Senin, 13 September 2010

PETA KONSTELASI PENYAIR SUMATRA

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Pertemuan penyair se-Sumatera (Aceh, Babel, Bengkulu, Jambi, Kepri, Lampung, Riau, Sumbar, Sumsel, Sumut) di Bengkalis, 17—19 Januari 2003, memperlihatkan, betapa sesungguhnya Sumatera masih menyimpan potensi yang kaya dan berlimpah. Kepenyairan Sumatera yang pernah mendominasi perjalanan sastra Indonesia sebelum dan awal merdeka –seperti yang pernah dibangun sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, hingga ke nama-nama Taufiq Ismail, Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, dan sederet panjang nama lain—sangat mungkin kini akan bangkit kembali.

Empat skenario mungkin dapat dijalankan penyair Sumatera. Pertama, melakukan perlawanan dan mencoba menyeruak di antara kemapanan sastrawan di luar Sumatera. Kedua, bergerak menghimpun kekuatan guna membangun mazhab sendiri. Ketiga, seolah-olah “menafikan” Jakarta dan berorientasi ke Singapura atau Kuala Lumpur. Keempat, menjalankan semua skenario itu dengan mengusung kultur etnik dan sejarah masa lalunya.

Dengan keempat skenario itu, penyair Sumatera kini lebih leluasa bergerak. Dan itu membuka peluang bagi kebangkitan kembali peranan mereka dalam konstelasi peta sastra Indonesia modern. Persoalannya tinggal bergantung pada kesiapan mereka menjalankan skenario itu? Tanpa kerja keras dan usaha yang serius, skenario itu tetap akan menjadi sebuah mimpi. Peran mereka akan jatuh pada sebutan sekadar pelengkap dan kontribusinya dalam peta kesusastraan Indonesia tidak cukup signifikan.

Antologi Purnama Kata: Sajak-Sajak se-Sumatera (Bengkalis: Dewan Kesenian Bengkalis, 2003; 112 halaman) barangkali boleh dipandang sebagai representasi gerakan penyair Sumatera. Antologi ini menghimpun karya-karya penyair Aceh, Medan, Padang, Riau, Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, dan Lampung. Adakah mereka punya potensi untuk menjalankan skenario itu atau sekadar kekenesan belaka?

***

Diawali enam buah puisi A.A. Manggeng (Aceh) yang melantunkan kegetiran atas tragedi berdarah yang menimpa tanah rencong. Gaya persajakannya yang seperti monolog antara narasi dan refleksi, mewartakan duka panjang yang dijawab dengan pertanyaan retoris: “berapa harga kemerdekaan dibandingkan nyawa?” Keenam buah puisinya menyampaikan tema yang sama: tragedi Aceh. Manggeng memang tidak mengangkat kultur etnik. Ia terpaku pada musibah puaknya yang dilakukan justru oleh saudaranya yang entah siapa dan dari mana asalnya. Rupanya, musibah itu begitu menggetarkan batinnya.

Sebagai puisi yang coba mengangkat luka-duka-darah, Manggeng menyajikannya dengan puitis. Ia seperti sedang menggambar pesona gadis cantik yang seketika diterjang kereta. Kita ikut nelangsa, tetapi pandangan mata masih terpaku pada pesona gadis itu, dan bukan pada tubuh hancur, koyak-moyak dan berdarah-darah. Dalam hal ini, Manggeng melantunkan rintih kematian tanpa menyentuh tubuh hancur, koyak-moyak dan berdarah. Di sinilah pemahaman ruh kultural menjadi penting. Ia mesti menyatu dalam pewartaan puitik ketika penyair dilanda kegelisahan atas tragedi yang menimpa puaknya. Cukupkah ia digambarkan dengan: Siapa yang pecahkan vas bunga/di pekarangan rumah kita/Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya// Di manakah denting kilat rencong dan hingar-bingar semangat jihad? Di mana pula ledakan amarah yang tiba-tiba jadi kobaran api?

Thompson Hs (Medan) agaknya mengalami problem yang sama ketika ia dikaitkan dengan persoalan kultur. Ia cenderung mengangkat refleksi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang per orang. Boleh jadi kesengajaan menyelimuti pesan merupakan representasi dari khawatirannya terjebak pada eksplisitas. Kecenderungan seperti itu memang banyak terjadi pada diri penyair kita. Akibatnya, sebagai pembaca sering kali kita merasakan sesuatu yang entah, tetapi entah apa pula yang kita tangkap. Dalam puisi “Mendengar Ruang yang bisa Berbisik” misalnya, kuda dapatlah kita tafsirkan sebagai simbolisasi nafsu. Boleh juga kita menafsirkan sebuah kisah persenggamaan. Tetapi, ia tidak coba memanfaatkan citraan. Sebaliknya, dengan pernyataan yang abstrak, kisah persenggamaan itu menjadi seperti narasi untuk dirinya sendiri. Demikian juga, ketika berbicara tentang Palestina—Israel, ia terjebak pada pewartaan, dan bukan kegelisahan kultural, meski ia mencoba mengangkat kisah-kisah lama dari al-Kitab.

Yusrizal KW (Padang) dengan enam puisinya –kecuali “Perasaan Berkerikil” dan “Sajak untuk Maya” lainnya pernah dimuat dalam Interior Kelahiran— tampak melompat ke sana ke mari. Ia bisa mengangkat apa saja yang dilihat atau direnungkannya. Dengan begitu, ia dapat leluasa mewartakan peristiwa atau benda apapun, tanpa harus mengalami kegelisahan yang dahsyat. Dalam hal itulah, puisi-puisi Yusrizal seperti sebuah narasi tanpa pretensi. Pilihannya untuk mengangkat apa pun, tentu saja tak menjadi soal. Dan ia bebas menentukannya sendiri. Meskipun demikian, ketika kita menghubungkaitkan puisi (sastra) sebagai ruh kultural, kita kehilangan cantelannya. Lalu, muncul pertanyaan: Di manakah Minangkabau? Maka, yang dapat kita tangkap adalah serangkaian peristiwa biasa, suasana keseharian yang juga biasa atau sesuatu yang diperlakukan seperti adanya. Ketika semua itu diejawantahkan dalam puisi, kita sangat mungkin akan hanyut dalam suasana yang seperti itu. Sebuah refleksi yang justeru tidak kita jumpai dalam cerpen-cerpennya.

Berbeda dengan Yusrizal, Taufik Ikram Jamil seperti penjelajah yang tak kunjung sampai pada tujuan. Ia tiada henti dibakar kegelisahan atas sejarah puaknya, meski boleh jadi ia sadar, sesuatu itu tak bakal dijumpainya kini. Puisinya, “Datang lagi ke Bengkalis” dan “Aku sudah Menjawab” merupakan bentuk kegelisahan kultur etnis masa lalunya. Kesetiaannya pada puak, romantisismenya, dan rasa duka pada kondisi sosial kini, berjalin kelindan dalam idiom Melayu. Maka, alam di sekeliling yang menjadi bagian hidupnya, muncul begitu saja seperti anak panah yang melesat, namun gagal membawa kurban.

Kegelisahan kulturalnya tak pernah berhenti menggelegak. Jamil berusaha konsisten pada obsesi yang dibangunnya sendiri. Lalu, ketika ia menghadapi kenyataan kini, masa silam dan catatan sejarah seperti datang begitu saja. Dikatakannya: kubentangkan tubuhmu telanjang/antara sulalatus salatin dan tuhfat al-nafis/alasmu adalah wustan wal-qubra/ buku sejarah yang belum selesai ditulis. Di sana ada luka sejarah yang tak pernah sembuh: bukankah kita terbanting dalam traktat london.

Bagi Jamil, romantisisme masa lalu, catatan sejarah, dan persahabatannya dengan alam telah memberinya banyak hal. Segalanya itu telah menjadi alat permainan yang lalu menjelma menjadi larik-larik puisi. Jika ia tampak begitu lincah memanfaatkan semuanya itu, sesungguhnya itu hasil dari sebuah proses panjang cintanya pada Melayu.

Dengan gaya persajakan yang berbeda, Syaukani Alkarim (Riau) juga mengusung kegelisahan kultural. Ia juga jatuh pada masa lalu puaknya. Pengucapannya sangat kuat sebagai refleksi penghayatan masa lalu dalam konteks problem yang dihadapi puaknya kini. Perhatikan sebaik puisinya, “Membaca Diri”. Kita yang sekarang bukan lagi sejarah yang kau baca, hanya ting­gal hari-hari yang gagap/ sekeping luka, dan beribu janji yang meminta jawaban. Kemenangan yang pernah/ menuliskan risalah, kini menjelma sekapal rindu,/dan engkau harus bertarung dengan/ gelom­bang, atau tenggelam di laut waktu.//

Di luar luka sejarah puaknya yang tergambar dalam “Air Mata 1824”, Syaukani menukik menjelajah masuk wilayah yang agak filosofis. Dalam Hikayat Perjalanan Lumpur (1999), sejarah dan simbol sufistik mengemuka sangat padat, sekaligus menunjukkan, betapa penyair ini tidak sekadar bermain dengan larik-larik yang disusun lewat diksi yang matang dan cerdas, menyajikan kesungguhannya memanfaatkan wawasan, tetapi juga menegaskan bahwa ia masih menyimpan kekuatan napas yang panjang.

Di antara para penyair itu, menyeruak penyair wanita, Murparsaulian. Dalam deretan penyair wanita Riau, ia tergolong generasi di belakang Ar. Kemalawati, Tien Marni dan Herlela Ningsih. Agak berbeda dengan kebanyakan penyair wanita yang terpaku pada dunia romantik, Murparsaulian menjelajah pada persoalan sosio-kultural etniknya. Ada hasrat melakukan kritik sosial atas dampak modernisasi dan pembangunan. Ada kecemasan atas derasnya budaya populer. Dan penyair coba mengangkat problem itu berkaitan dengan romantisisme masa lalu puaknya. “Syair buat Marina” misalnya, mewartakan perubahan alam dan arus dunia modern. Dikatakannya, pelabuhan itu sebagai seorang tua yang merayau di tengah kelam di satu pihak, dan dunia modern yang menerjangnya di pihak lain. Sebuah gambaran dua dunia: kehidupan tradisional yang tergusur oleh modernisme.

Kegelisahan Murparsaulian agaknya tidak hanya jatuh pada lingkungan sekitar. Ia juga protes atas carut-marut negeri ini, seperti dalam “Mengeja Sejarah” dan “Kulabuh Kasih pada Negeri yang Perih”. Ada usaha mengangkat masalah itu lewat persajakan dan diksi atau citraan alam. Kadangkala ia tak sabar menahan gejolak kemarahannya sendiri. Meski begitu, keberanian melakukan pilihan tema itu, memang membawa persoalan yang tak sederhana. Dan itu perlu perenungan yang lebih intens, sebagaimana yang diungkapkan dalam “Di mana Selat Kita?” Usaha Murparsaulian menemukan jati diri kepenyairan, telah dijumpai di sana. Sebuah pola yang memperlihatkan perkembangan kepenyairan yang lebih matang dan berpribadi, meski ia tak dapat menyembunyikan pengaruh penyair lain.

Permainan bunyi dalam larik dengan memanfaatkan pesona persajakan, hadir dalam karya Hoesnizar Hoed (Kepri). Ia memang tak berusaha mengangkat sejarah. Persahabatan dengan alam dan dukanya pada problem sosial, merepresentasikan kegelisahan yang tak dapat diajak berdamai. Beberapa puisi yang lain, seperti “Shelma”, “Membaca Jakarta” atau “Aku Diam dalam Kaca” terasa lebih cair dibandingkan puisi-puisinya dalam Tarian Orang Lagoi (1999). Meski begitu, kita masih melihat kekuatannya dalam permainan kata dan usahanya memanfaatkan bunyi persajakan. “Surat dari Simpang Lagoi” sesungguhnya merupakan pola yang pas memperlihatkan kepenyairannya yang lebih berpribadi. Ada pesona yang kuat dalam larik dan repetisi persajakan dalam puisi itu.

Kembali, perenungan yang intens menjadi penting saat penyair mengejawantahkan ekspresi puitiknya. Dan Lagoi telah mencengkram Hoed begitu kuat. Ia hanyut di sana dan berteriak mewartakan kepedihan orang-orang Lagoi. Ia berhasil menukik dan menyembul kembali lewat ekspresi puitiknya. Di sinilah kebersatuan ruh penyair dengan dunia yang hendak diangkatnya sering kali melahirkan potret yang mempesona.

Ari Setya Ardhi (Jambi) condong bermain dengan abstraksi. Di sana ia mencoba memanfaatkan alam untuk membangun citraan. Dalam puisinya, “Mempersiapkan Waktu” Ardhi hanyut dalam subjektivitas ekspresinya sendiri. Akibatnya, sinyal-sinyal yang dapat membantu pembaca memahami teks, terganggu oleh kecenderungannya memadukan realitas dengan dunia abstrak. Meskipun begitu, dalam puisinya yang berjudul “Merebut Sejarah”, penyair berhasil mengangkat potret perubahan secara meyakinkan.

Bahwa Ardhi melakukan pilihan itu, tentu dengan kesadaran kepenyairannya. Dalam puisinya “Menjaga Musim Purba” kita menemukan rangkaian kata yang enak dibaca. Tetapi agak menyulitkan pemahaman kita mengingat kecenderungannya membangun abstraksi. Atau barangkali, Ardhi memang sengaja memanfaatkan itu untuk membangun semacam close reading yang mensyaratkan pembacaan yang berulang-ulang. Justru di situ estetika puitiknya menggoda untuk menjelajahi dunia yang ditawarkannya.

Kecenderungan yang sama terjadi pada diri Anwar Putra Bayu (Sumsel). Bahkan, lebih dari itu, ia lebih banyak mengobral pernyataan daripada citraan. Dalam hal ini, Bayu seperti memberi jarak antara dunia yang ditawarkan dengan teks yang membawakannya. Akibatnya, kegelisahan tentang masalah disintegrasi yang terjadi di negeri ini, sebagaimana tampak dalam “Abad Burung Bangkai” menjadi semacam pewartaan tekstual. Hal itu pula yang tampak kentara dalam “Nyonya Anwar dan Sepotong Tulang”. Kembali, perenungan menjadi sesuatu yang penting. Ia mesti menjadi bagian dari proses kreatif yang lahir dari kegelisahan atau ketakjuban pada sesuatu. Puisi “Kepada Alexandre Pusjkin” misalnya, memperlihatkan, betapa penyair punya jarak yang jauh dengan sastrawan Rusia itu.

Isbedy Stiawan ZS dalam “Telah Kulepas Pakaian Sunyiku” sungguh telah menunjukkan sebuah perkembangan kepenyairan yang meyakinkan. Dibandingkan antologi Daun-Daun Tadarus (1997), puisi-puisinya kali ini tampak lebih matang dan kokoh. Ia tak lagi menjadikan subjek yang melihat benda-benda sebagai objek, melainkan objek yang menyatu lebih dalam sebagai diri subjek, atau sebaliknya.

Ia seperti bertutur begitu saja, mengalir, dan tiba-tiba berhenti pada pertanyaan yang menggoda: siapakah aku lirik? Dalam hal ini, napas religiusitas dan kerinduannya pada sesuatu yang entah, menyatu dalam kerinduan itu sendiri. Isbedy hadir dengan pribadi yang kuat dan matang. Pencarian si aku liris telah sampai pada hakikat. Sebuah gaya kepenyairan yang banyak dianut para penyair ketika ia mengalami kegelisahan sufistik.

Dalam “Aku Masih Rasakan” hubungan aku liris dengan alam dan dunia sekitar, terasa sangat padu, menyatu dalam narasi aku lirik. Dalam hal ini, subjek tidak lagi melihat alam sebagai objek, melainkan sebagai subjek itu sendiri. Bahkan, kadangkala, aku liris sengaja diperlakukan sebagai objek untuk member ruang yang lebih leluasa bagi alam mencengkeram dan menjadi bagian dari alam itu sendiri, sebagaimana dikatakannya: bahwa kita seperti butiran air itu/bahwa kita juga ada di atas daun itu/ diamdiam menunggu tergelincir// Dalam “Dermaga Lama” Isbedy memanfaatkan kisah masa lalu yang menjadi bagian dari kekayaan kulturnya. Dengan itu, ia tak bakal kehabisan bahan. Bahkan, niscaya pula ia makin memperlihatkan kekayaan bentuk ekspresinya.

***

Catatan kecil ini tentu masih perlu pendalaman. Di sana tercecer nama Gus tf Sakai, Iyut Fitra, Upita Agustine, Ratna Komala Sari (Minang), Junewal Muchtar (Kepri), Eddy Ahmad, DM Ningsih, Merie I. Zairi, Zainurmawaty, Cecen Cendrahati, Kunni Masrohanti (Riau), Syaiful Tanpaka, Naim Prahana, Panji Utama (Lampung), Wina SW I, Kemalawati, Rosni Idham (Aceh), Gita Romadhona, Iriani R. Tandy (Jambi), Laswiyati Pisca, Neny Rosaria (Medan) dan nama-nama lain yang sering kita jumpai dalam berbagai antologi.

Dalam kaitannya dengan peta konstelasi penyair Sumatera, catatan ini sekadar hendak menegaskan, bahwa mereka mustahil kehabisan ekspresi puitik jika ada usaha melakukan eksplorasi pada kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya. Dengan cara itu, mereka akan mengangkat kekayaan kultur lokalnya, sekaligus menempatkannya dalam problem kemanusiaan sejagat. Bagaimanapun juga, sastra yang baik selalu akan menghadirkan unikum, dan sekaligus universalitasnya. Masalahnya tinggal, bagaimana sastrawan Sumatera memanfaatkan kekayaannya sendiri.

(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 16424)

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi