Selasa, 24 Agustus 2010

Kejahatan Perdata “Jejak Tanah”

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Cerpen Jejak Tanah karya Danarto adalah Cerpen Pilihan Kompas 2002 yang di dalamnya terdapat suatu tindak kejahatan perdata. Yaitu permasalahan tentang jual beli, tindak perdata yang mana menunjukkan suatu penyimpangan dalam jual beli tanah. Penggusuran para pemilik tanah yang tidak rela apabila para pemilik tanah harus meninggalkan rumah mereka. Jejak Tanah karya Danarto di dalamnya merepresentasikan kasus jual-beli yang tanpa ada kesepakatan antara penjual dan pembeli, yang dapat dikatakan sebagai bagian dari kasus penggusuran (perampasan) tanah.

Tidak adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli yang termuat di dalam Jejak Tanah terdeteksi di dalam bagian: “… merasa tanah pemukiman itu miliknya dengan memperlihatkan surat-surat kepemilikan, mereka gigih mempertahankannya meski ayah sudah memperlihatkan surat pembebasan yang sah. Beberapa kali diadakan pertemuan dengan jumlah uang pembebasan yang dirasa pantas, mereka tetap menolak untuk pindah. Alasan mereka, di tanah itu, keluarga mereka berkembang, termasuk lahan pencarian nafkah dan lahan pendidikan anak mereka. Kata mereka, memaksa pergi mereka sama dengan membunuh mereka … (Jejak Tanah, halaman 3).”

Fenomena di atas dapat dilihat sebagai tindak kejahatan perdata, dimana menurut KUHPerd, pasal 1457 dinyatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar yang telah dijanjikan. Dalam suatu kegiatan jual-beli, harus terdapat kesepakatan antara penjual dan pembeli. Apabila tidak ada suatu kesepakatan dan salah satu pihak memaksakan kehendaknya maka akan terjadi pelanggaran perdata dan apabila pemaksaan tersebut mengakibatkan penderitaan maka pelanggaran perdata akan menjadi tindak kejahatan pidana.

Tema penggusuran menjadi pokok pembahasan yang utama dalam cerpen Jejak Tanah karya Danarto ini. Apabila proses penggusuran tidak melalui proses hukum yang benar, maka kegiatan penggusuran ini sebagai tindak kejahatan perdata, yaitu pelanggaran hak milik. Pelanggaran hak milik dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Ayah nakmas tidak membeli semua tanah yang di bebaskan, tapi menyengsarakan tanah.” (Jejak Tanah, halaman 5) yang mengungkapkan bagaimana tokoh pengembang baik secara sengaja maupun tidak sengaja telah melanggar KUHPerd pasal 570 yang secara hukum menjamin hak milik perseorangan pada suatu barang atau jasa, bahwa negara menjamin hak seseorang untuk memiliki dan menikmati suatu kebendaaan dan boleh dinikmati sepuasnya selama tidak melanggar Undang Undang, dan seseorang tidak boleh mengganggu hak milik orang lainnya. Hal ini berarti bahwa penggusuran merupakan suatu tindak kejahatan perdata yang mana telah melanggar KHUPerd tentang hak milik seseorang.

Kejahatan semacam ini, bukan sebagai bentuk kejahatan yang jarang terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia. Perampasan hak orang lain melalui jual-beli yang tidak sehat yang secara tidak langsung juga berkaitan erat dengan perampasan hak milik orang lain (baca: penggusuran). Penggusuran rumah-rumah warga di Jakarta oleh pemerintah daerah khusus Jakarta menjadi pemandangan sehari-hari sepanjang 2003. Kasus penggusuran terhadap warga Jakarta sudah mencapai 14 kasus di tahun 2003, yaitu mulai dari warga Jembatan Besi, Kampung Catering, Cengkareng, Kali Adem, hingga Tegal Alur dan Pedongkelan.

Kasus penggusuran mengakibatkan sedikitnya 6.960 keluarga kehilangan tempat tinggal. Jika satu keluarga diasumsikan terhadap empat hingga lima anggota keluarga, bisa dibayangkan sudah lebih dari 27.840 jiwa yang kehilangan tempat tinggal. Pasca-Lebaran penggusuran terjadi lagi jumlahnya mencapai lebih dari 5.000 keluarga, termasuk mereka yang tinggal di kolong tol dan flyover, dengan demikian tidak kurang dari 50.000 jiwa kehilangan tempat tinggal. Bila masing-masing keluarga membangun rumah rata-rata senilai Rp. 8 juta, tidak kurang dari Rp. 95,7 miliar uang milik warga yang terampas. Sepanjang tahun 2004, pemerintah daerah Jakarta memiliki rencana untuk menggusur 50 ribu kepala keluarga di sejumlah lokasi. Terutama penghuni pemukiman liar di bawah jalan tol.

Dari kegiatan penggusuran secara tidak langsung telah terjadi suatu tindakan perampasan hak orang lain. Hal ini dikatakan sebagai suatu tindak kejahatan karena penggusuran merupakan pelanggaran UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Dalam Undang undang tersebut dinyatakan dalam pasal 27 (1) bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah Negara RI, dan pasal 36 (2) bahwa tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1969, ada hak warga tergusur yang harus dipenuhi pemerintah, diantaranya pemberian penggantian yang layak, dan menikmati penambahan nilai dari kegiatan penggusuran tersebut.

Hal ini tidak sesuai dengan instrumen hukum internasional. Bahwa, masyarakat miskin kota dilindungi oleh instrumen hukum internasional yang dikeluarkan PBB melalui lembar fakta 21 tentang HAM untuk tempat tinggal serta Deklarasi Pemajuan Pembangunan Sosial 1969 merumuskan bahwa setiap orang berhak atas perumahan yang layak. Kepedulian ini selanjutnya dipertegas oleh Pusat Pemukiman (Habitat) PBB pada 1976 dengan mendeklarasikan Deklarasi Vancouver tentang Pemukiman Manusia.

Langkah ini dilanjutkan dengan deklarasi kepedulian internasional untuk menyediakan tempat tinggal bagi orang yang tidak memiliki rumah pada 1987. selanjutnya secara simultan PBB mengkongkritkan kepeduliannya tentang perumahan bagi kaum miskin. Melalui Konfrensi habitat II 1996 PBB mengajak semua anggotanya untuk melakukan langkah guna memenuhi kewajiban menyediakan pemukiman yang layak bagi warga negaranya. Pada tahun 2000 melalui Majelis Umum PBB mengeluarkan ketentuan tentang strategi Global untuk pemukiman.

Konflik permasalahan tanah yang saat ini tengah berlangsung adalah konflik antara warga tiga desa dari kecamatan Talo Kecil, Desa Pering Baru, Taba dan Tebat Kibun. Ditambah Desa Padang Kelapo Kecamatan Semidang Alas Maras (SAM) Kabupaten Bengkulu. Penggusuran dilakukan oleh PTPN VII melakukan penggusuran lahan inti untuk peremajaan. Demi agenda peremajaan ini, PTPN VII berencana mengambil secara paksa lahan perkebunan milik warga di Desa Pering Baru seluas 518 ha pada 5 April 2010. Masalah penggusuran ini telah menimbulkan konflik lahan sejak tahun 1985 dimana warga dipaksa menyerahkan lahan seluas 1.000 ha kepada PTPN VII untuk perkebunan sawit.

Cerpen Jejak Tanah karya Danarto merepresentasikan kejahatan di dalam kehidupan realitas, yang mana berkenaan dengan masalah pertanahan. Melalui cerpen Jejak Tanah ini, masyarakat pembaca diajak untuk melihat kondisi real dari kasus-kasus penggusuran dan (diharapkan) dapat menumbuhkan perenungan agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi, karena siapa saja yang melakukan kejahatan karena tanah, Danarto berpesan “Bumi menolak jenazah ayah Nakmas,” (Jejak Tanah, 2002: 5).

Bantul – Studio Semangat Desa Sejahtera, 01 Agustus 2010.

Pameran Makam

A Rodhi Murtadho
http://www.sastra-indonesia.com/

Gundukan tanah. Nisan berjajar rapi menghadap arah yang sama. Kematian. Banyak orang tenggelam dalam tanah. Terbujur kaku. Entah hancur atau entah masih utuh tubuhnya. Yang pasti makhluk dalam tanah bersama mereka. Pengurai menguraikan jasad berkeping-keping. Menghancurkan tulang sampai tak ada beda dengan tanah. Sama. Layaknya humus yang terbentuk dari daun dan kotoran. Jasad manusia juga menjadi penyubur tanah. Tak heran kalau tumbuhan di tanah kuburan gemuk-gemuk dan subur.

Pandangan mata Beni semakin memfokus. Pertanda ia memikirkan sesuatu atau mungkin hanya menghayal. Tapi pandangannya tertuju pada tanah kuburan. Entah apa yang dipikirkannya.

“Pameran makam!” terceletuk lembut dari bibir Beni.

Kontan aku merasa kaget. Pikiranku mulai melayang ke mana-mana. Bahkan sempat singgah di rumah sakit jiwa. Berjalan di trotoar dan tertawa sendiri. Terdiam dalam ruang sepi dan terpasung.

“Gila kau Ben, mana ada pameran makam,” sanggahku.
“Coba kau pikirkan Bud, sebuah pameran makam terangker di kota metropolitan.”
“Memangnya mengapa, Ben?” semakin penasarann aku dibuatnya.

“Di tengah gemerlap kota metropolitan, orang mencari harta, ketenaran, kekayaan, kesenangan. Dan begini, Bud, pameran ini akan banyak dihadiri kalangan artis, orang kaya, orang miskin, bahkan kalangan pendatang dari daerah. Dengan harapan, mereka akan mendapatkan keinginan-keinginannya hanya dengan menghadiri pameran ini.”

Semakin heran aku dibuatnya. Bisa-bisanya Beni berpikir macam itu. Entah setan apa yang merasuki pikirannya. Ia kukenal alim. Setiap kali aku pulang kampung dengannya, ia selalu berziarah ke makam keluarga.

Di seberang jalan kompleks makam yang tak lepas dari pandangan mata Beni, di sebuah warung peyot pinggir jalan, aku dan Beni terus nyeruput kopi dan menghisap rokok kretek. Semakin pekat gelap malam. Semakin luas kesunyian. Semakin fokus pandangan mata Beni pada kompleks makam.

“Kok bisa, padahal kau lihat sendiri. Angker, sunyi, gelap, dan serba tak enak suasana di makam,” aku berusaha menyadarkannya.

“Benar sekali, itu modal kita. Dengan keadaan angker, orang akan mentuankan kompleks makam itu. Dengan petunjuk kita, akan banyak orang berdoa di sana. Dengan keadaan sunyi, orang akan bebas mengucapkan doanya. Dengan keadaan gelap, orang tak perlu malu berada di sana. Dengan keadaan serba tak enak akan buat wartawan enggan masuk ke sana. Jadi, orang tak perlu takut wajahnya akan diekspose ke media massa. Dan semua ketenangan itu menjadi fasilitas agar harapan dan keinginan mereka terkabul.”

Gila! Pikiranku semakin melayang jauh menerawang dan terbang mengembara. Semakin jelas tawa Beni di rumah sakit jiwa. Semakin jelas wajah kucel, pakaian compang-camping, bicara sendiri di trotoar. Semakin jelas diri Beni berada dalam ruang sepi. Terpasung dan sendiri.

Aku tertawa dan cekikikan. Hal inilah yangg membuat Beni merasa tak nyaman. Sebagai sahabat kental, ia berusaha meyakinkanku, megutarakan penjelasan dan alasan yang bertele-tele layaknya orang pemerintahan. Tak biasanya ia bisa berkata lancar. Seperti guru saja.

“Sudah malam Ben. Ayo pulang. Besok kerja,” ajakku.
“Kau pulang duluan. Mungkin aku agak lama di sini.”

Beni memang terlahir dari keluarga sederhana. Namun kebutuhannya tercukupi dengan baik. Hanya kemewahan saja yang tak ia rasakan ketika berada di desa. Sama seperti aku. Mungkin hal ini yang membuat kami akrab. Tapi entahlah, Beni banyak berubah di kota ini. Terutama pola pikirnya.

Semenjak kami bekerja di kota. Kami terpaksa melakoni kerja yang berat. Pabrik kayu. Pekerjaan yang banyak mengandalkan otot dan menguras tenaga. Apalagi kami buruh tidak tetap. Semua itu terpaksa kami jalani untuk menghindar dari gunjingan warga desa. Mereka selalu mengatakan pemuda yang tidak bekerja ke kota akan dicap sebagai penganggur, sampah masyarakat. Lebih parah lagi, mereka akan menjauhkan anak gadisnya dari pemuda semacam itu.

“Memangnya kau akan bertekad membuat dan mewujudkan pameran makam itu, Ben?”
“Ya!”

Tekad Beni memang kuat. Kami pergi ke kota metropolis ini dan bekerja di pabrik memang bermula dari tekad dan ajakan Beni. Sungguh luar biasa. Aku merasakan semangatnya yang membara jika keinginan sudah dikatakannya.

“Sudahlah Ben, ayo pulang!” ajakku pelan.
“Tidak. Saya tetap di sini dan esok atau lusa pameran itu akan terselenggara.”
“Memangnya apa yang akan kau lakukan?”

“Seperti mengadakan pameran yang telah aku pelajari di Karang Taruna Desa. Pertama, aku akan mencari kuburan yang sangat angker, terus mempublikasikan, terus semua orang bisa datang. Tanpa aku menghias atau merapikan makam. Otomatis tak butuh modal banyak. Kau mau ikut atau tidak? Keuntungan bisa kita bagi dua.”

Tawaran yang sangat menggiurkan, membuat aku berpikir dua kali. Kegilaan dan memikirkan keuntungan. Namun, yang terpikirkan oleh buruh yang upahnya sangat kecil hanya kenekatan. Menggiring aku menaklukkan pikiran gila dan meninggikan keuntungan.

“Lantas apa yang harus aku lakukan Ben?”

“Kau tak usah berbuat apa-apa, hanya membantu aku ketika pameran nanti. Sekarang, pulanglah dan besok bekerja. Aku tidak masuk kerja besok.”

“Kalau begitu saya pulang, Ben.”

Aku melangkahkan kaki menyusuri trotoar dengan memikirkan keuntungan yang nanti bakal kuraih bersama Beni. Kemewahan dan harta yang melimpah. Spontan aku tertawa. Lampu kerlap-kerlip di simpang jalan membentuk tulisan ‘Rumah Sakit Jiwa’, menarik perhatian pandangan mataku. Kulihat diriku dan Beni berada di sana. Di antara kaca yang terpampang besar di depannya. Sampai aku di kamar kos. Sendiri tanpa Beni. Sunyi di antara gelap malam. Pun aku tertawa sendirian memikirkan kegilan Beni. Sungguh nekad. Kok bisa-bisanya.

Seminggu berlalu. Tak ada kabar dari Beni. Aku terus menantinya pulang ke kos. Rutinitas yang kujalani tetap sama. Berjalan ke Pabrik untuk bekerja, pulang ke Kos untuk istrirahat, dan cangkruk di warung untuk makan, sekadar nyruput kopi, dan menghisap rokok kretek.

Banyak kudengar dari radio dan cerita kawan-kawanku, selain dari surat kabar lokal yang tersedia di warung, banyak pejabat pemerintah yang hilang. Banyak aktivis yang hilang. Banyak orang hilang. Entah minggat atau diculik. Tak ada kejelasan sama sekali. Hanya mengabarkan hilang. Kota semakin gempar dan dicekam ketakutan. Mereka menandai diri. Memasang semacam alat pelacak di tubuh. Mereka ingin mudah ditemukan kalau diri mereka sewaktu-waktu hilang.

Hari ini kulakukan aktivitas seperti biasa. Ke pabrik, pulang ke kos dan nongkrong di warung. Seperti biasa pula, kuserubut kopi dan kuhisap rokok kretek sendiri, tanpa Beni. Kubolak-balik koran yang acak-acakan. Aku heran dengan berita tentang makam baru tetapi nisannya tak bernama. Kubaca pelan-pelan. Ternyata orang itu ditemukan sudah menjadi mayat di kompleks makam para pejabat. Konon kabarnya, para pejabat yang dikubur di kompleks makam itu adalah tukang-tukang korupsi. Orang itu mati dengan telanjang bulat, kepala hancur, tubuh penuh luka, dan sangat sulit dikenali. Tak ada tanda pengenal atau alat pelacak untuk menunjukkan identitasnya. Banyak orang mengira-ngira bahwa orang itu adalah keluarga mereka, teman, atau musuh yang hilang. Mayat itu terpaksa cepat-cepat dikubur karena banyak sekali orang yang mengaku sebagai keluarga atau temannya. Daripada berebut, lebih enak dikubur.

Sungguh aneh berita yang aku baca. Tapi tunggu dulu, kompleks itu berada tepat di tengah kota. Tak jauh dari tempatku duduk kini. Mungkin hanya berjarak dua kilometer. Dan itu terjadi kemarin ketika aku sedang berada di pabrik. Aku teringat kembali pada Beni. Di mana sekarang dia? Sudahkah menemukan makam yang tepat untuk dijadikan pameran. Mungkin kompleks makam tersebut menjadi tempat yang strategis. Tetapi sekarang sudah terlalu ramai dikunjungi dan diberitakan wartawan.

Aku melanjutkan membaca koran yang masih ada di tangan. Diberitakan kalau pemilik warung dekat dengan kompleks makam tempat kejadian perkara sempat ngorol dengan orang itu sebelum meninggal ketika pemilik warung ditanya wartawan. Orang yang mati itu pernah ngopi di warungnya. Pemilik warung juga mengatakan bahwa orang itu akan mengadakan pameran dekat makam karena tema yang diangkat sesuai dengan keadaan makam. Angker, sunyi, misteri dibalik tubuh hancur karena banyak dosa.

“Benar Mas, konon pejabat-pejabat yang dikubur di sana banyak melakukan korupsi. Kalau diberitakan antar mulut saja atau di koran, Mas bisa terkenal,” pemilik warung mengulang perkataannya untuk orang tersebut kepada wartawan, “tetapi orang itu pergi dengan tersenyum setelah ia membayar kopi dan rokok kreteknya,” pemilik warung melanjutkan ceritanya.

Dikabarkan juga, pemakaman orang tanpa identitas dihadiri para pejabat, mahasiswa, dan banyak orang yang mengaku punya hubungan dengan orang tersebut. Nisan tanpa nama itu disepakati karena banyak orang yang berebut ingin nama anggota keluarga atau teman mereka yang hilang terukir di sana. Dikabarkan pula, sampai hari ini pun, masih banyak orang yang berdoa menziarahi kompleks makam pejabat kota di makam yang bernisan tanpa nama.

Aku bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah itu Beni sahabatku? Melakukan pameran makam di kompleks makam tengah kota. Mengapa mesti dirinya sendiri yang dipamerkan?

Surabaya, 18 November 2005 (01:42)

Ludruk dan Pungli Polisi

Fahrudin Nasrulloh
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Sebagai bagian dari beragam jenis bentuk kesenian yang bercokol kuat di wilayah Jawa Timur, ludruk merupakan kesenian yang melibatkan banyak anggota, sekitra 50-an lebih, di mana untuk konteks sekarang ketika tuntutan hidup dan pragmatisme semakin memepet eksistensi seniman dan imbasnya kreativitas mereka dalam berkesenian mengalami ketidakmenentuan. Belum lagi problem eksternal yang menggandoli ludruk tidak bisa disepelekan begitu saja. Salah satunya adalah perkara perizinan ke pihak aparatur Negara dan lebih khusus pada pihak kepolisian kala tanggapan ludruk digelar.

Pungutan liar? Saya sebut demikian, sebab entah hal itu sudah ada aturannya atau tidak, sungguh telah menjadi momok bagi grup ludruk dan apresiannya yang ingin menanggap ludruk. Kenyataan tersebut sudah sejak lama terjadi dalam hal ihwal perizinan yang dikelola secara terselubung. Alibi yang paling menohok adalah demi keamanan. Keamanan yang dijabar-tafsirkan bahwa setiap kegiatan yang melibatkan banyak orang dan mengundang kerumunan yang tidak terduga jumlahnya dan kemungkinan ekses yang diakibatkannya menjadi alasan yang sukar dibantahkan. Di situlah perizinan tanggapan ludruk prakteknya sangat memberatkan. Sebuah grup ludruk ketika ditanggap oleh si penanggap, maka ia akan diperhadapkan pada sederetan perizinan yang harus dipenuhi. Persyaratan-persyaratan secara administratif menjadi perkara dan keruwetan yang kadangkala dibuat-buat seolah jadi problem serius. Semisal apakah grup ludruk yang ditanggap itu memiliki izin usaha atau telah tercatat nomor induknya di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di daerahnya secara legal formal.

Memang pihak si penanggap yang menanggung beban semua ongkos atau pungli itu. Kita dapat memerinci bentuk pungutan tersebut: 25 ribu izin ke kelurahan, 25 ribu izin ke kecamatan, 25 ribu izin ke koramil, 25 ribu izin ke polsek. Kemudian ketika acara tanggapan ludruk berlangsung, dari pihak kepolisian akan mendatangkan personilnya demi keamanan sebanyak kira-kira 4 sampai 5 polisi. Masing-masing polisi ini akan meminta “pajak keamanan” atau “pajak gelap” kepada si penanggap. Besarnya 50 ribu untuk satu orang polisi. Demikian pula dari pihak koramil. Demikian pula dari pihak polsek. Demikian pula dari pihak satpol PP. Kesemuanya itu tergabung dalam satuan keamanan yang disebut PAM (Polisi Amanat Masyarakat). Kita bisa menghitung sendiri “total jendral” ongkos yang bakal dikeluarkan si penanggap. Tentu dengan catatan bahwa di setiap wilayah tanggapannya pun berbeda-beda pungutan gelapnya.

Dari sekian amatan saya di wilayah Jombang dan Mojokerto, si penanggap ludruk akan menanggung keseluruhan pungutan gelap itu antara 750 ribu sampai 1,5 juta. Belum lagi yang sifatnya khusus, misalnya jika sebuah grup ludruk menghadirkan bintang tamu kesohor, katakanlah Kartolo atau Kirun, maka khusus untuk memajaki si pelawak tersebut akan dipungut sekitar 500-an ribu. Angka ini juga bermacam-macam di saban wilayah yang berbeda, tergantung sejauh mana potensi masyarakat yang menonton atau potensi kemungkinan kerusuhan jika itu memang sering terjadi di daerah tertentu. Si penanggap kadang berembuk dulu dengan pimpinan ludruk soal pungli ini. Tak jarang pihak ludruk akan ikut membantu atau dipaksa patungan beberapa persen, seringkali 30 persen, untuk menambahi beban pungli tersebut, jika tidak si penanggap ada kemungkinan akan membatalkan tanggapan.

Biaya tanggapan ludruk sekarang bervariasi ongkosnya. Dan tiap grup ludruk punya patokan harga masing-masing. Umumnya paling minim 5 juta, hingga belasan juta. Patokan ini diperhitungkan atas perkiraan jarak tempuh di mana grup ludruk bermarkas dan di wilayah mana si penanggap tinggal. Lalu jumlah personil yang bebannya menjadi perhitungan tersendiri bagi pimpinan ludruk. Kemudian jenis panggung yang digunakan, memakai panggung biasa seperti panggung orkes dangdut ataukah dalam bentuk tobong (panggung lengkap dengan layar yang berlapis-lapis dan diorama khusus) juga sound systemnya. Misalnya ludruk Jombang, ketika yang nanggap masih di wilayah Jombang, ia akan memasang harga sekitar 7 sampai 8 juta. Jika di luar Jombang, maka bisa molor harganya. Biaya tanggapan dari luar kota biasanya si penanggap akan dimintai tambahan 2 juta sampai 2,5 juta.

Persoalan ludruk sebagai kesenian dengan sendirinya mengalami perubahan yang siknifikan dengan hiburan modern dan derasnya pengaruh televisi. Masyarakat jadi enggan menanggap ludruk apabila biaya yang dikeluarkan sebesar yang digambarkan di atas. Biaya 15 juta sampai 20-an juta setidaknya membayang-bayangi mereka. Grup ludruk juga dihantui pungli tersebut. Hal mendasar yang dipahami masyarakat adalah bahwa segala apa yang dijalankan polisi merupakan suatu tanggung jawab pengabdian kepada warga dan karena itu mereka digaji oleh Negara. Kita membutuhkan kejelasan dan transparansi dari pihak pemerintah, lebih khusus pemerintah daerah untuk merembukkan persoalan ini. Melalui DPRD misalnya. Upaya menjembatani dan mencari solusi dengan mempertemukan kaum seniman ludruk dengan instansi pemerintah sehingga dihasilkan suatu peraturan yang sama-sama dimengerti dan tidak merugikan seniman ludruk dan masyarakat.

Konflik Ideologi Agama dan Politik dalam Novel Teguh Winarsho

Yosi M Giri*
http://www.kompas.com/

Jika Solzhenitsyn–melalui karya-karyanya–menyuguhkan gambaran perubahan sosial (baca: masyarakat) di bawah cita-cita komunisme di Rusia sebagai sebuah penolakan terhadap gagasan historical optimism, maka seorang Prameodya Ananta Toer (Pendekar Pulau Buru) justru menyajikan historical truth, melalui Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa yang menggambarkan masyarakat dalam kurun sejarah tertentu beserta perubahan-perubahan sosialnya.

Masing-masing pengarang tentu saja memiliki kebebasan dalam memformulasikan masa lampau melalui karyanya untuk menolak atau justru mendukung gambaran sejarah yang telah mapan. Lalu bagaimana dengan pernyataan Kuntowijoyo tentang tidak adanya karya sastra Indonesia yang merupakan kritik sosial yang mampu membentuk public opinion masyarakatnya?

Pernyataan Kuntowijoyo itu dapat dimaklumi, karena pengarang-pengarang yang hidup pascarevolusi, terutama sejak munculnya Orde Baru, mereka mengalami tekanan (untuk tidak menyebut phobia) oleh sebab praktik politik ‘bumi-hangus’ terhadap lawan-lawan atau orang-orang yang berseberangan dengannya, termasuk karya-karya yang berisi kritikan terhadap kepincangan pemerintah.

Berkaitan dengan novel sejarah di Indonesia pernah muncul kasus sastra realis, terutama realisme-sosial yang diusung Pramoedya Ananta Toer. Perdebatan antara para kritikus sastra Indonesia, seperti H.B. Jassin, Arief Budiman, dan Goenawan Mohamad menyuarakan genre realisme-sosial yang mewarnai karya-karya Pram sebagai karya yang tidak memenuhi ketentuan seni dan sastra.

Terlepas dari berbagai polemik yang pernah mengegerkan jagad sastra Indonesia di era 60-an tersebut, agaknya ‘angin segar’ bagi pengarang-pengarang kritis pun muncul pasca reformasi ’98. Barangkali Teguh Winarsho AS adalah salah satu pengarang yang berani menggambarkan sebuah masyarakat serta problematikanya dengan mengambil latar peristiwa seputar ‘Lubang Buaya’.

I
Novel Kantring Genjer-Genjer karya Teguh Winarsho AS setebal 120 halaman dengan label ‘dari kitab kuning sampai komunis’ dapat kita letakkan dalam deretan novel sejarah yang tipikalisasinya dapat dirunut dalam realitas sosial maupun sejarah Indonesia, konflik antar kelompok sosial. Dalam novel tersebut, konflik yang paling dominan adalah konflik agama dan konflik politik. Konflik-konflik tersebut berakar pada perbedaan ideologi kelompok sosial.

Jika Ranggawarsita melalui Serat Kalatidha-nya menggambarkan kondisi masyarakat sebagai akibat dari transformasi sosial-budaya, barangkali Teguh Winarsho AS justru mengungkapkan reaksi masyarakat terhadap transformasi sosial-budaya yang mengakar.

Novel Kantring Genjer-Genjer yang terbagi atas tujuh bab yang dijalin berdasarkan pengalaman tokoh ‘Aku’ dan cerita yang didengarnya dari seorang laki-laki tua pengangkut batu sungai yang dijumpainya sewaktu kembali ke dusun Panjen. Keseluruhan cerita dalam novel tersebut merupakan laporan tokoh ‘Aku’ kepada tokoh Kantring, ibunya yang telah meninggal.

Pada bab I sampai IV ini bercerita tentang pertentangan antara kelompok Sadikin dan Ki Sangir yang secara tipikal merupakan kelompok Abangan sebagai gerakan yang berusaha menyuburkan budaya spiritual di Jawa dengan kelompok Kyai Barwani yang merupakan tipikal dari kelompok Santri.

II
Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Konflik terjadi karena dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan. Setiap kepentingan tentu saja tidak lepas dari ideologi masing-masing kelompok sebagai pondasinya untuk mencapai sebuah kekuasaan. Dalam upaya merebut kekuasaan, seringkali agama, kepercayaan dan unsur kebudayaan dipergunakan untuk memperkuat ideologi.

Bagi Gramsci1, ideologi atau dunia gagasan berfungsi mengorganisasi massa manusia, menciptakan tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak. Dalam pengertian ini, Ideologi sebagai keyakinan yang diperjuangkan, menjadikan penganutnya rela berkorban demi perjuangan ideologinya. Oleh sebab itu ideologi dan konflik tidak akan mati sepanjang sejarah perkembangan masyarakat. Karena hakikatnya sejarah adalah sejarah konflik kepentingan kehidupan riil (kehidupan ekonomi) antara golongan penguasa dengan golongan yang dikuasai, kemudian berkembang menjadi konflik ideologi.

Konflik Ideologi Agama di Jawa: Padepokan Sadikin dan Pesantren Kyai Barnawi
Pertentangan antara kelompok keagamaan yang satu dengan kelompok keagamaan yang lain sering kali terjadi, karena masing-masing berusaha mempertahankan kemurnian ajaran yang diyakininya dan menolak ajaran lain. Pertentangan dalam KGG ini muncul saat kelompok masyarakat yang mencoba mempertahankan unsur-unsur kebudayaan Jawa dalam praktik keagamaan (Kejawen) dengan kelompok masyarakat yang memperjuangkan kemurnian ajaran Islam.

Ciri masyarakat Jawa pra dan pasca ekspansif Hindu-Budha menganut sistem animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Pandangan masyarakat yang antroposentris juga berpengaruh pada pola hubungan masyarakat, sistem ekonomi, serta politik. Padepokan Ki Sangir, selain untuk mendapatkan kekayaan, juga dalam upaya mensinkretiskan agama lama (kebudayaan Jawa yang dipengaruhi Hindu-Budha) dan agama baru (Islam).

Pendekatan Ki Sangir sebagai pimpinan padepokan yang meyakinkan masyarakat dusun Panjen, bahwa ilmu-ilmu yang diajarkannya itu atas izin Gusti Allah dan semua amalan dimulai dengan kalimat suci Laaillahaillalah (Tiada tuhan selain Allah) ini merupakan praktik politis yang memanfaatkan aspek agama (Islam) sebagai penguat dalam merebut hegemoni. Akan tetapi keyakinan itu tidak selalu berjalan harmonis dan stabil. Pada saat bersamaan dengan dominasinya dapat terjadi perlawanan yang berupa tindakan kolektif dari kelompok subordinat2.

Upaya Ki Sangir ini mendapat perlawanan dari Kyai Barnawi, pemimpin pesantren tua di dusun Panjen. Tokoh Kyai Barnawi sebagai tipikal kepemimpinan moral di dusun Panjen bisa dipastikan mengalami krisis otoritas karena 15 santrinya mengikuti ajaran Ki Sangir. Dengan demikian, hegemoni pesantren Kyai Barnawi atas masyarakat dusun Panjen pecah atas dominasi kelompok Sadikin yang telah berhasil merebut pengaruh masyarakat. Dalam situasi paling politis, Kyai Barnawi mengambil langkah-langkah perlawanan untuk menolak unsur-unsur ideologis yang datang dari kelompok Sadikin melalui doktrin sebagaimana kutipan berikut:

“Ajaran Sadikin dan Ki Sangir sesat! Najis! Gusti Allah pasti mengutuk mereka. Kalian jangan percaya ilmu yang bersumber dari kekuatan iblis dan setan. Hanya Al-qur’an satu-satunya pegangan hidup yang akan menyelamatkan nasib kalian. Mengerti?” ucap Kyai Barnawi tengah malam pada beberapa santrinya yang masih bertahan di surau yang hampir roboh. (Kantring Genjer-Genjer: 14).

Kaum santri ini berusaha untuk mengatur hidup menurut aturan-aturan agama Islam. Gagasan-gagasan pesantren Kyai Barnawi adalah menolak adat-istiadat Jawa dan menggantinya dengan adat-istiadat yang sesuai dengan hukum syariat Islam yang berkiblat pada negara-negara Arab.

Sementara kelompok Ki Sangir sebagai tipikal kaum abangan berusaha untuk tetap mempertahankan tradisi leluhurnya. Keagamaan masyarakat Kejawen ditentukan oleh kepercayaan pada berbagai macam roh yang tidak dapat dilihat, yang dapat menimbulkan kecelakaan dan penyakit apabila mereka dibuat marah atau kurang hati-hati. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat Jawa pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari pihak roh-roh nenek moyang yang, seperti Allah atau Tuhan, menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman3.

Untuk menandingi perlawanan Kyai Barnawi, Sangir menjalankan strategi politik yang tipikal dengan praktik politik raja-raja Jawa dalam mempertahankan sekaligus memperluas kekuasaan. Pada tahapan inilah folklor diciptakan yang meliputi sistem-sistem kepercayaan menyeluruh, tahyul-tahyul, opini-opini, cara-cara melihat tindakan dan segala sesuatu4.

Dengan diciptakannya tokoh mistik ‘Nyi Ratu Krasak’ oleh Ki Sangir secara mitologis, merupakan kekuatan antagonis yang sekaligus berfungsi sebagai kekuatan politis dalam merebut kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan Sangir. Masyarakat dusun Panjen percaya bahwa cerita tentang ‘Nyi Ratu Krasak’ penunggu sungai Krasak terus memakan korban masyarakat dusun Panjen yang sebagian besar merupakan pengangkut batu sungai.

Hal inilah yang oleh Kuntowijoyo, disebut sebagai fase mitos, yaitu pengalaman mistik yang digunakan untuk mengukuhkan kehebatan-kehebatan raja-raja yang sekaligus melegitimasi kekuatan politiknya. Pengaruh Ki Sangir secara politis makin menguat dalam masyarakat dusun Panjen. Dalam usaha memperjuangankan ideologi agama masing-masing, baik kelompok Ki Sangir maupun kelompok Kyai Barnawi melengkapi upayanya tersebut dengan kekuatan material. Padepokan Sadikin sebagai kekuatan lembaga dibangun lebih megah, ini merupakan dimensi ekstra hegemoni, di mana unsur kebudayaan menjadi medan strategis untuk membangun kesepakatan dan menerakan cara-cara yang dengannya bentuk-bentuk ideologis dan kultural secara historis dinegosiasikan.

Kemapanan padepokan Sadikin ini secara material mendapat reaksi balasan dari kelompok Kyai Barnawi dengan membangun pesantren yang lebih megah dari padepokan Sadikin dengan memerintahkan para santrinya untuk mencuri harta benda penduduk dusun Panjen. Perintah untuk mencuri tentu saja ironis dengan ajaran Islam. Agar para santri itu menuruti perintah, Kyai Barnawi menguraikan alasan-alasan yang menguatkan perintahnya itu dengan dasar-dasar kisah para sahabat nabi berkaitan dengan cara-cara yang ditempuh dalam menghadapi permasalahan yang serupa. Sehingga, secara psikologis para santri mengalami penguatan dan menyanggupi perintah kyai untuk menjarah harta benda penduduk Panjen. Di sinilah, betapa kepentingan-kepentingan kekuasaan seringkali memanfaatkan unsur agama untuk memuluskan tujuan politisnya.

Dalam pandangan dunia pesantren, kyai bertindak sebagai pemegang kekuasaan, yakni sebagai patron yang mana dapat memengaruhi pelampiasan emosi dari pengikutnya, dan para pengikut tersebut akan bersedia melakukan aksi apa saja demi menjaga karisma kyai tersebut dalam bentuk pengabdian kolektif yang bersifat mistik5.

Demikianlah, konflik ideologi agama antara kelompok dalam KGG ini tentu saja tidak lepas dari kepentingan politis kaum Kejawen dan kaum Santri. Jika, apa yang diceritakan Teguh Winarsho AS ini merupakan sebuah realitas yang ia potret, maka dapatlah dirujuk kebenaran dari setiap peristiwa yang barangkali kita temukan dalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat tradisional. Sebagaiman sastra sebagai sistem simbol dan sistem sosial yang selalu berdialektik terhadap transformasi nilai-nilai yang hadir dalam suatu masyarakat.

Konflik Ideologi Politik: Kubu Kapitalis atas Kubu Komunis
Pada bab ke V novel KGG, Teguh Winarsho AS dengan berani memunculkan teks ‘Genjer-Genjer’ yang merupakan bagian dari judul novel. Mengapa saya katakan berani, karena kita semua tahu pada saat rezim Orde Baru berkuasa, hanya dengan menyebut kata ‘Genjer-Genjer’ saja orang (siapapun) bisa mati karena dianggap komunis. Pasca G30S/PKI, seiring lahirnya Orde Baru yang melancarkan politik ‘bumi-hangus’ terhadap lawan-lawan politiknya dengan menggunakan berbagai macam strategi (untuk menyebut menghalalkan segala cara), salah satunya dengan pemitosan lagu ‘Genjer-Genjer’. Tentu saja Muhammad Arief si pencipta lagu ‘Genjer-Genjer’ ini tidak memiliki tujuan politis apapun selain jiwa keseniannya dengan mengungkapkan realitas kondisi masyarakat Banyuwangi pada masa pendudukan Jepang. Untuk lebih jelasnya berikut kutipannya: Genjer-genjer mlebu kendil wedange ngemplak/ Setengah mateng dientas yong dienggo iwak/ Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben/ Genjer-genjer dipangan musuhe sego/…

Secara historis, sebenarnya lagu tersebut memiliki latar belakang yang berkaitan erat dengan kondisi masyarakat Banyuwangi pada masa penjajahan. Sebelum pendudukan tentara Jepang pada tahun 1942, wilayah Kabupaten Banyuwangi termasuk wilayah yang secara ekonomi berkecukupan. Apalagi ditunjang dengan kondisi alamnya yang subur. Namun saat pendudukan Jepang di Hindia-Belanda pada tahun 1942, kondisi Banyuwangi sebagai wilayah yang surplus makanan berubah sebaliknya. Karena begitu kurangnya bahan makanan, sampai-sampai masyarakat harus mengolah daun genjer (limnocharis flava) di sungai yang sebelumnya oleh masyarakat dianggap sebagai tanaman pengganggu6.

Melihat latar belakang penciptaan lagu Genjer-Genjer sebagai produk budaya, tentu menjadi ironis ketika produk budaya yang tidak terkait dengan ideologi atau agama apapun ini justru menjadi korban dari pertentangan ideologi. Kesangsian inilah yang diungkapkan Teguh Winarsho AS melalui tokoh ‘Aku’ yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan para jenderal. Tokoh ‘Aku’ sebagai seorang prajurit yang setia terhadap atasannya tentu saja mau tidak mau harus melaksanakan tugas, meskipun tugas itu harus membunuh para jenderal, yang ia sendiri tidak tahu-menahu apa kesalahan korban-korbannya. Dalam pengertian, bahwa tokoh ‘aku’ hanya melaksanakan tugas belaka. Demikian yang hendak diceritakan Teguh, yang barangkali merupakan pertanyaan sebagian masyarakat Indonesia saat ini, tentang siapa yang sebenarnya salah pada peristiwa berdarah itu.

Di dunia hingga saat ini hanya ada dua ideologi yaitu kapitalisme dan sosialisme. Dua ideologi itu mengalami konflik antagonisme sepanjang sejarah. Dengan konflik itu melahirkan kemajuan ilmu sosial yang makin berkembang maju dan melahirkan berbagai paradigma baru7. Jika merujuk pemetaan tersebut, cerita KGG pada bab V-VII dapat diposisikan sebagai wacana kritis-analisis terhadap konflik yang muncul akibat perseteruan antara kedua ideologi di atas melalui dialog tokoh Lasmi dengan tokoh ‘Aku’. Berikut kutipannya:

“Ya. Awalnya Seoharto memang masuk dalam kubu Nasution. Tapi akhirnya mendirikan kubu sendiri setelah Amerika tak percaya lagi pada Nasution karena tak berhasil menjalankan misi mereka terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia. Kepentingan Amerika tak berfungsi di tangan Nasution. Di saat itulah Seoharto yang baru menjadi Pangkostrad mendirikan kubu. Ia mengajak Yoga Sugema yang masih menjadi Dubes RI untuk Yugoslavia. Soeharto menyuruh Yoga pulang dan menawari jabatan baru sebagai Kepala Intelijen Kostrad. Sesampai di Jakarta Yoga langsung menemui Soeharto di rumahnya. Mereka berembug. Itulah cikal bakal terbentuknya kubu Soeharto. Jika kutarik dari peristiwa semalam aku mulai mencium kelicikan Soeharto:

1. Yoga kembali ke Indonesia tidak sesuai prosedur karena seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI dilakukan oleh Menpangad, mengingat Yoga adalah perwira AD. Tetapi Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad. Dengan cara itu Soeharto telah melangkahi garis hierarki dan komando.
2. Tujuan Yoga pulang adalah untuk melakukan sabotase terhadap kebijakan-kebijakan politik Presiden.
3. Soeharto ingin menghancurkan PKI karena PKI terlalu dekat dengan Presiden. Tujuan ini sejalan dengan kepentingan Amerika yang tak ingin Indonesia dikuasai komunis. Amerika kemudian mendekati Soeharto untuk menjalankan kepentingannya. (Kantring Genjer-Genjer: 94-95).

Dari dialog tokoh Lasmi kepada tokoh ‘aku’ inilah sebuah konflik politik tidak hanya dianalisis secara ideologis belaka, tapi ada kepentingan individu atas kekosongan kepemimpinan maupun krisis otoritas.

Dalam sejarah Indonesia, Presiden Soekarno yang pada saat itu mengalami krisis otoritas, krisis kepercayaan, bahkan krisis moral ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak asing yang ingin salah satu ideologi terbesar di Indonesia itu dihancurkan. Amerika dengan ideologi Kapitalisme-nya jelas tidak akan membiarkan ideologi komunis sebagai musuhnya dibiarkan berkembang. Dalam tragedi ‘65 itu, sebuah rekayasa politis yang sistematis, di mana kelompok Soeharto yang dibayang-bayangi Amerika, dapat merebut hegemoni masyarakat Indonesia dengan menciptakan karakter komunis sebagai kelompok yang identik dengan antagonis dan atheis.

Meskipun si pencetusnya (Karl Mark) menganggap ‘tuhan itu candu’, tentu tidak bisa diartikan bahwa semua pengikutnya pun tidak percaya tuhan. Karena pendirian ideologis politik sangatlah picik jika disejajarkan dengan ideologi agama. Dalam kasus inilah, sekali lagi agama dijadikan alat untuk menghancurkan kelompok lawan dalam frame kepentingan politis. Padahal, secara sosiologis maupun teologis, agama itu muncul untuk merespon persoalan yang dihadapi umat manusia. Agama apapun pada hakikatnya mengajarkan kebaikan, kedamaian dan kerukunan bagi para pemeluknya.

Dari keseluruhan cerita dalam Kantring Genjer-Genjer dapat dibagi menjadi dua jenis konflik, yang pertama konflik Agama dan kultural, yang kedua konflik ideologi politik dalam suatu masyarakat yang mengalami transformasi budaya. Sebagaimana pengarang pasca reformasi, Teguh tampak memberikan sebuah wacana yang lain atas pandangan mayoritas masyarakat terhadap peristiwa G30S/PKI. Di sisi lain, KGG ini menawarkan suatu analisis sosial-politis melalui dimensi yang berbeda sekaligus imajiner.

ENDNOTE
1 Gramsci via Faruk, Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 62.
2 Ibid., hal. 74
3 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984), hal. 15.
4 Gramsci via Faruk, Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 70.
5 Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hal. 114.
6 Paring Waluyo Utomo, Genjer-Genjer dan Stigmatisasi Komunis, http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0423/bud2.html
7 http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/.

SILSILAH INTELEKTUALISME DAN SASTRA DI PESANTREN*

(sebuah perambahan atas tradisi pesantren, sastra, dan sastra pesantren)
M. Faizi
http://m-faizi.blogspot.com/

Pesantren merupakan salah satu kekayaan khazanah pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang cenderung pada keagamaan, pemondokan (karantina), serta penerapan pola pendidikan selama 24 jam merupakan salah satu keunikannya. Karena itu pulalah, pesantren dianggap sebagai pengejawantahan local genus pendidikan Nusantara yang sejati.

Kekayaan lektur dan intelektualisme pesantren dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab turats yang ditulis oleh para mushannif (pengarang) berlatar pesantren. Karya-karya ini tidak saja populer di Indonesia, melainkan juga hingga ke tanah Arab. Di antara para pengarang tersebut antara lain adalah: Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yasin al-Fadani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Ma’shum Ali, Kiai Hasyim Asy’ari, dan lain-lain.

Di samping khazanah intelektualisme, pesantren juga dekat dengan tradisi susastra, khususnya puisi. Bahkan, puisi (syi’ir) menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu keagamaan diajarkan melalui bait-bait puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ‘ilmi ini tidak saja dipelajari, melainkan juga dihapalkan. Tradisi nadham dan hapalan menjadi dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar ‘Amrithi atau Alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya sekaligus.

Di samping itu, silsilah akar sastra di pesantren yang lainnya adalah diba’. Pembacaan antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini dilakukan seminggu sekali oleh masyarakat pesantren. Diba’, bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai doa untuk kepentingan penyembuhan dan doa keselamatan.

Belakangan, muncul istilah sastra pesantren. Wacana ini berkembang sekitar tahun 2000-an, tepatnya ketika Abdurrahman wahid (Gus Dur) menjabat sebagai presiden RI. Besar kemungkinan, kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi pertanda bagi bangkitnya kelompok masyarakat yang bergerak di jalur kultural (pesantren) yang selama Orde Baru mereka tidak memiliki kesempatan. Gus Dur menjadi juru bicara orang-orang pesantren untuk masyarakat nonpesantren, termasuk masyarakat asing.

Akan tetapi, ternyata, wacana sastra pesantren tidak pernah tuntas dibahas. Di satu sisi, sastra pesantren dianggap sebagai nama bagi genre (yang secara teoretis, hal ini tidak mendapatkan alasan pendukung), sementara di sisi yang lain sastra pesantren dianggap sebagai bagian dari “gosip sastra”; dan di sisi lain lagi, penamaan tersebut dianggap sebagai usaha para sastrawan, wartawan, juga pemerhati kesusastraan sekadar untuk menandai para sastrawan yang lahir/berlatar pendidikan di pesantren dan atau pula karya sastra, baik puisi maupun prosa, yang mengangkat tema, latar, serta visi-misi yang senantiasa mengacu pada pesantren dan nilai-nilai kesantrian.

Kata-kata kunci: Intelektualisme. Sastra. Pesantren

Berpuluh-puluh tahun lamanya, di negeri ini, dan terutama pada era Orde Baru, orang-orang pesantren selalu dicekam oleh perasaan minder dalam segala aspek kehidupannya. Tidak hanya minder, mereka juga merasa tidak mempunyai wilayah yang memadai untuk mengembangkan karir: politik, ekonomi, dan bahkan di ranah pendidikan sekalipun: suatu ranah yang seharusnya menjadi dasar pijakannya. Sebab, dalam banyak penelitian, pesantren dianggap sebagai pralambang model pendidikan sejati di Nusantara.

Secara lahiriah, orang-orang pesantren ini dapat dengan mudah dikenali. Kelompok ini dapat dicirikan dengan peci, bawahan sarung, alas kaki bakiak (terompah), ke mana-mana membawa kitab gundul, belajar di musholla, dan seterusnya. Memang, identifikasi ini tampaknya istimewa dan mudah diingat karena telah menjadi “kode” yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk mencirikan kaum santri (M. Faizi: 2007). Meskipun pencitraan ini realistis, namun ada kesan inferioritas di sana. Sebab, pencitraan seperti di atas, galibnya, juga disertai dengan pencitraan yang berhubungan dengan klenik, berbau kuno/klasik, dan seolah-olah anti-modernitas. Tak heran, banyak orang yang mengait-ngaitkan pesantren dengan hal-hal yang hanya berlandaskan keyakinan mistis, takhyul, dan tidak mau mengikuti perkembangan zaman.

Beruntung, sejak Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, sedikit demi sedikit, kaum santri seolah-olah baru saja mendapatkan juru bicara terbaiknya untuk memperbaiki citra miring tersebut itu, terutama kepada masyarakat/pers asing dan kaum cerdik-pandai, bahwa santri (pesantren) tidak sekumuh dan tidak sekuno seperti yang ada di dalam benak pencitraan mereka. Walaupun dalam jagad politik Gus Dur kerap kali melakukan manuver-manuver yang cenderung kontra-produktif sehingga banyak ditentang oleh banyak kelompok masyarakat, namun dalam hal menyuarakan identitas santri dan kepesantrenan kepada publik non-pesantren, tidak ada yang keberatan jika dikatakan bahwa Gus Dur-lah yang punya peran vital. Data-data yang telah digali dan ditera oleh Mastuhu dalam Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren maupun Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren itu telah disempurkan dengan baik olehnya, lalu disampaikan secara lugas dan meyakinkan bagi orang-orang non-pesantren, bahkan termasuk kepada mereka yang selama ini “memusuhi” pesantren.

TRADISI INTELEKTUALISME DI PESANTEN
Dalam laporan-laporan penelitian, dengan data-data yang valid dan akurat, disebutkan bahwa tradisi (keilmuan) di pesantren sangatlah kaya. Bahkan, ada pula yang telah sampai pada kesimpulan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang asli Nusantara dengan khazanah intelektual yang luar biasa. Salah satu dari kekayaan itu adalah model pendidikan 24 jam, yakni model pengasramaan (karantina/pondok). Ironisnya, saat ini, model pendidikan karantina (asrama/pondok) telah diterjemahkan dan diusung ke Barat, dan justru maju lebih pesat. Sementara pesantren telah dilupakan oleh banyak orang, bahwa model pendidikan ini merupakan model pendidikannya yang sejati.

Di samping itu, tesis yang menyatakan bahwa “tradisi keilmuan di pesantren sangatlah kuat” tidak dapat terbantahkan. Akar intelektualisme tokoh-tokoh pesantren, kitab-kitab yang dikarang/ditulis maupun yang diajarkan; tradisi keilmuan—terutama agama—menjadi identitas pesantren yang paling penting. Salah satu ciri penting lainnya adalah tradisi menghapal puisi-puisi berbahasa Arab (syi’ir/nadham).

Transformasi ilmu pengetahuan ini terus-menerus berlangsung di pesantren, juga dari luar ke pesantren, maupun sebaliknya. Akan tetapi, sebelum itu, perlu dicatat bahwa silsilah ilmu pengetahuan ini secara umum dibentuk melalui dua fase. Fase pertama, yakni penyebaran Islam di Nusantara, terjadi pada abad ke-13 sampai abad 15 M. Fase kedua, berlangsung pada abad ke-18 sampai awal abad 20. Pada fase ini, ulama-ulama menuntut ilmu ke pusat Islam di Timur Tengah dan membawanya pulang kembali ke negeri asal mereka (Zamiel el-Muttaqien: 2005). Ulama-ulama ini kemudian menjadi tokoh dan banyak memberikan warna pada kehidupan masyarakat, termasuk mengambil peran dalam memperkenalkan dan kemudian mengajarkan sumber-sumber referensi agama Islam yang tentunya dari Bahasa Arab.

Tradisi keilmuan pesantren berbasis agama (Islam) notabene berasal dari tanah Arab (Baghdad, Hijaz, Mesir, dll.). Karena itu, hampir semua sumber otoritatif untuk itu menggunakan bahasa Arab. Di pesantren, para santri mempelajari bahasa Arab agar dapat mendalami ilmu pengetahuan tersebut langsung pada sumber aslinya, yakni kitab-kitab turats yang hampir seluruhnya menggunakan bahasa ini.

Sumber rujukan ini berbentuk dua macam; natsar (prosa) dan syi’ir/nadham (puisi/versifikasi). Inilah cetak biru yang dapat kita mulai untuk membicarakan perihal hubungan kelit-kelindan antara pesantren dan sastra pada akhirnya.

Dalam mempelajari ilmu, penggunaan teknik hapalan lebih bersifat dasar alasan, bukan asas tujuan. Karena, tujuan utamanya adalah memahami, sementara hapalan, yang tentu saja dimaksudkan untuk lebih mudah mengingat, juga menjadi acuan/referensi sebagai argumen, siapa tahu suatu saat dibutuhkan sebagai dalil/jawaban. Dan umumnya, yang dihapalkan oleh para santri ini adalah syi’ir/nadham.

Pada zaman Jahiliyah, seorang juru bicara kabilah adalah seorang penyair. Dan penyair ini memiliki peranan penting untuk menentukan penghargaan dan penghormatan kabilah lain kepada kabilahnya. Karena itulah, mengarang syi’ir/nadham, dalam tradisi Arab sejak zaman Jahiliyah, merupakan suatu kebanggaan. Bahkan, tradisi sastra Arab identik dengan puisi. Fenomena adu puisi di momen sastra “Pasar ‘Ukkaz” dan juga puisi-puisi terbait digantungkan di Ka’bah (mu’allaqat) merupakan bukti nyata yang dicatat oleh para ahli sejarah.

Meskipun orang-orang Jahiliyah pandai menggubah puisi, namun teori penciptaan puisi baru “terlembagakan” dan dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri setelah munculnya Al-Khalil bin Ahmad. Dialah peletak batu pertama ‘Ilmu ‘Arudl, sebuah disiplin ilmu yang membahasa perihal penciptaan rima dan matra dalam puisi.

Salah satu keunggulan tradisi bersastra dalam masyarakat Arab ini adalah penyajian konsep/teori disiplin suatu ilmu melalui puisi. Teori-teori itu dipaparkan melalui bait-bait puisi, dihimpun, dan diberi judul dalam suatu kitab. Hampir tak ada satu pun disiplin ilmu di dunia ini yang ditulis menggunakan media puisi, kecuali oleh mereka. Lazimnya, yang kita tahu adalah: disiplin ilmu disajikan melalui gaya penulisan prosa (deskripsi-eksposisi). Memang betul, banyak buku pengetahuan yang ditulis dengan bahasa “puitis”. Namun, sekali lagi, hanya sebatas puitis, bukan puisi. Sementara orang Arab menuliskan gagasan ilmiahnya secara konseptual melalui media puisi. Ini adalah sebuah tradisi yang luhur dan ajaib. Yang paling masyhur bagi kita antara lain adalah buku kumpulan puisi “Alfiyah” karya Ibnu Malik. Kitab ini berisi 1000 larik puisi tentang ilmu tata bahasa Arab (gramatika). Mendampingi “Alfiyah”, ada pula nadham Maqshud, puisi yang mempelajari ilmu konjugasi/perubahan bentuk kata.

Setelah orang-orang nonmuslim dan Eropa berhasil menghancurkan pusat-pusat tamaddun Islam di Irak (Baghdad), Andalusia, juga Turki, lalu mengusung kekayaan intelektualnya ke negeri-negeri mereka, kini tinggal satu yang tersisa, yang senantiasa gemilang di Timur (Arab): itulah “transformasi ilmu pengetahuan melalui puisi”. Inilah satu kekayaan, keunikan, dan keajaiban yang tidak dapat diterapkan dalam kehidupan ilmiah mereka.
***

Tradisi “tansformasi ilmu pengetahuan melalui puisi” merupakan keistimewaan, bahkan, barangkali merupakan acuan paling dasar dari semua pembicaran tentang silsilah/referensi ilmiah di pesantren. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan diturunkan melalui puisi, mulai dari teori-teori hukum fiqh, gramatika, teori rima dan matra, hingga linguistik.

Sekadar perbandingan: para pemikir, filsuf, dan tokoh-tokoh garda depan, seperti Nietszche dan Camus, serta juga banyak filsuf besar yang lain, kerap kali menyampaikan gagasan dan pemikirannya secara umum melalui karya sastra, seperti Zarathustra dan La Paste misalnya. Namun, karya pemikiran mereka itu berbentuk prosa, bukan puisi. Prosa yang puitis sekali pun tetaplah prosa, bukan puisi. Jarang, atau bahkan mungkin nyaris tiada, dari kalangan Barat (non-Arab) yang benar-benar berhasil dalam menuliskan teori disiplin ilmu tertentu secara konseptual dan praksis melalui puisi. Kalaupun ada, barangkali silsilah rujukannya dapat dipastikan juga dari tradisi Arab juga.

Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa khazanah pemikiran Arab-Islam Klasik juga memiliki pucuk silsilah dari tradisi intelektualisme Yunani Kuno, namun orang-orang Arab telah berhasil memodifikasi, menerjemahkan, dan menyadur karya-karya para pemikir Yunani tersebut lalu menjaganya dalam sebuah tradisi intelektual yang terus berlangsung hingga hari ini.

Berkebalikan dengan itu semua, hampir setiap para pemikir Arab dapat dipastikan punya dasar bersastra yang kuat. Di Arab, terutama dalam tradisi kehidupan ilmiah klasik, tokoh-tokoh ilmu pengetahuan biasanya juga seorang “merangkap” sebagai sastrawan: seorang fisikawan sekaligus sastrawan; atau musikus juga sebagai penyair; dan seterusnya. Sebut saja nama Al-Farabi yang disandingkan tanpa jarak dengan musik. Namun begitu, ia juga dikenal sebagai filosof dan juga seniman. Demikian pula dengan Kamaluddin ad-Dumairi, filosof yang ahli biologi ini juga dikenal luas di Eropa sebagai pakar susastra.

Lebih dari itu, para ilmuwan Arab-Islam adalah polymath, dan sebagian lagi juga poliglot. Secara umum, mereka dapat dan pernah menulis karya sastra, terutama anotolgi puisi. Bahkan, disebutkan bahwa Syihabuddin Ahmad bin Majid yang dikenal sebagai pelaut, juga menulis dua antologi puisi (diwan) penting; Al-Qashidah li Ibni Majid dan al-Qashidatul Musammah bil Mahriyyah. Konon, dialah yang menolong Vasco Da Gama menemukan Tanjung Harapan. Ia bahkan memetakan cara melakukan pelayaran di berbagai kawasan yang berbeda untuk melintasi Laut Merah. Perlu dicatat: ia menuliskan teori pelayaran itu dalam bait-bait puisi! Bahkan, beberapa orang yakin kalau oang-orang Portugis tidak akan pernah dapat melintasi Samudra Hindia andai tanpa bantuan petunjuk dari puisi Syihabuddin ibnu Majid ini. Kini, puisi tersebut dimuseumkan dalam sebuah manuskrip yang tesimpan di sebuah institut di Leningrad (Saint Petersburg), Rusia (Muhammad Ali Usman, 2007: 215-216).

Imam mazhab (fiqh) yang paling populer di Nusantara, yaitu Imam Syafi’i, juga menulis puisi. Belakangan, beberapa puisinya telah diterbitkan ulang dalam cetakan baru yang diberi judul “Diwan asy-Syafi’i.” Demikian juga Abu Nuwas, yang dikenal luas sebagai cendekia jenaka, tetapi juga sering kali dinisbatkan sebagai filsuf/tokoh sufi, juga menulis puisi. Antologi puisinya yang paling masyhur adalah kumpulan puisi khamriyyat (anggur-isme).

Dalam banyak hal, puisi jauh lebih dekat kepada masyarakat santri (pesantren) di Indonesia daripada genre sastra yang lain. Tradisi ini, kalau dirunut, sepenuhnya mengakar pada tradisi Arab tadi, dan bukan lainnya, kecuali hanya mungkin perkecualian semata, seperti dari tradisi Inggris atau Belanda. Puisi, dalam pengertian nadham, sangat akrab dengan masyarakat meskipun tidak berarti ia menjadi bukti kalau selera bersastra Indonesia sepenuhnya didasarkan pada tradisi ini. Namun, yang pasti, puisi yang mula-mula berkembang sangat identik dengan Arabisme, dan Arabisme—awal mulanya—senantiasa identik dengan keislaman: kira-kira, demikianlah silsilah penjabarannya.

Di Madura misalnya, tradisi bersya’ir (syi’ir) cukup kuat tertanam dalam di kehidupan masyarakat, bahkan di luar pesantren sekalipun. Kecenderungan ini sepenuhnya dapat dimaklumi dengan mengetahui bahwa bahasa Arab—bagi masyarakat pesantren—nyaris menyerupai “bahasa kedua”. Bahkan, pada beberapa masyarakat di lingkungan pesantren di Madura, tidak sulit untuk menemukan orang yang kefasihan bahasa Arabnya lebih baik daripada ketika dia menggunakan bahasa Indonesia. Menurut Jack Goody, kasus serupa sebenarnya juga tampak di daerah Afrika Barat, dengan pengecualian atas beberapa pengucapan beberapa suku gurun Arab. Pendidikan muslim tradisional mengambil posisi di dalam bahasa Kitab, lebih Arabis, melebihi pengucapan penduduk setempat (Goody, 1987:194).

Sebetulnya, akar sejarah ini berkembang dan diturunkan dari tradisi Melayu yang segala seluk-beluknya sangat kental dengan nuansa keislaman. Hal ini tidak terjadi di Jawa yang identik dengan Hindu. Keterpengaruhan orang-orang Melayu cukup nampak dalam hal-hal penggunaan mereka terhadap term-term (peristilahan/kata kunci berbahasa Arab), juga seperti halnya dapat dengan mudah kita temukan dalam diksi-diksi Melayu lama. Sebagaiamana dinyatakan oleh Amin Sweeney, mayoritas penggunaan peristilahan untuk konsep asli dalam beberapa penulisan adalah bahasa Arab (Sweeney, 1987:199).
***

Silsilah akar sastra yang lain di pesantren adalah diba’. Pembacaan antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini nyaris dilakukan setiap minggu oleh masyarakat pesantren, bahkan terkadang hingga dua kali seminggu. Selebihnya, tradisi pembacaan diba’ ini biasanya juga dihelat pada acara pernikahan dan acara-acara ritual yang lain. Puisi-puisi ini bukan sekadar dibaca, melainkan juga dihapalkan. Diba’, bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai doa untuk kepentingan penyembuhan dan keselamatan. Adalah sebuah keyakinan yang luar biasa di sini: membacakan puisi sebagai doa penyembuhan!

Tradisi syi’ir/nadham dan hapalan adalah dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar ‘Amrithi atau Alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya sekaligus.

Demikianlah, sesungguhnya gambaran di atas cukup signifikan untuk dijadikan sebagai gambaran kedekatan orang-orang pesantren/santri dengan tradisi sastra, nadham, dan kelisanan dalam konteks disiplin keilmuan. Kemampuan berikutnya ditunjukkan dengan baik oleh civitas pesantren dalam bentuk kompetensi di bidang karang-mengarang, sastra maupun non-sastra. Para kiai, dan sebagian juga oleh santri, menyusun kitab; baik berupa nadham (puisi) maupun natsar (prosa). Sebagian karya-karya mereka diajarkan, dicetak, dan juga diterbitkan, meskipun hanya mencakup dan tersebar di lingkungan terbatas (di lingkungan pesantren tersebut).

Akan tetapi, tak jarang karya ulama yang melampaui batas lingkungannya. Banyak kiai yang menulis kitab dan diterbitkan untuk umum, bahkan masyhur tidak saja di tanah air (Nusantara), melainkan hingga ke luar negeri, bahkan hingga jauh di tanah Arab. Terutama karya-karya ulama zaman dahulu. Sebut saja misalnya Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani (Nihayat az-Zain, Marahu Labid/Tafsir Munir), Syekh Yasin al-Fadani (Fawaidul Janiyyah, Hasyiyah Faraidul Bahiyyah), Kiai Ihsan Jampes (Siraj at-Thalibin), Kiai Ma’shum Ali (Amtsilat at-Thashrif), Kiai Hasyim Asy’ari (At-Tanbihat al-Wajibat) dan juga, yang muncul belakangan, Shohib Khaironi El Jawy yang menulis kitab panduan tata bahasa Arab dengan metode skema dan diagram yang memudahkan pembaca yang ingin mendalami ilmu nahwu-sharaf. Kitab karangannya ini, Audhlahul Manahij, bahkan telah “diakui” kompetensinya di negara-negara Arab (Em Syuhada’: 2008). Ulama-ulama Nusantara yang disebutkan di atas telah berkiprah cukup baik dalam tradisi kepengarangan di tanah air dan luar negeri. Selengkapnya, biodata mereka antara lain dieksiklopedikan oleh Mastuki HS dan Ishom El-Saha dalam buku “Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren”, dan sebagian juga disitir dalam “Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman di Indonesia”, suntingan Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedowi: diterbitkan oleh Gramedia—kerjasama dengan PPIM-UIN Jakarta dan Basic Education Project (DEPAG), tahun 2003.
***

Pada perkembangan berikutnya, pesantren mengalami banyak pembenahan. Pembenahan ini tidak saja terjadi pada ranah kurikulum, melainkan juga pada “ideologi kepesantrenan”. Tradisi salaf dan modern kemudian mengemuka dan menjadi wacana khusus. Seiring dengan wacana ini, para penulis dan tokoh dari kedua model institusi ini pun bermunculan. Biasanya, para penulis dari pesantren salaf menulis kitab (nadham) dan para penulis dari pesantren non-salaf menulis karyanya dalam bahasa Indonesia, baik berupa puisi maupun prosa; baik fiksi maupun non-fiksi.

Akan tetapi, jika dihitung dari usia awal mula pesantren dikenal di Nusantara, bahkan sebagai cikal-bakal model lembaga pendidikan “asli” Nusantara, munculnya penulis-penulis berlatar pesantren ini terhitung lambat (dengan catatan: jika yang dimaksud “menulis” itu adalah “menulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia”). Nama-nama tokoh, yang nota bene merupakan penulis (eseis/sastrawan), seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid, maupun Emha Ainun Nadjib, muncul dan berkiprah dalam kancah pemikiran penting di tanah air. Belakangan, muncul nama Kiai Muhyiddin, Agoes Masyhuri, Kiai Husein, Said Agil Siradj, dll.

Meskipun para penulis tersebut tidak menekuni bidang karya sastra secara khusus, tetapi dapat dipastikan kalau selama bergelut di pesantren dahulu, pastilah tradisi kepengarangan mereka diawali dari tradisi menulis karya sastra, menulis puisi dan cerpen misalnya. Sebab, di samping seperti telah diungkap di muka, tradisi bersastra begitu kuat di mana pun pesantren, bahkan bukti-bukti untuk itu masih terekam dalam jejak yang jelas hingga saat ini.

Ada pula beberapa penulis yang memang secara khusus menekuni jalan hidupnya di jalur kesusastraan. Sebut saja nama Djamil Suherman, Gus Mus, M. Fudoli Zaini, Zainal Arifin Toha, dan seterusnya. Dan jika dihitung siapa saja santri/alumni yang menjadi sastrawan/penyair, yang lahir dan pernah belajar di pesantren meskipun mereka sendiri tidak mengangkat tema-tema kepesantrenan, bahkan mungkin secara ekstrem “menolak” nilai-nilai kepesantrenan, barangkali jumlahnya akan ada sekian puluh, atau mungkin ratusan.

SASTRA DAN SASTRA PESANTREN
Tidak dapat disangkal, suka atau tidak suka, Gus Dur-lah yang telah membukakan pintu gerbang kepesantrenan: pintu tempat orang-orang luar masuk dan melihat-lihat pesantren, dan dia pulalah yang mengajak civitas pesantren untuk keluar dan menunjukkan diri kepada dunia.

Sebelum pemerintahan Gus Dur, kalaupun banyak penulis yang berasal dari pesantren, publik tidak pernah mengenal mereka dengan baik karena para penulis (sastrawan) itu memang tidak menampakkan diri. Di era presiden RI ke-4 itulah orang-orang pesantren, terutama yang bergerak di bidang kebudayaan dan kesusastraan mulai dipertimbangkan.

Memang betul, bahwa beberapa nama yang disebut di atas telah dikenal sebelum kepemimpinan Gus Dur, namun di era Gus Dur lah, setidaknya, para penulis/sastrawan menemukan rasa percaya dirinya semakin membaik. Lihatlah misalnya, kini banyak sekali kita temukan para penulis yang merasa mantab untuk membubuhkan identitas setelah namanya dengan, misalnya, “penulis/penyair adalah alumni pesantren ini”, atau “pernah nyantri di pesantren anu”. Dulu, di era Orde Baru, rasanya sangat asing jika ada yang menuliskan identitas diri semacam itu: bisa disebabkan karena minder, atau karena “pesantren” dianggap tidak akan memberikan nilai tambah bagi popularitas, bahkan justru mengambrukkannya.

Walaupun pencitraan pesantren telah diangkat dalam karya sastra puluhan tahun yang lalu, lewat karya Djamil Suherman, maupun Saifuddin Zuhri, dan juga M. Fudoli Zaini, namun wacana “sastra pesantren” sama sekali tidak pernah diperbincangkan. Istilah ini, meskipun terus diperdebatkan hingga hari ini, secara praktis muncul sejak adanya kecenderungan dari penulis-penulis alumni pesantren, atau yang berlatar pesantren, dan atau pelajar yang sedang mondok (status santri di sebuah pondok pesantren), mulai menulis di koran dan secara meyakinkan mewartakan identitas dirinya sebagai orang pesantren. Jadi, bisa dipastikan, awal mula kemunculannya, bukunlah dilartarbelakangi oleh isu kesastraan, melainkan oleh isu gagasan (tema, seting) dan personal (sastrawannya).

Wacana sastra pesantren semakin kuat manakala beberapa penerbit di Jogjakarta, termasuk di antaranya Navila, secara konsisten menerbitkan karya-karya sastra terjemahan dari Timur Tengah, yang barangkali, dianggap masih punya kekerabatan silsilah yang dekat dengan dunia pesantren (faktor bahasa Arab). Meskipun alasan ini terasa agak naif, namun nyatanya upaya Navila untuk itu tetap konsisten. Navila menerbitkan dan menerjemahkan karya-karya dari bahasa Arab, seperti karya-karya Musthafa Lutfi, Syekh Nizhami, dan banyak penulis Arab (terutama Mesir) lain. Cara ini ditempuh untuk membidik konsumen santri/pesantren. Tidak hanya menerbitkan karya-karya sastra Arab, Navila juga melakukan silaturrahmi ke pesantren-pesantren. Penerbit ini bahkan juga memprakarsai lahirnya majalah “Fadilah” yang secara tegas mengusung slogan “majalah sastra pesantren”. Tetapi, sayang, “Fadilah” akhirnya gulung tikar sebelum mencapai usia selusin edisi.

Sebelumnya, LKiS pernah memprakasai terbitnya majalah “Kinanah”, sebuah majalah hasil kerjasama lembaga kajian dan penerbit itu dengan para pelajar/mahasiswa Indonesia Mesir, yang kala itu—kalau tak salah—diawaki, di antaranya oleh Aguk Irawan dan Habiburrahman. “Kinanah” diproyeksikan sebagai media sastra bagi santri, khususnya bagi mereka yang ingin menuangkan gagasan di bidang karya sastra, dan juga sebagai media silaturrahim para pelajar Indonesia dengan rekan-rekan mereka yang berada di Mesir. Majalah yang muncul di awal-awal tahun 2000-an ini, meskipun terbit kurang dari tiga kali, juga menjadi catatan penting sebagai titik mula munculnya wacana sastra pesantren.

Selepas itu, mungkin karena “Kinanah” dianggap mati suri, pada awal tahun 2003 Jadul Maula dan LKiS tetap berniat baik untuk menindaklajuti isu ini. Bertempat di pendopo LKiS Sorowajan, bersama Sholeh UG dari Navila, LKiS mengundang tokoh-tokoh kesusastraan yang diangap paling bertanggungjawab terhadap wacana ini. Kala itu, yang hadir antara lain adalah Acep Zamzam Noor, Zainal Arifin Toha, Aning Ayu Kusuma, Hamdi Salad, Ahmad Fikri, dll. Saat itu, dihelat sebuah acara peluncuran buku terbitan Gita Nagari yang diberi label “buku sastra pesantren”, sebuah buku bunga rampai yang dikatapengantari oleh Ahmad Tohari: Kopiah dan Kun Fayakun (2003).

Dalam kesempatan itu, Acep Zamzam Noor menyatakan kurang setuju dengan pelabelan “sastra pesantren” atau “sastra santri”. Sebab, pelabelan ini, menurutnya, akan menjadi beban yang berat bagi para penulis kalangan pesantren untuk selalu menggarap tema-tema tertentu, misalnya soal kehidupan pesantren atau tema-tema yang berbau dakwah. Bukan hanya beban, bahkan pelabelan ini bisa jadi menghambat kreativitas penulisnya itu sendiri. Menurutnya, ukuran sastra sebagai karya adalah kreativitas, tanpa harus mempedulikan siapa dan dari kalangan mana penulisnya, begitu juga tema yang diangkatnya (Acep Zamzam Noor: 2006).

Respon awal gagasan Navila ini sangat baik. Dengan niat baik hendak mengangkat martabat pesantren dalam wacana kesusastraan di tanah air, serta didasari oleh keinginan yang kuat untuk mengumpulkan dan mencari penulis-penulis berbakat dari pesantren, Navila mengirimkan “undangan untuk menulis” kepada sekitar 200 pesantren. Terbukti, responnya cukup positif. Sekitar 40 pesantren meresponnya dengan mengirimkan karya-karya para santrinya. Setelah melalui proses pilah-pilih, akhirnya 17 cerpen dikumpulkan dalam buku Kopiyah dan Kun Fayakun (Neneng Yanti, 2003).

Hampir bersamaan dengan usaha Navila, Diva Press, juga di Jogjakarta, melakukan hal yang serupa. Bedanya, Diva lebih meringkaskan ruang lingkup penulisnya. Penerbit Diva meminta beberapa santri, terutama di Madura (Annuqayah Guluk-Guluk dan Al-Amien Prenduan) dan akhrinya menerbitkan beberapa buku kumpulan cerita pendek. Di antaranya adalah Balada Seorang Virgie, Ayah, dan antologi Harapan yang Terkoyak. Ketiga kumpulan cerpen ini terbit pada bulan dan tahun yang sama; September 2002.

Setelah itu, hampir tiga tahunan lamanya, isu sastra pesantren seolah-olah sepi pembicaraan, kecuali hanya letupan-letupan kecil di koran saja. Baru pada akhir tahun 2005-an, muncullah nama Matapena (kelompok LKiS), sebuah penerbit yang memunculkan wacana sastra pesantren kembali dengan membubuhi embel-embel “pop”: sastra pop pesantren!

Tampaknya, kemunculan penerbit dan wacana ini diproyeksikan untuk mengimbangi dua arus besar gelombang produk-produk bacaan pop yang menyerbu wilayah pembaca remaja, tak terkecuali para remaja santri di pesantren. Fenomena buku best seller nasional sejak tahun 2003-an yang dipegang oleh penulis-penulis pendatang baru seperti Esti yang menulis Fairish dan Dyan dengan Dealova ataupun Nothing But Love yang ditulis Laire inilah yang menjadi pemantik utamanya. Salah satu pemainnya, yaitu Gramedia, pada tahun itu langsung merajai pasar buku fiksi remaja di Indonesia (M. Faizi: 2005). Tanpa harus perlu mendebatkan soal kualitas, setidaknya, secara finansial, ketiga nama di atas menjadi tambang emas bagi penulis dan penerbit. Secara “ideologis”, tema, seting, bahkan semuanya, karya-karya sejenis ini jauh berbeda dengan dunia kesantrian. Itulah karya “fiksi populer”, tanpa imbuhan kata lagi di belakangnya, begitulah jenis ini dikenal. Di samping Gramedia, pabrik fiksi untuk jenis ini antara lain adalah Gagas Media, Kata Kita, Diva, Galang, dsb.

Sementara Gramedia dan kelompok penerbit fiksi populer lainnya mengangkat tema kehidupan “remaja-metropolitan-sekolah/kampus” (“metropop”), di lajur sebelah ada kelompok DarMizan, Asy-Syamil, dkk. Mereka membawa semangat “islami”, tetapi latar karya produk pada umumnya menampilkan fenomena “remaja-kota-kampus”. Fiksi populer islami, fiksi islami, atau “fikri” (fiksi remaja islami): demikian istilahnya (ada tambahan kata “islami”-nya). Gayanya membidik segmen remaja dan secara kental bercorak unsur keislaman, serta mengemban “misi dakwah”. Produk-produk model inilah yang mula-mula melabelkan gelar “islami” untuk terbitannya: cerpen islami, novel islami, dll.

Untuk itu, Matapena seolah-olah hendak menempuh jalur “santri-Islam-pesantren/desa” demi mendekatakan “jagad bacaan” dengan “realitas pembaca”. Produk mereka itulah yang kemudian disebut “sastra pop pesantren”. Terbit pertama kali dengan novel “Santri Semelekete” karya Ma’rifatun Baroroh, Matapena menuai sukses. “Genre” ini sukses mendapat hati di pembaca santri pada khususnya yang selama ini hanya mendapat suguhan chicklit/teenlit dan novel-novel berbendera “islami” itu. Selanjutnya, Matapena menerbitkan karya-karya yang lain, di antaranya “Bola-Bola Santri” (Shachree M Daroini), “Kidung Cinta Puisi Pegon” (Pijer Sri Laswiji), dan seterusnya.

PERDEBATAN SASTRA PESANTREN
Kini, semakin jauh pembahasan, yang kita dapatkan justru definisi yang semakin mengabur. Ketika disandingkan dengan kata “sastra” ataupun frase “sastra pop”, kata “pesantren” semakin tampak hanya sebagai institusi semata: pesantren sebagai sebuah latar/seting, sedangkan aktivitas kelembagaannya sebagai tema.

Nah, untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang apa sesungguhnya sastra pesantren itu, maka kita harus mempersoalkannya (seperti diisyaratkan oleh Faruk HT, seorang kritukus sastra Indonesia kontemporer) melalui beberapa pertanyaan: apakah definisi “pesantren” dalam konteks pembicaraan “sastra pesantren” itu memang sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dialami oleh “orang pesantren”? Pesantren: apakah pesantren yang dimaksud suatu tempat, suatu ideologi, suatu tipe doktrin, atau kesatuan sosial, komunal, dan kultural? Apakah seseorang yang mengekspos kehidupan homoseks di pesantren dan ditulis dalam sebuah karya (novel/cerpen) dapat disebut sebagai sastra pesantren? Bisa saja. Tapi, apakah pemahaman sejenis ini dapat disetujui oleh civitas pesantren?

Lazim diketahui, term sastra pesantren didefinisikan sebagai produk/karya sastra yang bertema keislaman, kesantrian, dan kepesantrenan; atau diidentifikasi sebagai karya sastra yang berurusan dengan nilai keislaman; atau karya sastra para pengarang yang punya pengalaman kehidupan pesantren, karya pengarang berbahasa Indonesia yang bermuatan tema keislaman, kesantrian, atau kepesantrenan; atau pula pengarang yang punya hubungan sejarah atau silsilah dengan pesantren. Dalam pandangan Ridwan Munawwar (Ridwan Munawwar, 2007), kategori di atas tampaknya menghendaki tema/wilayah pembahasan sastra pesantren ke arah tema-tema nilai esoterik keagamaan; cinta illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos).

Meskipun demikian istilah “sastra pesantren” lazim didefinisikan, tampaknya ada pula yang melebarkan pengertiannya, seperti pendapat salah seorang dosen di UIN Jojga, Damami. Ia justru mengacukan wacana sastra pesantren kepada kitab-kitab klasik produk kiai/santri di pesantren, dengan menyebut contoh Siraj at-Talibin-nya Kiai Ihsan dan kitab Al-Miftah sebagai contoh dari produk sastra pesantren itu. Hal yang hampir senada juga dilansir oleh D. Zawawi Imron dalam kesempatan seminar di dalam rangkaian Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII 27-30 September 2004 di Surabaya. D. Zawawi Imron menjelaskan bahwa keberadaan sastra yang lahir dari lingkungan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia. Baginya, sastra pesantren itu telah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12 sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia.

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa kategori penyebutan sastra pesantren selalu dititikberatkan pada unsur personal, pada pengaranganya, bukan pada latar dan temanya. Akan tetapi, ketika ia menyebut beberapa nama (Djamil Suherman, Syu’bah Asa, Fudoli Zaini , Emha Ainun Nadjib, KH Mustofa Bisri, Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah El-Khalieqy, Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, juga Kuswaidi Syafi’ie), mudah dipahami bahwa yang dimaksudkan D. Zawawi Imron dengan “sastra pesantren” adalah “sastrawan santri”, yakni sastrawan yang punya latar pesantren meskipun karya-karyanya tidak selalu bernuansa kesantrian dan kepersantrenan. Orientasinya bertumpu pada pengarang.

Bagi Ahmad Tohari, definisi sastra pesantren dititikberatkan pada gagasan yang dibawanya. Sastra pesantren adalah pengejawantahan “ma” dalam ayat lillahi ma fissamawati wa ma fil ardhi dan dikemas dengan kualitas sastra yang “horison”, yang lalu membinarkan kekuasaan Tuhan atas “ma” di langit dan bumi. Dengan begitu, Islam muncul sebagai nilai yang universal, melampaui simbol dan nilai-nilai normatif. Sastra pesantren harus membawa misi “pembebasan”. Intinya, Tohari sepakat bawah setiap produk yang membawa pesan pencerahan, maka itulah sastra pesantren; tak peduli dari latar belakang apa (agama/budaya/bangsa) karya itu lahir.

Pernyaatan tersebut selaras dengan statemen Jamal D. Rahman yang dapat dijadikan garis bawah, bahwa salah satu ciri “kepesantrenan”, termasuk pula dalam sastra, adalah “unsur perlawanan”. Misalnya, perlawanan kaum santri pada kolonial yang nota bene non-muslim. Salah satu contohnya adalah: jika dulu kolonial menggunakan celana, maka santri menggunakan sarung. Semangat ini tentu dapat diterjemahkan oleh para sastrawan ke dalam karya sastra dengan baik.

Gambaran umum yang tampaknya cukup baik hadir sebagai jawaban bagi perdebatan sastra pesantren adalah pendapat Zainal Arifin Toha. Menurutnya, sastra pesantren adalah karya sastra yang ditulis, baik oleh orang pesantren maupun luar pesantren, yang mengangkat pandangan-dunia pesantren, baik terhadap dunia pesantren itu sendiri, maupun dunia luar pesantren (Aba Ahmad Mujtaba: 2003). Pernyataan ini menyempit pada persoalan sastra dan urusan kepesantrenan. Artinya, bagaimana pun, membicarakan sastra jika itu dikaitkan dengan pesantren, haruslah tetap memegang kata kunci “pesantren”: pandangan-dunia pesantren.

Walaupun definisi sastra pesantren sudah cukup banyak didedah, pada awal-awal munculnya wacana ini di media massa, pengertian sastra pesantren cukup membingungkan banyak orang, bahkan termasuk para sastrawan senior dan pakar sastra. Di antara mereka adalah Taufik Ismail yang kaget karena tiba-tiba ada istilah baru bernama “sastra pesantren”; Suminto A. Sayuti yang enggan memeberikan definisi, hingga Radhar Panca Dahana yang beranggapan bahwa penamaan “sastra pesantren” bersifat problematis dan sengaja dibuat-buat untuk sekedar membedakan diri dari yang lain, mencoba-coba membentuk karakter sendiri. Menurut Binhad Nurrohmat, definisi sastra pesantren itu tetap rancu dan problematik. Sebab, apa yang dimaksud dengan karya/genre sastra pesantren selama ini tidak jauh berbeda dengan karya sastra lain pada umumnya kecuali hanya pada persoalan tema. Padahal, tema bukanlah ukuran pembentuk genre sastra. Menurutnya, identifikasi pada apa yang disebut sebagai sastra pesantren itu sebatas berurusan dengan aktualisasi tema atau latar belakang pengarangnya yang berhubungan dengan keislaman, kesantrian, dan kepesantrenan; dan bukan berdasarkan unsur-unsur atau kecenderungan “bentuk” kesusastraan yang khas dimiliki oleh apa yang disebut sebagai sastra pesantren itu (Binhad Nurrohmat, 2007).

Dari sekian pendapat di atas, cukup jelas untuk membuat asumsi awal, bahwa wacana sastra pesantren belum punya definisi yang meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam teori kesusastraan, tetapi telah kuat mengakar dalam “gosip” kesusastraan di tanah air. Lebih-lebih, masih ada kejanggalan dalam setiap pembicaraan sastra pesantren: pembicaraan sastra pesantren cenderung hanya mengacu kepada produk fiksi/prosa, dan sangat sedikit yang mengaitkannya dengan produk puisi. Kalaupun ada, maka sastra pesantren genre puisi yang dimaksud pastilah merupakan nadhaman (yang notabene berbahasa Arab) kitab-kitab ajian di pesantren. Padahal, jika ditilik dari sejarahnya, sebagaimana dilukiskan dalam paragraf-paragraf di muka, cikal-bakal tradisi sastra di pesantren justru diawali dari wacana sastra genre puisi.

Sampai di sini, kita dapat membuat kesimpulan sementara atas dua gagasan penting tentang sastra pesantren. Pertama, sesuai dengan “gosip” yang berkembang di dalam media, yang dimaksud sastra pesantren adalah karya santri yang lahir dan atau berkreativitas di pesantren dan atau yang kini tengah mekar di luar pesantren; kedua, gagasan yang khas pesantren, sejenis nubuwah yang harus disampaiakan kepada khalayak ramai; wa bil-khusus, mengemban gagasan dan cara pandang kepesantrenan.

Atas dasar pernyataan di atas, semakin sulit bagi kita untuk membedakan sastra pesantren dengan “sastra profetik” seperti yang telah digagas oleh Kuntowijoyo di awal tahun 90-an itu. Lebih jauh lagi, kita dapat mengajukan pertanyaan: apa yang dapat diistimewakan sastra pesantren daripada “sastra Islam” atau “sastra islami” jika kategori tema yang diusungnya relatif sama? Tentunya, pembahasan ini harus ditarik lebih jauh lagi pada persoalan sastra Islam.

Polemik dan perdebatan tentang sastra dan kesenian Islam sejatinya telah lama digulirakan. Di antara forum yang sempat menggulirkannya secara serius adalah Festival Istiqlal pada tahun 1990-an dulu. Majelis seni/sastra—tentunya dengan embel-embel “Islam”—pun ramai dibicarakan, didebat, ditanggapi, seperti biasanya: lama-kelamaan menjadi sepi, hilang dengan sendirinya.

Memang, sulit rasanya melekatkan institusi (agama) pada kegiatan sastra sebagai sebuah genre, seperti Sastra Islam, Sastra Hindu, Sastra Kristen, dan seterusnya. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena kagiatan bersastra atau produk sastra itu sendiri lebih berkait-erat dengan “unsur dalaman”, yakni nilai (keislaman/keagamaan). Penggunaan istilah nisbah, seperti Sastra Islami (dan bukan “Sastra Islam”), agaknya lebih mudah dipahami. Kalaupun ia tetap akan digunakan, istilah tersebut akan beralih-fungsi sebagai nama bagi era lahirnya karya (periodisasi). Misalnya; Sastra Jahiliyah, Sastra Abbasiyah, Sastra Klasik, Sastra Angkatan ’45, dan seterusnya. Ini menjadi galib dan lazim karena penggunaan istilah sastra dan label yang mengikutinya itu berhubungan dengan masa dan produk sastra yang dihasilkannya.

CATATAN AKHIR
Berdasarkan pernyataan-pernyataan dan gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan isu/wacana sastra pesantren yang selama ini diperdebatkan adalah “sastra pesantren” sebagai sebuah produk karya sastra saja atau juga sebagai genre, atau subgenre. Perkembangan perdebatan itu mencakup tiga orientasi.

Yang pertama adalah orientasi yang didasarkan pada “siapa”, yakni pada sastrawan (penulisnya): berdasarkan kategori ini, yang disebut karya sastra pesantren adalah karya yang ditulis oleh santri/kiai/civitas pesantren, dan atau juga yang punya silsilah sosial/intelektual dengan pesantren. Contoh untuk ini maka kita dapat menyebut nama Ahmad Tohari dan Jamal D. Rahman, meskipun karya-karya mereka tidak menyebut dan bernuansa pesantren secara langsung). Tampaknya, kategori ini lebih pas jika dikelompokkan dengan sebutan “sastrawan santri”, yaitu civitas pesantren (santri/alumni) yang menulis karya sastra. Bahkan, jika kita kembangkan bahwa penulis sastra pesantren yang penting adalah civitas pesantren (santri/alumni), maka tentu novel Mairil (Syarifuddin) dan Kuda Ranjang (Binhad Nurrohmat) yang nota bene dirisihkan oleh orang-orang pesantren karena mengekspos ketabuan seks akan dikategorikan ke dalam peristilahan sastra pesantren.

Orientasi yang lain adalah berdasarkan tema/seting, yakni sastra pesantren yang diasumsikan berdasarkan seting/latar cerita dan tema. Nah, barangkali, untuk mengambil contoh kategori ini akan sangat banyak. Novel “Geni Jora” karya Abidah el-Khalieqy dan “Hubbu” karya Mashuri (keduanya sama-sama memenangkan lomba penulisan novel/roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang berbeda) adalah salah satu contohnya, mengingat seting cerita yang diangkat adalah seting pesantren. Lebih-lebih, jika kita berikan contoh novel-novel pop remaja Matapena yang memang secara khusus mengangkat tema dan latar pesantren, seperti Bola-Bola Santri (Sachree M. Daroini) dan Jerawat Santri (Isma Kazee), dan seterusnya, maka ini juga masuk dalam contoh.

Orientasi yang ketiga: apabila sastra pesantren harus dikelompokkan berdasarkan genrenya—dengan tetap bertahan pada definisi genre dalam pandangan sarjana-sarjana sastra—maka yang dimaksud sastra pesantren adalah nadhaman, syi’iran, yang nota bene berbahasa Arab dan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura), dan bukan berbahasa Indonesia. Sebab, hanya genre syi’ir ini yang dapat kita kelompkkan pada genre, yakni jenis produk karya sastra (seperti puisi dan prosa), dan temanya jelas-jelas mengangkat masalah-masalah (ilmu-ilmu) keagamaan dan bahasa (nahwu-sharraf).

Kalau definisi sastra pesantren ditarik lebih keluar, misalnya dengan menyitir pernyatan bahwa karya sastra pesantren adalah setiap karya yang menyiratkan nuansa sufistik, risalah keagamaan, dan seterusnya, tentu kita tidak boleh keberatan untuk memasukkan karya-karya Abdul Hadi WM di dalamnya, meksipun dia sendiri bukanlah civitas pesantren. Bahkan, secara lebih ekstrem, kita juga harus merelakan karya-karya Romo Mangunwijaya, Rabindranath Tagore, hingga Khalil Gibran, sebagai karya yang berlabel “sastra pesantren” meskipun mereka sendiri adalah non-muslim. Itu artinya, sastra pesantren tak jauh adalah berbeda dengan sastra profetik.

Definisi sastra pesantren yang berkembang di media pada saat ini tentu bukan sekadar karya-karya santri yang ada/berproses kreatif di pesantren. Kelengkapan definisi ini adalah: lebih-lebih jika hasil karya tulis mereka menyiratkan spirit religiusitas yang “khas” santri dan sudut pandang nilai-nilai kepesantrenan. Lebih gamblang, sastra pesantren adalah karya sastra santri yang bertema hal-ihwal kesantrian dan kepesantrenan dengan membawa semangat kesantrian (religiusitas), baik secara langsung maupun tidak.

Oleh karena itu, membuat kategori (definisi dan pelabelan) untuk produk-produk karya sastra yang ditulis oleh sastrawan santri, sastrawan muslim, atau kiai, dengan memberi nama “sastra pesantren” adalah sah-sah saja sebatas itu sekadar untuk kepentingan “pemberian nama” untuk ditandai, bukan untuk dijadikan sebagai eksklusivitas sebagai proklamasi atas munculnya sebuah genre. Karena sesungguhnya, kita belum menemukan secara pasti apakah produk yang kita sebut dengan sastra pesantren itu, apakah itu nadham/puisi/syi’ir ataupun prosa (novel/cerpen) dalam bentuk kekhasan sebagai sebuah produk, dan seterusnya.

PENUTUP
Nama pesantren begitu besar dan punya pengaruh yang kuat dalam akar sejarah dan tradisi bangsa Indonesia. Karena itu, pesantren dan segala yang berhubungan dengan pesantren pasti “layak dijual”. Salah satu trik dagangnya adalah dengan cara diberi nama. Kita tidak benar-benar tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di luar kita. Barangkali, penamaan dan kategorisasi sastra pesantren hanya kebutuhan media untuk memudahkan “pemberian nama” itu. Atau juga—tapi ini prasangka buruk—karena faktor “politik sastra” dan “politik kapitalisme” sehingga kita mudah dipermainkan setelah “diberi nama” (semoga saja tidak). Kita mengakui nama itu karena hegemoni media, dan kaum civitas pesantren tidak dapat berbuat apa-apa lagi dengan yang dibuatnya, kecuali harus menyetujui terhadap si pemberi nama.

Atau, pemberian nama itu hanya sekadar untuk memudahkan pengelompokan, yang entah itu untuk kepentignan penelitian ilmiah atau untuk kepentingan-kepentingan “politik” lainnya?

Setiap orang berhak memberi nama, membuat kategori. Setiap kategori bisa didasarkan atas definisi yang beragam. Terbukti, kata pesantren dalam sastra pesantren saja masih ambivalen; apakah sebagai lembaga pendidikan, sebagai ideologi, ataukah sebagai sebuah sistem tanda kebudayaan? Ini mengingatkan kita pada genre musik, yang nota bene lebih mudah dikategorikan genrenya. Sebab, musik punya banyak instrumen penilaian untuk itu; tempo, alat yang dipakai, ketukan, ritme, serta unsur-unsur yang lain. Terbukti, kategorisasi genre yang dilekatkan media/pengamat musik tidak serta-merta disetujui oleh kelompok musik yang diberi nama.

Saat melangsungkan tur dunia untuk promo “black cover album” pada tahun 1993 lalu, Metallica disebut-sebut sebagai grup musik beraliran “thrash metal” oleh pers Indonesia. Namun, James Hetfield tidak terima ketika mengatahui hal itu dan ia ngotot untuk tetap menyebut musiknya sebagai “heavy metal”; Konon, Rhoma Irama yang menjadi ikon dangdut di tanah air tiba-tiba dinobatkan sebagai gitaris rock terbaik dalam subuah survei pers di luar negeri karena gaya musik/permainan yang lebih dekat pada Ritchie Balckmore (Deep Purple) daripada pada jenis musik dangdut sendiri; Khalil Gibran yang di Indonesia dianggap penyair dengan banyak sekali melahirkan puisi sebetulnya dia tidak pernah menulis puisi kecuali hanya satu, Al-Mawakib. Hal ini disebabkan karena puisi bagi orang Arab—kala itu—adalah nadham/syi’ir (yang harus ditentukan oleh ‘aruld, termasuk qafiyah dan bahar, sebagai disiplin ilmu yang baku untuk menulis puisi) dan tidak seperti puisi dalam pengertian benak orang Indonesia yang melihatnya dari sudut pandang teori sastra yang nota bene bukan dari Arab (Barat).

Itulah beberapa contoh kasus penamaan. Semua perdebatan dan anggapan itu tidak sekadar karena dasar pertimbagan tema saja, melainkan disebabkan oleh sesuatu yang jauh lebih prinsip: genre. Tapi, begitulah penamaan! Dalam proses itu, reduksi akan selalu saja terjadi. Dan yang demikian itulah yang sedang menimpa kita: telah lama kita tahu, Mazhab Praha, Mazhab Yale, Mazhab Frankfurt, hingga Mazhab Rawamangun pun (bahkan, yang terakhir mungkin perlu juga disertakan: Mazhab DKJ) selalu punya orientasi dalam melihat sebuah karya sastra. Dan kita tetap menerimanya begitu saja setelah lebih dulu bergulat melalui pemahaman-ketakpahaman. Beda persepsi, perbedaan kategori, dan salah paham memang selalu diawali dari letak kita berdiri untuk melihat objek dalam sebuah sudut titik pandang.

Memberikan definisi sastra pesantren berdasarkan kategori sebagai jenis produk karya sastra (genre) yang telah kita lihat hingga saat ini, dari karya “Perjalanan ke Akhirat”-nya Djamil Suherman hingga “Ronggeng Dukuh Paruk”-nya Ahmad Tohari; dari “Tadarus”-nya Kiai Mustofa Bisri hingga novel-novel sastra pop pesantren yang diterbitkan oleh Matapena itu, belumlah memuaskan. Akan tetapi, jika hanya berdasarkan kategori wacana sastra, dan jika memang itu yang dimaksudkan, maka tentu demikianlah adanya sastra pesantren itu.

Atau, mungkin kita tetap masih harus menuggu sampai suatu saat ada sebuah karya yang benar-benar memiliki trade mark atau karakteristik kepesantrenan dalam arti sesempit-semptinya, sekhusus-khususnya, dan karya itu belum pernah ditulis oleh orang lain sebelumnya. Artinya, karya itu menjadi sebuah “genre” yang “direstui” oleh teori sastra sekaligus menjadi isu yang disepakati sebagai wacana sastra. Sehingga, “alamat kelahiran” yang pertama kali muncul itu, akan menjadi satu-satunya mercu suar yang dapat diliahat oleh semua orang yang ada di bawahnya. Kemudian, orang-orang itu akan merasa yakin, itulah “sastra pesantren”. Pada akhrinya, ia akan menjadi acuan, menjadi referensi, menjadi pakem: sehingga untuk disebut sebagai “sastra pesantren”, sebuah karya haruslah punya karakteristik seperti mercu suar itu.

Jika tidak ada orang yang mau segera berbuat untuk itu, maka pilihannya adalah menunggu. Padahal, semua orang tahu: menunggu adalah pekerjaan yang benar-benar membosankan.

Wallahu a’lam.

SUMBER BACAAN
Goody, Jack, 1987. The Inteface Between the Written and the Oral, Cambridge University Press
Sweeney, Amin, 1987. A Full Hearing, University of California Press
Yanti, KH., Neneng. 2002. Perdebatan di Seputar Isu Sastra Pesantren. Makalah
El-Muttaqien, M. Zamiel. Akar Tradisi Sastra Pesantren. Kompas Jatim 11/06/2005
Aba Ahmad Mujtaba, Sastra Pesantren: Harapan Kenyataan dan Tantangan, Majalah Fadilah edisi VII Desemebr 2003
Faizi, M. 2007. Pesantren Ikon Pendidikan Nonformal. Majalah Basis Juli-Agustus 2007.
_____________. Chicklit dan Minat Baca Remaja, Jawa Pos 29-05-2005
Mastuki HS, M.Ag, dan Ishom El-Saha, M.Ag, (ed.), 2003. Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka
‘Usman, Muhammad ‘Ali. 2007. Para Ilmuwan Muslim Paling Berpengaruh Terhadap Peradaban Dunia. Jogjakarta: Diva
Em Syuhada’, Secercah Sinar dari Lirboyo, Jawa Pos 20 Apr 2008
Kompas, Sastra Pesantren Bagian dari Sastra Indonesia, edisi 29 September 2004
Sumber URL:
Nurrohmat, Binhad. Gincu Merah Sastra Pesantren. Suara Karya Online; 24/03/07. URL= http://www.suarakarya-online.com/news.html. diakses pada tanggal 05/05/08
Munawwar, Ridwan. Ledakan Sastra Pesantren Mutakhir: Cinta, Kritisisme, dan Industri. Suara Karya Online; 03/03/07. URL= www.suarakarya-online.com/news.html?id=167741; diakses pada tanggal 05/05/08
Http://www.indomedia.com/bernas/2009/14/UTAMA/14hib1.htm: Sastra Pesantren Saatnya “Membuka Diri”
Acep Zamzam Noor. Pesantren, Sastra, dan Pilkada. 25 Januari 2006.
URL=http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=573&page=2: diakses pada 05/05/2008.
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=4373: Tinggal Bagaimana Sastra Pesantren Memberi Kekhasan Sikap. Sabtu, 18 Februari 2006 12:15: diakses pada 05/05/2008.
http://www.masjidistiqlal.com/index.php?modul=text&page=detail&textID=2919; Dalam Sejarahnya Budaya Pesantren Bersebrangan dengan Perkotaan; Rabu, 16 safar 1428 H / 6 maret 2007; diakses pada 05/05/2008

*) Jurnal Anil ISLAM, edisi ke-1, Juni 2008.

Narasi Sastra Religius

Hamdy Salad
http://www.sastra-indonesia.com/

Segala sastra, baik puisi maupun prosa, tak pernah lahir dari ruang hampa. Selalu saja tersirat di dalamnya jejak-jejak kehidupan manusia. Jejak-jejak yang dapat dibaca secara estetis melalui kenyataan psiko-individual, sosio-kultural, dan religio-spiritual. Itu sebabnya dalam dinamika sejarahnya sampai kini, banyak definisi dan istilah sastra yang berkembang di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya apa yang sering disebut dengan – sastra religius.

Sebagai salah satu di antara istilah populer dalam perekembangan sejarahnya, bahasan mengenai sastra relegius telah menjadi perdebatan dari masa ke masa. Bahkan telah dianggap sebagai genre (aliran) tersendiri dalam ranah kesusastraan. Sehingga lahir pula istilah-istilah lain yang berdekatan denganya. Seperti sastra mistik, sastra holistik, sastra transenden, sastra filsafat, sastra pencerahan, sastra terlibat dunia dalam, dan lain sebagainya.

Di tengah laju globalisasi terkini, keberadaan wacana maupun karya sastra relegius terasa penting untuk diaktualisasi. Hal ini diperlukan bukan saja karena dunia sastra membutuhkan keseimbangan, tapi juga disebabkan oleh melubernya praktik-praktik budaya yang semakin jauh dari nilai moral dan keagamaan. Sehingga logika-logika metafisikal yang menjadi bagian utama dari tanda kesempurnaan manusia dalam kehidupan sehari-hari, kian melenyap dan terlupakan.

Oleh karenanya, apapun bentuk dan jenis karya sastra yang terlahir atau dilahirkan dalam ranah religius, memiliki keniscayaan kultural untuk membebabaskan kawasan jiwa manusia dari kemiskinan spiritual. Dengan begitu, keberadaan sastra religius masih berdaya untuk diberi narasi dan dipetik hikmahnya sebagai pelecut kesadaran iman. Sebagai refleksi estetis bagi manusia untuk membangun kembali aspek-aspek relegius, transendensi dan spiritualitas yang tercecer di sekitar lingkungan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Sekaligus mencuatkan makna apresiasi sastra religius yang lebih lengkap, lebih hidup, lebih indah dan mempesona, dari sekadar media untuk menebarkan doktrin-doktrin agama itu sendiri.

Ekspresi dan Kreativitas

Setiap karya sastra yang memiliki kecenderungan simbolik untuk mendekati manifestasi ide-ide ke-Tuhan-an, baik dalam ranah kehidupan individual maupun sosial, dapat dikategori sebagai - sastra religius. Dengan kata lain, bentuk-bentuk sastra relegius mengandungi ekspresi estetis yang merujuk pada pengalaman dan penghayatan terhadap eksitensi Tuhan dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur tematik sastra yang bermuara pada hal-hal yang bersifat metafisik, doa, pujian, permenungan diri, hari kebangkitan, surga dan neraka, atau tema-tema lain yang berkisar pada esensi kepercayaan, merupakan bagian dari dimensi keutamanya. Oleh karena itu, percakapan sastra relegius tidak sepenuhnya dapat dinisbahkan dengan tradisi dan budaya, suku maupun agama tertentu.

Namun demikian, kecenderungan ekspresi sastra relegius secara lebih spesifik dapat dipahami bukan saja sebagai media untuk menghayati eksistensi Tuhan, tapi juga dapat dimaknai sebagai kreativitas estetis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran agama. Bentuk-bentuk karya sastra relegius yang mengekspresikan ide-ide ke-Tuhan-an, nilai dan ajaran agama tertentu, sering disebut dengan - unsur-unsur relegiusitas dalam karya sastra, sastra bernafaskan agama, atau sastra keagamaan.

Pertumbuhan sastra keagamaan, terutama dalam khazanah budaya Melayu-Indonesia, banyak didominasi teks-teks sastra yang bersumber pada nilai dan ajaran agama Islam. Sehingga munculah ragam istilah yang kemudian dikenal dengan; sastra relegius Islam, sastra bernafaskan Islam, atau sastra bertema ke-Islaman. Dan dalam tulisan ini lebih sepakat untuk menyebutnya sebagai - Sastra Islam.

Penyebutan Sastra Islam, memiliki kecenderungan untuk memasuki wilayah-wilayah estetis maupun teologis yang membias dalam teks sastra maupun proses-proses kreatif yang ditempuh oleh pengarangnya. Secara estetis, sastra Islam memiliki arahan untuk memusatkan maknanya (bentuk dan isinya) yang merujuk pada substansi nilai-nilai keislaman yang bersumber pada al-quran, maupun tradisi dan pengetahuan yang lahir dari penafsiran terhadapnya. Melalui unsur definitif tersebut, kemungkinan Sastra Islam memiliki konsepsi yang lebih mendasar, yang dapat diturunkan dan diuji melalui ruang ekspresi maupun proses-proses kreasi yang membias dalam karya sastra. Sehingga dapat ditemukan gagasan-gagasan utama yang dapat dikembangkan sebagai landasan teoritik dalam proses penciptaan maupun pembacaan. Bahkan dapat juga digunakan untuk mencari dan menemukan perbandingan-perbandinganya dengan wacana kesusastraan di luar dirinya.

Dari Profetik ke Sufistik

Dalam khazanah sastra Indonesia , terutama pada periode klasik, gagasan-gagasan sastra Islam telah lahir dan berkembang bersamaan dengan masuknya pengaruh agama ini ke dalam berbagai wilayah tradisi dan budaya Nusantara. Keberadaan Sastra Melayu (syair, pantun, gurindam), Sastra Jawa (babad, serat, suluk), dan Sastra Pesantren (sastra kitab, singiran, nadhoman) setidaknya dapat direpresentasi sebagai awal dari kelahiran gagasan sastra Islam di Nusantara. Dan ketika sastra Indonesia modern lahir, tumbuh juga di dalamnya gagasan-gagasan Sastra Islam Indonesia Modern dengan berbagai polemik yang menyertainya.

Gagasan-gagasan Sastra Islam Indonesia Modern, secara tidak langsung telah muncul ke permukan sejak tahun 60-70 an. Gagasan-gagasan itu lahir bukan saja dalam bentuk karya, tetapi juga dalam bentuk wacana. Dalam bentuk karya, gagasan termaksud tersebar melalui teks-teks sastra yang dihasilkan oleh sejumlah sastrawan muslim dari berbagai periode angkatan sastra Indonesia sampai terkini. Dalam bentuk wacana, gagasan Sastra Islam Indonesia Modern telah memunculkan ragam istilah yang berbeda, namun memiliki arah dan tujuan yang hampir sama. Beberapa di antaranya ialah; sastra Islami, sastra ibadah, sastra dakwah, sastra dzikir, sastra kaffah, sastra sajadah, sastra qurani, dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut digunakan oleh para pendukungnya sebagai usaha untuk menjelaskan keberadaan dan kemungkinan-kemungkinan Sastra Islam dalam proses kreatif maupun ekspresi estetiknya. Selain itu, ada dua istilah lagi yang sangat berpengaruh, dan dikembangkan secara paragdimatik oleh penggagasnya sebagai wacana utama dalam dinamika sastra Islam Indonesia modern, yaitu Sastra Profetik dan Sastra Sufistik.

Sebagai istilah, terminologi profetik diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Roger Garaudy (filosof Ateis Perancis menjadi muslim) melalui kajian filsafat. Menurutnya, filsafat Barat telah membunuh “Tuhan dan manusia” dalam kebudayaannya, dan karena itu diperlukan adanya pencerahan baru yang mengajak manusia dan komunitas-komunitas agama maupun kebudayaan untuk mengenali kembali filsafat kenabian, serta berusaha mengaktualisasikannya melalui dimensi sosial dan budaya, seni dan kesusastraan. Gagasan-gagasan profetik dalam ranah seni, dikembangkan lebih jauh oleh Al-Faruqi dan Husein Nasr. Sedangkan dalam ranah sastra telah dieksplor secara kreatif dan mendalam oleh Rumi, Iqbal, Nizar Kabbani, Kasim Ahmad, Emha Ainun Najib, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, gagasan budaya profetik dipopulerkan oleh Kuntowijoyo (pada awal 1980-an) ke dalam kajian ilmu sosial, dan kesusastraan. Sehingga di kemudian hari, lahirlah paradigma baru yang disebut – Ilmu Sosial Profetik, dan Sastra Profetik. Gagasan profetik Kunto lebih lanjut dapat dipahami sebagai proses-proses kebudayaan yang mendasarkan aktivitasnya pada tiga dimensi pokok yang merujuk pada wahyu suci al-Islam (Qs. 3: 110), yakni amar makruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tukminu billah (transendensi). Dimensi pertama, memiliki muatan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan peran budaya yang dimiliki. Yang kedua, mengandungi perjuangan untuk membebaskan manusia dari penindasan dan perbudakan sistem budaya yang sedang berlangsung. Yang ketiga, mencakupi perlawanan kreatif yang bersifat relegius dan spiritual terhadap ideologi-ideologi budaya sekuler.

Bentuk-bentuk ekspresi sastra profetik dapat diapresiasi melalui unsur-unsur estetik, kode dan simbol, kisah dan peristiwa, tokoh dan karakter, narasi dan dialog, yang tersirat maupun tersurat dalam teks sastra. Apapun bentuk dan jenis karya sastra, yang mengandungi muatan ketiga dimensi tersebut, dapat dikategori ke dalam kecenderungan ekspresi sastra profetik. Sedangkan karya-karya sastra yang hanya mengandungi salah satu di antaranya, atau didominasi oleh satu demensi saja, tidak termasuk dalam kategori tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya (pada akhir 1980-an), wacana sastra profetik dielaborasi secara spasial oleh Abdul Hadi WM ke dalam terminologi baru yang disebutnya – Sastra Sufistik. Namun demikian, istilah “sufistik” telah digunakan dalam kajian filsafat klasik oleh E.H. Palmer (1867), R.A. Nicholson (1914) dan Muhammad Abdul Quasem (1976), serta sebutan lain yang berdekatan dan dipakai oleh Braginsky (1993) dengan istilah “tasawuf puitik”. Dari kandungan semua istilah termaksud, dengan aras yang berbeda, kemudian digunakan Abdul Hadi untuk mengidentifikasi berbagai kecenderungan estetik sastra Islam, khususnya di Indonesia . Dan sejak itu, wacana sastra sufistik telah mengada, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah sastra Indonesia.

Berbeda dengan sastra profetik yang mensyaratkan adanya dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi, konsepsi sastra sufistik lebih memusatkan penalarannya pada unsur estetik yang bersifat transenden. Nilai-nilai transendensi dapat diidentifikasi melaui ekspresi spiritual (ruhaniyah), baik dalam konteks teologis (hablumminallah) maupun kultural (hablumminnas) yang terkandung dalam teks sastra. Dengan sendirinya, kecenderungan sastra sufistik tidak semata dibatasi oleh masalah -masalah ke-Tuhan-an, tetapi juga memiliki kemungkinan tematik yang digali, dan diangkat dari realitas kehidupan manusia. Makna profetik menekankan pada aspek-aspek perlawanan dan pemberontakan terhadap realitas budaya melalui ruang sosial (peran manusia sebagai khalifah), sedangkan sastra sufistik memiliki kecenderungan untuk menghayati dan merenungkan realitas budaya ke dalam ruang individual (peran manusia sebagai abdillah).

Karena itu pula, konsepsi sastra sufistik memiliki jaringan tekstualitas secara langsung maupun tidak langsung dengan disiplin tasawuf, tarekat, dan ragam ekspresi estetik kaum sufi. Akan tetapi, tidak semua sastrawan yang menghasilkan karya sastra sufistik dapat digolongkan sebagai kaum sufi. Begitupun sebaliknya, tidak semua kaum sufi dapat melahirkan karya sastra, atau disebut sebagai sastrawan.

Dengan demikian, narasi sastra dalam ranah relegiusitas maupun keagamaan, tidaklah bersifat tunggal dan seragam. Tapi memiliki perspektif wacana dan ragam estetika yang berakar pada realitas sosial, tradisi dan kebudayaan di sekitar kehidupan pengarangnya. Sebab ekspresi relegiusitas dalam karya sastra, khususnya Sastra Islam, bukanlah sekadar media untuk menyampaikan, merenungi atau mengkritisi ajaran agama, tetapi juga dapat digeledah sebagai bagian dari sejarah dan perkembangan, perubahan dan pergeseran wacana dalam dunia sastra itu sendiri.

**) Pernah dimuat di Jurnal Kebudayaan The Sandour, edisi III, 2008, PuJa.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi