Minggu, 28 November 2010

KI HAJAR DEWANTARA DAN PEKERJAAN RUMAH PENDIDIKAN KITA

Janual Aidi
http://janualaidi01.blogspot.com/

…..seperti yang terlihat dari sejarah dan realitas sekarang,
ternyata Indonesia terus mengalami pembodohan secara sistematis.

Prolog

Seingat dan sepemahaman penulis, bahwa dahulu ketika masih duduk berseragam “merah putih” terpampang jelas di kelas gambar para pahlawan-pahlawan bangsa yang berjuang demi merebut kemerdekaan dan meraih kebebasan. Salah satu gambar pahlawan tersebut adalah gambar Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ki Hajar Dewantara bukanlah semata pahlawan yang berjuang dengan senjata tombak, namun ia adalah sosok pahlawan yang memiliki senjata perlawanan baru yakni “senjata pendidikan”. Awal dari manifestasi perjuangan dengan senjata baru tersebut ialah dengan berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa (Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa). Bukti kontinyuitas dari senjata baru beliau itu, kini sekolah-sekolah sudah masuk ke pelosok-pelosok negeri Indonesia. Menyadari ini, hendaknya semua warga Indonesia wajib berterima kasih pada beliau. Namun akhir-akhir ini sangat disayangkan penulis tidak pernah lagi melihat gambar Ki Hajar Dewantara di kelas-kelas (terlebih ketika sudah duduk di bangku kuliah). Padahal, Ki Hajar Dewantara adalah permata pendidikan Nusantara. Beliau merupakan ‘aset mahal’ Indonesia yang tak ternilai.

Prolog di atas hanyalah kutipan, sebenarnya penulis ingin mengatakan “jangan lupakan dan jangan tinggalkan Ki Hajar Dewantara”. Sebab menurut penulis, saat ini bangsa kita sudah terlalu congkak melupakan sejarah. Bangsa kita seolah tak pernah memiliki sejarah dan para tokoh perjuangan . Pendidikan Indonesia seakan merasa tak memiliki dan mengakui Ki Hajar Dewantara sebagai anak bangsa yang sekaligus menurut penulis sebagai”prime mover” (penggerak utama) dalam dunia pendidikan. Realitas ini menimbulkan sebuah pertanyaan batin, apakah ini mentalitas manusia-manusia Indonesia sekarang? Kalau benar seperti ini mentalitas manusia-manusia Indonesia sekarang, lalu apa bedanya manusia-manusia Indonesia sekarang dengan para penjajah kolonial dahulu yang tak suka dan menjatuhkan hukuman internering (hukum buang) pada Ki Hajar? Penulis khawatir, jangan-jangan, manusia-manusia Indonesia sekarang yang sengaja melupakan dan tak mengindahkan konsep-konsep Ki Hajar Dewantara adalah “kolonial baru” yang menjajah Indonesia dengan konsep kapitalisme pendidikan. Kapitalisme pendidikan yang selalu menyisihkan hak-hak rakyat kecil. Membuat konsep baru bahwa pendidikan hanya untuk “mereka” yang ber-uang dan orang miskin dilarang sekolah. Ini merupakan “PR pendidikan” bangsa kita saat ini, apakah “mereka” yang menjajah dengan gaya kapitalisme pendidikan adalah “orang-orang” yang tak suka dan membenci Ki Hajar Dewantara. Jikalau nantinya “mereka” terbukti sebagai “orang-orang” yang tak suka dan membenci Ki Hajar Dewantara, maka sepatutnya kita semua harus cepat-cepat mengusir mereka dari bumi Indonesia. Mereka tidak “welcome” di Indonesia. Ini adalah PR pertama bagi bangsa kita. Semoga bisa dikerjakan dengan tuntas.

Baiklah, penulis pada kesempatan ini ingin mencoba mengkritisi pola-pola yang berlangsung dalam dunia pendidikan Indonesia sekarang, kemudian akan penulis coba komparasikan dengan konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang penulis rasa masih relevan untuk di implementasikan dalam perilaku pendidikan saat ini.

Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Nama asli Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Soerwardi Soeryaningrat. Beliau dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis Legi tanggal 2 Mei 1889 sebagai putra keempat dari pangeran Soeryaningrat, putra tertua dari Sri Pakualam III. Konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (1922) memiliki arti yaitu pendidikan di lembaga pendidikan, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di keluarga. Konsep ini mengisyaratkan bahwa pendidikan dapat diraih di mana dan kapan saja serta menjadi tanggung jawab bersama. Konsep ini memberitahukan bahwa masyarakat dan keluarga memiliki tanggung jawab yang seimbang terhadap keberhasilan para penuntut ilmu. Artinya, bukan hanya sekolah yang dijadikan dan di amanatkan sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab besar (penuh) terhadap berhasil atau tidaknya individu dalam proses pendidikannya. Inilah inti makna dari Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sayang seribu-sayang, kini di Indonesia terlihat bahwa Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara hanya dijadikan sebagai pusaka belaka. Atau menurut nalar penulis, kini di Indonesia hanya menerapkan “Tunggal Pusat Pendidikan” yaitu pendidikan dilembaga (sekolah atau universitas). Sekolah di anggap sebagai satu-satunya tempat belajar yang bisa mengantarkan pada kecerahan masa depan. Inilah konstruksi pemahaman dunia keluarga dan masyarakat yang terbangun pada masa sekarang. Konstruksi ini berakibat pada tiadanya perhatian dan tanggung jawab dari keluarga dan masyarakat atas suksesnya pendidikan peserta didik. Keluarga dan masyarakat seolah “EGP” (Emang Gue Pikirin) dengan tanggung jawab pendidikan mereka, dan ketika anak mereka gagal dalam pendidikan, yang disalahkan adalah sekolah. Kita harus kembali pada konsep “Tri Pusat Pendidikan” Ki Hajar Dewantara bukan melupakan dan meninggalkannya lantas memegang konsep baru yaitu “Tunggal Pusat Pendidikan” yang entah dicetuskan oleh tokoh siapa.

Sesuai dengan hakekat kandungan Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan kritisasi pola-pola yang berlangsung dalam dunia pendidikan Indonesia saat sekarang, maka dalam tiga ranah yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat telah dan banyak terjadi perilaku pembodohan siswa. Bentuk perilaku pembodohan dalam “keluarga” terlihat dalam hal: pertama, keluarga kurang perhatian pada anak seperti misalnya ketika rumah tangga mengalami “broken home”. Kita juga sering mendengar anak orang kaya disebut sebagai ‘anak pembantu’ dikarenakan anak mereka jarang diperhatikan oleh orang tua aslinya. Kedua, bentuk perilaku pembodohan lainnya adalah membiarkan anak menonton acara TV yang tidak mendidik serta tidak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak. Misalnya membiarkan anak menonton sinetron atau film “Cinta Fitri, Pernikahan Dini, Ayat-Ayat Cinta, Suster Ngesot, Hantu di Sekolah” dan sebagainya. Ketiga, ketika terjadi pemaksaan hak pada anak. Misalnya “sang anak” memiliki bakat menjadi guru kemudian dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi polisi. Keempat, tindakan orang tua yang “menyuap” pihak sekolah (guru) agar anaknya lulus dan naik kelas. Kelima, tindakan orangtua yang menyuruh anak mencari nafkah, sementara anak masih membutuhkan pendidikan. Pada kasus seperti ini tidak sedikit anak menjadi tulang punggung keluarga. Beban ekonomi selalu menjadi alasan utama bagi orang tua untuk bertindak keliru terhadap pendidikan anaknya. Keenam, orang tua yang keras dalam mendidik anak. Konon, tindakan yang dirasa paling tepat oleh para orangtua ketika si anak mendapat nilai nol di lembar jawaban ujiannya adalah dengan memberi “hukuman”. Film kartun Doraemon merupakan satu gambaran tindakan umum para orang tua ketika menghadapi sang anak yang kesulitan dalam pendidikan. Tokoh si Nobita dalam film Doraemon akan selalu ketakutan bila pulang sekolah dengan membawa hasil ujian yang sangat buruk. Semua bentuk perilaku pembodohan dalam keluarga di atas merupakan PR-PR pendidikan yang semestinya kita sikapi dengan bijak dan arif.

Bentuk perilaku pembodohan siswa dalam “sekolah” tak kalah sadis. Penulis menemukan beberapa contoh, seperti memanipulasi nilai, gaya mengajar guru yang membodohkan siswa (otoriter, tak memberi ruang kritis terhadap siswa, siswa dianggap seperti celengen), atau perilaku guru (sekolah) yang membocorkan serta menjual soal dan kunci jawaban. Pada kondisi ini siswa pun akhirnya menjadi sosok 5D (datang, duduk, dengar, dengkur, dan duit). Maka, tak berlebihan jikalau seorang tokoh yang bernama Thomas Armstrong pernah berkata bahwa “masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan karena salah ajar (dysteachic community)”. Belum lagi dengan praktik pendidikan kita yang sering mengalami perubahan kurikulum secara “erratic” . Ditambah lagi dengan banyaknya guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Penulis teringat dengan buku yang berjudul “Sekolah Itu Candu” (2007) karangan Roem Topatimasang yang membahas sekaligus mengkritik sekolah. Buku tersebut bertanya apakah sekolah itu hanya tentang ijazah? Tentang gelar? Tentang jalan mencari pekerjaan yang lebih baik? Apakah sekolah adalah satu-satunya cara untuk mencerdaskan seseorang? Dengan sedikit malu penulis mengatakan “PR pendidikan kita bertambah lagi”. Penullis melihat lembaga pendidikan kita tidak memberikan kesadaran tentang ini.

Bentuk-bentuk pembodohan di masyarakat lebih terlihat nyata. Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat, entah itu masyarakat miskin atau kaya, tua atau muda, pintar atau tidak pintar, siswa, guru, politikus, atau yang lainnya. Dari sini diharapkan akan tercipta masyarakat yang partisipatif. Namun sayangnya, yang terlihat adalah tidak adanya masyarakat partisipatif dalam memperhatikan atau mengontrol ataupun mengapresiasi pendidikan yang dilakoni siswa. Bentuk perilaku pembodohan dalam “masyarakat” terlihat dalam dua hal: pertama, perilaku para petinggi negara yang terlihat hanya bisa memberi contoh korupsi pada generasi muda saat ini. Kedua, orang-orang kaya tak lagi memberikan bantuan pendidikan bagi murid-murid yang ada di pelosok-pelosok desa. Tak ada lagi sumbangan seragam, sumbangan buku, pensil, tas dan yang lainnya.

Dengan terkuaknya bentuk-bentuk perilaku pembodohan siswa dalam tiga ranah yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi pembodohan siswa secara sistematis. Realitas ini memberitahukan kepada kita semua bahwa bangsa ini memiliki setumpuk PR pendidikan yang berat. Penulis melihat, salah satu faktor penyebabnya adalah karena kita telah melupakan dan meninggalkan pemikiran cemerlang Ki Hajar Dewantara dalam Tri Pusat Pendidikan. Saatnya kita kembali.

Diskriminasi Sekolah Swasta dan daerah terpencil

Pendeskriminasian sekolah-sekolah swasta ataupun sekolah-sekolah yang ada dipedesaan oleh penguasa merupakan PR lain yang lebih tragis. Dapat dikatakan bahwa pendeskriminasian ini terjadi secara merata di bumi Indonesia. Novel dan film “Laskar Pelangi” merupakan bukti yang jelas adanya pendeskriminasian tersebut. Di daerah propinsi Nusa Tenggara Barat misalnya, pada satu sisi dapat kita lihat dengan mata telanjang, sekolah-sekolah yang berlabel “negeri” mulai dari Sekolah Taman Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah Umum atau sederajat berdiri megah disana-sini dengan bangunan yang seolah-olah berbusung dada. Belum lagi dengan sarana dan prasarana yang serba “mentereng”. Pemerintah Indonesia ataupun Pemerintah Daerah sepertinya meng’anakemas’kan sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi di sisi lain, seperti yang dimuat oleh media cetak Lombok Post (Minggu, 24 Mei 2009) dalam berita “Laskar Pelangi ala Lombok”, terpampang sebuah fakta dan kisah yang memprihatinkan dunia pendidikan SDN 12 Pemongkong Kecamatan Jerowaru (daerah paling selatan Lombok Timur), SDN 6 Sukaraja ( Jerowaru, Lombok Timur), SDN 3 Batulayar (Kabupaten Lombok Barat), SDN 4 Lembah Sari (Lombok Barat) dan SDN 4 Mareje yang berada di balik bukit Sekotong Timur (Lombok Barat). Sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil tersebut rata-rata memiliki ruang kelas yang atapnya sudah rusak, bangku sekolah yang tak layak pakai, tembok retak yang menunggu waktu akan roboh, atap yang bocor, lantai yang tak memakai semen alias berlantai tanah dan jumlah guru yang terbatas. Hasil penelitian kecil didesa Selaparang Kabupaten Lombok Timur oleh kawan-kawan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong pada tahun 2007 lalu, menunjukkan bahwa didesa yang tergolong bersejarah tersebut hanya terdapat “satu” Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtida’iyah saja. Inilah potret pendidikan di “Pulau Seribu Masjid”. “Pulau Seribu Masjid”, bagian dari “Indonesia Seribu Pulau”. Kita tak bisa mengelak dan berbohong akan kenyataan dunia pendidikan yang dialami anak bangsa sekarang, padahal jika mau jujur, dahulu Ki Hajar Dewantara lebih senang bergelut dengan anak-anak awam dan sering tidur bersama di masjid. Ini menandakan bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan tak memandang “si kaya” ataupun “si miskin”. “Si desa” ataupun “si kota” dan “si priyayi” ataupun “si non-priyayi”. Sekarang ini dunia pendidikan kita terbalik, rakyat disuruh membiayai pendidikan anak-anak orang kaya yang sekolah di negeri, sementara anak-anak mereka yang miskin tidak bisa sekolah karena tidak mampu menanggung biaya sekolah.

Coba kita bandingkan kualitas pendidikan dahulu dengan sekarang, atau semangat para penuntut ilmu dahulu dengan sekarang. Para penuntut ilmu dahulu tidak memiliki fasilitas penunjang seperti yang dimiliki oleh para penuntut ilmu sekarang. Tidak ada internet, komputer, laptop, gedung yang mewah ataupun seragam sekolah yang indah. Yang ada hanyalah gedung sekolah sederhana, jalan setapak yang berlubang dan kadang kala becek, lidi sebagai alat bantu hitung, keseharian mereka yang di isi oleh saling meminjam buku, dan interaksi hangat serta salam dan hormat mereka dengan keluarga, guru dan masyarakat. Suatu alur kisah para “truth seekers” (pencari kebenaran) yang sulit ditemukan pada zaman sekarang.

Namun apa yang penulis tuturkan di atas sangat jauh berbeda dengan kondisi yang terlihat sekarang. Kini yang tampak adalah “si murid” tidak lagi menenteng buku dan pensil, melainkan menenteng laptop yang lebih banyak berisi lagu-lagu ataupun blue film (BF). Atau, para pelajar sekarang lebih sering terlihat memencet hand phone (HP) dari pada memegang dan membaca buku. Tidak ada lagi hormat pada guru, dan yang ada yaitu kabar “si murid” membacok “si guru”. Kegiatan diskusi kelompok pun tergantikan oleh ‘kumpul kebo dan perkelahian antar pelajar”. Kualitas pendidikan Indonesia sekarang hanya bisa menelurkan “manusia-manusia korup yang tak berkualitas”. Inilah yang tampak dan melanda pendidikan Indonesia saat ini. Dan inilah akibatnya ketika pendidikan dibangun hanya pada satu sisi sekolah saja, tetapi tidak mengindahkan pendidikan keluarga dan masyarakat.

Maka, tugas kita semua adalah “kembali pada konsep yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara”. Mengimbangkan peran sekolah, sekolah dan masyarakat. Terakhir, penulis hanya bisa mengatakan bahwa tugas akhir kita semua yaitu mengubah paradigma masyarakat dari “gila gelar” ke arah “gila kualitas”, dari “simbol” ke “aksi” sehingga kualitas pendidikan kita tidak hanya diukur oleh ijazah atau lamanya belajar di kelas, tetapi oleh kontribusi pemikiran dan keterampilannya dalam menata hidup dan kehidupan. Semoga setumpuk PR pendidikan kita dapat tertuntaskan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi