Minggu, 28 November 2010

Kebenaran di Balik Kabut

Mahdi Idris *
http://blog.harian-aceh.com/

DI daerah perang, kebenaran selalu tersembunyi di balik kabut. Tak ada yang dapat terungkap secara jelas mengenai berbagai hal yang terjadi di sana. Masing-masing pihak membenarkan diri sendiri, seolah merekalah yang terbaik di antara lawannya. Bahkan di antara para korban yang tak bersalah, selama peperangan itu terjadi.

Begitu pula halnya yang digambarkan oleh Ayi Jufridar dalam novel ini, seorang jurnalis dan penulis Aceh (Lhokseumawe) yang telah sukses dengan novelnya yang pertama, “Alon Buluek (Gelombang Laut Yang Dahsyat),” mendapat juara III pada sayembara menulis novel remaja kerjasama penerbit Grasindo dan Radio Naderland Seksi Indonesia pada 2005 lalu.

Dengan gaya berceritanya yang memikat, ia mampu mengungkapkan kondisi perang dan sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya konflik bersenjata tersebut. Walaupun ia tidak sekali-kali menyebutkan bahwa setting novelnya ini di Aceh, namun, begitu pembaca memerhatikan dengan saksama, akhirnya mengetahui di mana rentetan peristiwa itu terjadi.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Tasrif, yang terlibat dalam gerakan gerilyawan karena sebuah bom rakitan yang meledak di depan rumah dan menewaskan dua anggota polisi dari brigadier mobile. Karena kematian dua rekan mereka, polisi dan tentara melampiaskan kemarahannya kepada masyarakat sekitar. Rumah-rumah penduduk dibakar, dan mereka melepaskan tembakan membabi-buta. Ummi Tasrif, kakak, dan abangnya tewas tertembak.

Terlibatnya Tasrif dalam gerakan anti pemerintah ini, mengundang kegembiraan luarbiasa bagi anggota gerakan lainnya, terutama sang “Pemimpin” yang bernama asli Zulfikar Rasyid, sebagai Juru bicara militer gerilyawan, sekaligus yang mengkordinir, di mana, kelompok Tasrif berada.

Tugas utama yang diemban Tasrif adalah merekrut anggota baru yang berasal dari korban operasi militer. Namun kerjanya yang perdana itu pun menemui kegagalan. Hari, seorang pemuda, yang ayahnya diculik pada masa operasi militer, belum siap menjadi anggota gerilyawan dengan alasan dialah tulang punggung keluarga. Begitu pula dengan Vivi, seorang gadis yang ayahnya juga diculik, kata sebuah media oleh orang berseragam loreng, juga menolaknya dengan halus. Kemudian Tasrif tahu bahwa gadis itu menikah dengan seorang tentara pemerintah.

Karena Tasrif belum dikenal tentara, lagi pula ia memiliki KTP yang tercantum pekerjaannya sebagai siswa, ia bebas pergi ke mana saja. Bahkan ia mendapat tugas baru dari komandannya; Zulfikar Rasyid, yang kemudian disebut dengan “Pemimpin”, untuk membeli senjata di ibu kota propinsi di luar Aceh. Ia tak menyangka bahwa semua itu berjalan mulus. Beberapa pucuk senjata buatan dalam negeri itu dimasukkan dalam peti mayat dan diangkut dengan mobil Ambulance.

Kegalauan-kegalauan semakin menerjang batinnya. Ia mulai memikirkan akan berbagai peristiwa; kontak senjata, pemberondongan mobil aparat, penculikan, dan kehadiran para Petrus (penembak misterius) yang tidak pernah mempertimbangkan siapa korbannya. Namun yang paling menyakitkan adalah penembakan seorang intelektual yang juga dosen kharismatik di daerahnya.

Semua itu mengatasnamakan kebenaran masing-masing pihak bertikai. Jumlah jiwa yang mati saban hari tak lagi terhitung jumlahnya. Namun yang banyak jatuh korban adalah masyarakat biasa, yang tak tahu perkara apa yang sedang diperebutkan itu. Sementara hasilnya semakin tak menentu, terbalut kabut yang tebal dan menggelapkan nilai-nilai kemanusiaan.

Masing-masing pihak mengambil keuntungan yang amat besar di balik perang itu. Para gerilyawan yang tujuan utamanya masuk ke dalam barisan perjuangan untuk melepaskan diri dari permasalahan sosial. Seperti Ali Bopeng yang masuk gerilyawan karena banyak hutang dan setelah ia menjadi bagian penting di tubuh organisasi kombatan itu tak ada lagi yang berani menagihnya. Begitu pula dengan Pak Kus, seorang jenderal berbintang satu dari pulau seberang, mengeruk keuntungan dari perang itu dengan menjual senjata kepada kaum gerilyawan. Yang memang, saat mereka bertemu, ia selalu mengatakan membela gerilyawan karena mempertahankan tanah kelahirannya dari penjarahan.

Waktu terus berlanjut. Namun peperangan belum juga reda. Berbagai isu dan kabar penambahan dan penggrebekan rumah masyarakat yang tak berdosa itu, dengan sendirinya menyulut hati mereka untuk melakukan perlawanan terhadap tentara. Namun, inilah daerah perang, semua tindakan aparat keamanan dianggap sebagai pembelaan. Sehingga, tragedi berdarah yang amat memilukan itu menimpa empat puluh lebih masyarakat yang berunjuk di simpang pabrik kertas.

Mereka ditembak secara brutal oleh tentara yang mengatasnamakan beladiri akibat serangan warga, sebut sebuah media yang dibaca oleh Tasrif setelah peristiwa itu terjadi. Tapi entahlah, Tasrif tidak tahu bagaimanakah kebenaran peristiwa itu bisa terjadi, yang juga terselimuti kabut dalam pikirannya.

Pengiriman tentara dari pusat bertambah banyak. Pendirian pos dan markas mereka bertebaran seluruh pelosok kampung, yang tidak hanya terdiri dari Angkatan Darat, tapi Angkatan Laut dan Udara. Sehingga, pihak yang menyatakan dirinya sebagai pembela masyarakat, mengintruksikan agar semua warga harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Baik itu di mesjid, rumah sakit umum daerah, atau di di ruang serba guna kampus Politeknik. Yang penting mereka tidak lagi berada di kampungnya yang sedang diduduki tentara.

Ada pula pemicu ide itu menyebut dirinya Panglima Pengungsi. Dengan bebas dan pidato politik yang berkoar-koar di hadapan para khalayak itu mereka mengatakan bahwa hal ini dilakukan untuk mengundang perhatian dunia luar terhadap nasib rakyat yang sedang mendapat penindasan, akibat konflik bersenjata. Namun mereka pun tak lupa meminta belas kasih dari para pengendara kendaraan berbagai jenis yang melewati tempat pengungsian tersebut dan kepada pemerintah. Tapi sang Panglima Pengungsi dan para konconya, jelas, tidak mau menerima bantuan berbentuk barang, alasannya karena para pengungsi kekurangan uang untuk membeli kebutuhan yang tidak disediakan di tempat pengungsian itu.

Hal ini semakin jelas diketahui oleh Tasrif, karena ia dengan bebas keluar-masuk kota, membaca yang diberitakan oleh berbagai media. Setelah itu ia mengkhabarkan pada Pemimpin. Sikapnya yang selalu antusias terhadap berbagai informasi penting tersebut, menambah kepercayaan Pemimpin untuk menjadikannya sebagai informan, yang selalu mendapat izin untuk menemani para wartawan lokal dan asing. Bahkan ia mendapat izin pula untuk menemani Yoshimi; seorang wartawati dari Jepang.

Dengan modal kamera di tangannya milik para wartawan itu, yang telah mengetahui bahwa ia seorang gerilyawan, ia bebas bergerak ke mana saja. Namun tetap saja berhati-hati terhadap berbagai kemungkinan yang bakal terjadi di hadapannya.

Walaupun demikian, ia tetap aktif bergabung dengan para gerilyawan dalam berbagai aksi penyerangan tentara pemerintah. Bahkan itu menjadi harapannya yang sangat besar untuk memuntahkan peluru dari senjata laras panjangnya yang bermerek SS-2. Tapi, walaupun nasib baik seringkali berpihak padanya di masa sebelumnya, tidak kali ini, ketika ia dan rekan-rekannya menyerang iring-iringan mobil tentara dari atas sebuah bukit. Salah satu butir peluru yang ia lepaskan dari senjatanya mengenai seorang anak perempuan pelajar SD, yang sedang berada dalam mobil bersama ayahnya yang berada di belakang mobil tentara dan tidak tahu bahwa sedang terjadi bentrokan senjata.

Sejak itu pikirannya semakin kalut. Kian hari perasaannya semakin bersalah. Bahkan ingin keluar dari anggota gerilyawan, yang katanya perjuangan suci itu. Tapi apa lacur, sekali maju tak mungkin lagi mundur. Bahkan bagaimanapun, Fauzi; seorang temannya yang paling dekat, Apa Lah; yang memimpin penyerangan itu, menasehatinya dengan berbagai alasan, semua itu tetap tak membuatnya tentaram. Kegelisahan-kegelisahan membuat tubuhnya demam, dan semakin parah. Akhirnya ia diantar ke rumah seorang simpatisan. Kemudian ia dirawat di sana selama beberapa hari. Setelah ia sembuh, Pemimpin dan Ali Bopeng memintanya agar tinggal di losmen di kota untuk sementara waktu. Ia menyetujuinya, untuk menenangkan pikiran, pikirnya.

Namun tak mudah ditebak apa yang selanjutnya terjadi, bahkan untuk sebuah rekaan dari sebuah situasi yang saling bersangkutan, Pemimpin tertembak pada pahanya, Ali Bopeng sedang berbulan madu dengan istrinya ke-empat di luar daerah, operasi tentara semakin ketat, para gerilyawan hampir sekarat karena kekurangan logistik di markas di belantara.

Kondisi inilah yang membuat Tasrif harus mengantar bahan-bahan makanan itu, setelah beberapa lama kedatangan Ali Bopeng untuk membelinya. Namun Ali Bopeng, ia tidak mau mengantar langsung logistik itu sampai ke tempat yang dituju dengan alasan ia bisa tertangkap tentara. Ia menyuruh Tasrif agar menaikkannya ke mobil angkot yang berdesak-desakan dengan para penumpang lainnya. Ketika mobil angkot itu melewati pos Marinir, harus berhenti karena ada razia KTP, sebuah razia yang tak bosan-bosannya dilakukan oleh alat negara di masa konflik.

Saat itulah nasib buruk menimpanya. Seorang tentara tak memakai seragam, pemakai shebu dan penutup kepala, menjeratnya hanya dengan sekali anggukan terhadap pertanyaan tentara yang sedang memeriksa Tasrif. Dengan anggukan itu pula, tentara itu membawa Tasrif ke dalam ruang pengap di pos mereka. Semula ia tak bisa memastikan siapa tentara bershebu itu, karena tubuhnya gemuk dan pendek. Bahkan, jika tentara bershebu itu tidak berada dalam kawanan tentara, ia hanya bisa dianggap seorang kuli atau pekerja bangunan yang memiliki otot kekar.

Namun, karena gayanya berjalan, yang seolah pernah dekat dengan orang itu, Tasrif mulai bisa menebak dalam batinnya. Bahkan ia tahu pasti dan sangat jelas identitasnya, saat ia sudah berada di ruang pengap itu, saat tentara bertubuh pendek dan berwarna kulit gelap mengeluarkan suara, “Hmm…Iya!” Yang ternyata itu adalah Azhar, seorang rekan gerilyawannya yang dikahabarkan telah mati saat menembak Helikopter di bandara perusahaan Gas. Berarti dia pengkhianat, batin Tasrif. Azhar begitu tega melakukan hal itu kepadanya. Semua ideologi perjuangan telah musnah di dada laki-laki gemuk dan bertubuh pendek itu.

Tasrif berkesimpulan, bahwa ia tak mungkin mampu melepaskan diri, tangan dan tubuhnya sudah diikat pada kursi yang ia duduki. Kini ia hanya menanti, siksaan apa yang ia terima menjelang ajalnya. Dengan teriakan seorang tentara, ia memerintahkan anak buahnya untuk pergi shalat Jum’at, Tasrif sadar, bahwa hari ini Jum’at. Hari kematiannya. Sebab ia memeracayai sebuah mitos, bahwa seseorang mati pada hari kelahirannya.

Dengan keunikan dan kekayaan imajinasi sang penulisnya, novel ini begitu mudah menyisir jalan ceritanya. Namun, tentunya, tak diharapkan bahwa novel ini hanya menjadi bacaan belaka. Tapi, yang teramat penting, mengambil hikmah dan ibrah yang bermanfaat bagi masa depan Aceh kelak. Kita bisa bercermin dari apa yang telah dipaparkan di sini oleh Ayi Jufridar, di mana, kabut telah menyelimuti roda kehidupan orang Aceh sekian waktu lamanya.

Kebenaran hanya sebuah impian bagi seluruh masyarakat Aceh saat itu. Namun, kabut perang telah menyelimutinya. Oleh karena itu, sekali lagi, marilah kita bercermin pada rentetan kisah dalam novel ini atau bersikap, “Buruk rupa cermin dibelah.”[]

Judul buku : Kabut Perang
Penulis : Ayi Jufridar
Penerbit : Universal Nikko
Tebal : 358 halaman
ISBN : 976-602-95476-2-7
Cetakan : I, Juni 2010

*) Mahdi Idris, Sekretaris FLP Lhokseumawe. Menetap di Dayah Terpadu Ruhul Islam Tanah Luas, Aceh Utara.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi