Hasta Indriyana
http://www.suarakarya-online.com/
Teater menunjukkan satu konsep bahwa ia sesungguhnya adalah segala macam peristiwa yang terjadi di atas pentas yang mengandung cerita, dipertontonkan dan dilakonkan oleh pemain (aktor). Teater merupakan suatu kesatuan yang diciptakan oleh pemain, pengarang cerita, dan penonton (Asrul Sani). Definisi di atas mengandung pengertian adanya proses kolektif dalam sebuah pengalaman kelembagaan (organisasi), kaidah berkesenian (artistik), dan orientasi proses (idiologi), atau Organisasi-Artistik-Orientasi (OAO). Pengertian teater di atas penting dalam hubungannya dengan paparan Teater Pembebasan (TP) di Indonesia di bawah ini.
Ngomong tentang TP berarti berbicara tentang pendidikan, sebab ia sebenarnya media pendidikan bagi rakyat. Itu artinya mau tak mau mesti menyinggung Paulo Freire. Pendidikan yang dimaksudkan adalah pendidikan yang menjadi wadah pembebasan kesadaran atas suatu realitas yang didominasi oleh elite politik. Kesadaran yang dimaksudkan Freire berarti usaha mengembangkan kesadaran pasif dan reseptif ke arah kesadaran kritis agar manusia terus-menerus bertindak sebagai subjek yang mengubah dunia, memasuki sejarah dan mengembangkan kebudayaan. Maka proses pendidikan di dalamnya sangat ditekankan aspek subjektivitas orang-orang yang terlibat. Tidak ada istilah ‘guru dan murid’, mediator menggali pendapat dengan bertanya, misalnya: kenapa, bagaimana, siapa, sementara semua yang ikut terlibat aktif, mengungkapkan, membahas, menyarankan, memutuskan, dan merencanakan.
Pemikiran tersebut awal mulanya adalah kenyataan adanya penguasa dan yang dikuasai, penindas dan tertindas. Masyarakat tertindas yang dimaksudkan adalah masyarakat yang selama ini tenggelam dalam mitos-mitos yang ditiupkan golongan penindas-elite penguasa. Harapan dari pendidikan ini dapat memberikan suatu kesadaran total pada masyarakat bahwa ketika ia hadir di dunia ini sebagai manusia maka ia mengalami dunia sebagai realitas objektif, tidak bergantung pada siapa pun. Munculnya pendidikan dialogis Freire ini merupakan antisipasi terhadap kekuatan penekanan kaum penindas yang membakukan dan mematikan kesadaran kritis masyarakat beserta hak-hak politiknya. Sebab kondisi semacam ini bakal melahirkan masyarakat yang pasif, yang selalu mengiyakan apa yang mereka alami sebagai akibat dari tindakan-tindakan penekanan pihak penguasa.
Nah, pada umumnya rakyat kebanyakan tidak memiliki kesanggupan untuk membebaskan diri dari penindasan dan penekanan tersebut. Anggapan masyarakat selama ini adalah bahwa penindasan tersebut dikarenakan takdir manusia, di antara sesama korban (rakyat tertindas) terjadi saling salah-menyalahkan, bahkan rakyat tertindas tidak merasa ditindas dan malah tercipta kebergantungan bagi hidup mereka. Akhirnya rakyat terbiasa dalam keadaan dikuasai kekuatan-kekuatan politik sehingga tidak bisa menangkap tugas-tugas zaman. Freire kemudian mengenalkan model pendidikan dialogis sebagai upaya melahirkan kebebasan kesadaran rakyat tertindas terhadap kondisi yang selama ini menekan. Pendidikan yang dimaksudkan berintikan pembebasan kesadaran dengan terus-menerus memancing mereka untuk berdialog, memberikan mereka nama, karena hanya dengan cara demikian mereka dapat merubah dunianya.
Sebagai alat perubahan rakyat, teater kemudian dipakai sebagai media pendidikan penyadaran. Pemikirnya adalah Augusto Boal, Brazil yang kemudian konsep turunan pemikiran Freire tersebut disebarkan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Sementara itu di Rusia setelah revolusi tahun 1917 masyarakat memraktekkan teater sosial secara keras. Teater Rusia pada awalnya hanya dipertunjukkan di kalangan menengah ke atas, kemudian menyebar setelah revolusi kaum buruh di mana mereka tidak pernah berkesempatan menyaksikan pementasan teater. Agar kaum buruh dapat mengerti apa yang dipentaskan, tentu ada metode tertentu yang digunakan. Maka dari situlah kemudian lahir apa yang dikenal dengan TP. Di sana, metode ini lazim disebut sebagai aliran realisme-sosialis.
Di Indonesia, fenomena TP dimulai pada dasawarsa 1970-1980 ketika pembangunan dipagari jargon ‘demi keamanan dan stabilitas’, yaitu ketika kebebasan dibelenggu demi kekuasaan. Ketika militer masuk kampus pada tahun 1978 kemudian disusul peristiwa Malari, kerusuhan-kerusuhan di hampir semua wilayah, dan semakin kentara kesenjangan antara si kaya dan si miskin, maka para aktivis, intelektual, seniman, jurnalis, dan pendidik turun ke masyarakat untuk memberikan penyadaran-pembelaan.
Di era sebelum itu, perkembangan teater di Indonesia menunjukkan kaitan dengan upacara adat dan keagamaan-tradisional, yaitu menonjolkan unsur utama yang berupa cerita, pelaku, dan penonton, sedangkan teater istana lebih banyak mengambarkan gagasan-gagasan kesantunan, kehalusan perasaan, dan keagungan. Pada 1950-an berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta dan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) di Yogyakarta, menunjukkan perkembangan teater modern Indonesia. Sejak tahun 1958 sampai tahun 1963 dikenal dengan zaman keemasan teater yang pertama.
Zaman keemasan teater kedua, yaitu ketika didirikan Taman Ismail Marzuki (TIM) di bawah kepengurusan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), pada 19 Juni 1968. Perkembangan teater kemudian tidak terlepas dari segala macam bentuk kebijakan dan aturan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru sehingga pekerja-pekerja teater terjebak dalam penafsiran-penafsiran terhadap keinginan pemerintah. Hal tersebut menciptakan kesenjangan antara pekerja teater dengan penontonnya. Akibatnya adalah kemandekan perkembangan teater di dasawarsa 1980-an.
Maka kemudian mendorong kelompok kerja teater muda untuk menciptakan suatu teater yang dapat menyatukan penonton dengan pemain. Kemunculan kelompok-kelompok ini sebagai bentuk kepedulian sosial terhadap kondisi masyarakat. Maka naskah-naskah yang ditulis menampakkan komitmen sosial mereka. Konsep teater seperti ini kemudian dikenal dengan istilah Teater Demokratik, yaitu teater yang gagasannya terlebih dahulu ditawarkan penonton. Dari sinilah kemudian mendorong lahirnya gagasan mengenai teater sebagai media pembebasan.
Menyebut beberapa nama yang konsisten pada teater pembebasan, misalnya Simon HT dengan Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI), Emha Ainun Nadjib dengan Teater Dinasti, Fred Wibowo dengan Puskat, dan Brotoseno dengan Teater Urakan-nya. Prosesnya, sebelum naskah disusun selalu dimulai dengan diskusi, semua dilakukan dalam kerja kolektif. Prinsip tersebut tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip TP yang dikembangkan Philliphine Educational Theatre Association (PETA), yaitu OAO.
Munculnya faham teater sebagai media pembebasan merupakan salah satu upaya menciptakan demokrasi kebudayaan dan demokrasi politik yang selama ini dibekukan demi kepentingan pihak penguasa. Kemunculannya karena kondisi yang melahirkan iklim demokrasi kebudayaan dan demokrasi politik dapat menciptakan iklim kebebasan untuk berekspresi dan berkreasi kepada para pekerja kesenian. Hal tersebut dapat mengancam status quo pihak penguasa karena dengan kebebasan yang ada itu para pekerja teater dapat menciptakan bentuk-bentuk karya seni yang tidak selaras dengan apa yang diinginkan pihak penguasa, yaitu karya seni yang mempertanyakan kekuasaannya.
Pada perkembangannya, TP begitu banyak mengalami gempuran baik internal maupun dari luar dirinya. Tantangan itu misalnya tentang ruang masyarakat tertindas yang ternyata bukan ruang kosong, artinya negara juga mengoperasikan model-model politik kekuasaan, termasuk ‘pihak-pihak yang lain’ di dalamnya. Di dalam masyarakat sendiri juga berhadapan dengan berbagai kekuatan dalam berbagai bentuk. Tantangan yang lain misalnya tidak semua seniman yang punya kepedulian dan konsen pada kegiatan seni-kebudayaan bersikap tak acuh, bahkan sinis. Hal ini berkaitan dengan psikologi kesenimanan, misalnya kerja-kerja aktivis TP jauh dari popularitas, tidak mungkin ditulis di koran, cap ‘seniman orderan LSM’, dsb.
Ada juga misalnya stigma PKI yang dicurigakan masyarakat kepada aktivis TP. Sejarah Indonesia memiliki pengalaman gelap ketika Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dianggap sebagai ‘penjahat komunis’ oleh penguasa Orde Baru, sehingga stempel PKI pun dipakai negara untuk melakukan pembatasan terhadap upaya-upaya di luar negara. Tentu hal ini turunan dari stigmatisasi negara di dunia kesenian, sebab di luar dunia kesenian juga demikian, misalnya gerakan mahasiswa, petani yang menolak menanam tebu dicap sebagai anti-pembangunan; anti-pembangunan dicap anti-pancasila; anti-pancasila dicap sebagai PKI. Ketika negara mengecap PKI pada orang, kelompok orang, atau aktivitasnya sebagai PKI maka tidak harus negara yang mengeluarkan energi untuk melakukan pembatasan, masyarakat sendiri juga sudah defensif.
Tindakan represif pemerintahan Orde Baru yang dilakukan di tahun-tahun itu merupakan antisipasi pemerintah terhadap kemunculan faham seni untuk rakyat (L’art pour engage) yang pernah didengungkan Lekra. Ketakutan pemerintah Orde Baru kemudian diejawantahkan lewat politik kebudayaan, yaitu yang terpaku pada program stabilitas, harmonis, tanpa konflik guna mendukung pembangunan. Karena adanya penekanan dan pengendalian pihak penguasa terhadap teater, mendorong pekerja-pekerja teater melakukan semacam perlawanan untuk membebaskan teater dari kepentingan pihak penguasa. Mereka akhirnya kembali memilih bentuk-bentuk teater yang membumi, yang kembali pada persoalan masyarakatnya sebagai penerima karya mereka.
Gempuran terhadap TP yang berhubungan dengan masyarakat sasaran, misalnya setelah masyarakat ditinggal aktivis TP, lantas proses teater pembebasan mandek. Pengalaman TP yang dilakukan Joko Kamto (saat ini aktif di Kyai Kanjeng) dan Eko Winardi (keduanya aktivis KTRI) di Weleri, Kendal, disebabkan rata-rata pemuda-pemuda di sana setelah kawin memilih hengkang dari desanya dengan tuntutan utama ekonomi. Maka, menurut Simon HT, sesungguhnya TP tidak bisa berdiri sendiri, yang paling tepat apabila TP menjadi bagian dari proses pengorganisasian rakyat. Mediator-aktivis TP beserta metodologi dan orientasi yang diusungnya selayaknya menjadi bagian rakyat, terlibat dalam permasalahan-permasalahan rakyat. Hal ini mengandaikan ada sebuah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan rakyat yang memberdayakan rakyat lalu di sana diperkaya dengan metode TP.
Wah, tapi hidup di sebuah negara di bawah cengkeraman kapitalis yang di sana rakyat dijejali material dan pernik-pernik modernitas, segala yang ditawarkan tidakkah lebih ‘aduhai’ dan mampu menjawab semua kebutuhan? ***
* Penulis adalah Manajer Komunitas di Yayasan Tandabaca, Yogyakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar