Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Sungguh luar biasa sihir Piala Dunia! Perhatian segenap bangsa di jagat ini seperti tersedot dan tumpah pada layar kaca. Tukang beca berteriak histeris. Kesebelasan yang dijagokannya, menang. Ia berjingkrak memegang uang taruhan. Dan kaum cerdik-pandai, politisi, para eksekutif atau buruh bangunan, hanyut pula dalam tontonan yang secara langsung, sebenarnya tak ada kaitannya dengan keadaan yang terjadi di negeri ini.
Sebuah stasiun tv swasta, memahami betul maniak para pecandu bola. Berbagai mata tayangan seperti hendak memanjakan mereka. Kuis-kuis dengan hadiah uang berlimpah memperlihatkan, betapa pentingnya sepak bola. Sponsor pun berlomba-lomba menjadi sinterklas. Tak ketinggalan, koran-koran menambah jumlah halamannya. Begitu royal media cetak itu memajang potret apa pun yang berkaitan dengan sepak bola.
Sihir hiburan massal memang dahsyat. Ia dapat menghipnotis berbagai lapisan masyarakat. Dalam sesaat seseorang bisa mendadak menjadi mitos; pahlawan yang tiba-tiba dipuja macam dewa, diangkat setinggi langit dan dihujani bonus kemewahan. Setelah itu, ia sekadar jadi legenda yang hanya penting untuk dirinya sendiri atau dicampakkan. Yang tersisa hanya cerita masa lalu; catatan sepenggal nostalgia tentang zamannya.
Pertanyaannya: apa maknanya buat kehidupan manusia? Adakah sangkut-pautnya dengan kehidupan bangsa kita ini? Apakah dengan segala keroyalan dan kemewahan itu, kesebelasan kita tiba-tiba mampu menyeruak masuk menjadi salah satu tim Piala Dunia? Dengan memanjakan para maniak bola, adakah jaminan bahwa mereka tak membuat lagi kerusuhan ketika kesebelasan yang dijagokannya kalah? Itulah sihir sepakbola yang seketika bisa membuat banyak orang lupa apa pun. Sepak bola seolah-olah telah menjadi segala-galanya bagi kehidupan ini. Ia seperti telah menjadi agama baru.
Boleh jadi, dilihat dari satu sisi, itu merupakan representasi kultur pecundang. Mereka bangga atas kehebatan orang lain. Meringkuk dan menikmati hidup dalam ketiak orang lain, seolah bakal menyelesaikan semua masalah. Hidup menjadi bayang-bayang, memang tak berisiko. Tetapi itulah seburuk-buruknya karakter. Itu pula yang diharamkan eksistensialisme. Maka, pernyataan: “Jadilah diri sendiri, dan hiduplah sebagai manusia unggul!” seperti suara tak bermakna. Adagium Descartes, cogito ergo sum ‘aku sadar maka aku ada’ juga bagai kehilangan relevansinya lagi, karena memang, menonton sepak bola tidak perlu berpikir.
***
Tradisi menonton tanpa dibebani macam-macam, apalagi jika mesti berpikir segala, agaknya telah menjadi virus yang tanpa sadar menggerogoti sikap kritis dan budaya baca. Berbagai macam bentuk tontonan yang ditayangkan stasiun tv di negeri ini seperti memberi pembenaran pada usaha untuk tidak menghargai pikiran. Perhatikan saja iklan-iklan tv. Yang ditawarkan tak jauh berkisar pada persoalan perut (makanan dan minuman), urusan mandi (sabun, sampo, sikat dan pasta gigi), gaya hidup, dan tak satu pun iklan buku! Lihat juga tayangan sinetron, telenovela atau kuis-kuis dengan iming-iming hadiah menggiurkan. Titik tekannya sekadar hiburan an sich. Manakala hiburan ditempatkan di atas segalanya maka tak dapat lain, pilihannya jatuh pada budaya populer. Sebuah produk budaya yang mengumbar selera rendah dan mengeksploitasi emosi murahan, naif, dan primitif.
Sebagai produk budaya yang bersifat massal, ia dapat diapresiasi oleh hampir semua kalangan. Massalisasi itu erat kaitannya dengan tujuan ekonomi yang hendak dicapainya. Jadi, sejauh menguntung dan mendatangkan materi, ia akan diproduksi secara massal sekadar hendak memanjakan selera publik, gaya hidup, dan mimpi-mimpi. Itulah kecenderungan yang kini sedang terjadi dalam diri sebagian besar masyarakat kita. Hidup tanpa berpikir, menonton sebagai bagian penting dari aktivitas keseharian, dan cita rasa pada gaya hidup sebagai usaha mengangkat martabat; gengsi.
Lalu, bagaimanakah dampaknya bagi kelangsungan hidup sebuah bangsa? Jika kondisi ini terus berlangsung, pemerintah masih tetap menempatkan dirinya sebagai penguasa, elite politik sekadar mengurusi perutnya sendiri, aparat masih kerap pat-pat-gulipat, dunia pendidikan masih jadi alat uji-coba yang tiada henti, dan stasiun tv terus-menerus mencekoki masyarakat dengan sajian mimpi, maka menjadi bangsa pecundang tinggal menunggu waktu saja (atau kini bangsa ini telah jadi pecundang?).
***
Mencermati sejarah perjalanan hidup bangsa ini, jelas sudah bahwa Indonesia dibangun dan didirikan oleh kaum intelektual. Sejumlah nama dengan gampang dapat kita sebutkan begitu saja. Mereka, para pendiri bangsa ini, tentu saja memainkan peran kebangsaannya dengan intelek dengan memanfaatkan wawasan dan pemikirannya. Tanpa itu, mustahillah lahir kesadaran kebangsaan (1908), kesadaran untuk membangun kultur sendiri (Polemik Kebudayaan—Surat Kepercayaan Gelanggang—Manifes Kebudayaan). Jika kini pembangunan kebudayaan seperti terpinggirkan dan marjinal, maka sungguh, itu tidak hanya berkhianat pada semangat para pendiri bangsa ini, tetapi juga “murtad” pada ruh yang mendiami pelosok negeri.
Ruh keindonesiaan adalah keberagamanan etnisitas. Maka yang disebut Indonesia adalah kepelosokan itu yang di dalamnya lahir, hidup, dan berkembang-biak etnis-etnis dengan keanekaragaman kultur yang menyelimuti dan memancar dalam peri kehidupan kesehariannya. Kesadaran ini boleh jadi memberi ruang yang lebih bebas dan leluasa bagi pertumbuhan dan perkembangan kultur etnis. Kesadaran ini juga mesti dipahami sebagai keniscayaan yang sesuai dengan semangat keindonesiaan. Dengan begitu, desentralisasi merupakan salah satu jalan keluar dari penjara yang memasung kreativitas kultural.
***
Dalam lingkup yang lebih khusus, sastra sesungguhnya mempunyai tempat yang potensial bagi usaha-usaha pemahaman atas kesadaran itu. Sastra Indonesia yang lahir dari ruh kultural pengarangnya, senantiasa menyodorkan kegelisahan atas problem etnis, kultur, dan secara keseluruhan: problem kemanusiaan. Oleh karena itu, meski sudah sejak lama kegelisahan itu disodorkan para sastrawan kita, kini kesadaran itu perlu disebarkan kepada khalayak yang lebih luas: masyarakat bangsa!
Bahwa pemerintah dan dunia pendidikan kita masih kurang memberi apresiasi atas kekayaan kebudayaan dan khasnya, kesusastraan kita, tak berarti kita putus asa dan berhenti memperjuangkannya. Lahirnya poros-poros kesusastraan di berbagai daerah dengan kesadaran mengusung problem kultur-etnis, seperti Bali, Bandung, Banjarmasin, Jakarta, Lampung, Madura, Medan, Surabaya, Yogyakarta, dan entah wilayah mana lagi, menunjukkan betapa mereka sesungguhnya –sadar atau tidak– telah mengejawantahkan ihwal multikulturalisme atas pemahaman kultur-etnis yang melingkarinya. Dengan begitu persoalannya tinggal, bagaimana jalinan komunikasi yang lebih mesra melalui pertukaran informasi dapat ditumbuhkan. Bagaimana Melayu atau Minangkabau dapat diapresiasi Sunda, Bali atau Jawa. Demikian juga sebaliknya.
***
Jakarta, barangkali dapat diasumsikan sebagai bentuk miniatur Indonesia. Atau, anggaplah ia merepresentasi Indonesia, mesti tidak dalam kerangka dan pemahaman dominasi dan sentralitas. Oleh karena itulah, munculnya komunitas-komunitas sastra di wilayah Jabotabek, seyogianya dipahami sebagai bentuk miniatur keindonesiaan itu. Di sana, ada Jawa, Sunda, Padang, dan sejumlah etnis lain. Mereka tentu saja tidak dapat melepaskan ruh kultural yang telah melahirkan dan membesarkannya. Maka, komunitas itu, potensial menyebarkan pemahaman berbagai-bagai kultur-etnis.
Dari komunitas-komunitas inilah, tidak berlebihan jika kita berharap mereka tidak hanya menawarkan keberagaman kultur-etnis, tetapi juga menyodorkan kultur yang lebih membumi dan menyodorkan sesuatu yang dapat menjadi bahan pemikiran kita. Ia tidak sekadar mendesak kita untuk membaca fenomena, tetapi juga menjadikannya sebagai bahan pergulatan intelektual. Boleh jadi, melalui itu –salah satunya—kita tidak hendak memubazirkan intelek kita. Sebab, hanya para pecundang yang lebih suka dan terbiasa menganggurkan inteleknya. Maka, jika intelek dan pemikiran kita secara sadar atau tidak, telah dipensiunkan, bersiaplah kita jadi pecundang. ***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar