Danarto
http://www.jawapos.com/
Setiap tanggal 10 November kami berbondong datang dari berbagai kota untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan Surabaya di mana ”Bidadari November” kami kuburkan. Kami, berikut keluarga kami, berdoa penuh khidmat di kuburan seorang perempuan, pahlawan kami, yang sesungguhnya tak kami kenal yang kedudukannya sangat misterius sampai kami beranak-pinak di berbagai kota besar dan kecil di seantero pulau Nusantara ini.
Dewi ini, siapa pun dan apa pun namanya, tanpa sengaja atau disengaja, telah menyelamatkan nyawa kami, tujuh pejuang, yang sebenarnya tak cukup berjuang, punya banyak alasan untuk menghindar dari pertempuran karena tak punya peluru cukup, yang sesungguhnya tak punya keberanian cukup.
Hati orang siapa bisa menduga, bahkan Tuhan pun tidak (nah, ada gejala murtad). Tapi Tuhan tak bisa ditanya. Kita hanya bertatap wajah dengan diam. Ruang lengang, waktu pun beku. Tak bisa kita memaksa kalender bicara karena ia sudah banyak berujar tentang hari-hari penuh berkah atau penuh pertempuran, setahun lamanya. Hanya kita yang tak bisa menebak padahal seribu bahan dugaan dalam diri perempuan yang duduk di depan kami ini. Alangkah bodohnya kami ketika seorang di antara kami memaksanya mengaku: Kamu mata-mata musuh. Perempuan itu cuma diam bagai beban di pundaknya membenamkannya.
Memang banyak musuh kami: Jepang, Belanda, para pengkhianat, mata-mata, dan para komprador. Tapi kenapa perempuan di depan kami ini cuma diam saja? Dia tak membela diri? Apa dia stres? Apa dia pemberani? Apa dia menantang kami untuk menggunakan kekerasan?
Hari itu kami terjebak di dalam gedung-gedung yang sudah hangus terbakar di sekitar Jembatan Merah. Kami bertujuh: Jubair, Manua, Roy, Topo, Fadli, Nowo, dan saya, Gowo. Dengan empat bedil, tiga pistol, sebelas peluru, dan perut kosong, kami tak bisa lari karena kami sudah terkepung hampir tiga hari.
Kenapa Belanda-Belanda itu tak mau menyerbu kami? Seandainya mereka merangsek masuk, pasti kami keok. Apa mereka mau menyiksa kami dengan mati kelaparan?
Jangan-jangan perempuan ini hantu, begitu akhirnya pikiran kami menabrak jalan buntu. Ketika kami tak bisa ke mana-mana, perempuan itu begitu saja teronggok di ruangan, duduk diam mematung. Perempuan yang elok. Perempuan yang tak pernah tersentuh debu pertempuran. Perempuan yang selalu tersimpan di dalam kamar yang wangi. Kelihatannya begitu.
Kami bertujuh duduk di lantai mengelilingi perempuan itu. Sekali-kali Roy atau Nowo menjenguk lewat jendela menyigi tentara Belanda yang bersiaga di bawah dengan persenjataan lengkap. Juga panser.
”Kalau kamu bukan mata-mata, apa kamu bidadari?” tanya Jubair yang membuat kami tertawa.
”Baiklah,” kata Manua, ”Kamu pasti dewi yang diutus para dewa untuk menguji kami.” Ah, omongan yang bertele-tele.
”Perempuan yang bikin lapar,” kata Topo yang membuat kami tak bisa menahan tertawa.
Tentu saja ketawa kami cekikikan saja. Kalau ketawa kami keras pasti kedengaran Belanda-Belanda yang di bawah itu. Betul-betul biadab, mereka mau menghukum kami dengan kelaparan. Mereka sangka kami akan menyerah karena lapar, betul-betul Londo-Londo itu minta ditempeleng. Nanti dulu. Tapi perempuan ini siapa? Jangan-jangan sundelbolong. Ah, si sontoloyo Roy selalu omongannya soal hantu melulu. Sedikit-sedikit gendruwo. Sedikit-sedikit wewegombel.
Tampang Roy sih persis Londo Didong. Tubuh jangkung, hidung mancung, kulit kurang garam alias albion, cerdas, kritis, ilmiah, pemberani. Tapi, minta ampun Kanjeng Nabi, otak demitnya ngudubilah, gendruwo melulu yang berjubel uyel-uyel di benaknya.
Pernah, pada suatu malam dalam sebuah pertempuran di hutan Mojokerto, Roy lari terbirit-birit dari rerimbun semak hanya karena merasa dipeluk kuntilanak. Ia marah ketika kami semua terbahak-bahak yang mengakibatkan Belanda mengetahui posisi kami dan menghujani kami dengan rentetan tembakan beruntun. Alhamdulillah, tidak ada yang gugur dalam pertempuran itu.
Pernah pula Roy kami hukum karena dalam pertempuran malam selalu bikin ribut. Kami semua marah lalu memerintahkan Roy sendirian untuk menyerbu sebuah kubu pertahanan darurat Belanda di kawasan Sidoarjo. Sedikit pun ia tidak takut. Malah ia sombong mempertontonkan keberaniannya. Kubu pertahanan Belanda itu ia obrak-abrik yang membikin Londo-Londo itu kalang-kabut dikiranya diserbu besar-besaran. Roy kembali dengan rampasan dua pucuk bedil dan satu pistol.
Lucunya, Roy suka bertempur di malam Jumat di mana menurut pikiran klenik kami dan sudah menjadi keyakinan masyarakat Jawa, di malam itu segala macam hantu bergentayangan. Roy punya seribu alasan untuk keluar di malam Jumat meski kami malas-malasan. Ada saja alasannya. Katanya, bertempur di malam Jumat itu penuh berkah. Bahkan ia berani pergi sendirian tapi ujung-ujungnya ia kembali lari tunggang-langgang karena merasa dihadang banaspati.
Lalu kami mengambil kesimpulan, meski ketakutan tapi Roy sebenarnya kasmaran sama hantu sampai ingin bertemu dengan lelembut itu setiap saat. Ha ha, Roy sungguh menjadi hiburan kami sehingga kami semakin sayang kepadanya.
Nah, sampai dengan munculnya sang bidadari di ruang menemani kami saat ini, Roy merasa dikabulkan doanya. Ia berjalan mengelilinginya menatap dengan takjub si ayu. Tentu saja kami tak membiarkannya memonopoli Venus itu sendirian. Mungkin karena perempuan ini cantik dan menggiurkan sehingga kami tidak rela kalau cuma Roy yang mengaguminya.
Dalam keadaan ketakutan, kami memujanya. Di saat maut begitu mendekat dalam kepungan pasukan Belanda, kami rela jatuh cinta kepada Afrodit ini. Ya, apa boleh buat.
Pada malam kelima pengepungan itu, kami semua jatuh tertidur karena kelaparan. Nowo dan Jubair yang kami tugaskan berjaga, tak sanggup mengganjal pelupuk matanya. Ketika kokok jago subuh membangunkan kami, tergagap kami karena sang bidadari lenyap. Kami memarahi Nowo dan Jubair karena kelengahannya berarti maut bagi kami.
”Kamu berdua harus dijatuhi hukuman mati,” kata Topo sambil menunjuk dada Nowo dan Jubair. ”Tapi baiklah, kami nggak mau kalah sama Lincoln, kami penuh belas kasih pada kamu berdua.”
”Bangsat!” maki Nowo dan Jubair bersamaan.
Saya tertawa. Sadar, kami ini gerombolan anak-anak muda, sekitar 19 dan 23 tahun, yang bertempur karena tak ada jalan lain, juga rasa malu pada para orang tua yang gigih berjuang melawan penjajah.
”He, lihat,” teriak Roy sambil melongok keluar jendela.
”Alhamdulillah,” desah Fadli setelah ikut menjenguk ke bawah.
Lalu kami ikut melihat ke bawah. Pasukan Belanda yang mengepung kami telah pergi. Bagaimana mungkin, kami yang sudah sekarat kelaparan ini sebenarnya sangat mudah digebuk, kok malah ditinggal pergi.
Satu, dua, tiga hari kemudian, ketika menyamar ke kota, saya dan Fadli melihat kerumunan orang di Jembatan Merah. Makin lama makin banyak orang berdatangan di jembatan itu.
Beberapa orang tampak sibuk di bawah jembatan. Ingin melihat apa yang dilakukan orang-orang itu, saya dan Fadli ikut turun ke bawah jembatan.
”Masya Allah,” teriak Fadli sambil menyibak orang-orang itu.
Saya terkesiap sesaat tak bisa bernapas ketika melihat perempuan yang tergeletak di tepi sungai itu. ”Bidadari kami” tewas dengan dada kirinya bersimbah darah. Secepatnya saya dan Fadli membopongnya pergi. Kami harus berlari kilat membopong jenazah batari menyusuri gang demi gang, jangan sampai terlihat serdadu Belanda. Di ruang yang hangus, kami baringkan ”dewi kami”. Fadli berlari menghubungi teman-teman sedang saya terduduk menatap ”bidadari penyelamat” yang telah jadi mayat yang dengan ikhlas mengorbankan nyawanya untuk keselamatan kami. Air mata saya deras berlelehan mencoba memahami cerita singkat yang menggores sejarah perjuangan kami, anak-anak muda yang tak tahu apa-apa.
Atas kesepakatan bersama, kami menguburkan ”Bidadari November” kami di Taman Makam Pahlawan pada malam hari. Di sebuah pojok tanah yang sedikit tak kami harapkan terlihat, dengan cekatan kami menggali dan memasukkan jenazahnya dan menimbuninya kembali, sementara Roy meraung dengan memukuli tanah di sisi kuburnya sambil mengaduh-aduh. Sambil berdoa sekenanya kami semua menangis tersedu-sedu sampai subuh. (*)
Tangerang, 10 Oktober 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 16 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar