah satu jalan keluar dari penjara yang memasung kreativitas kultural.

***

Dalam lingkup yang lebih khusus, sastra sesungguhnya mempunyai tempat yang potensial bagi usaha-usaha pemahaman atas kesadaran itu. Sastra Indonesia yang lahir dari ruh kultural pengarangnya, senantiasa menyodorkan kegelisahan atas problem etnis, kultur, dan secara keseluruhan: problem kemanusiaan. Oleh karena itu, meski sudah sejak lama kegelisahan itu disodorkan para sastrawan kita, kini kesadaran itu perlu disebarkan kepada khalayak yang lebih luas: masyarakat bangsa!

Bahwa pemerintah dan dunia pendidikan kita masih kurang memberi apresiasi atas kekayaan kebudayaan dan khasnya, kesusastraan kita, tak berarti kita putus asa dan berhenti memperjuangkannya. Lahirnya poros-poros kesusastraan di berbagai daerah dengan kesadaran mengusung problem kultur-etnis, seperti Bali, Bandung, Banjarmasin, Jakarta, Lampung, Madura, Medan, Surabaya, Yogyakarta, dan entah wilayah mana lagi, menunjukkan betapa mereka sesungguhnya –sadar atau tidak– telah mengejawantahkan ihwal multikulturalisme atas pemahaman kultur-etnis yang melingkarinya. Dengan begitu persoalannya tinggal, bagaimana jalinan komunikasi yang lebih mesra melalui pertukaran informasi dapat ditumbuhkan. Bagaimana Melayu atau Minangkabau dapat diapresiasi Sunda, Bali atau Jawa. Demikian juga sebaliknya.

***

Jakarta, barangkali dapat diasumsikan sebagai bentuk miniatur Indonesia. Atau, anggaplah ia merepresentasi Indonesia, mesti tidak dalam kerangka dan pemahaman dominasi dan sentralitas. Oleh karena itulah, munculnya komunitas-komunitas sastra di wilayah Jabotabek, seyogianya dipahami sebagai bentuk miniatur keindonesiaan itu. Di sana, ada Jawa, Sunda, Padang, dan sejumlah etnis lain. Mereka tentu saja tidak dapat melepaskan ruh kultural yang telah melahirkan dan membesarkannya. Maka, komunitas itu, potensial menyebarkan pemahaman berbagai-bagai kultur-etnis.

Dari komunitas-komunitas inilah, tidak berlebihan jika kita berharap mereka tidak hanya menawarkan keberagaman kultur-etnis, tetapi juga menyodorkan kultur yang lebih membumi dan menyodorkan sesuatu yang dapat menjadi bahan pemikiran kita. Ia tidak sekadar mendesak kita untuk membaca fenomena, tetapi juga menjadikannya sebagai bahan pergulatan intelektual. Boleh jadi, melalui itu –salah satunya—kita tidak hendak memubazirkan intelek kita. Sebab, hanya para pecundang yang lebih suka dan terbiasa menganggurkan inteleknya. Maka, jika intelek dan pemikiran kita secara sadar atau tidak, telah dipensiunkan, bersiaplah kita jadi pecundang. ***

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi