Selasa, 21 Desember 2010

Remy Sylado: Apresiasi Puisi Sekedar Basa Basi dan Puisi Sebagai Perkayaan Rohani

Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/

Yapi Tambayong atau yang lebih kita kenal dengan nama pena Remy Sylado, seorang pemusik, pedrama, dan pelukis, juga seorang sastrawan yang karya-karya novelnya banyak terpajang di etalase-etalase toko buku ternama dan diminati banyak penyuka karya sastra mulai dari Kembang Jepun, Cau Bau Kan, dan yang paling muakhir adalah Diponegoro. Bahkan salah satu novelnya pernah difilmkan oleh seorang sutradara muda Indonesia dengan berbagai prestasi.

Saat ini Remy Sylado memilih menahbiskan diri sebagai Pesyair meskipun dengan berbagai bakat seni yang dia miliki yang dia anggap sebagai nugraha Ilahi. Kenapa demikian? Bagaimana dia mencermati keriuhan puisi saat ini yang semakin banyak diproduksi dan disyiarkan diberbagai média? Bagaimanakah proses kreatifitasnnya dalam mencipta puisi yang menjanjikan perkayaan rohani? Bagaimanakah pandangannya tentang apresiasi puisi dalam berbagai peristiwa budaya yang melibatkan puisi didalamnya?

Berikut ini adalah hasil wawancara saya, Zawawi (ZA) dengan Remy Sylado (RS) dalam sebuah imajinasi pertemuan yang tentunya bilakah dan dimanakah wawancara tersebut berlangsung tak perlu saya sebutkan dan rasanya memang tak begitu penting untuk diketahui.

Zawawi (ZA): Apa kabar Pak? Sehat?

Remy Sylado (RS): Puji syukur saya sehat-sehat saja meskipun Anda lihat sendiri rambut saya telah banyak yang memutih termakan usia ha..ha..

ZA: Begini Pak, yang saya dengar Anda sekarang pun memilih menahbiskan diri sebagai penyair dengan berbagai bakat dan keahlian serta “profesi” yang telah Anda geluti selama ini. Bila dikaitkan dengan kondisi saat ini dimana kemajuan teknologi telah mempermudah sebaran dan akses informasi. Banyak kita jumpai teks-teks puisi diproduksi, baik oleh para penyair ternama maupun penyair pemula atau bahkan meminjam istilah Hasan Aspahani (HAH) para awam puisi, bagaimana menurut Anda?

RS: Hasan Aspahani? Siapa dia? Oh ya, saya ingat, bukankah di Penyair juga, karyanya sering nongol di Kompas, Tempo, dan beberapa koran nasional lainya. Ya, ya, memang jalan menuju puncak puisi, jalan menjadi pesyair berpercaya tidaklah lempeng, banyak yang terpanggil namun sedikit yang terpilih.

ZA: Jadi, maksud Anda dalam dunia kepenyairan juga ada semacam seleksi alam begitu ya. Kalau menurut Anda karya puisi yang baik itu kriterianya apa?

RS: Begini, ketika saya muda dan masih menuntut ilmu di perguruan tinggi teologi di Semarang, saya pernah bertanya kepada Prof. Dr. Bufford L. Nicholas, rektor seminari itu; kenapa film-film yang dibuat oleh bangsanya untuk tiap-tiap adegan penguburan selalu di bacakan ”The Lord is my shepherd”. Lalu beliau menjawab bahwa kandungan puisi itu berkasad menghibur orang yang ditinggal dan sekaligus memberi kepastian adanya harapan kehidupan baru bagi orang-orang yang percaya. Nah dari situ ada yang membingkai dalam pikiran saya sekarang yaitu puisi yang punya nafas panjang, yang dibaca secara tetap oleh khalayak, adalah puisi yang memberikan faedah penghiburan dan pengharapan kini dan hari esok.

ZA: Dengan kata lain karya puisi yang baik adalah karya yang abadi, bernafas panjang, dinikmati khalayak dari masa ke masa, dan memberikan faedah bagi pembacanya begitu ya?

RS: Ya, begitulah saya pikir dan topik itu pulalah yang mendasari atau sekurangnya mewarnai kemauan saya menulis puisi, karena saya yakin itu akan memberi faedah bagi banyak orang. Saya tertarik dengan pernyataan Sitor Situmorang bahwa kepengarangan, berikut tanggungjawab intelektualnya, ada kesejajaran dengan dan dapat dikiaskan sebagai kenabian.

ZA: Sebagaimana telah saya sampaikan diawal bahwa teks-teks puisi banyak diproduksi, berserakan di etalase-etalase toko, di koran-koran, di majalah-majalah, belum lagi yang ada di dunia cyber dan banyak juga disyiarkan di panggung-panggung dengan berbagai nama kegiatan, bagaimana Anda mencermati hal ini?

RS: Tidak diingkar, bahwa keramaian puisi diatas panggung itu baik juga. Tetapi selanjutnya dipertanyakan dapatkah keramaian itu menjamin adanya rasa kebutuhan – bukan lagi apresiasi, sebab apresiasi sering menjadi basa basi – bagi khalayak untuk mau membeli buku puisi, menyimpannya di antara buku-buku di rak koleksinya sebagai pelengkap ciri kehidupan berbudaya? Saya memang memuji usaha pementasan puisi dengan berbagai nama kegiatan baik lomba atau festifal sebagai peristiwa budaya, toh saya juga ingin berkata kurang yakin usaha itu serta merta dapat mendorong apresiasi menjadi kebutuhan pada puisi yang memperkaya rohani.

ZA: Maksud Anda?

RS: Ya, saya lebih yakin memperoleh perkayaan rohani bukan diperoleh dari peristiwa yang disaksikan diatas panggung, diantara sorak sorai orang banyak, tetapi justru lebih efektif diserap dalam sebuah ruang baca, dalam rumah, dalam konsentrasi pupil mata mengamati huruf dan pengertian yang terangkai pada kata-kata. Jadi menurut saya hubungan puisi dengan khalayak saat ini karuan lebih padan sebagai tontonan. Dan tontonan ini sebagaian besar dinimkati oleh usia remaja, dan barangkali belum mapan dengan suatu kerja tertentu.

ZA: Selama ini Anda dikenal sebagai sastrawan dengan karya-karya yang banyak diminati pecinta karya sastra, bahkan salah satu karya Anda diangkat ke dalam sebuah film, disamping sebagai pedrama, pemusik, dan pelukis. Sekarang Anda merambah ke dunia kepenyairan sebagai Penyair, bagaimana Anda memandang hal ini?

RS: Saya menahbiskan diri sebagai ”Pesyair” bukan Penyair. Saya menjadikan sebutan ini menjadi khas bagi diri saya. Maunya, jika orang lain Penyair, maka saya ”Pesyair”.

Ya, saya memilih menjadi Pesyair diluar menerima bakat saya yang lain seperti yang telah Anda sebutkan tadi. Saya meyakini bahwa hal tersebut sebagai bakat seni yang dianugerahkan Ilahi kepada diri saya. Saya sangat bersyukur atas anugerah tersebut.

ZA: Bagaimana maksud Anda dengan Puisi yang memberi perkayaan rohani sebagaimana yang telah Anda sebutkan diawal tadi?

RS: Begini, dengan kemampuan sebagai pesyair yang saya yakini sebagai nugraha Ilahi tadi, maka sudah seharusnya anugerah tersebut dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, maka pesyair harus menyadari kewajibannya untuk secara ikhlas bersyukur kepada penciptanya melalui hasil ciptaan yang memandangNya sebagai sumber kedayacipataan. Bersyukur berarti juga bersaksi akan kebesaranNya, kemahakasihanNya dengan kata-kata yang terencana; kata-kata yang lahir dari dorongan estetik menjadi ekspresi dorongan estetik.

Dengan kata lain, dalam bersaksi melalui kerja seni itu berarti pesyair membagi kata-kata atas perasaan dan penghayatan spiritualnya kepada manusia sesama, memberikan pengalaman-pengalaman spiritual itu sebagai pertimbangan atau pendorong kearah penemuan atau pembentukan suatu sikap spiritualitas, seraya berharap dari kerja itu sang maha pencipta berkenan menerima sebagai ibadahnya. Baru setelah itu maka puisi memperoleh arti maknawi akan pertanggungjawaban insani sebagai wujud perkayaan rohani.

ZA: Bagaimana Anda dalam proses berkreatifitas sehingga tercipta karya yang menjanjikan perkayaan rohani?

RS: Ketika saya menulis puisi, saya memanggil ilham itu, bukan menunggunya. Saya anggap ilham harus menjadi pengamatan yang tersimpan, dan yang sewaktu-waktu dapat dipangggil kembali untuk hadir: dari pelbagai pergumulan yang dipetik atas kehidupan sesungguhnya, atas kerinduan, dambaan, harapan, hari depan, atau dari kenyataan di sekitar kehidupan manusia pada lingkungannya. Berbagai pergumulan dari kenyataan itu lantas dibawa ke suatu tempat dalam kesadaran batin yang saya sebut ”sukma berdaya cipta”. Disitu pergumulan-pergumulan itu masuk menjadi semacam rengrengan, semacam sketsa dalam lukisan, dan diendap mengikuti proses pembentukannya, berlanjut pula seperti tahap membuat komposisi warna ideal dalam imajinasi lukisan, yaitu mengarah pada bentuk visual, sejauh bangunan itu sendiri sesungguhnya merupakan rangkaian kata-kata.

Begitu saya telah merasa mesti memindahkannya ke atas kerta, maka saya panggil ilham ini, atau saya panggil ingatan-ingatan yang telah tersimpan dalam sukma berdaya cipta tersebut, mengalir diatas kertas itu. Tak jarang ia mengalir dengan kejutan-kejutan, maksudnya dalam proses pembentukan itu, sering tercipta secara sekonyong kata-kata baru yang segera menyambung, menyisip, dan melengkapi rengrengan tersebut.

ZA: Bagaimana menurut Anda dalam proses kreatifitas oleh seorang Penyair dengan menggunakan obat-obatan atau sejenisnya untuk memacu keluarnya ilham?

RS: Dalam hubungan ini, saya merasa aneh, kendati tetap mencoba mengerti, bahwa ada penyair di Prancis, dari Charleville, Ardennes, yang harus dipacu untuk mendapat ilham dengan jalan mengisap ganja. Atau juga penyair Inggris dari Godalming, Surrey, yang memakai obat untuk memperoleh tingkat imajinasi yang unik bagi puisinya. Saya terkesan pada kata-kata Subaio Sastrowardoyo yang menyebut ini sebagai ”tanda ketaksabaran”. Saya malah terpikir menyebut itu suatu tindakan skeptisme, agnotisme, vrijdenker, ungodliness, ateisme. Diluar itu, sebaliknya saya bisa menghargai penyair di Bandung yang mesti menaruh dulu bunga dalam vas di jendela, supaya ia memperoleh ilham dengan melihat keindahan itu. Atau seorang penyair dari Yogya yang mesti kungkum dulu semalaman di Parangtritis supaya memperoleh ilham sejati bagi keindahan puisinya. Sebab, barangkali dengan cara itu, mereka mencoba mendekatkan visi pada misteri alam sebagai realitas adanya maha pencipta yang menguasainya, dan boleh jadi itu merupakan jalan ke sikap spiritual.

ZA: Apakah menurut Anda seorang Pesyair dituntut untuk memiliki moralitas-moralitas tertentu atas buah karyanya?

RS: Dengan terang ingin saya nyatakan disini bahwa sikap etik dalam menulis puisi, disandarkan pada kesiapan membuka nurani sebagai peradilan Ilahi. Bukankah pada dasarnya Tuhan adalah muasal masalah keindahan dan kepada-Nya pula perwujudan keindahan itu mesti diarahkan.

ZA: Wah Pak, kayaknya saya sudah menyita banyak waktu Anda. Pertanyaan terakhir saya, siapakah menurut Anda orang yang paling berpengaruh terhadap sastra Indonesia pada akhir abad 20 ini.

RS: Jika saya harus menyebut satu nama orang yang paling berpengaruh pikirannya dalam sastra Indonesia di dekade akhir abad ke 20, saya yakin itu adalah Goenawan Mohammad.

ZA: Baik Pak, terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan pikiran-pikiran yang mencerahkan bagi penggemar sastra di Indonesia khususnya dunia perpuisian.

RS: baik, sama-sama

Bacaan:
Puisi-Puisi Remy Sylado, Kerygma & Martyria, Remy Sylado, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi