Minggu, 26 September 2010

Negeri Para Pemburu

Teguh Winarsho AS
http://www.kr.co.id/

“AKU TAKUT melihat perang, darah dan kematian,” katanya pada suatu hari saat jalan raya menjelma hujan batu dan kobaran api. Langit menjadi lebih merah. Udara pengap meruap anyir darah. Ia lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Mencari tempat untuk bersembunyi. Tapi para serdadu itu terus memburu sembari menggenggam senapan dan pentungan kayu. Melempar gas air mata dan juga batu. Mata mereka nyalang, berkilat, seperti menyimpan belati. Membuat ia ketakutan setengah mati seperti dikejar-kejar sekelompok mummi.

“Apakah yang salah dengan sejarah?” ia menggumam satu pertanyaan saat berhasil menyelinap masuk ke dalam sebuah rumah kosong mirip gudang dekat jembatan. Rumah tua dengan jendela-jendela lebar berjeruji besi hitam berkarat dan lantai cokelat. Atapnya kereopos penuh sarang laba-laba. Juga puluhan tikus saling berkejaran, berdenyit-denyit meruap bau selokan. Membuat perutnya mual mau muntah. Tapi ia sangat letih, menyandarkan punggungnya yang ringkih pada tembok kusam. Wajahnya sayu oleh debu. Matanya kuyu. Rambutnya kusut terburai acak-acakan.

“Sejarah perlu dicatat bukan cuma diingat. Tapi kenapa kalian memburu, memukul dan menembak?!” lagi ia mendesah lirih. Mengusap wajah pasi. Mencoba menenangkan diri. Di luar matahari hampir terbenam dan gelap mulai merayap. Sebentar lagi malam akan segera tiba. Malam yang nyaman untuk istirahat dan barangkali juga sedikit bercinta — sekadar memberi kecupan mesra pada orang-orang tercinta. Tapi suara-suara tembakan ke udara itu masih terdengar keras. Berdentum-dentum memekak telinga. Juga deru panser yang sesekali melintas. Membuat setiap orang merasa was-was. Merasa hidup tak pernah bebas.

“Mungkinkah aku datang di kota yang salah?” merinding ia mengusap sepercik noda darah di lengannya. Sedikit anyir seperti damir busuk. Tapi jelas itu bukan darah miliknya. Lengannya tidak luka. Juga anggota tubuh lainnya. Entah darah milik siapa. Mungkin darah orang-orang yang kepalanya tertimpuk batu saat ingin menyelamatkan diri. Atau darah Jane, temannya yang baru datang dari Perancis dua hari lalu saat jatuh menabrak tiang listrik, lututnya sobek. Atau darah Bram, pemuda asal Aceh yang hobi fotografi dan suka mengenakan rompi.

Pelipis Bram retak dipukul tongkat kayu. Darah segar berleleran memenuhi wajah Bram hingga wajah cokelat itu tampak memerah. Bram tak sempat melolong. Dengan cepat tubuhnya terhempas di jalan aspal. Ia sebenarnya ingin menolong Bram tapi para serdadu itu keburu datang menyerang. Mereka persis kawanan serigala liar yang baru lepas dari kandang. Ia tinggalkan Bram yang terkapar di pinggir jalan, lari sekuat tenaga menyelinap di antara orang-orang.

“Bram hanya mencatat, tapi kenapa kalian pukul?!” tiba-tiba ia mendengus. Lalu meludah. Sejak tadi mulutnya memang terasa pahit seperti habis menelan kaos kaki. Kepalanya sedikit nyeri.

Bosan berdiri, ia berjalan menghampiri jendela mengintip jalan raya. Jantungnya mendadak berdebar. Jalan raya selalu mengingatkannya pada kehidupan yang hiruk pikuk, keras dan kejam. Dalam remang tampak para serdadu masih berjaga-jaga. Memanggul senapan menenteng pentungan kayu.

“Bram mungkin mati…” desisnya. Nafasnya longsor. Tenaganya raib. Ia terduduk lemas menatap langit-langit atas. Ada lentik api pada bola matanya saat menatap lurus ke atas. Tapi lentik api itu tiba-tiba meredup kembali. Sesekali tubuhnya menggigil gemetar persis seorang pengidap busung lapar. “Tapi aku tak butuh makan!” ia membatin mengencangkan ikat pinggang. “Aku hanya ingin hidup dengan tenang!”

Malam kelam tapi deru panser masih terdengar menderu-deru di jalan. Juga raungan sirine melengking-lengking membuat malam tambah mencekam. Ia sebenarnya ingin keluar mencari Bram atau menemui Jane, tapi ia takut jika dihadang moncong senapan. Ia tak ingin mati di tangan para serdadu yang pongah dan congkak, — merasa bangga jika berhasil menghantam kepala orang. Puh! Ia tak ingin mati di tangan mereka.

“Apakah Jane juga dipukul?” Pertanyaan itu membuat kepalanya semakin nyeri. Bagaimana pun ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan Jane karena ia yang menyuruh Jane datang. Selain itu, ia juga merasa berdosa karena terlalu berlebih-lebihan. “Datanglah ke negeriku dan kau akan melihat orang-orang yang ramah dan pemurah! Ini negeri ajaib, Jane. Tanahnya subur penduduknya makmur. Bahkan tongkat ditanam pun bisa tumbuh dan berbuah. Kau pernah dengar negeri seperti itu, Jane? Tak ada lain itu hanyalah negeriku. Datanglah, Jane. Datanglah…” Ya, ya, ya, ia ingat, lewat telepon, kalimat-kalimat itu meluncur deras dari mulutnya satu minggu sebelum kedatangan Jane. Tapi Jane kelihatan masih ragu dan ia terus meyakinkan.

“Tenanglah, Jane. Sudah tidak ada lagi kerusuhan sejak penguasa diktator itu tumbang. Kerusuhan hanya omong kosong masa lalu belaka. Orang-orang di sini kembali ramah dan pemurah seperti dulu. Kau tak perlu takut mati kelaparan sebab orang-orang dengan senang hati akan memberi makan. Kau cukup membawa tiga ribu franc dan kau bebas melenggang. Harga-harga di sini sangat murah dengan kualitas terjaga. Apakah ada negeri yang lebih indah selain negeriku, Jane? Jawablah?”

Dan mulut Jane bungkam tak mampu menjawab. Jane justru menutup teleponnya lalu sibuk menekan angka-angka menghubungi maskapai penerbangan, memesan tiket. Satu minggu kemudian Jane datang dengan senyum mengembang. Matanya kuntum-kuntum mawar merekah. Rambutnya berkibar-kibar merah. Dan ia masih ingat kalimat apa yang pertama kali keluar dari mulut Jane saat menuruni tangga pesawat. “Ini benar-benar luar biasa. Seperti di surga…”

Malam kian larut. Dingin memeluk. Ia tak kuasa menahan kantuk. Tertidur dalam posisi duduk. Sementara jalan raya mulai lengang. Hanya gelap membentang. Hanya sunyi meradang. Tak terdengar lagi deru panser memburu setiap kerumunan orang. Atau sirene meraung-raung memekakkan gendang telinga.
***

IA BARU bangun saat cahaya matahari menampar mukanya lewat celah atap rumah yang bolong. Matanya mengerjat silau. Wajahnya berkelopak hangat. Ia menggeliat resah, menggosok-gosok mata, meraba sekujur tubuhnya, sekadar memastikan bahwa semalam para serdadu itu tidak memergoki dirinya lalu memperkosa. Tidak. Pakaiannya masih tertutup rapat meski sedikit kusut lesai. Juga tas ransel warna abu-abu masih teronggok di lantai.

Ia berdiri ingin meninggalkan rumah itu. Tapi pada saat bersamaan terdengar derap langkah kaki puluhan orang mendekat. Semakin dekat. Ia menggigil merapat tembok. Ia tahu siapa pemilik derap langkah kaki itu. Dan telinganya masih cukup jernih untuk menangkap percakapan-percakapan itu.

“Kemarin ia masuk ke dalam rumah ini. Menurut Sertu Tumijo dan Serka Ngadirin sampai pagi ini belum keluar.”

“Belum keluar?”

“Ya. Mungkin tertidur di dalam. Atau…”

“Kenapa ?”

“Mungkin ia sekarat atau malah sudah mati. Sebab Lettu Koprik sangat yakin bahwa ayunan tongkatnya masih cukup keras meski sudah tiga bulan tidak bertugas karena indisipliner; mengganggu istri orang. Hanya Lettu Koprik kurang begitu yakin apakah ia yang masuk ke dalam rumah ini.”

“Apakah ia membawa kamera?”

“Tidak hanya kamera tapi juga tape kecil dan buku catatan.”

“Laki-laki?”

“Bukan. Perempuan.”

Ia gemetar mendengar percakapan itu. Mendadak wajahnya pucat seperti mayat. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Lututnya bergetar bagai ada gempa. Langit runtuh menimpa kepalanya. Tanpa pikir panjang ia meraih tas ransel lalu lari lewat pintu belakang. Tapi sial, sebutir peluru lebih cepat melesat dari sebuah moncong senapan menembus tengkuknya. Tubuhnya terhempas menghantam tembok lalu roboh bersimbah darah…
***

“Mereka hanya berkumpul dan berdoa, tapi kenapa kalian pukul dan tembak? Mereka mengutuk segala macam bentuk terorisme sekaligus mengutuk segala macam bentuk penyerangan terhadap warga sipil yang tidak berdosa. Apa salahnya?” Tulisnya pada selembar kertas yang tercecer di jalan raya. “Sedang aku, kenapa terus kalian buru? Padahal aku cuma seorang wartawati bergaji rendah dari sebuah koran daerah yang ingin ikut andil mencatat sejarah…”

Seorang pemulung menemukan catatan itu. Mula-mula hanya ditumpuk bersama barang-barang rongsokan yang akan dijual ke tukang loak. Tapi beberapa hari kemudian entah kenapa tiba-tiba ia memendam hasrat ingin mengirimkan catatan yang sudah lusuh itu pada Ibu Presiden. Pemulung itu yakin Ibu Presiden dengan legawa pasti akan menerima dan membaca catatan itu sebagaimana dari dulu ia sangat yakin dengan pilihan tanda gambar untuk Ibu Presiden tercinta. Tetapi sebelumnya ia akan menjual barang-barang rongsokan lainnya terlebih dulu untuk beli prangko dan amplop.

Mudah-mudahan tidak lupa…

Kulonprogo, 2001-2002

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi