Kamis, 16 September 2010

Sebuah kompleks besar

SEKS, SASTRA, KITA
Kumpulan Esei Goenawan Mohamad
Penerbit Sinar Harapan,
Cetakan I, 1980, 173 halaman
Peresensi : Th. Sumartana
http://majalah.tempointeraktif.com/

SASTRA Indonesia modern lahir dari induknya yaitu nasionalisme. Ia lahir dan dibesarkan bersama dengan anak-anak nasionalisme yang banyak. Pendidikan, institusi keagamaan, kegiatan sosial, ideologi, birokrasi, partai politik dan lain sebagainya. Ia turut merasakan kesakitan beranak bagi lahirnya suatu bangsa. Ikut pula berpasang surut bersama dengan peri kehidupan bangsanya. Ia merupakan bagian integral revolusi suatu bangsa yang menerobos keluar dari kungkungan isolasi masyarakat sukunya dahulu, dan dari penindasan bangsa lain.

Jelas, bahwa para pendukung sastra Indonesia modern adalah species yang bernama homo Indonesiensis. Dan sebagaimana persoalan yang dihadapi oleh gerakan nasionalisme di Indonesia, maka sastra Indonesia modern pun berada di sebuah jalan simpang tiga. Yaitu internasionalisme, nasionalisme dan daerahisme.

Sejak akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 telah muncul elite pendidikan baru di Hindia Belanda. Dengan munculnya elite pendidikan ini turut terangkat pula bahasa Indonesia sebagai bahasa intelektual. Ia terangkat dari bahasa pasar dan bahasa administrasi pemerintahan.

Kontinyuitas Tahun 1917 berdirilah Balai Pustaka, lalu muncul Pujangga Baru, 1933, sebagai upaya memenuhi tuntutan baru. Lahir pula Angkatan 45 yang gegap gempita dengan semangat perang dan revolusi. Angkatan tahun 50-an merupakan reaksi yang ingin hidup realistis dengan soal pedesaan dan kedaerahan. Dan yang terakhir adalah Angkatan 66.

Kelima angkatan dalam sastra tersebut resah menjawab tantangannya sendiri dan sibuk berpolemik satu dengan yang lain. Seluruh watak, citra serta semangatnya tumbuh dalam pergolakan dan persoalan lingkungan masyarakatnya. Antara tahun 1933-1963 terjadilah pergulatan batin yang intens yang kesemuanya muncul dalam sastra Indonesia modern, baik dalam bentuk puisi, prosa maupun telaah sastra.

Ternyata sastra Indonesia modern adalah sebuah kompleks yang besar. Dan amat rumit. Sastra Indonesia tumbuh secara spontan bagaikan tumbuhnya kota-kota tanpa rencana. Tak ada cetak biru, tak ada pola, tak ada tata sastra yang merancang perkembangannya. Tak ada instansi penanggungjawab. Dalam keadaan semacam ini maka ia mirip dengan suasana sebuah slum besar. Dan publik sastra Indonesia hanyalah mengenal sastrawan mereka sebagai nomor-nomor karya yang terserak-serak. Masing-masing berdiri sendiri tanpa hubungan.

Dalam kompleks besar tersebut, salah satu fungsi esensial kumpulan esei Goenawan Mohamad ini, ialah bahwa ia bisa menjadi semacam buku penunjuk jalan tentang sastra Indonesia dan tentang karya seni pada umumnya. Dalam delapan eseinya Goenawan Mohamad mencoba menelaah hasil dan persoalan kesenian Indonesia dari sejarahnya masing-masing.

Apa yang ingin ia tunjukkan adalah kontinyuitas. Kesusastraan Indonesia mempunyai satu sumbu, garis sumbu itu bisa ditarik dari kenyataan kesenian di masyarakatnya. Empat esei pertama khusus bicara tentang sastra. Salah satu pokok yang menarik adalah upaya Goenawan untuk mengidentifikasikan para sastrawan dalam strata sosial masyarakatnya serta publik peminatanya.

Agak berbeda dengan para penelaah lainnya ia menunjuk bahwa produsen karya sastra di Indonesia adalah sekelompok orang yang dibesarkan, dan hidup, sebagai bagian dari lapisan sosial yang justru tidak aman dengan strata atas masyarakatnya. Tapi, sementara itu, juga bukan bagian dari tingkat yanng bawah. Pada mereka terdapat pelbagai ciri satu kelas menengah yang sedang bergerak — paling sedikit karena pendidikan, kalau tidak karena asal-usul.

Dengan identifikasi semacam ini Goenawan lalu menarik garis yang amat konsekuen hampir dalam sekujur tulisannya yang menelaah hasil, persoalan, serta kontinyuitas karya sastra Indonesia. Kelas Menengah Bawah Pada bagian lain ia menyebut, bahwa dunia sastra Indonesia adalah dunia 15% penduduk Indonesia. Ia adalah kesusastraan kota. Ciri khasnya adalah pembacanya yang terbatas. Kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan minoritas. Dan sastrawan Indonesia sebenarnya adalah ahli waris dari lingkungan kebudayaan yang belum sudah, yang bernama Indonesia, berada di antara masa silam yang menjauh dan masa depan yang belum pasti.

Dengan deskripsi tersebut maka Goenawan dengan leluasa dan tegas berbicara tentang tema sastra Indonesia yang bercirikan keraguan, kebimbangan, keterpencilan, keresahan, pemberontakan, keterasingan, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut menjadi sah. Penjabaran semacam ini tentu memberi kesan seolah-olah para sastrawan tinggal dalam suatu kompleks ghetto kelas menengah bawah yang terisolasi dari dunianya.

Dengan kata lain, Goenawan terasa kurang bicara soal heterogenitas serta gerak mobilitas mereka sebagai seniman. Tapi lepas dari alasan-alasan filosofis tentang fungsi karya sastra, mungkin “penemuan” Goenawan tersebut di atas dapat pula merupakan semacam legitimasi sosial bagi fungsi karya sastra itu sendiri di tengah masyarakatnya.

Ia selalu bergerak sebagaimana subyeknya yang resah mempertanyakan persoalan masyarakatnya. Di situ ia mendapat kebebasannya sebagai ‘orang luar’ yang tak terhisab dalam masyarakat. Tulisan lain yang amat menarik adalah tentang penyair Amir Hamzah. Goenawan menempatkan Amir Hamzah dalam konflik kreatif di lingkungan masyarakat pada masanya. Demikian pula ditampilkan konflik spiritual yang mendalam dari Amir Hamzah sebagai penyair besar Indonesia. Ia muncul sebagai penyair yang penuh ragu, seorang yang sendu dan penyabar. Yang berpolemik secara mental dengan dirinya sendiri.

Goenawan Mohamad bukanlah seorang dari kelompok kritisi ‘pendidikan’, bukan pula pemikir sastra ‘perjuangan’. Dan Amir Hamzah bukan seorang penyair partisan. Membaca bagian ini terlintas kesan adanya pantulan-pantulan proyektif antara Goenawan Mohamad dan Amir Hamzah, setidak-tidaknya dalam sikap spiritual menghadapi persoalan zamannya.

Dalam artikel ‘Kesusastraan Indonesia dalam kebimbangan’ penutupnya berbunyi “Untuk apa berdebat dan berpolemik, jika segala pendirian adalah nisbi?” Pertanyaan tersebut mungkin untuk sebagian kita kedengaran ganjil. Sebab bukankah sesuatu yang nisbi justru mestinya tinggal dalam nisbahnya dengan yang lain? Atau adakah sastrawan yang sadar diri (self-conscius) dan sadar tentang kenisbiannya akan menjadi self-sufficient? nisbi tanpa nisbah? Manifes Kebudayaan.

Namun, ketika kita membaca renungan Goenawan tentang Amir Hamzah dapatlah kita pahami dengan terang kenapa ia sampai kepada pertanyaan yang ganjil semacam itu. Posisinya itu pula yang mungkin turut menyebabkan kupasannya tentang film Indonesia, nyaris menjadi semacam pembelaan — seperti yang ia lakukan terhadap kehidupan teater mutakhir di Indonesia.

Sebagai eksponen Manifes Kebudayaan banyak kita harapkan Goenawan membahas kehidupan sastra tahun 60-an, sewaktu terjadi polemik sengit antara kubu ‘realisme sosialis’ dan ‘humanisme universil’. Pada tahap ini agaknya jalan simpang tiga yang klasik di zaman Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45 dan Angkatan tahun 50-an sudah habis ditelusuri.

Pilihan tidak lagi antara internasiolisme, nasionalisme dan daerahisme. Akan tetapi pilihan ideologis yang menjangkau seluruh persoalan itu secara seutuh-utuhnya. Goenawan mengatakan bahwa Manifes Kebudayaan bagi sejumlah besar mereka adalah suatu usaha untuk memecahkan dilema itu secara kurang lebih berhasil. Tanggung jawab pribadi dipulihkan. Diakuinya bahwa Manifes bersikap skeptis terhadap ideologi bahkan cenderung anti-ideologi.

Ekspresi literer yang mutakhir dari kecenderungan semacam ini berpuncak dalam kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri yang bukan hanya anti ideologi, akan tetapi bahkan anti ide dalam kehidupan kesusastraan Indonesia. Itulah potret terakhir yang kita dapat tentang sastrawan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi