Teguh Winarsho AS
http://www.kr.co.id/
“AKU TAKUT melihat perang, darah dan kematian,” katanya pada suatu hari saat jalan raya menjelma hujan batu dan kobaran api. Langit menjadi lebih merah. Udara pengap meruap anyir darah. Ia lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Mencari tempat untuk bersembunyi. Tapi para serdadu itu terus memburu sembari menggenggam senapan dan pentungan kayu. Melempar gas air mata dan juga batu. Mata mereka nyalang, berkilat, seperti menyimpan belati. Membuat ia ketakutan setengah mati seperti dikejar-kejar sekelompok mummi.
“Apakah yang salah dengan sejarah?” ia menggumam satu pertanyaan saat berhasil menyelinap masuk ke dalam sebuah rumah kosong mirip gudang dekat jembatan. Rumah tua dengan jendela-jendela lebar berjeruji besi hitam berkarat dan lantai cokelat. Atapnya kereopos penuh sarang laba-laba. Juga puluhan tikus saling berkejaran, berdenyit-denyit meruap bau selokan. Membuat perutnya mual mau muntah. Tapi ia sangat letih, menyandarkan punggungnya yang ringkih pada tembok kusam. Wajahnya sayu oleh debu. Matanya kuyu. Rambutnya kusut terburai acak-acakan.
“Sejarah perlu dicatat bukan cuma diingat. Tapi kenapa kalian memburu, memukul dan menembak?!” lagi ia mendesah lirih. Mengusap wajah pasi. Mencoba menenangkan diri. Di luar matahari hampir terbenam dan gelap mulai merayap. Sebentar lagi malam akan segera tiba. Malam yang nyaman untuk istirahat dan barangkali juga sedikit bercinta — sekadar memberi kecupan mesra pada orang-orang tercinta. Tapi suara-suara tembakan ke udara itu masih terdengar keras. Berdentum-dentum memekak telinga. Juga deru panser yang sesekali melintas. Membuat setiap orang merasa was-was. Merasa hidup tak pernah bebas.
“Mungkinkah aku datang di kota yang salah?” merinding ia mengusap sepercik noda darah di lengannya. Sedikit anyir seperti damir busuk. Tapi jelas itu bukan darah miliknya. Lengannya tidak luka. Juga anggota tubuh lainnya. Entah darah milik siapa. Mungkin darah orang-orang yang kepalanya tertimpuk batu saat ingin menyelamatkan diri. Atau darah Jane, temannya yang baru datang dari Perancis dua hari lalu saat jatuh menabrak tiang listrik, lututnya sobek. Atau darah Bram, pemuda asal Aceh yang hobi fotografi dan suka mengenakan rompi.
Pelipis Bram retak dipukul tongkat kayu. Darah segar berleleran memenuhi wajah Bram hingga wajah cokelat itu tampak memerah. Bram tak sempat melolong. Dengan cepat tubuhnya terhempas di jalan aspal. Ia sebenarnya ingin menolong Bram tapi para serdadu itu keburu datang menyerang. Mereka persis kawanan serigala liar yang baru lepas dari kandang. Ia tinggalkan Bram yang terkapar di pinggir jalan, lari sekuat tenaga menyelinap di antara orang-orang.
“Bram hanya mencatat, tapi kenapa kalian pukul?!” tiba-tiba ia mendengus. Lalu meludah. Sejak tadi mulutnya memang terasa pahit seperti habis menelan kaos kaki. Kepalanya sedikit nyeri.
Bosan berdiri, ia berjalan menghampiri jendela mengintip jalan raya. Jantungnya mendadak berdebar. Jalan raya selalu mengingatkannya pada kehidupan yang hiruk pikuk, keras dan kejam. Dalam remang tampak para serdadu masih berjaga-jaga. Memanggul senapan menenteng pentungan kayu.
“Bram mungkin mati…” desisnya. Nafasnya longsor. Tenaganya raib. Ia terduduk lemas menatap langit-langit atas. Ada lentik api pada bola matanya saat menatap lurus ke atas. Tapi lentik api itu tiba-tiba meredup kembali. Sesekali tubuhnya menggigil gemetar persis seorang pengidap busung lapar. “Tapi aku tak butuh makan!” ia membatin mengencangkan ikat pinggang. “Aku hanya ingin hidup dengan tenang!”
Malam kelam tapi deru panser masih terdengar menderu-deru di jalan. Juga raungan sirine melengking-lengking membuat malam tambah mencekam. Ia sebenarnya ingin keluar mencari Bram atau menemui Jane, tapi ia takut jika dihadang moncong senapan. Ia tak ingin mati di tangan para serdadu yang pongah dan congkak, — merasa bangga jika berhasil menghantam kepala orang. Puh! Ia tak ingin mati di tangan mereka.
“Apakah Jane juga dipukul?” Pertanyaan itu membuat kepalanya semakin nyeri. Bagaimana pun ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan Jane karena ia yang menyuruh Jane datang. Selain itu, ia juga merasa berdosa karena terlalu berlebih-lebihan. “Datanglah ke negeriku dan kau akan melihat orang-orang yang ramah dan pemurah! Ini negeri ajaib, Jane. Tanahnya subur penduduknya makmur. Bahkan tongkat ditanam pun bisa tumbuh dan berbuah. Kau pernah dengar negeri seperti itu, Jane? Tak ada lain itu hanyalah negeriku. Datanglah, Jane. Datanglah…” Ya, ya, ya, ia ingat, lewat telepon, kalimat-kalimat itu meluncur deras dari mulutnya satu minggu sebelum kedatangan Jane. Tapi Jane kelihatan masih ragu dan ia terus meyakinkan.
“Tenanglah, Jane. Sudah tidak ada lagi kerusuhan sejak penguasa diktator itu tumbang. Kerusuhan hanya omong kosong masa lalu belaka. Orang-orang di sini kembali ramah dan pemurah seperti dulu. Kau tak perlu takut mati kelaparan sebab orang-orang dengan senang hati akan memberi makan. Kau cukup membawa tiga ribu franc dan kau bebas melenggang. Harga-harga di sini sangat murah dengan kualitas terjaga. Apakah ada negeri yang lebih indah selain negeriku, Jane? Jawablah?”
Dan mulut Jane bungkam tak mampu menjawab. Jane justru menutup teleponnya lalu sibuk menekan angka-angka menghubungi maskapai penerbangan, memesan tiket. Satu minggu kemudian Jane datang dengan senyum mengembang. Matanya kuntum-kuntum mawar merekah. Rambutnya berkibar-kibar merah. Dan ia masih ingat kalimat apa yang pertama kali keluar dari mulut Jane saat menuruni tangga pesawat. “Ini benar-benar luar biasa. Seperti di surga…”
Malam kian larut. Dingin memeluk. Ia tak kuasa menahan kantuk. Tertidur dalam posisi duduk. Sementara jalan raya mulai lengang. Hanya gelap membentang. Hanya sunyi meradang. Tak terdengar lagi deru panser memburu setiap kerumunan orang. Atau sirene meraung-raung memekakkan gendang telinga.
***
IA BARU bangun saat cahaya matahari menampar mukanya lewat celah atap rumah yang bolong. Matanya mengerjat silau. Wajahnya berkelopak hangat. Ia menggeliat resah, menggosok-gosok mata, meraba sekujur tubuhnya, sekadar memastikan bahwa semalam para serdadu itu tidak memergoki dirinya lalu memperkosa. Tidak. Pakaiannya masih tertutup rapat meski sedikit kusut lesai. Juga tas ransel warna abu-abu masih teronggok di lantai.
Ia berdiri ingin meninggalkan rumah itu. Tapi pada saat bersamaan terdengar derap langkah kaki puluhan orang mendekat. Semakin dekat. Ia menggigil merapat tembok. Ia tahu siapa pemilik derap langkah kaki itu. Dan telinganya masih cukup jernih untuk menangkap percakapan-percakapan itu.
“Kemarin ia masuk ke dalam rumah ini. Menurut Sertu Tumijo dan Serka Ngadirin sampai pagi ini belum keluar.”
“Belum keluar?”
“Ya. Mungkin tertidur di dalam. Atau…”
“Kenapa ?”
“Mungkin ia sekarat atau malah sudah mati. Sebab Lettu Koprik sangat yakin bahwa ayunan tongkatnya masih cukup keras meski sudah tiga bulan tidak bertugas karena indisipliner; mengganggu istri orang. Hanya Lettu Koprik kurang begitu yakin apakah ia yang masuk ke dalam rumah ini.”
“Apakah ia membawa kamera?”
“Tidak hanya kamera tapi juga tape kecil dan buku catatan.”
“Laki-laki?”
“Bukan. Perempuan.”
Ia gemetar mendengar percakapan itu. Mendadak wajahnya pucat seperti mayat. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Lututnya bergetar bagai ada gempa. Langit runtuh menimpa kepalanya. Tanpa pikir panjang ia meraih tas ransel lalu lari lewat pintu belakang. Tapi sial, sebutir peluru lebih cepat melesat dari sebuah moncong senapan menembus tengkuknya. Tubuhnya terhempas menghantam tembok lalu roboh bersimbah darah…
***
“Mereka hanya berkumpul dan berdoa, tapi kenapa kalian pukul dan tembak? Mereka mengutuk segala macam bentuk terorisme sekaligus mengutuk segala macam bentuk penyerangan terhadap warga sipil yang tidak berdosa. Apa salahnya?” Tulisnya pada selembar kertas yang tercecer di jalan raya. “Sedang aku, kenapa terus kalian buru? Padahal aku cuma seorang wartawati bergaji rendah dari sebuah koran daerah yang ingin ikut andil mencatat sejarah…”
Seorang pemulung menemukan catatan itu. Mula-mula hanya ditumpuk bersama barang-barang rongsokan yang akan dijual ke tukang loak. Tapi beberapa hari kemudian entah kenapa tiba-tiba ia memendam hasrat ingin mengirimkan catatan yang sudah lusuh itu pada Ibu Presiden. Pemulung itu yakin Ibu Presiden dengan legawa pasti akan menerima dan membaca catatan itu sebagaimana dari dulu ia sangat yakin dengan pilihan tanda gambar untuk Ibu Presiden tercinta. Tetapi sebelumnya ia akan menjual barang-barang rongsokan lainnya terlebih dulu untuk beli prangko dan amplop.
Mudah-mudahan tidak lupa…
Kulonprogo, 2001-2002
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 26 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar