SEKS, SASTRA, KITA
Kumpulan Esei Goenawan Mohamad
Penerbit Sinar Harapan,
Cetakan I, 1980, 173 halaman
Peresensi : Th. Sumartana
http://majalah.tempointeraktif.com/
SASTRA Indonesia modern lahir dari induknya yaitu nasionalisme. Ia lahir dan dibesarkan bersama dengan anak-anak nasionalisme yang banyak. Pendidikan, institusi keagamaan, kegiatan sosial, ideologi, birokrasi, partai politik dan lain sebagainya. Ia turut merasakan kesakitan beranak bagi lahirnya suatu bangsa. Ikut pula berpasang surut bersama dengan peri kehidupan bangsanya. Ia merupakan bagian integral revolusi suatu bangsa yang menerobos keluar dari kungkungan isolasi masyarakat sukunya dahulu, dan dari penindasan bangsa lain.
Jelas, bahwa para pendukung sastra Indonesia modern adalah species yang bernama homo Indonesiensis. Dan sebagaimana persoalan yang dihadapi oleh gerakan nasionalisme di Indonesia, maka sastra Indonesia modern pun berada di sebuah jalan simpang tiga. Yaitu internasionalisme, nasionalisme dan daerahisme.
Sejak akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 telah muncul elite pendidikan baru di Hindia Belanda. Dengan munculnya elite pendidikan ini turut terangkat pula bahasa Indonesia sebagai bahasa intelektual. Ia terangkat dari bahasa pasar dan bahasa administrasi pemerintahan.
Kontinyuitas Tahun 1917 berdirilah Balai Pustaka, lalu muncul Pujangga Baru, 1933, sebagai upaya memenuhi tuntutan baru. Lahir pula Angkatan 45 yang gegap gempita dengan semangat perang dan revolusi. Angkatan tahun 50-an merupakan reaksi yang ingin hidup realistis dengan soal pedesaan dan kedaerahan. Dan yang terakhir adalah Angkatan 66.
Kelima angkatan dalam sastra tersebut resah menjawab tantangannya sendiri dan sibuk berpolemik satu dengan yang lain. Seluruh watak, citra serta semangatnya tumbuh dalam pergolakan dan persoalan lingkungan masyarakatnya. Antara tahun 1933-1963 terjadilah pergulatan batin yang intens yang kesemuanya muncul dalam sastra Indonesia modern, baik dalam bentuk puisi, prosa maupun telaah sastra.
Ternyata sastra Indonesia modern adalah sebuah kompleks yang besar. Dan amat rumit. Sastra Indonesia tumbuh secara spontan bagaikan tumbuhnya kota-kota tanpa rencana. Tak ada cetak biru, tak ada pola, tak ada tata sastra yang merancang perkembangannya. Tak ada instansi penanggungjawab. Dalam keadaan semacam ini maka ia mirip dengan suasana sebuah slum besar. Dan publik sastra Indonesia hanyalah mengenal sastrawan mereka sebagai nomor-nomor karya yang terserak-serak. Masing-masing berdiri sendiri tanpa hubungan.
Dalam kompleks besar tersebut, salah satu fungsi esensial kumpulan esei Goenawan Mohamad ini, ialah bahwa ia bisa menjadi semacam buku penunjuk jalan tentang sastra Indonesia dan tentang karya seni pada umumnya. Dalam delapan eseinya Goenawan Mohamad mencoba menelaah hasil dan persoalan kesenian Indonesia dari sejarahnya masing-masing.
Apa yang ingin ia tunjukkan adalah kontinyuitas. Kesusastraan Indonesia mempunyai satu sumbu, garis sumbu itu bisa ditarik dari kenyataan kesenian di masyarakatnya. Empat esei pertama khusus bicara tentang sastra. Salah satu pokok yang menarik adalah upaya Goenawan untuk mengidentifikasikan para sastrawan dalam strata sosial masyarakatnya serta publik peminatanya.
Agak berbeda dengan para penelaah lainnya ia menunjuk bahwa produsen karya sastra di Indonesia adalah sekelompok orang yang dibesarkan, dan hidup, sebagai bagian dari lapisan sosial yang justru tidak aman dengan strata atas masyarakatnya. Tapi, sementara itu, juga bukan bagian dari tingkat yanng bawah. Pada mereka terdapat pelbagai ciri satu kelas menengah yang sedang bergerak — paling sedikit karena pendidikan, kalau tidak karena asal-usul.
Dengan identifikasi semacam ini Goenawan lalu menarik garis yang amat konsekuen hampir dalam sekujur tulisannya yang menelaah hasil, persoalan, serta kontinyuitas karya sastra Indonesia. Kelas Menengah Bawah Pada bagian lain ia menyebut, bahwa dunia sastra Indonesia adalah dunia 15% penduduk Indonesia. Ia adalah kesusastraan kota. Ciri khasnya adalah pembacanya yang terbatas. Kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan minoritas. Dan sastrawan Indonesia sebenarnya adalah ahli waris dari lingkungan kebudayaan yang belum sudah, yang bernama Indonesia, berada di antara masa silam yang menjauh dan masa depan yang belum pasti.
Dengan deskripsi tersebut maka Goenawan dengan leluasa dan tegas berbicara tentang tema sastra Indonesia yang bercirikan keraguan, kebimbangan, keterpencilan, keresahan, pemberontakan, keterasingan, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut menjadi sah. Penjabaran semacam ini tentu memberi kesan seolah-olah para sastrawan tinggal dalam suatu kompleks ghetto kelas menengah bawah yang terisolasi dari dunianya.
Dengan kata lain, Goenawan terasa kurang bicara soal heterogenitas serta gerak mobilitas mereka sebagai seniman. Tapi lepas dari alasan-alasan filosofis tentang fungsi karya sastra, mungkin “penemuan” Goenawan tersebut di atas dapat pula merupakan semacam legitimasi sosial bagi fungsi karya sastra itu sendiri di tengah masyarakatnya.
Ia selalu bergerak sebagaimana subyeknya yang resah mempertanyakan persoalan masyarakatnya. Di situ ia mendapat kebebasannya sebagai ‘orang luar’ yang tak terhisab dalam masyarakat. Tulisan lain yang amat menarik adalah tentang penyair Amir Hamzah. Goenawan menempatkan Amir Hamzah dalam konflik kreatif di lingkungan masyarakat pada masanya. Demikian pula ditampilkan konflik spiritual yang mendalam dari Amir Hamzah sebagai penyair besar Indonesia. Ia muncul sebagai penyair yang penuh ragu, seorang yang sendu dan penyabar. Yang berpolemik secara mental dengan dirinya sendiri.
Goenawan Mohamad bukanlah seorang dari kelompok kritisi ‘pendidikan’, bukan pula pemikir sastra ‘perjuangan’. Dan Amir Hamzah bukan seorang penyair partisan. Membaca bagian ini terlintas kesan adanya pantulan-pantulan proyektif antara Goenawan Mohamad dan Amir Hamzah, setidak-tidaknya dalam sikap spiritual menghadapi persoalan zamannya.
Dalam artikel ‘Kesusastraan Indonesia dalam kebimbangan’ penutupnya berbunyi “Untuk apa berdebat dan berpolemik, jika segala pendirian adalah nisbi?” Pertanyaan tersebut mungkin untuk sebagian kita kedengaran ganjil. Sebab bukankah sesuatu yang nisbi justru mestinya tinggal dalam nisbahnya dengan yang lain? Atau adakah sastrawan yang sadar diri (self-conscius) dan sadar tentang kenisbiannya akan menjadi self-sufficient? nisbi tanpa nisbah? Manifes Kebudayaan.
Namun, ketika kita membaca renungan Goenawan tentang Amir Hamzah dapatlah kita pahami dengan terang kenapa ia sampai kepada pertanyaan yang ganjil semacam itu. Posisinya itu pula yang mungkin turut menyebabkan kupasannya tentang film Indonesia, nyaris menjadi semacam pembelaan — seperti yang ia lakukan terhadap kehidupan teater mutakhir di Indonesia.
Sebagai eksponen Manifes Kebudayaan banyak kita harapkan Goenawan membahas kehidupan sastra tahun 60-an, sewaktu terjadi polemik sengit antara kubu ‘realisme sosialis’ dan ‘humanisme universil’. Pada tahap ini agaknya jalan simpang tiga yang klasik di zaman Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45 dan Angkatan tahun 50-an sudah habis ditelusuri.
Pilihan tidak lagi antara internasiolisme, nasionalisme dan daerahisme. Akan tetapi pilihan ideologis yang menjangkau seluruh persoalan itu secara seutuh-utuhnya. Goenawan mengatakan bahwa Manifes Kebudayaan bagi sejumlah besar mereka adalah suatu usaha untuk memecahkan dilema itu secara kurang lebih berhasil. Tanggung jawab pribadi dipulihkan. Diakuinya bahwa Manifes bersikap skeptis terhadap ideologi bahkan cenderung anti-ideologi.
Ekspresi literer yang mutakhir dari kecenderungan semacam ini berpuncak dalam kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri yang bukan hanya anti ideologi, akan tetapi bahkan anti ide dalam kehidupan kesusastraan Indonesia. Itulah potret terakhir yang kita dapat tentang sastrawan Indonesia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar