Jumat, 30 Juli 2010

Obor Revolusi Sastra Komunis

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.sastra-indonesia.com/

Jejak dari Pojok Kampung

Ada persepsi miring dan kelam hingga kini ihwal gerakan Partai Komunis Indonesia. Pertarungan politik dan ideologi dari masa ke masa memiliki momentum masing-masing. Penistaan dan pengasingan eks PKI, atau yang berada di selingkungannya, baik keluarga maupun sanak saudara, tidak mendapatkan tempat di negeri ini. Peristiwa Gestapu 1965 seolah menggebyah semua itu, dan kesejarahan komunisme di Indonesia kian memerah.

Satu-satunya saksi di mana kita bisa belajar bersama adalah dengan apa semua itu terkabarkan dan tertuliskan. Yang terceritakan barangkali sudah jarang kita temukan, lebih-lebih bagi generasi muda sekarang. Saya termasuk generasi yang lahir pada 1970-an yang di masa kecil saya benar-benar dihantui akan cerita-cerita “lubang buaya”. Terutama saat menonton film G 30S/PKI besutan Arifin C Noer itu. Umpatan giris “Darah itu merah, jendral!”, kala sosok perempuan di film itu mengayunkan silet di tangannya lantas mengiris pelan-pelan wajah sejumlah jendral, betapa masih terekam sampai sekarang. Lalu cerita-cerita itu bermunculan sendiri kala film tersebut usai atau di waktu lain saat jagongan dengan orang-orang tua tetangga saya yang mengalami masa gelap 1965 itu. Lek Ndani, diceritakan sebagai penjagal PKI dari barisan Anshor yang disokong TNI di Jombang. Ia pernah menangkap (dan banyak pula orang PKI yang telah dibantainya) dan menggeret seorang Gerwani (atau yang disangkanya Gerwani) ke pinggir pohonan pring di belakang rumahnya, di dekat persawahan. Gerwani itu dihajar disiksa, disiset kulitnya dalam sehari beberapa kali, agar ia bicara, agar ia bersuara. Tapi tidak. Lek Ndani pun mengajak tetangganya untuk melakukan hal yang sama, sesukanya dengan alat apa saja. Dalam waktu 3 hari yang perih-panas menyayat kuping, Gerwani itu mati, dan sekarang ia menjadi cerita setan yang gentayangan yang di malam-malam tertentu menghantui orang-orang yang lewat di situ.

Cerita itu menjadi “daging” memori yang tak pernah hilang. Penyembelihan dan pembantaian yang serupa ini banyak terjadi juga di daerah mana saja. Tidak hanya di buku-buku sejarah. Adik kakek saya, Man Lik, tinggal di kampung Njajar Santren, semasa hidupnya sangat bergelora dengan jiwa berjihad kala membabarkan pengalamannya tersebut kepada saya saat dia di Anshor dulu. Ia bersama 2 atau 3 temannya ditugasi menjagal orang-orang PKI (atau eks yang disangka PKI) yang kebanyakan terdiri dari para perempuan dan anak-anak. Ilmu kesaktian dan aji-aji kekebalan mereka tidak lagi diragukan. “Ada Gerwani yang hamil tua. Tapi ia harus disembelih. Agar saya tega dan tidak dihantuinya, maka, setelah menggorok dan memutuskan lehernya, saya angkat potongan kepala itu tinggi-tinggi, lalu darah mengucur deras dan saya mengglogoknya hingga tetes terakhir,” begitu ceritanya.

Di daerah kecamatan Wonosalam yang berhutan, di Jombang, yang kaya akan buah duren pertaniannya, diceritakan merupakan markas tentara dan simpatisan PKI dan menjadi tempat persembunyian pasca kegagalan Gestapu. Pun cerita Ludruk Arum Dalu dari Mojoagung yang merupakan underbow-nya Lekra yang disikat habis Anshor dan TNI di tahun 1965. Dalam penelitian ludruk Jombang yang kini sedang saya kerjakan, hampir kurang lebih 2 tahunan sejak 2008 saya belum menemukan seorang pun narasumber terpercaya dari anggota ludruk tersebut.

Cerita macam itu terus merayap dari telinga ke telinga. Berlelayapan sendiri. Seperti kabar burung tanpa sayap. Yang fakta bisa jadi fiksi, yang fiksi tiba-tiba bisa jadi fakta. Atau mungkin berada di tengah-tengahnya. Lek Ndani, Man Lik, dan orang-orang tua tetangga saya, beberapa sesepuh ludruk Jombang yang lamat-lamat mengingat tragedi Ludruk Arum Dalu adalah contoh dari sepersekian cerita yang berserak dari peta sejarah pergolakan politik-ideologi di negeri ini yang luput tercatat.

Obor Pemberontakan PKI 1926

Mereka yang tersunyikan dan terbisukan. Dan para eksil juga sastrawan Lekra, hanyalah bagian kecil yang mencoba menyuarakan kebisuan dan kesunyian itu. Misalnya Pramoedya Ananta Toer dengan karya-karyanya. Namun yang perlu kita cermati adalah pergerakan PKI yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan antek-anteknya pada 12 Desember 1926. Ini menjadi tonggak penting dalam kesejarahan perjuangan Indonesia melawan imperialisme bahkan sebelum munculnya Sumpah Pemuda 1928. Dan peran sastra yang disorong para penulis komunis masa itu membuktikannya.

Pemberontakan 1926 telah menjadi catatan sejarah tersendiri dan dapat kita hikmati dalam kumpulan cerpen dan puisi Gelora Api 26 (Ultimus, Bandung: 2010). Sejumlah cerpenis tertoreh di sana: Zubir.A.A., Agam Wispi, Sugiarti Siswadi, S. Anantaguna, T. Iskandar A.S., A. Kembara. Sedang para penyairnya ada Alifdal, Chalik Hamid, Anantya, Nurdiana, Mahyuddin, Mawie Ananta Jonie, M. D. Ani, dan Z. Afif. Seperti cerpen berjudul “Sukaesih” karya sugiarti Siswadi, yang dibuka dengan baris-baris ini:

Darah siapakah yang menggenang merah
membasahi bumi priangan?
Ah, itulah darah Haji Hasan
dipotong seanak-bininya…
dan si perampok berkulit putih
mengamankan goloknya

Cerpen tersebut, dengan balutan estetika realis, mengisahkan secara apa adanya akan kegigihan seorang Sukaesih dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai komunis tulen. Dalam cerpen Agam Wispi “Rapat yang Penghabisan”, ia melukiskan tokoh-tokohnya yang sehabis melakukan rapat ditangkapi polisi Belanda. Yang menarik juga, tokoh komunis perempuan, Upik, yang cantik tapi bisu dengan kalimat: “Kecantikan yang menggoda dan kebisuan yang gelap hanyalah riak di permukaan air bagi mereka yang tak mengenalnya.” Tokoh Upik inilah, yang tetap bertahan menyimpan semua ingatan dari kegagalan rapat partai. Puisi-puisi di dalamnya menyiratkan slogan dan yel-yel perjuangan. Misalnya Anantya, dengan puisi “Mengangkat Tinggi Panjimu”. Puisi ini melukiskan gigihnya perjuangan yang akhirnya berujung kegagalan, namun si penyair tetap berseru: “Obor yang dinyalakan di malam gelap gulita ini, Kami serahkan kepada angkatan kemudian.” Dan puisi Nurdiana “November Bulan Historis” memuncaki pergolakan batinnya dengan penggalan bait puisi yang terakhir: Pemberontakan tahun dua enam, Sangkakala revolusi Indonesia!

Tanah Merah Boven Digul

Pemberontakan PKI tahun 1926-1927 yang gagal terhadap pemerintahan Hindia Belanda mengakibatkan banyak pejuang PKI yang diasingkan ke Boven Digul, di rimba raya Irian. Koesalah Soebagyo Toer memberi kesaksian dalam bukunya Tanah Merah yang Merah: Sebuah Catatan Sejarah (Ultimus, Bandung: 2010). Tan Malaka menyesalkan pemberontakan yang belum matang itu. Juga Stalin yang meminta agar pemberontakan itu dibatalkan setelah ia mendapatkan laporan dan Muso dan Alimin. Tapi pemberontakan itu tetap dilancarkan, dan memang benar-benar diporak-porandakan. Kegagalan ini wajar, Vladimir Lenin dengan partainya juga berkali-kali hancur sebelum sukses besar dengan revolusi sosialisnya tahun 1917. Fidel Castro pun juga pernah mengalami kehancuran bertubi-tubi, sebelum ia bangkit kembali menancapkan revolusi sosialnya yang pertama kali di benua Amerika tahun 1959.

Akibat besar dari kegagalan pemberontakan PKI 1926 sebagaimana yang ditulis Koesalah adalah harga mati yang mau tidak mau harus dibayar oleh mereka-mereka yang dibuang ke Digul. Menurut Darman, anak Digul putra Dardiri Soeromidjojo, perlawanan tersebut adalah pemberontakan nasional Indonesia yang pertama menentang kekuasaan kolonial Belanda. Persiapannya dilakukan di seluruh wilayah Indonesia: tidak hanya di Jawa, Sumatra, tapi juga di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Nusa Tenggara. Kendati semua itu dapat ditekuk Belanda. Kehidupan para tawanan di Digul, seperti digambarkan Rudolf Mrazek dan Takashi Shiraishi, benar-benar merusak. Merusak segala sendi kenormalan. “Rumah sakit gila”, terjangan malaria, TBC, kuburan impen-impen nasionalisme, pembuntungan cita-cita politik yang tak dapat lagi dipertahankan: dan itulah yang diharapkan Gubernur Jendral de Graeff.

Catatan sejarah Soebagyo tersebut mengingatkan kita pada pengalaman pahit I.F.M. Chalid Salim, adik H. Agus Salim, di Tanah Merah dalam bukunya Lima Belas Tahun Digul: Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia (Bulan Bintang, Jakarta: 1977), dan pertama kali diterbitkan penerbit Contact dalam bahasa Belanda tahun 1973. Sejarah kamp konsentrasi Hindia Belanda ini bahkan jarang ditulis oleh orang Belanda. Karya Balans van Beleid yang ditulis Baudet dan Brugmans, hanya sepintas lalu menyebut Digul. Padahal sejarah kamp Digul yang terentang sejak 1928 sampai 1943 bisa menyibak banyak hal dalam kesejarahan Hindia Belanda dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain Salim dan catatan sejarahnya itu, ada sosok Uska misalnya, yang bagi peneliti D. van der Meulen seperti yang dikutip W. Schermerhorn dalam mengapresiasi buku ini, lebih perih penderitaannya ketimbang yang diceritakan Salim. Meulen yang saat itu menjadi amtenar (pangreh praja) sempat bertemu Uska di Tanah Tinggi. “Ia digulis yang pantang menyerah. Ia tidak bisa ditaklukkan. Pada dirinya tersembunyi kepahitan, daripada jiwanya Salim,” kenangnya dalam karya yang ia tulis Ik Stond er Bij.

Digul bagi Salim adalah lambang perziarahan politik yang nyaris dilupakan Soekarno. Ia meratap dan minta ampun agar tidak dibuang ke Digul. Ini pengakuan Moh. Hatta, yang pernah jadi digulis bersama Sutan Syahrir. Belanda mengabulkan, dan mengasingkannya ke Flores, tentu dengan pertimbangan supaya si bung besar itu jiwanya “melembek”, dan tidak tambah berkobar bila ia didigulkan. Saat ia suatu hari terbang di atas tanah merah tahun 1963, ia hanya memberi penghormatan dari ketinggian udara, mungkin gentar dengan kamp neraka politik itu. Tapi Cindy Adams mencatat keharuan Soekarno: “Banyak komunis yang tubuhnya mengisi kuburan-kuburan tak bernama di Digul, mereka adalah pejoeang-pejoeang untuk kemerdekaan kita! Mereka tetap merupakan patriot besar!”

Karya-karya mantan digulis tidak sekedar catatan perjalanan, namun sebuah tindakan pembangkitan, sarana proletariat melawan kolonialisme, mengumpulkan jejak sejarah yang tercecer sebagai bandingan dari dokumen-dokumen Belanda yang sepihak. Agar suara-suara silam yang terbungkam terkubur, tidak disirnakan.

Dari Memoar Hingga Catatan Perjalanan

Kawula muda sekarang mungkin bertanya, komunisme itu apa? Tentu komunisme mengeram sejarah panjangnya sendiri. Boleh jadi gambaran entengnya seperti ini: “Sebelum menjadi apa-apa jadilah dulu seorang komunis”. ungkapan ini dirumuskan oleh generasi sosialis di kemudian hari yang disuling dari pemikiran seorang penyair sosialis Rusia, Nekrassov. Apa kiranya yang kita pahami tentang karya sastra yang dilahirkan dari ketegangan antara ideologi politik realisme sosialis dengan ideologi kapitalisme? Fakta sejarah baik berupa karya sastra, memoar, catatan perjalanan, maupun penelitian telah banyak mengabarkan kepada kita. Di antaranya adalah sebuah memoar yang berjudul Azalea: Hidup Mengejar Ijazah ( Klik Books, Jakarta: 2009) yang dianggit secara prosais oleh Asahan Alham, adik DN. Aidit dan Sobron Aidit. Nuansa petualangan romantik dengan latar tahun sekitar 1960-an ini padat-rinci dengan penghadiran tokoh sentral, Sulaiman. Pergolakan revolusioner kaum sosialis (PKI) hanya dijadikan lanskap, namun justru dari situlah kita dapat melihat sisi lain dan kepiawaian Asahan dalam mengolah kembali cerita-cerita masa lalunya.

Tatiana Lukman adalah seorang eksil dari pasangan M.H. Lukman (1920-1965) dengan Siti Niswati. Ayah Tatiana merupakan sosok penting di teras pimpinan PKI dan wakil ketua DPR Gotong Royong pada masa pemerintahan Presiden Soekarno di era 60-an. Sebagai anak dari tokoh PKI, Tatiana juga terkena imbas. Studinya di Tiongkok morat-marit dari tahun 1964-1966. Lalu pindah ke Kuba, kemudian ke Habana, Perancis, menjadi pengajar bahasa Perancis selama 12 tahun. Terakhir ia tinggal di Amsterdam, dan dari semua perjalanan itu ia terus mencatat kembara pengasingannya dalam bentuk novel Pantha Rhei dan memoar yang berjudul Pelangi (Ultimus, Bandung, 2010).

Kita juga bisa menyimak buku Perjalanan Jauh: Kisah Kehidupan Sepasang Pejuang (Ultimus, Bandung: 2010) karya M. Ali Chanafiah dan Salmiah Pane. Buku ini menceritakan perjalanan hidup mereka sebagai sepasang suami-istri yang ikut-andil dalam perjuangan kemerdekaan RI. Kisah tentang sebuah keluarga, dengan gaya penceritaan kakek-nenek kepada anak-cucunya. Sosok Pak Ali, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Srilanka pada 1965, lebih cenderung sebagai pendidik, ketimbang politikus, sebagaimana yang dituturkan Asvi Varman Adam dalam pengantarnya. Ia pernah berjumpa dengan Pak Karno secara intens ketika proklamator itu diasingkan ke Bengkulu. Sedang istri Ali, Salmiah Pane, merupakan adik dari Sanusi Pane dan Armijn Pane, dua sosok yang tidak asing lagi dalam khazanah sastra Indonesia. Karya dari dua pengarang ini penting jadi bacaan yang berharga bagi masyarakat, untuk dapat meneladani kegigihan, watak kebangsaan, ketabahan, dan perjuangan nasionalisme yang tak kenal lelah.

Peran Sastra Realisme Sosialis dan Sastra Kita Kini

Tema kerakyatan dan spirit revolusiner dalam karya sastra realisme sosialis adalah “sastra keterlibatan” yang penuh seluruh terhadap kecamuk problematik kehidupan. Kendati kebenaran realisme sosialis yang diperjuangkan oleh sastrawannya adalah kebenaran doktriner sebagaimana yang ditancapkan Marxisme-Leninisme. Tapi itu hanyalah salah satu jalan. Watak berkarya mereka demi membangun militansi mempertahankan kemandirian berpikir dan mengembangkan antikapitalisme internasional. Tidak kenal kompromi, tak kenal menyerah. Ini terlukis dalam pemikiran Maxim Gorki, lewat novelnya Ibunda, menjadikan tonggak penting realisme sosialis dalam seni dan gagasan menatap hari depan, tidak patah arang sebab tangisan dan rengekan, melainkan bahwa cita-cita dan idealisme harus diperjuangkan dan terus dibangkitkan. Gorki sebagai sastrawan terkemuka Rusia tak memencilkan diri di menara gading, juga tak nyebut diri “pengarang murni”, yang hanya mau tahu dirinya sendiri. Sastra yang tidak hanya untuk sastra, namun keterlibatan sastrawan dengan kenyataan riil, misalnya politik, adalah suatu keharusan. “1001 kali seniman tidak berpolitik, 1001 kali pula politik akan mencampuri seniman,” demikian ungkapan tokoh Lekra Joebaar Ajeob.

Maka seniman harus tahu dan memahami politik, sejarah, dan ekses dari pengaruh luar yang menggerogoti nasionalisme dan watak kebudayaan bangsanya. Ia tak musti masuk partai. Tak alergi dengan politik. Kita bisa merujuk hal-ihwal karya yang bersinggungan dengan itu misalnya pada Komedi Manusia karya Balzac, Anak Revolusi karya Balfas, sajak “Diponegoro” karya Chairil Anwar, Percikan Revolusi dan Di Tepi Kali Bekasi karya Pamoedya Ananta Toer, Rasa Mardika karya Marco Kartodikromo, puisi “Elegi Jakarta” karya Rivai Apin, dan lain-lain. Sastra harus mempunyai fungsi sosial, mengabdi pada rakyat, dan beroriantasi dialektik dengan kenyataan, bahkan dapat diterapkan dalam kepartaian, seperti gagasan Lenin tahun 1905, untuk menjadi bagian penyokong mekanisme sosial-demokratik.

Bagaimana dengan sastra dan pengarang-pengarang muda saat ini? Tentu bukan sekadar merayakan dan mengurusi diri sendiri dalam kebebasan berkarya, dan tantangan itu sekarang lebih kompleks dan tersamar, di mana kini media teknologi kian canggih (fenomena bersastra via facebook misalnya), ruang dan kesempatan berdiskusi kecil-kecilan mengudar aneka gagasan makin sempit dan mahal, yang mana semua pergeseran itu dengan sendirinya melahirkan eksklusivitas, kejumudan, dan kepicikan.

Pada beberapa karya yang disinggung di atas, obor revolusiner seolah-olah tak pernah padam, sebab begitulah percampuhan manusia di jamannya. Ada sesuatu yang harus dinyalakan sendiri bagi tiap pengarang di masa kini, agar karya sastra mampu berperan konstruktif dan turut membangun masyarakatnya, tanpa kehilangan estetika sebagai landasan kreatifitasnya.


*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.

Melirik Sajak “Perjalanan” Charles Baudelaire

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=480


Aku tak pernah mengukur suhu tubuhku dengan alat ukur. Namun dapatlah terasa, sebab telah akrab membawaku kemana pun pergi. Hampir beberapa hari ini aku tidak menulis, hanya perbaiki tulisan lama yang belum tegak berkaki-kaki kefitrohan sebagai hasil cipta.

Betapa kejiwaan tiada lepas kondisi badan, pun tidak bisa diabaikan jalinan pencernaan, yang membentuk karakter menentukan tapak-tapak langkah bathin pula yang wadak.

Yang mengintriki timbangan nasib mengakibatkan sepyuran air di depan cahaya menghasilkan lengkung pelangi, meneguhkan corak yang tengah direngkuh bersama bayang-bayang harapan.

Alam puitik sewujud uap naluri, yang peka perasaannya memandangi lelingkup sehari-hari. Mencerna lewat perenungan dalam, mengkombinasi antara materi pula yang non materi tergayuh keyakinan musti.

Keimanan bergumul dalam tungku peleburan realitas goda mencipta sesosok gagasan, atau layang-layang ditarik ulur benang-benang hawatir terus-menerus.

Ada merekah selaksa pecahnya mentari fajar di ufuk selat kemungkinan, ini seharusnya dikejar angin berkabar kesembuhan. Selesung pipit bersenyum sumringah sedari kungkungan rapuh jasad lusa.

Tidakkah peristiwa sakit serupa mengaduk bahan merekatkan lem pada kertas-kertas yang hendak dibuhulkan buku. Pula letak penyeimbang bacaan dengan yang ingin menyimak nyanyian masa depan.

Ketika menulis berkeseluruhan jiwa, terpesona tidak terkira. Ketakjuban menyerupai tangan tengada, bukan pengemis meminta. Ada jerih ikhtiar lenguhan gelisah berharap-harap cemas berkesaksian mendung bergelayutan sehitam arang, tetapi tidak juga hendak menurunkan geraian hujan.

Dia rekatkan kebetulan-kebetulan waktu demi mendukung yang diidamkan. Bersama sentakan hebat, lahirlah yang musti dirapal. Mantra tiba-tiba meluncur sedari mulut keserupan, dalam kejiwaan dirupai kemenjadian lebih daripada realitas.

Yang dituliskan sekadar menyampaikan kesaksian, tidak hendak mengguratkan tekanan urat syaraf di luar pandangan. Terkesima suara wewarna perubahan menyertai, terbentuklah alam kalimah panggilan terbaca. Diteruskan paduan nada, hukum keindahan menyetubuh mereka bersapa di atas kedudukan mempesona.

Puisi itu kumpulan padat waktu persilangan ruang peristiwa diendapkan, dileburkan ke dalam harmoni musikal dipunyai. Awal semangat mulanya pancaroba dari padatan mencair jelma hembusan bayu nyanyian.

Olehnya, penyampai patut rela kondisi apapun bergojalak demi melayarkan kata-kata, bergulung menggelombang membenturkan tubuh ke batuan karang keangkuhan; waktu-waktu kebodohan, sambillau merasa terhibur pantai emas kejayaan.

Namun menaik-turunkan melodi kecantikan, memandang sedari kejauhan berkedip terdekat; kalbu tertambatkan kilauan puitik yang ditenggak jiwa-jiwa merdeka, atau para pencari dari generasi setelahnya.

Lantas ditinggikan hasil iktisarnya atau setiap kata yang terbilang puisi, kumpulan capaian sudut kemilau tersendiri. Bilangan cerlang dipantulkan, kelembutan bersimpan kharisma masa, pamor ruang abad-abad ditelusuri.

Maka cahaya kepenyairan menyerupai jalinan sukma kenabian yang selalu ada di setiap jaman, turun-temurun mengikuti gejolak bangsa yang terkandung dalam dirinya.

Atas itu, pribadi penyair bukan hasil dicetak, namun yang terbit dari kesetiaan menggelandang melakoni hayat mencahayai sesama. Ini tanggungan umur diterima anugerah hidup pada perasaan berlipat kepekaan. Jikalau tidak melaksanakan, tertutuplah pepintu siratan yang membenderangi hidupnya.

Menyerupai kebuntuan akal, daya jangkaunya ketul tidak setajam parang diasah, tiada melahirkan rutinitan purnakan kedalaman bathinnya. Jadi batu-batu gesek perasaan dipegangnya (:prinsip), memercik kilataan menandai gairah dari tingkatan sedurungnya.

Menambahkan tekstur tulisan ini lebih kentara, serta nafas-nafasnya pada bentukan akhir. Marilah simak sajak Charles Baudelaire, bertitel LE VOYAGE / PERJALANAN:

Maut, nahkoda tua! Sudah waktunya kita bertolak
Betapa jeleknya negeri ini, O Maut! Pasang layar!
Walau langit dan lautan hitam bagai tinta
Jantung kita mencat sinar-sinar merah berpijar

Curahkan racunmu atas kami agar kami tawakkal
Oleh sebab api ini terlalu membara dalam kepala
Kami akan menyelam ke dasar lautan, Surga atau Neraka
Ke daerah tak dikenal, di mana Yang Baru
menghembus dari hadapan.

[dijumput dari buku Sajak-Sajak Modern Perancis Dalam Dua Bahasa, disusun Wing Kardjo, Pustaka Jaya, cetakan kedua, Januari 1975].

Sang penyair diberikan kesaksian melampaui jamannya, memerindingkan penyaksi. Di mana perjalanan hidup, nasib bumi tua keriput, bakal bertolak menghadap kehadirat Maut.

Layar-layar kudu dikembangkan lekas sebelum disergap pemangsa, meski bayangan buram sehitam tinta menyamudra, oleh awan-gemawan kelam di atasnya memayungi perasaan was-was.

Tetaplah jantung mencerna kejadian menyiratkan sinar merah, memantulkan pijaran cahaya menantang yang bakalan tiba; racun kebinasaan, takut mencekam-menekan diharapkan tawakalnya menebal.

Api menyala di kepala menghanguskan fikiran tinggal intuisi semata, menyelam ke dasar ketakmungkinan, kebahagiaan dan celaka. Daerah asing paling wingit yang dulu dongengan bagi tidurnya anak-anak srigala, sehembusan bukit-bukit tua menghadapkan diri penuh percaya.

Menyerap segenap kejadian ditatanya membentuk tumpukan bebatuan waktu. Luka-luka jemari, kalbu lembut memar dipukuli masa, disayat-sayat peristiwa kian matang memaknai akhir maut tidak tergoyahkan.

Kejatuhan musti, batang kata-kata dilahirkan takdir benderang keyakinan, dia curahkan jiwa yang papa demi terbukanya hijab yang menyelimuti selama ini. Menginginkan kenyataan dirindu, serta telah lama ditinggalkan goda ayunan timbangan masa lalu.

Jikalau terjerat hukuman mati, berharap lekas dipenggal lehernya demi menuntaskan pandangan dunia yang tidak saling memberi makna, kecuali jatuhnya embun pengadilan.

Demi kedatangan benar-benar merasai, betapa yang dipanggul selama ini padat mendebar setiap waktu. Menyusuri jalan pedaskan mata, menulikan telinga, sampai perjalanan hidupnya kepada Kuasa segenap alam raya.

Insan penyair mengindit beban tambah lama memberat sebab tanjakan. Kala sampai tujuan akhir, bukan kecewa. Dia peroleh kesaksian lebih, telah tertembus lapisan yang ada dan tembuslah lelapisan tiada.

Menyusuri lorong tidak ditemukan jalan lain. Ini bukan berbicara batas kemampuan tetapi dunia terhampar telah menyatu dalam diri. Ialah ingin lenyap bersama, tertimpa cahaya di tengah malam tepat mengenai tubuh terlentang, lantas diperoleh kenikmatan ganjil yang tidak dirasai sebelumnya.

Seperti batasan lidah mencecap rasa, maut diterima rela. Seorang hamba terpesona, segera mendatangi panggilan petir gemawan. Memerindingkan dedaunan bayu, mengangkat tingkatan rahayu dalam keseluruhan bathin penyampai kepada Sang Penghulu.

Sebutir Nasehat di Tepi Nasi

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Dini hari terasa begitu dingin. Tidak seperti biasanya. Gerakan angin tidak terasa namun dinginnya membekukan tulang. Udara juga bersih dari riang jangkrik. Tidak ada gerakan sama sekali. Malam seperti telah berada di dalam kekosongan. Tanpa kehidupan. Berjalan pelan namun sangat pasti tanpa terhalangi apa pun. Berdetak dalam detik yang terus berganti sebagai langkah yang tidak bisa undurkan. Perjalanan waktu.

Dhimas Gathuk, menarik sarung. Membungkus tubuhnya yang telah melingkar dengan lebih rapat lagi. Sarung yang tipis itu, juga tengah berjuang keras. Melindungi daging di bawahnya agar tidak membeku karena pagi. Perlahan-lahan, udara di bawah sarung terasa panas. Dingin terpupuskan. Dhimas Gathuk langsung menghempaskan sarung. Berkali-kali dia berpindah posisi. Seperti bunga tidur kali ini tidak mampu memberikan dia kenikmatan pada kematian yang sesaat. Sampai akhirnya dia pun tersentak saat setumpuk dingin menimpa keningnya. Dhimas Gathuk mengusap. Di sana tidak ada apa-apa. Hanya ekor cicak yang meronta. Ditinggalkan sang empunya yang lari tunggang-langgang.

Pagi ini kembali dingin menyusup. Dhimas gathuk dinding mencari penunjuk waktu. Lima-sepuluh menit, begitu yang dia dapatkan. Pandangannya menyusur sela-sela. Mencari cicak yang telah menjadikan keningnya sebagai tempat pendaratan. Dia membuang nafas jengkel. Mengusap keringat yang membasahi tubuh di pagi yang dingin.

“Subuh terlewat.” Ucapnya pelan bangkit untuk membuang ekor cicak dan membasuh diri agar suci.

Tahu, karena sudah hampir kehilangan waktu sujud, Dhimas Gathuk terburu kembali ke ruangan kecil di bagian rumahnya yang lain. Dia menghadap ke barat, mengamati bentangan permadani yang masih memancarkan bau harum. Dia mengheningkan cipta. Menghadapi kekuatan yang telah menciptakan segala yang apa yang dia miliki. Begitu rendah ia bersujud. Menyerahkan dalam kepasrahan diri. Setelah selesai, Dhiamas Gathuk menyusuri benang berbulir sembilan puluh sembilan. Lama sampai matahari memancar dari timur mencairkan kebekuan.

Dhimas Gathuk mendapati kesunyian bersemayam di rumahnya. Kakangnya yang selalu berkelana tidak ada di sana. Walau dahulu setiap pagi hari, Kangmas Gothak sering melantunkan tembang-tembang yang dikarang sendiri. Tembang itu yang hadir setelah penempuhan perjalanan panjang. Kangmas Gothak memang seperti Bapak mereka, almarhum, yang senang berkidung atas segala yang mereka rasakan.

“Kang? … Kang? … Kang? …Kang?”

Dhimas Gathuk memanggil-manggil Kakangnya namun tidak ada jawaban. Dia terus mencari sampai keluar. Di halaman tidak nampak. Dhimas Gathuk menerawang ke tengah sawah yang diwariskan oleh leluhur mereka. Di sana juga tidak terlihat tanda-tanda tentang Kakangnya.

“Ah,” Dhimas Gathuk menepuk pahanya, “pergi kok tidak pamitan.

Dhimas Gathuk menggelengkan kepala. Dia masuk kembali ke dalam rumah. Di pagi itu juga, dia langsung menuju ke meja makan. Berharap, sebelum Kangmas Gothak pergi telah meninggalkan makanan untuk mengisi perut yang kelaparan. Apa yang diharapkan pun terlaksana. Di atas meja makan sudah disiapkan sarapan di pagi ini. Di atas cetudung, ada selembar kertas. Tulisan tangan Kakangnya yang pergi untuk mengembara.

Masih saja seperti dahulu, Dhi. Kamu tidur tapi menjadi pengganggu untuk tetanggamu. Pulas. Benar-benar lupa. Pantas saja dahulu Bapak sering bilang, kalau tidurmu mendekati mati. Benar-benar yang mati sampai lantunan subuh pun tidak terdengar.

Aku sudah masak untukmu, Dhi. Makanan kesukaanmu, Tempe Goreng dan sambel. Ha… Ha… Ha… jadi ingat Simbok yang sering bilang: “Masak makanan kesukaanmu, Le!” walau hanya masak daun singkong dan bukan kesukaan kita. Ah, Simbok, memang Simbok yang dengan senyuman dan cintanya mampu membangkitkan gairah kita untuk makan.

Dhi, tapi maaf, tempenya hanya tak sisakan dua, ha… ha…. ha……. aku tahu kalau kamu mampu menahan lapar dengan lebih baik daripada Kakangmu ini.

Dhi, semalam aku teringat Bapak, yang dahulu sering menyuruh kita untuk mengobati hati, dari rasa sakit dan kekecewaan. Kesombangan pun bisa dari hati, Dhi, jangan sampai hati kita menjadi buta hanya karena dunia. Sarapan pagi ini, Dhi, sarapan terakhir kita bersama dengan Simbok dan Bapak, bagaimana Bapak dan Simbok memesankan agar kita memelihara hati dalam niat. Sebab, kata Bapak dan Simbok, di sana lah awal dan akhir dari perhitungan yang dihitung Tuhan.

Adikku, memang susah hidup bermasyarakat. Hendaknya lebih bijak. Kalau beribadah, jangan menenggok ke orang lain. Sembunyikan dan jangan sekali kamu memamerkan demi dunia ini. Dhi, amal yang diperlihatkan tidak mendapatkan apa pun, selain maksud memperlihatkan itu. Salah-salah, menjadi riya, ujub, menjadi hal yang mengotori ibadahmu.

Nah, sekarang mumpung ada nasi, tempe goreng dan sambel, makan pagi dan syukuri, Dhi. Selamat makan.

Dhimas Gathuk memandangi nasi yang ada di atas meja. Dia tersenyum teringat pada Bapak dan Simboknya yang kini telah pergi jauh. Lalu, dia makan sengan lahap. Lauknya adalah kebanggan yang memenuhi dada. Alhamdulillaah.

Bantul – Studio Semangat Desa Sejahtera
28 Juli 2010

Haji Mabrur

Hendry CH Bangun
http://www.suarakarya-online.com/

"Jadi, yang penting dalam menunaikan ibadah haji adalah memahami makna napak tilas perjalanan hidup Nabi Ibrahim dan keluarganya. Selama ini banyak yang pergi haji, tapi tidak tahu apa filosofi dari ritual yang dikerjakannya. Yang penting tahu melakukan ini, tahu melakukan itu. Tata cara memang penting, tetapi kurang-kurang sedikit tidak apa-apa, sudah sah lah itu," ujar ustad yang berkhotbah di mesjid dekat kantornya, Jumat itu.

Lalu Saidi ingat akan undangan syukuran melepaskan jemaah haji yang akan berlangsung hari Minggu nanti di mesjid perumahan sederhana tempatnya tinggal. Ada tiga pasang suami istri yang tahun ini pergi menjadi tamu Allah. Pertama adalah Pak Suroto, yang belum lama masuk pensiun dari sebuah instansi pemerintah. Dia sebenarnya sudah bergelar haji, jadi kali ini perjalanan kedua. Ayah satu anak ini penggiat mesjid, sering memimpin salat, dan perilakunya menyenangkan tetangga. Istrinya pun anggota majlis taklim.

Yang kedua Pak Robi, yang baru saja membeli rumah di blok lain dan merenovasinya sehingga tidak pantas lagi disebut rumah sederhana. Dia wiraswastawan yang rajin menyumbang mesjid, senang berolahraga, dan tidak pernah absen jaga malam bersama atau gotong royong membesihkan lingkungan komplek. Saidi kurang tahu bidang yang ditekuni Pak Robi, tapi kalau mereka bertemu, sejauh yang diingatnya tegur sapa tetangganya itu menyenangkan hati.

Yang terakhir Pak Wahyu. Tetangganya yang satu ini termasuk yang jarang bergaul, hanya berteman dengan orang-orang tertentu saja. Seingat Saidi, jarang sekali dia ikut salat berjamaah, di saat ramai dipenuhi warga seperti salat magrib di hari Minggu. Setiap Idul Fitri, Pak Wahyu dan keluarga pasti tidak ada, karena pergi ke luar kota.

Lebih 10 tahun tinggal di kompleks, Saidi tidak ingat lagi kapan terakhir Pak Wahyu itu salat Idul Fitri atau Idul Adha. Memang sih dia selalu senyum atau menyapa bila pas berpapasan ketika jalan-jalan pagi di hari Sabtu atau Minggu, tapi ya segitu saja. Musyawarah warga, halal bi halal yang lalu pun dia absen. Istrinya yang seorang guru pun termasuk jarang bergaul, begitu pula anaknya yang sudah remaja, tidak pernah ikut kegiatan dengan warga kompleks seumur.

Sebenarnya ada warga yang kurang akrab, apalagi yang tidak satu jurusan atau kantor, wajar saja. Biasanya sekitar 5.30 mereka sudah keluar rumah, pergi ke stasiun kereta terdekat untuk bekerja di Jakarta. Begitu juga anak-anak yang pergi sehabis subuh dan kadang pulang sehabis magrib. Tetapi keluarga Pak Wahyu ini termasuk yang agak ekstrem mengucilkan diri, entah kenapa. Makanya Saidi jadi terkejut ketika nama Pak Wahyu masuk dalam daftar orang yang akan pergi haji dan mengundang untuk selamatan di mesjid. Dua hal yang membuatnya kaget.

Yang pertama, dia tidak tahu bagaimana tingkat kesalehan tetangganya itu. Mungkin saja dia salat lima waktu sehari semalam tetapi karena dilakukan di rumah, dia tidak tahu. Tetapi kalau benar demikian, maka biasanya orang yang rajin beribadah akan menyempatkan diri untuk salat berjamaah, entah subuh sebelum berangkat, magrib sehabis pulang kantor, atau pas hari libur seperti Sabtu dan Minggu. Rasa-rasanya Saidi belum pernah bertemu di mesjid komplek.

Yang kedua, Saidi ingat Pak Wahyu seperti tidak peduli dengan tetangga. Beberapa kali kerja bakti dalam rangka HUT RI, hampir pasti dia absen.

Berolahraga bersama 17 Agustus, nggak pernah tampak di lapangan maupun sekadar menonton di pinggirnya. Ada yang meninggal, dia pun hampir pasti tidak datang. Apalagi ikut besuk ke rumah sakit melihat tetangga sakit.

Waktunya bukan tidak ada, dia adalah PNS di sebuah departemen, sehingga sebenarnya masuk tidak buru-buru dan sore pun sudah sampai di rumah. Kalau diniatkan, dia bisa salah magrib di mesjid, tapi ya itu tadi, dia malas bergaul dengan warga di kiri-kanan rumahnya. Jadi buat apa dia berpaminatan kepada tetangga ketika akan berangkat haji? "Lha, selama ini kemana aja?

Kerja bhakti nggak, rapat RT nggak. Bahkan halal bihalal warga kompleks bulan lalu juga dia nggak datang," ujar Saidi dalam hati.

Tetapi tentu saja Saidi berjanji untuk datang, meski sebenarnya agak sebal dengan Pak Wahyu. Dia akan datang karena menghormati Pak Suroto dan Pak Robi, yang dikenalnya baik

* * *

Bagi Saidi, menunaikan rukun kelima itu bagaikan mimpi. Jangankan pergi ke Tanah Suci Mekah, untuk menghidupi keluarga dengan tiga anak dia sudah harus berhemat di sana-sini. Untuk transport dirinya ke kantor, dan tiga anak ke sekolah setiap hari, setidaknya 40 puluhan ribu harus tersedia. Belum lagi untuk belanja sehari-hari, yang sekarang setidaknya minimal Rp 25.000. Ditambah berbagai kebutuhan lain seperti gas, bayar listrik, dan cicilan ke koperasi, setidaknya dia mengeluarkan Rp 2 juta perbulan. Dan pendapatannya hanya lebih sedikit dari pengeluaran rutin, praktis tidak ada untuk menabung. Kalau ketiga anaknya sudah musim naik-naikan, maka Saidi sudah harus jauh-jauh hari memesan untuk berutang. Biasanya dia bisa bernafas sedikit lega bila ada pembagian bonus, yang besarnya bisa 2-3 kali gaji di awal tahun.

Dia hanyalah pegawai kecil, staf bagian administrasi di perusahaan swasta yang bergerak di bidang penerbitan. Dengan modal ijazah SMA, dia merasa bersyukur bisa menjadi pegawai tetap sehingga setidak-tidaknya ada pemasukan rutin. Kebaikan hati rekan sekampungnya, membuat Saidi mendapat posisi yang lowong, belasan tahun lalu. Kalau tidak mungkin dia sudah keleleran hidup di Jakarta.

Oleh karena tahu diri itu, Saidi, merasa beribadah sebaik-baiknya sebagai kompensasi. Paling tidak dengan melakukan Ibadah sesuai perintahNya, mulai dari salat, zakat, puasa, kecuali berhaji, dia merasa sudah berusaha semampunya. Entah lah kalau mendapat keajaiban, misalnya dikirim oleh kantornya karena dianggap patuh atau berprestasi. Kalau sekarang, ya tidak jelas.

Tidak urung dia iri juga dengan Pak Wahyu, yang ternyata memliki rezeki untuk memenuhi panggilan Nabi Ibrahim yang didambakan setiap muslim. Beribadah jarang, tapi malah mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Tanah Suci. Bergaul jarang, malah kini sudah siap-siap pergi haji. Padahal kata ustad, pintu rezeki biasanya terbuka bagi mereka yang habluminnannas dan habluminallah, yang hubungannya baik dengan sesama manusia dan begitu pula dengan Allah. Perasaan hatinya tiba-tiba menguggat ketidak adilan ini.

"Aku heran mengapa orang yang menurut kita nggak pantas tapi rezekinya besar ya," kata Saidi bertanya tanpa menginginkan jawaban.

"Kita yang capek, banyak kebutuhan, malah seret-seret aja."

"Seperti hidup, maut dan rezeki sudah ada yang mengatur. Dari sananya sudah ada jatahnya," kata Rois, teman satu gerbong Saidi di kereta komuter, ketika mereka berbincang dalam perjalanan pulang hari itu. Rois merupakan teman ngobrolnya bila pergi atau pulang dari kantor. Persaudaran sesama penglaju membuat bahan obrolan bisa apa saja, mulai dari urusan kantor sampai urusan rumah tangga. Saidi mengangguk, tapi merasa tidak puas.

"Kalau begitu gunanya ihtiar apa?" "Usaha ya tetap, berdoa juga jangan sampai lupa. Tapi hasilnya, Yang Di Atas yang tahu," kata Rois. Sampai turun dari kereta, naik angkot yang melewati pinggir kompleknya, batin Saidi merasa kurang terisi dengan jawaban rekannya itu.

* * *

Masih terngiang-ngiang ucapan Rois membuat Saidi kurang sreg ketika mengangkatkan kaki untuk mendatangi acara syukuran yang digelar sehabis salat isya. Kalau tidak datang, dia nggak enak, tapi kalau datang, dia merasa ada yang mengganjal. Tokh dia berpikir untuk legawa menerima apa adanya.

Mesjid sudah ramai, dia memilih duduk agak di pinggir. Setelah sambutan dan pembacaan ayat suci, ada sambutan dari calon haji yang kebetulan disampaikan Pak Wahyu. Warga tampaknya menunggu karena baru sekali ini Pak Wahyu bicara di mesjid. Setelah membuka dengan salam dan salawat Nabi dengan lancar Pak Wahyu bicara.

"Saya mohon maaf selama ini kurang bergaul, tidak perduli, dan seperti terkucil dari lingkungan. Saya tahu itu hal yang kurang baik dalam bertetangga, Saya tahu itu salah dan oleh karena itu dalam kesempatan ini memohon maaf sebesar-besarnya. Bukan agar saya dilapangkan menjalankan ibadah haji, bukan.

Tapi karena itu sudah menyalahi hukum bertetangga. Sekali lagi saya minta maaf," katanya dengan suara tersendat. "Sebenarnya saya malu menyadari hal itu, tetapi saya tidak tahu harus dari mana memulainya. Saya malu mengutarakannya. Tapi rupanya Tuhan membuka pintu dengan acara ini, saya harus memberikan sambutan mewakili bapak-bapak dan ibu yang akan berangkat haji.

Dan kesempatan baik karena semua tetangga hadir di sini, sehingga saya bisa meminta maaf kepada semua. Sekali lagi saya minta maaf," katanya berhenti sejenak dalam melanjutkan sambutannya. Acara jadi mengharukan. Banyak yang menundukkan kepala, tidak tahu harus bilang apa.
Pembawa acara jadi sempat bengong, apakah meneruskan sambutan dari Pak Wahyu atau harus menyudahinya.

Karena sebetulnya sambutan belum berakhir, karena belum menyinggung hal-hal kepergian ke Mekkah. Akhirnya dia berinisiatif meminta Ustad Gafur untuk memberi sambutan dan menyilakan Pak Wahyu turun.

Ustad lalu bercerita tentang betapa besarnya jemaah haji Indonesia setiap tahun, lebih dari 200.000, tetapi korupsi masih merajalela, kemiskinan bertebaran di seluruh negeri, protitusi seperti dibiarkan oleh mereka yang menegakkan hukum, dsb.

"Oleh karena itu sering dibilang di Indonesia banyak haji tomat. Berangkat tobat, pulang kumat," kata Ustad Gafur yang disambut tawa warga yang memenuhi mesjid. "Waktu berangkat niatnya bagus, tapi waktu pulang dia sudah lupa dengan janjinya di depan Kabah.
Semua penyelewengan dilakukan lagi demi uang, demi kekuasaan."

"Kita bersyukur ke hadirat Allah Swt karena di kesempatan ini, ganjalan yang ada di hati Pak Wahyu dapat terlepas dan dia kini merasa lega untuk bertolak ke Tanah Suci. Mudah-mudahan ketiga pasang ini kelak menjadi haji yang mabrur," kata Ustad Gafur, yang segera diamini hadirin.

Ketika mendapat kesempatan mengucapkan selamat jalan kepada ketiga pasangan yang berdiri itu, Saidi, sengaja berbisik kepada Pak Wahyu. "Semoga menjadi haji mabrur, bukan haji tomat," sambil tersenyum menyalami dengan pegangan tangan yang erat. Pak Wahyu pun tersenyum. Mudah-mudahan maknya sama.

* Palmerah Barat, 30 Oktober 2009

Sepak Bola Klenik

Sunlie Thomas Alexander *
jawapos.com

KEJANGNYA si gundul fenomenal Ronaldo menjelang final Piala Dunia 1998 di Prancis boleh jadi disebabkan faktor psikologis. Rasa gugup dan tegang dalam menghadapi partai penentuan adalah hal wajar. Apalagi beban dipikul oleh seorang bintang yang tengah bersinar terang seperti dirinya, tentu tak ringan.

Perlawanan dari Tegal

Dahono Fitrianto
http://cetak.kompas.com/

Apa hal pertama yang mampir di kepala saat mendengar nama Kota Tegal? Seorang teman dengan cepat menjawab, warteg dan ”ngapak-ngapak”.

Begitulah, kota di pesisir utara Jawa Tengah ini telanjur diidentikkan dengan dua stereotip: warung tegal alias warteg dan logat bahasa khasnya. Itu juga lebih sering ditampilkan dalam konteks olok- olok, untuk lucu-lucuan, yang secara tidak langsung sebenarnya mengandung sikap agak meremehkan.

Perhatikan dunia pop kita yang selalu menampilkan Tegal sebagai bahan lawakan, mulai dari Cici Tegal, Parto Patrio, hingga terakhir grup musik Warteg Boyz dengan lagunya yang sangat populer, ”Okelah Kalau Begitu”.

Padahal, jika diteliti lebih jauh, banyak yang tidak pas dengan olok-olok soal Tegal tadi. ”Bahkan, bahasa ngapak-ngapak yang dibawakan para pelawak itu sebenarnya bukan bahasa Tegal, tetapi bahasa banyumasan. Bahasa Tegal tidak ngapak-ngapak,” kata Yono Daryono, salah seorang tokoh sastra dan teater, pertengahan Februari lalu di Tegal.

Intens

Banyak orang awam yang tidak paham bahwa masyarakat Tegal sejak dulu sangat intens dan serius dalam berkesenian, terutama di bidang sastra dan teater. Kota ini bahkan melahirkan nama-nama yang cukup dikenal dalam dunia sastra, seperti penyair Angkatan ’66 Piek Ardijanto Soeprijadi (1929-2001), cerpenis SN Ratmana (73), dan penyair Widjati.

Di angkatan yang lebih muda ada nama-nama seperti Yono Daryono, Nurhidayat Poso, Eko Tunas, Lanang Setiawan, M Enthieh Mudakir, dan Dwi Ery Santoso. Bahkan, dua sutradara senior di dunia perfilman Indonesia, yakni Imam Tantowi dan Chaerul Umam, adalah orang- orang yang berasal dari Tegal.

Yono Daryono bersama Teater RSPD-nya pernah menancapkan Tegal di peta perteateran nasional pada era 1980-an dengan karya-karya seperti Roro Mendut (1983), Ronggeng Ronggeng (1986), dan Mandor (1987). Sementara Lanang Setiawan pernah memelopori aktivitas sastra Tegalan dengan menerjemahkan puisi- puisi karya penyair terkenal ke dalam bahasa Tegal pada tahun 1994.

Begitu riuhnya aktivitas sastra di Tegal ini sampai-sampai pada Agustus 1994 majalah sastra Horison menerbitkan sisipan khusus berjudul ”Sastra Tegalan” yang merangkum karya para sastrawan Tegal.

Di bidang seni yang lebih dekat dengan seni tradisional, Tegal juga menelurkan dua dalang unik yang karya-karyanya bahkan sudah dikenal dunia internasional. Ki Enthus Susmono (43) dikenal sebagai dalang ”edan” karena pentas wayangnya suka menerabas pakem-pakem wayang kulit yang biasanya berlaku kaku di Yogyakarta atau Solo.

Ki Slamet Gundono (43) bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan membongkar semua konsep ruang pertunjukan wayang dengan wayang suket (wayang dari rumput ilalang)-nya. Gundono mendalang tanpa beber, blencong, dan kedebong pisang seperti lazimnya pertunjukan wayang. Alih-alih, ia memainkan wayang minimalis terbuat dari rumput ilalang kering dengan iringan gitar mandolin kecil, tanpa kehilangan pesona dan makna kisah wayang yang ia mainkan.

Persimpangan

Apa yang membuat kota kecil di jalur pantai utara (pantura) ini menjadi sedemikian unik dan memiliki aktivitas kesenian yang khas seperti ini? Menurut penyair Eko Tunas, salah satu pemicunya adalah posisi geografis Tegal yang terletak di jalur jalan raya utama penghubung pusat- pusat kebudayaan di Jawa, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Solo.

”Sejak tahun 1960-an, Tegal itu menjadi ’tempat kencing’-nya seniman-seniman besar di Indonesia. Setiap mereka dalam perjalanan dari Jakarta ke Yogya, misalnya, selalu mampir ke Tegal,” tutur seniman seangkatan Emha Ainun Nadjib ini.

Sastrawan, seperti Rendra, pada era itu cukup rajin bertandang ke Tegal untuk melihat pentas teater. Beberapa catatan Rendra tentang pentas teater di Tegal ini bisa ditemui dalam buku Catatan-catatan Rendra Tahun 1960-an (penerbit Burung Merak, Jakarta, 2005). ”Informasi dari orang-orang yang ’mampir kencing’ inilah yang membuat orang Tegal terpicu untuk berkesenian,” ungkap Eko.

Hampir senada dengan Eko, Slamet Gundono berpendapat bahwa Tegal beruntung karena terletak di persimpangan pusat- pusat kebudayaan. ”Di barat ada Cirebon dan Indramayu, di selatan ada Banyumas dan Purwokerto, di timur ada Yogya dan Solo sehingga hampir semua kesenian dari daerah-daerah itu bisa ditemui di Tegal,” tutur Gundono.

Karakter masyarakat pesisir yang dinamis, lanjut Gundono, menerima dengan tangan terbuka setiap bentuk kebudayaan yang masuk. Jadi, pada akhirnya, masyarakat Tegal terbiasa menyerap bentuk-bentuk kebudayaan ini, termasuk kesenian.

Hermawan Pancasiwi, sosiolog dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, menambahkan, keunikan Tegal tersebut dipicu oleh sebuah keinginan untuk menunjukkan eksistensi masyarakat yang jauh dari pusat-pusat kebudayaan, dalam hal ini keraton. ”Gejalanya hampir sama seperti Cirebon yang berada di persilangan kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga ingin menunjukkan eksistensi jati dirinya,” papar Hermawan.

Perlawanan orang-orang Tegal terhadap ”dominasi” kebudayaan, terutama bahasa, ditunjukkan secara masif saat daerah itu menggelar Kongres Bahasa Tegal pada tahun 2006. Kongres itu jelas-jelas ingin menegaskan bahwa bahasa Tegal adalah bahasa yang berdiri sendiri dan bukan sekadar dialek Jawa. Bahkan, Lanang Setiawan, penulis dari Tegal, dalam memoarnya mencatat perjalanan para sastrawan Tegal ke Solo pada tahun 1994 sebagai pemberontakan kaum pesisiran.

Menurut Hermawan, karena posisi Tegal yang jauh dari pusat kebudayaan Jawa di keraton-keraton, ekspresi kesenian Tegal pun mengambil bentuk yang berbeda. ”Seperti daerah-daerah pantura yang lain, bentuk-bentuk keseniannya bersifat kerakyatan, berupa hiburan-hiburan merakyat,” lanjutnya.

Ditambah dengan kekhasan dialek Tegal, ekspresi kesenian Tegal pun menjadi semacam ”perlawanan” terhadap unsur- unsur kebudayaan yang sudah mapan di keraton-keraton. ”Mereka ingin mengatakan, ’Kami pun ada dan kami berbeda dengan Anda’,” kata Hermawan.

Kesadaran Geo-Politik Sastra

KTT Asia-Afrika 2005: Tanpa Pengarang!
Helmi Y Haska
http://www.sinarharapan.co.id/

Di tengah gaung Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung 2005 digelar pemutaran film dokumenter pelaksanaan KAA di Bandung 50 tahun yang lalu oleh The Asia Africa Academy dan pameran poster tokoh-tokoh Asia-Afrika oleh perupa Dipo Andy di Gedung Indonesia Menggugat. Tapi di tengah acara yang cukup padat dan membutuhkan aparat keamanan yang masif, itu timbul pertanyaan: di mana para sastrawan (baca: pengarang) Indonesia di tengah forum dunia itu?

KAA Bandung 2005 penuh dengan agenda persoalan politik dan ekonomi, mengabaikan masalah kebudayaan. Para sastrawan Indonesia tidak dilibatkan atau terkesan cuek dengan peristiwa dunia ini. Padahal forum ini cukup strategis untuk mengatasi pelbagai masalah global dengan visi kebudayaan.

Kita tahu ketika KAA di Bandung 1955 dihadiri para pemimpin negara AA dan delegasi pengarang. Delegasi pengarang Indonesia ketika itu dipimpin oleh Pramoedya Ananta Toer. Dalam konferensi, para pengarang membuat program kerja sama sastra, dengan menerjemahkan dan menerbitkan sastra Asia dan Afrika. Situasi Perang Dingin yang melatari menjadi isu yang dibahas masing-masing delegasi, di samping ide-ide perkembangan sastra masing-masing negara dan lomba karya sastra. Menurut Pram, ide lomba karya sastra antara Indonesia dan Vietnam, gagal direalisasikan karena Amerika menduduki Vietnam.
***

Indonesia sebagai sebuah negara diproklamasikan pada 1945, melalui sebuah revolusi untuk mengusir kolonialisme Belanda. Setelah menjajah Indonesia selama 350 tahun, Belanda meninggalkan wilayah dari Sabang sampai Merauke. Dalam revolusi kemerdekaan kesadaran geo-politik tumbuh di kalangan cendekiawan dan seniman yang berjuang di lapangan kebudayaan, seperti Soedjatmoko, Sjahrir, Sitor Situmorang, Chairil Anwar, dll. Kesadaran geo-politik tidak tumbuh begitu saja. Tetapi hasil dari revolusi dan konsensus nasional dari anasir-anasir dalam masyarakat.

Tarik-menarik kekuatan politik dan ekonomi menjelma gelombang separatisme yang dihadapi dengan perlawanan berdarah. Sering terjadi perpecahan di tubuh militer dan muncul sikap kritis masyarakat tentang pembagian anggaran belanja daerah. Daerah diperas untuk menopang anggaran belanja negara. Kekayaan dari eksploitasi alam hanya dinikmati oleh Jakarta (sentralisasi). Belum lagi terjangan Perang Dingin, konflik laten Kapitalis versus Komunisme.

Para sastrawan (baca: pengarang) pada awal revolusi dan dalam periode revolusi belum selesai (sampai tahun enam puluhan, ditandai dengan era Konfrontasi dengan Malaysia) menyadari bahwa karya sastra sebagai sebuah produk kebudayaan dalam arti luas, yang menanamkan rasa kebangsaan, dan harga diri di tengah pergaulan bangsa-bangsa. Rakyat Indonesia kini sebagian besar buta geografi Indonesia. Bagaimana hendak mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) apabila tidak mengetahui secara persis geografi bangsanya. Masih ratusan pulau di Indonesia belum mempunyai nama. Menurut Pramoedya Ananta Toer, angkatan muda semestinya mengumpulkan data di daerah masing-masing, suatu saat pasti berguna. ”Tulis! Suatu saat berguna,” kata Bung Pram dengan suara tinggi bergetar.

Saya kira kata-kata itu sering diucapkan kepada angkatan muda dan menjadi kerja pengarang yang tidak habis-habisnya. Sampai saat ini, Pramoedya Ananta Toer tekun mengumpulkan data tentang Indonesia. Dokumentasi sejarah bangsa Indonesia yang berton-ton itu berada di lantai atas kamar kerjanya.

Kepengarangan adalah kerja besar. Bayangkan apabila angkatan muda pengarang Indonesia menulis tentang daerah masing-masing atau bekerja sama dengan pihak lain, menulis monografi daerah masing-masing. Menulis segala potensi di daerah. Dari hasil kekayaan alam, industri, kesenian dan kekayaan sumber daya manusia.

Para sastrawan menulis dengan latar belakang budaya masing-masing. Kita mengenal Umar Kayam menulis ”Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Menceritakan Marno yang kesepian di apartemennya bersama Jean, teringat seribu kunang-kunang di persawahan desanya di Jawa saat melihat kemerlap-kemerlip lampu-lampu di Manhattan. Atau Olenka (1983) karya Budi Darma yang mengeksplorasi arus bawah kesadaran semata. Sebagai novel saya kira berhasil. Tapi rapuh kesadaran geo-politik. Atau Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, yang hanya mengeksploitasi fatalisme wanita Jawa, puisi lirik itu seperti suara gamelan yang lirih di tengah perang kode di zaman kita.

Masih dibutuhkan prosa atau puisi tentang kehidupan manusia Indonesia, dengan segala problematikanya, dengan topografi daerahnya masing-masing. Karya ini kelak menjadi ilham generasi berikutnya. Segala potensi dan masalah mendasar yang timbul di permukaan muncul dalam bentuk cerpen, novel, maupun puisi. Karya sastra tidak hanya sebagai sebuah ekspresi individual, namun juga sebagai agen perubahan, dengan cara menuliskan kondisi objektif di tengah rakyat.

Kerja pengarang adalah kerja besar, dengan berbagai risikonya. Apa yang dinamakan turun ke bawah (Turba) melihat kondisi masyarakat adalah bentuk amalan para pengarang untuk menuliskan kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Hasilnya, sebuah karya sastra yang tidak klangenan, atau pemuas pembaca semata. Tapi sebuah ekspresi dan perjuangan yang mendasar bagi eksistensi manusia.

Kritikus sastra HB Jassin, misalnya, dengan tekun mencatat perkembangan sastra yang muncul dari daerah-daerah terpencil di Indonesia. Sebagai editor di beberapa majalah dan berkala sastra, ia memuat karya-karya sastra dari (calon) pengarang dari berbagai pelosok daerah. Dengan majalah/berkala sastra yang diterbitkannya, HB Jassin mencatat atau mengomentari, dan memberi ruang bagi potensi sastrawan di daerah. Kita masih ingat buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), antologi puisi dari sastrawan dari seluruh Indonesia.

Maaf kalau saya loncat ke zaman kolonial Belanda. Untuk kelancaran birokrasi, pemerintah kolonial mengirim para kontroler ke daerah-daerah untuk inspeksi dan menuliskan laporan selama masa tugas. Dari pengamatan langsung ke tengah masyarakat telah terjadi ketidakadilan yang bersumber dari feodalisme, kita mengenal nama Multatuli (nama pena dari Douwes Dekker) yang menulis Max Havelaar, roman yang mengambil latar cerita di Banten.

Karya-karya Pramoedya Ananta Toer merupakan visi kebangsaan yang jelas dan sarat kesadaran geo-politik. Beberapa sastrawan Angkatan 66, misalnya, Gerson Poyk yang menulis tentang Kepulauan Halmahera, Bukit-bukit Sumbawa, Pulau Rote dan Timor. Atau Romo Mangunwijaya menulis roman Burung-burung Manyar, merupakan karya dengan kesadaran geo-politik. Sayang sekali, para kritikus Barat hanya memberi cap sebagai karya sastra dengan warna lokal, yang kadangkala bisa tergelincir jadi turistik atau hanya mengeksploitasi eksotisme Timur, yang beku atau dibekukan oleh hegemoni kekuasaan politik. Contoh yang gamblang dalam hal ini adalah dalam seni rupa: Mooie Indie (Hindia Molek).

Di tengah demam KAA di Bandung 2005, saya bertanya dalam hati: di mana para pengarang Indonesia? Padahal KAA 1955 dihadiri para pengarang dari Asia dan Afrika. Pramoedya Ananta Toer mendapat serangan dari berbagai pengarang Asia karena menguraikan Nasakom; nasionalis-agama-komunis. Sebagian pengarang Asia antikomunis merasa skeptis Nasakom dapat dijalankan di Indonesia. Ide-ide sastra bermunculan dalam KAA 1955. Tapi kini surut.

Tak ada lagi ide-ide sastra yang memiliki kesadaran geo-politik. Sastrawan Indonesia kini sibuk dengan isu ”domestik” untuk memetakan dirinya dalam kancah local, regional dan internasional untuk mendapatkan pengakuan, miopik. Sastrawan angkatan tua berebut menguasai forum sastra regional dan internasional. Mereka menguasai jaringan internasional pelbagai forum dan festival sastra.
Dari Eropa, Amerika, hingga forum regional seperti dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN). Mereka membuat program rutin saling mengulas karya sastra sendiri, mengabaikan perkembangan sastra dari angkatan muda. Di sana tidak ada ide sastra geo-politik. Mereka hanya berkutat dalam ”bahasa” belaka, abai dengan konteks wilayahnya (geo-politik). Kasihan deh lu!

*) Penulis adalah idesiator Kerabat Pekerja Kebudayaan, Kepak Institute, Jakarta.

Wawancara Saut Situmorang dengan majalah Mahasiswa Sastra UI

“Recup Budaya” (Edisi Pertama 2007)
http://sautsitumorang.multiply.com/

Universitas Indonesia, khususnya Fakultas Ilmu Budaya sebagai ranah sastra mahasiswa, yang sebagian kecil masyarakatnya adalah penikmat sastra akademis, mungkin belum membaur ke dalam fase politik sastra (bukan kekuasaan) atau pun pembacaan jarak dekat.

Sebagian kecil darinya pula tentu ada yang merasa kritis terhadap desas-desus yang terjadi di luar sana. Untuk itu kami terus menangkap kejadian-kejadian sastra yang terjadi di Indonesia sebab ternyata permasalahan sastra bukan hanya pertunjukan dan karya tapi idealisme dan polemik. Majalah kami, Recup Budaya, mungkin berangkat dari tugas mata kuliah, namun kekuatan berpikir dan hasrat mengaromakan sastra dan sendinya kepada mahasiswa lain adalah semacam batu asah untuk meningkatkan kepekaan kami

WAWANCARA DENGAN SAUT SITUMORANG

TENTANG PERANG SASTRA boemipoetra vs TEATER UTAN KAYU (TUK)

1. Anda menyebut diri sebagai politisi sastra. Kami baru dengar istilah itu. Apa tugas sentral profesi tersebut, tentunya dalam eksternal sastra dan internal sastra?

SS: Hahaha… Istilah sebenarnya adalah “politikus sastra” dan aku pakai sebagai keterangan-diri di eseiku yang berjudul “Politik Kanonisasi Sastra” – yang merupakan makalahku untuk Kongres Cerpen Indonesia V di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 26-28 Oktober 2007 lalu – yang kusebar di Internet sebagai salah satu dari rangkaian seranganku terhadap Teater Utan Kayu (TUK). Istilah itu sebenarnya sebuah istilah ironis yang tongue-in-cheek, dimaksudkan untuk memberi nuansa kepada isi eseiku itu. Tapi reaksi pembaca macam-macam. Hudan Hidayat yang konon seorang novelis itu, misalnya, menyebutku “politisi sastra” di Internet. Aku lebih suka istilah “politikus sastra”. “Politisi” itu istilah apa?! Apa ada “kritisi” sastra?! Hudan Hidayat memang seorang penulis bakat alam par excellence! Hahaha…

2. Jurnal Boemipoetra yang terbit beberapa bulan lalu, semacam aksi propaganda demonstratif sastrawan Ode Kampung terhadap perlawanan terhadap Komunitas Utan Kayu (KUK). Namun sebagian masyarakat menyatakan itu bukan jurnal yang semestinya ilmiah sebab kata-kata yang “kasar”?

SS: Coba perhatikan, kalimat macam apa yang kau tuliskan ini! Membingungkan! Hehehe… Jurnal sastra boemipoetra (pake huruf kecil semua!) adalah jurnal sastra paling keren dan cool sepanjang sejarah sastra Indonesia karena fungsinya cuma satu: menghancurkan Teater Utan Kayu (TUK)! Dan sudah terbit (tanpa mengemis dana ke Amerika Serikat dan sekutu neo-kolonialnya) sampai empat edisi. Hahaha… Satu-satunya “little magazine” sastra kita yang berani memakai apa yang kau sebut sebagai “kata-kata yang ‘kasar’” itu! Mengutip Clark Gable dalam Gone with the Wind, aku katakan kepada mereka-mereka yang tiba-tiba (menjadi) moralis linguistik itu padahal konon sudah beyond morality dalam kasus Sastra Porno Sastrawangi, seperti Manneke Budiman dosen Universitas Indonesia itu: Frankly, my dear, I don’t give a damn! Hahaha… Benar, jurnal boemipoetra memang bukan jurnal ilmiah kayak Oxford Literary Review, Critical Inquiry, New German Review, New Left Review, Social Text, atau Representations dan tidak punya pretensi untuk menjadi jurnal ilmiah. Tapi apa memang (pernah) ada jurnal “ilmiah” seperti yang aku sebutkan barusan di Indonesia? Nenek moyang boemipoetra adalah majalah-majalah kecil yang diterbitkan kaum Dada dan Surrealis di Eropa di awal abad 20 lalu, yang berisi baik manifesto-manifesto gerakan-gerakan tersebut maupun serangan-serangan keras mereka terhadap apa-apa yang pada saat itu mereka anggap menjajah pemikiran budaya orang-orang Eropa. Dan bahasa yang mereka gunakan bahkan jauh lebih “vulgar” dibanding “kata-kata kasar” boemipoetra! Ada catatan penting: boemipoetra bukan sastrawan Ode Kampung! Ode Kampung itu adalah kegiatan rutin yang dilakukan oleh komunitas sastra Rumah Dunia di Serang, Banten. Secara ideologis dan praktis boemipoetra justru sangat radikal dibanding Rumah Dunia dan Ode Kampungnya itu. Juga kalau kalian pelajari komposisi redaksi boemipoetra maka akan terlihat jelas keberagaman ideologi di dalamnya. Kerancuan informasi ini memang sudah universal di dunia kangouw sastra Indonesia dan ini cuma menunjukkan betapa parahnya orang kita membaca persoalan, betapa tidak canggihnya imajinasi orang-orang sastra kita dalam menafsirkan silsilah sebuah persoalan seperti Perang Sastra antara boemipoetra vs TUK. Manneke Budiman adalah lagi-lagi contohnya. Yang harus disadari lagi adalah bahwa Teater Utan Kayu (TUK) yang dikuasai orang-orang sastra itu yang menjadi fokus dari serangan-serangan kami, bukan Komunitas Utan Kayu (KUK) secara umum dan yang macam-macam isinya itu. Makanya perang kami ini adalah Perang Sastra! Musuh kami adalah Goenawan Mohamad dan segelintir penulis muda yang berlindung di balik bayangannya yang tua. Segelintir penulis-sekedar yang merasa sudah mencapai satori atau pencerahan sastra padahal rata-rata masih medioker kemampuannya, baik kreatif maupun kritis! Segelintir megalomaniak!

3. Letak keburukan TUK sehingga Anda begitu gencar untuk mengutuk mereka?

SS: Harus diakui bahwa pada awalnya mereka itu oke, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan termasuk penerbitan majalah ikon mereka itu, Kalam, merupakan angin segar dalam kondisi jenuh sastra kita yang diakibatkan hegemoni majalah Horison dan Taman Ismail Marzuki (TIM). Tapi itu hanya sebentar! Mereka kemudian merasa sudah menjadi mainstream baru, sang dominan baru dalam sastra kita. Mereka sampai merasa begini tentu saja tak dapat dilepaskan dari “pesona” yang memang telah mereka timbulkan dalam kepala para sastrawan kita, terutama di kota-kota besar kita. Mereka telah menjadi mitos baru yang menggantikan mitos-mitos lama Horison dan TIM bagi para sastrawan yang mulai dikenal publik sastra kita di periode 1990an, apa yang saya sebut sebagai Sastrawan 90an itu, dan yang sedang merajai penerbitan buku sastra saat ini. Mitos baru tentang TUK ini dimanfaatkan dengan sangat canggih oleh Goenawan Mohamad dan segelintir penulis-sekedar yang aku sebutkan di atas. Dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer mereka. Ini dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Memakai istilah salah seorang penulis-sekedar TUK bernama Eko Endarmoko yang berpretensi keras mencari kelemahan esei saya “Politik Kanonisasi Sastra” tapi gagal dengan mengenaskan itu (karena kurang imajinasi tekstual dan miskinnya pengetahuan sejarah sastra), menurut “kabar angin” naskah Saman itu sebenarnya sudah lewat deadline pengiriman naskah tapi salah seorang juri menerimanya juga. “Kabar angin” lain adalah bahwa salah seorang juri Sayembara Roman DKJ 1998 itu menerima naskah Saman dari seorang tukang sapu gedung dimana para juri sedang memeriksa naskah-naskah yang masuk dan naskah tersebut didapatkan tukang sapu itu di dalam tong sampah! Siapa saja tentu saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman ini sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu dengan alasan bahwa “karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya”! Bagaimana para juri Prince Claus Award bisa menilai kedahsyatan novel tersebut padahal tak satupun terjemahan bahasa asingnya sudah ada pada waktu itu hanya Goenawan Mohamad yang tahu. Coba baca prosa-pendek Ayu Utami (yang diklaim sebagai “kolom” itu) di media massa cetak seperti koran Seputar Indonesia Minggu. Masuk akalkah seseorang yang diklaim oleh sebuah institusi internasional sejenis Prince Claus Award sebagai “meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya” cuma mampu menghasilkan cakar-ayam yang bahkan lebih jelek dari medioker seperti itu! Aku kasih sebuah “kabar angin” lagi. Kalau Saman itu sebuah fragmen dari karya panjang (yang sekarang kita tahu adalah Saman dan Larung) lantas kenapa Saman bisa begitu sensasional legendanya sementara Larung sunyi senyap?! Karya Pramoedya Ananta Toer yang jauh lebih panjang aja, yaitu Tetralogi Buru, tidak begitu jauh jarak “mutu”nya antara satu fragmen dengan fragmen lainnya. Bicara tentang Pram, bukankah komentar Pram di sampul belakang Saman itu adalah sebuah manipulasi tekstual paling brengsek dalam sejarah promosi sebuah karya sastra di negeri ini! Kalau memang benar Saman yang memenangkan Sayembara Roman DKJ 1998 dan Prince Claus Award 2000 itu begitu “dahsyat” seperti yang diklaim Sapardi Djoko Damono, Faruk dkk, untuk apa lagi dia mesti memelintir komentar Pram yang pada dasarnya menganggap novel itu jelek!

Kejahatan TUK semacam ini, yaitu manipulasi informasi, berkali-kali mereka lakukan. Yang langsung bersentuhan dengan aku adalah “laporan” di majalah-berita Tempo yang konon ditulis oleh Ags Dwipayana (aku tak ingat nama lengkapnya tapi orang ini orang teater, menurut “kabar angin”) tentang Temu Sastra Internasional 2003 yang diselenggarakan TUK di Solo. “Laporan” yang pada dasarnya mengelu-elukan program sastra TUK itu dan mengejek aku dan kawan-kawan Solo yang memprotesnya dengan keras karena tidak melibatkan seorangpun sastrawan Solo kecuali sebagai pembawa acara, hahaha…, ternyata tidak ditulis berdasarkan pandangan mata langsung “pelapor”nya! Si penulisnya tidak pernah hadir di Solo sama sekali selama dua-hari acara TUK itu dan menurut “kabar angin” semua infonya diberikan oleh Yang Mulia Goenawan Mohamad! Kasus Solo ini menjadi penting dalam “arkeologi dusta TUK”, hahaha…, kalau kita kaitkan dengan Kasus Chavchay Syaifullah, wartawan budaya Media Indonesia yang dipecat bosnya sebagai wartawan budaya karena pengaduan langsung Goenawan Mohamad. Chavchay menulis di korannya tentang acara Utan Kayu International Literary Biennale yang diadakan di TIM bulan Agustus 2007 lalu dan Goenawan Mohamad tersinggung atas laporan pandangan mata langsung Chavchay itu. Alasan Goenawan Mohamad, Chavchay dalam laporannya itu telah melakukan “fitnah” karena tidak menjalankan asas “cover both sides”, yaitu “tak mencoba mendapatkan dan memuat versi panitia dan TIM” paling tidak tentang diusirnya penyair Geger dari tempat acara. Padahal Chavchay punya rekaman pernyataan Geger bahwa dia diusir! Sontoloyo, itulah komentarku! Kekuasaan sipil yang sudah mulai menjadi diktatorial!

Masih mau lagi? Hahaha… Coba perhatikan jaringan kekuasaan yang sudah dibentuk TUK saat ini untuk menguasai dunia sastra kita: Hasif Amini di koran Kompas Minggu, keikutsertaan TUK dalam menyeleksi sastrawan lokal untuk Ubud Writers and Readers Festival, Ayu Utami di DKJ, dan “kabar angin” lagi Sitok Srengenge bakal menjadi redaktur sastra koran Media Indonesia Minggu! Sitok ini juga yang menurut “kabar angin” lain pernah sesumbar bahwa “Sastrawan Indonesia” itu adalah cuma mereka yang pernah diundang ikut acara sastra TUK! Megalomaniak gak, hahaha… Dulu waktu dia dan Medy Loekito dari komunitas kami Cybersastra ada di Iowa mengikuti program menulisnya, si penyair rima-dalam ini, hahaha…, pernah berkata bahwa dalam berbahasa Inggris, dia kalah dengan Medy, tapi dalam menulis puisi, dia lebih unggul! Uh, hebatnya, hahaha… Kalau dia tak bisa berbahasa Inggris, kok bisa dia mewakili Sastra(wan) Indonesia ke Iowa? Saat ini yang mewakili Sastra(wan) Indonesia ke Iowa adalah, you guess it!… monsieur Nirwan Dewanto, hahaha… Sejak kapan redaktur koran ini jadi sastrawan dan mana karya sastranya? Mestinya kan penyair dan politikus sastra Saut Situmorang dong yang mewakili TUK, dan sastra Indonesia, ke Iowa, iya kan, hahaha…

O iya, sebelum aku lupa dan ada juga kaitannya sedikit dengan soal majalah “ilmiah” yang kita singgung di atas. Pernah baca buku kumpulan esei Goenawan Mohamad berjudul Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (AlvaBet, 2001)? Coba baca kata pengantar buku itu berjudul “Ke-Lain-an Goenawan Mohamad” yang ditulis oleh Hamid Basyaib! Atau baca ringkasannya di blurb sampul belakang buku! Dengan tidak ada rasa malu sama sekali dia mengklaim Goenawan Mohamad sebagai “esais terbaik Indonesia”, “orang Barat yang lahir di Batang” dan dalam kumpulan eseinya itu “ia membahas Brecht, Derrida, Adorno, Habermas, Nietcszhe [sic], Camus, Benjamin dan banyak nama penting lain dalam jagat pemikiran Barat bagai berbincang akrab dengan teman dekat”, “semuanya disorotinya dengan perangkat kritik sastra, yang digunakannya dengan kemahiran tak tertara”! Nah pertanyaan sederhanaku ini aja: Kalau Goenawan Mohamad itu memang begitu hebat, kok dia gak nulis di jurnal-jurnal ilmiah seperti yang kusebutkan di atas tadi aja? Kita kan bisa jadi sangat bangga kalau ada seorang penulis hebat kita yang tulisan kritiknya bisa muncul di jurnal ilmiah standar internasional ketimbang sekedar di media lokal doang! Inilah contoh megalomania narsisistik Teater Utan Kayu par excellence, hahaha…

4. Sudah tentu TUK, menganggapnya sebagai angin lalu. Bahkan fitnah?

SS: Jelas dong. Mana ada yang suka kebusukannya diekspos, apalagi sekelompok megalomaniak.

5. Manifesto Boemipoetra telah kami pelajari. Rasa sosial dan solidaritas tinggi serta anti-Liberalisme, rupanya tertanam kuat di diri sastrawan Ode Kampung. Berangkat dari kemanusian, apakah Anda tidak takut pengecaman Anda dkk. justru menjadi bumerang?

SS: Sekali lagi, jangan samakan boemipoetra dengan Ode Kampung. Tahu kan apa itu bumerang? Bumerang itu adalah senjata tradisional bangsa Aborijin Australia yang dipakai dengan melemparkannya ke objek yang ingin dilumpuhkan. Karena bentuknya melengkung dan cara melemparkannya khas, bumerang bisa kembali ke pemiliknya kalau tidak mengenai sasarannya. Kalau seseorang tidak sigap atau pandai menangkap bumerang yang terbang kembali itu, maka bocorlah kepalanya, hahaha… Maka ketahuan pula kalau dia bukan pemilik sebenarnya! Nah apa yang terjadi sekarang adalah bumerang itu tak bisa ditangkap kembali oleh Goenawan Mohamad dan para penulis-sekedarnya maka bocorlah kepala mereka, hahaha…

6. Menurut Anda mengapa setelah terbitnya Jurnal Boemipoetra, TUK tidak membalas sama sekali serangan Anda?

SS: Karena mereka itu cuma mitos belaka, tak ada esensinya. Karena isi boemipoetra tak bisa mereka bantah. Karena mereka takut kalau merespons maka semua kebusukan mereka akan jadi terbuka. Lebih baik didiamkan saja kan. Atau seperti “kabar angin” tentang apa yang dikatakan Goenawan Mohamad: apa Saut itu masih tahan menyerang sampai enam bulan lagi? Kalau tak salah, aku sudah menyerang TUK sejak tahun 2003 dan sekarang makin asyik aja, hahaha…

7. Seorang millist bernama Radityo yang disinyalir sebagai tangan kanan TUK, menyerang Anda habis-habisan. Anda bisa jelaskan ini?

SS: Hahaha… Radityo Djadjoeri itu adalah keponakan Goenawan Mohamad. Dia sendiri yang ngaku begitu di Internet dan aku pun pernah mempostingkan data yang kudapat di Internet tentang keluarga besar mereka yang keturunan Arab-Kurdi itu. Radityo yang konon tamatan FE-UII Jogja ini memang seorang cyberpsikopat! Dulu dia juga pernah punya problem besar dengan Farid Gaban dari Republika dan melakukan teknik pencemaran nama yang sama, yaitu dengan menciptakan tokoh-tokoh cyber fiktif yang menyerang dengan alamat email buatan. Untuk menghadapi aku yang memang jauh di atas kelas intelektualnya ini, hahaha…, dia bahkan menciptakan milis-milis baru seperti yang bernama “sautisme@yahoogroups.com” itu. Tapi manalah pulak awak bisa dikerjainnya! Buktinya, justru dia sekarang yang dicekal dari begitu banyak milis Indonesia di Internet, hahaha…

TUK diperkirakan sebagai benih-benih sastra imperialis, yang secara general pernah disembulkan Taufik Ismail. Apakah kelahiran Jurnal Boemipoetra berangkat dari pernyataan Taufik?

SS: Harus disadari lagi bahwa boemipoetra tak ada hubungan apa-apa dengan Taufiq Ismail atau jelasnya dengan Kasus Taufiq Ismail vs Hudan Hidayat. Dan boemipoetra lahir bukan karena Taufiq Ismail ataupun pernyataan publiknya!!! Kami bertujuan membabat utan kayu, titik. Aku sendiri secara pribadi bertentangan dengan Taufiq Ismail soal Marxisme dan Lekra. Aku ini Marxist tapi Marxisme seperti yang diejek-ejek Taufiq Ismail tak pernah ada dalam Marxisme! Dia tak bisa membedakan antara politik partai dan sebuah isme pemikiran. Dalam sejarah peradaban manusia, isme yang paling kritis dan paling membela harkat orang banyak hanyalah Marxisme! Dan lawan utama Marxisme bukan Agama Monotheis seperti yang dirancukan Taufiq Ismail dkk, tapi Liberalisme-Kapitalisme yang justru telah menyebabkan matinya agama Kristen di Barat dan timbulnya kolonialisme di Asia, Afrika, Australia, Pasifik dan benua Amerika! Bagi boemipoetra, TUK adalah agen imperialisme Liberalisme-Kapitalisme terutama Amerika Serikat di sastra Indonesia, lewat program-program sastranya. Mudahnya akses bagi orang-orang TUK dan sekutunya ke program-program di Amerika Serikat, seperti program menulis Iowa itu misalnya, sementara orang-orang yang non-TUK ditolak visa mereka oleh Kedutaan Amerika Serikat, adalah bukti nyata.

9. Seks dan agama adalah keberlainan bahkan kebertentangan, Ayu Utami, yang selanjutnya diikuti Nukila Amal, dan Dewi Lestari sebagaimana Taufik yang menyatakan mereka bagian dari Fiksi Alat Kelamin (FAK) dan (GSM). Apakah Anda menyerang lini ini dengan berpusar pada pijak agama?

SS: Gawat! Siapa yang bilang bahwa “seks dan agama” itu bertentangan! Apa ada “agama” yang melarang seks! Gereja Katolik yang melarang pastor untuk kawin itu aja tidak melarang seks bagi yang non-pastor!!! Ketidakhati-hatian orang kita dalam berbahasa memang sudah fenomenal. boemipoetra tidak anti-seks malah sangat suka seks! Yang dilawan boemipoetra adalah eksploitasi seks (seksploitasi) sebagai standar estetika sastra (paling) bermutu, yang mengorbankan estetika sastra non-seks seperti nilai-nilai Islami pada Forum Lingkar Pena misalnya. Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu adalah para penulis perempuan Indonesia yang mengeksploitasi seks dalam tulisan mereka dan menjadi terkenal karenanya. Menjadi dibaca tulisannya karenanya. Itu saja alasannya kenapa mereka dibaca. Lucu ya bahwa ketiga perempuan tukang eksploitasi seks perempuan ini punya nama sama, yaitu “Ayu”. Mungkin nama Sastrawangi musti diganti jadi “Sastrayu”, hahaha…

10. Sastra TUK jelas berbeda, mereka mengakomodir tulisan dengan kualitas tinggi. Bahkan mereka tidak akan menerbitkan karya yang dianggap “tidak layak” di jurnal Kalam. Berarti Sastra TUK punya pagar untuk menyempitkan dunianya(red). Eksklusivitas ini rupanya yang tidak diterima oleh Anda dkk. Mengapa?

SS: Hahaha… Itulah mitos yang berhasil dibangun TUK tentang dirinya dan dikunyah bulat-bulat oleh banyak sastrawan muda termasuk fakultas sastra yang seharusnya lebih kritis daripada sastrawan sendiri!

Kalam itu kan cuma majalah budaya umum dan “kekuatan”nya terletak lebih pada esei-esei budaya yang dimuatnya, bukan pada puisi atau cerpennya. Kolom puisi Kompas Minggu sewaktu ditangani Sutardji Calzoum Bachri jauh lebih tinggi reputasinya bagi para penyair Indonesia ketimbang Kalam. Bukankah cerpen yang dimuat di koran Kompas yang dianggap cerpen nyastra yang bermutu? Sastra TUK itu apa? Yang “sastrawan” di TUK itu kan cuma Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge dan Ayu Utami. Ini kan sastra TUK itu.

Soal “kualitas tinggi” TUK. Apa tinggi kualitasnya puisi Sitok, bahkan Goenawan Mohamad sekalipun? Apa tinggi kualitasnya esei-esei Nirwan Dewanto atau Hasif Amini? Terjemahan Hasif atas cerpen-cerpen Jorge Luis Borges (dari terjemahan bahasa Inggris) aja jelek tapi dipuji-puji setinggi langit oleh sesama orang TUK! Apa tinggi kualitasnya program biennale sastra TUK yang mengklaim Avi Basuki dan Laksmi Pamuntjak sebagai “sastrawan internasional Indonesia” itu? Apa yang pernah ditulis Laksmi Pamuntjak dalam “sastra Indonesia”? Yang benar adalah bahwa manipulasi informasi TUK memang berkualitas tinggi, hahaha…

11. Apa perjuangan Anda dkk. sudah selesai?

SS: Apa TUK sudah hancur? Hahaha…

12. Dengan duduknya Hasif Amini di Kompas dan Nirwan Dewanto di Tempo, sudah tentu makin melambungkan sastra TUK yang Anda sinyalir sebagai kelompok yang berambisi menoreh sejarah sastra. Benarkah?

SS: Sudah aku jawab di atas.

13. Mahasiswa, sebagai akademisi sastra yang belum terbaluri pengaruh ini, sebaiknya ada di posisi mana?

SS: Masak mahasiswa sastra belum terkena pengaruh mitos TUK! Yang benar aja ah.

Pertanyaan No.10 di atas kan jelas menunjukkan betapa kalian sudah sangat dalam dipengaruhi oleh “pesona” mitos TUK itu! Sadarlah dan kembalilah ke jalan yang benar! Hahaha…

14. Anda tidak meluaskan propaganda ke kalangan mahasiswa. Mengapa?

SS: Lha wawancara ini apa namanya kalau bukan propaganda demitologisasi TUK, hahaha…

15. Kanonisasi Sastra dapatkah Anda jelaskan secara singkat?

SS: Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.

Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Masak cerpen Seno Gumira Ajidarma masuk tapi cerpen Hudan Hidayat kagak? Apakah karena cerpen Seno punya “substansi” sementara cerpen Hudan cuma begitu-begitu aja? Puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis? Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini Hudan Hidayat dan para pengarang bakat alam lainnya itu? Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya – mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?

Sastra kontemporer kita rusak karena dilettante sastra, petualang sastra seperti TUK, Kompas dan Richard Oh dengan sensasi duit Katulistiwa Literary Award-nya itu merajalela membuat kanon-kanon sastra baru tanpa kriteria yang bisa dipertanggungjawabkan dan para sastrawan pada cuek aja. Inilah efek apolitisasi sastra Orde Baru!

Bang Saut setiap jawaban Abang akan kami publikasikan. Silahkan menambahkan sesuatu yang perlu Abang uraikan. Tapi kami tetap menjaga etika jurnalisme.

Terima kasih banyak.

Salam untuk Wowok dkk.

SS: Terimakasih juga. Wawancara kalian ini adalah wawancara pertama yang dilakukan dengan boemipoetra untuk mendengarkan perspektif boemipoetra tentang Perang Sastra boemipoetra vs TUK. Selama ini cuma Goenawan Mohamad dan anggota TUK lainnya aja yang diberikan kesempatan bicara secara formal dalam sebuah wawancara. Kalian sudah bertindak adil! Bravo! Aku juga mengharapkan kalian berani memuat semua yang aku nyatakan di sini. Berani seperti boemipoetra! Kalau mahasiswa aja sudah gak berani mengeluarkan pendapatnya dalam media kampusnya sendiri, apalagi dengan alasan mitos “etika jurnalisme” yang cuma menguntungkan kekuasaan status quo itu, untuk apa kita punya universitas di negeri ini! Mitomania harus dilawan oleh semua mahasiswa yang menganggap dirinya berbudaya dan kritis, terutama oleh mahasiswa sastra. Ingat apa yang dikatakan George Orwell: During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act!

HIDUP MAHASISWA!

Membongkar Polemik Roman Pergaoelan

Judul: Roman Pergaoelan
Penulis: Sudarmoko
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta
Edisi: Pertama, 2008
Tebal: xvii + 189 halaman
Peresensi: M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
http://www.ruangbaca.com/

Perkembangan karya sastra di negeri ini kerap diiringi dengan mencuatnya polemik yang tak jarang dipaksa-tuntaskan di meja pengadilan. Semasa pemerintahan Orde Baru, misalnya, sejarah mencatat sosok Pramoedya Ananta Toer (dan para seniman Lekra) yang dijebloskan ke dalam bui, walau tanpa proses peradilan.

Sebelumnya, cerita pendek Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin (Sudihartono) dan Robohnya Surau Kami ciptaan A.A. Navis pun memicu reaksi keras lantaran dianggap melecehkan agama. Dari situ, sebagian dari kita, yakni para generasi masa kini yang kian berjarak dari catatan kelam masa lampau, dihadapkan pada narasi “pertarungan sengit” antara sastra dan kekuasaan dan dogmatisme (agama dan adat).

Maka, tak mengherankan jika kemudian muncul dikotomi antara sastra “yang pusat” dan “yang pinggiran”. Dalam kajian pascakolonial, identifikasi sastra “yang pusat” itu lebih mewakili suara kolonial, sedangkan “yang pinggiran” cenderung memberikan kesan penentangan yang lantang.

Karya sastra (sekaligus para pengarang) dari kelompok kedua itulah yang selama ini (di)hilang(kan) dari catatan sejarah, atau setidaknya jarang ditautkan sebagai bagian utuh dari wacana kesusastraan Indonesia. Salah satunya sebagaimana pernah menimpa Roman Pergaoelan, suatu divisi (genre) fiksi yang dikelola penerbit Penjiaran Ilmoe di Bukittinggi.

Koko, demikian penulis buku Roman Pergaoelan biasa disapa, menurut pembacaan saya berhasil mengurai kelindan sosiohistoris penerbitan Roman Pergaoelan. Buku yang semula merupakan tesis Koko di Universiteit Leiden, Belanda, ini secara detail melakukan penelusuran sosiologis mengenai Bukittinggi, penerbit Penjiaran Ilmoe, dan yang lebih penting lagi: polemik yang sempat menerpa beberapa karya dan pengarang Roman Pergaoelan.

Bagi Koko, terbitnya karya-karya sastra Roman Pergaoelan mesti disadari tidak dapat dilepaskan dari pembangunan kawasan Bukittinggi pada masa penjajahan Belanda. Selain Padang, pada awal abad ke-20, Bukittinggi merupakan kota terpenting di dataran tinggi Minangkabau. “Penjajah Belanda mempersiapkan kota itu sebagai pusat pemerintahan mereka untuk wilayah Padang Barat,” demikian diungkapkan Koko (hlm. 21). Pada perkembangannya, Bukittinggi yang semula hanyalah lekukan perbukitan dan ngarai itu menjelma sebagai tanah kelahiran para intelektual dan pengarang di bawah naungan usaha penerbitan “daerah”, yakni Penjiaran Ilmoe, yang mulai berdiri pada 1939.

Embel-embel “daerah” di sini penting diberi ruang perbincangan khusus. Jauh pada periode sebelum kemerdekaan, barometer perjalanan sastra Indonesia selalu tertunjuk pada karya-karya terbitan Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Patut diselidiki bahwa kedudukan kedua penerbitan itu adalah Batavia (Jakarta). Sehingga, menurut Koko, cara melihat dan menerima karya sastra yang berada di luar pusat (baca: di luar Jakarta) –termasuk terhadap karya-karya Roman Pergaoelan -—yakni dengan logika “pusat melihat pinggiran (periphery)”.

Terkait perdebatan itu, Umar Junus dengan jelas telah menunjukkan di mana kedudukan Roman Pergaoelan, sebagaimana dituliskannya pada halaman pengantar (ix-xiii). Di situ dia melihat bahwa Roman Pergaoelan juga dinilai (orang) sebagai karya pinggiran, diremehkan oleh orang yang hanya memandang karya yang dianggap pusat. “Karya yang pusat, tak pinggiran, terhasil di Jakarta, sedang yang pinggiran terhasil di daerah. Roman Pergaoelan terhasil di Bukittinggi -—hakikat ini meluas pada keseluruhan roman picisan yang umumnya terbit di daerah: Medan, Padang, Solo, dan Surabaya,” tinjaunya.

Dengan menguraikan polemik seputar Roman Pergaoelan dalam buku ini, Koko agaknya bermaksud menghadirkan suatu perimbangan wacana, dalam hal ini guna menyikapi dominasi wacana yang Balai Pustaka-centrist, yang telah sekian lama menjangkiti kajian kesusastraan kita.

Untuk itu, mula-mula Koko menyertakan sinopsis empat karya Roman Pergaoelan, yakni, Angkatan Baroe karya Hamka, Joerni-Joesri karya Merayu Sukma, Rahasia Pembongkaran karya Surapati, dan Kamang Affair karya Martha. Koko tak secara argumentatif menyebutkan mengapa ia memilih empat roman ini. Hanya, mungkin keempat roman ini dirasa cukup mewakili empat tema sentral Roman Pergaoelan: sejarah, politik, detektif, dan sosial.

Selain sebagai variasi tema, pembagian jenis ke dalam empat kelompok itu sekaligus menunjukkan pandangan ideologis editor Roman Pergaoelan.

Nah, usai membaca sinopsis sebagaimana tertuang dalam bagian “Roman Pergaoelan: Dunia Pergerakan dan Nasionalisme Menurut Anak Muda”, Koko ternyata coba menyarikan dan menonjolkan kesan perlawanan dari keempat roman itu. Jadi, meski belum memeriksa keempat roman secara langsung, kita akan tetap merekam satu kesan bahwa keempatnya bercerita tentang pergerakan sosial politik yang dialami masing-masing tokoh -—sekalipun keempat judul itu sebenarnya berada pada kelompok yang berbeda.

“Mereka (baca: tokoh-tokoh dalam roman) menghadapi masalah yang dihadapi sebagian besar masyarakat pada masa itu, yaitu penjajahan dan pandangan yang tertanam dalam adat,” demikian menurut Koko.

Pada konteks ini, sepertinya kita mesti lebih meneguhkan satu pandangan bahwa beragam bentuk perlawanan terhadap kolonialisasi di Indonesia memang selalu dipercikkan mula-mula oleh kalangan terdidik. Para pengarang dan redaksi Roman Pergaoelan sendiri merupakan orang-orang terdidik yang banyak terlibat dalam organisasi politik maupun keagamaan.

Secara instrinsik, pandangan idoelogis itu dapat terbaca dari laporan konferensi roman yang digelar di Medan pada 1939, “Roman, berfaedah oentoek memperhaloes bahasa menagihkan oerang membatja, dan tendenz (isi)nja senantiasa bersifat PROPAGANDA, MEANDJOERKAN, DAN MENGKERITIK. Maka roman sematjam jang banjak terbit sekarang, besar faedahnja bagi masjarakat Indonesia jang masih dalam fase permoelaan ini.”

Berangkat dari ideologi perlawanan itulah polemik seputar Roman Pergaoelan bermula. Dalam Bab 4 yang berjudul “Polemik Roman Pergaoelan: Bertahan dalam Zaman yang Berubah”, secara panjang lebar Koko memaparkan polemik yang menimpa Hamka dengan Angkatan Baroe-nya dan Oestaz A. Ma’sjoek-nya Martha. Di titik ini, pembaca barangkali bakal tak mengerti mengapa Koko malah tak menyajikan sinopsis Oestaz A. Ma’sjoek. Walaupun secara pribadi kita dapat menelusuri sendiri roman tersebut, namun tetap terasa tak berimbang lantaran sebelumnya telah disertakan sinopsis Angkatan Baroe.

Martha, yang bernama asli Maisir Thaib, tampaknya merupakan penulis Roman Pergaoelan yang paling kontroversial. Tercatat ada tiga romannya yang melahirkan konflik. Yakni, Kesehatan Diri yang menimbulkan polemik dengan Dr. Aboe Hanifah, Oestaz A. Ma’sjoek yang memantik reaksi keras di kalangan ulama Perti, dan Leider Mr. Semangat yang dibredel polisi.

Dari polemik yang terakhir disebut itulah, Martha kemudian mesti rela diusung ke penjara Sukamiskin, Jawa Barat, selama setahun enam bulan. Ini pukulan terberat bagi Penjiaran Ilmoe sebagai penerbit karya-karya Roman Pergaoelan. Penjiaran Ilmoe, setelah sejak 1938 produktif menerbitkan Roman Pergaoelan, pada 1940 memutuskan untuk mendirikan penerbit “cadangan”, Bintang Kedjora, dengan divisi fiksi Perjoeangan Hidoep; suatu antisipasi jika Penjiaran Ilmoe digulung pemerintah kolonial.

Lagi-lagi, sosok Martha kembali mencuri perhatian saya usai memeriksa sebuah artikel yang ditulis Koko di sebuah harian lokal Padang, 9 November 2008. Sesuai pengakuan Koko, sebenarnya ada satu informasi yang belum diolah terkait sosok Martha. Yakni, sebuah biografi berjudul Pengalaman Seorang Perintis Kemerdekaan Generasi Terakhir Menempuh Tujuh Penjara. Biografi ini mengandung banyak informasi tekait pengalaman Martha sekolah di Normal Islam dan Islamic College, berkarier di dunia pendidikan di Kalimantan, aktivitas di PERMI, serta seputar proses kreatifnya mengarang.

Informasi itu, menurut Koko, tampaknya dapat digunakan untuk menelusuri kembali sejarah pendidikan di Padang dan dunia kemahasiswaan pada masa penjajahan.

Lepas dari itu semua, menurut saya, studi Koko ini nyaris tak membahas segi kebahasaan Roman Pergaoelan. Padahal, pemakaian bahasa Melayu

Rendah -—sebagaimana digunakan umumnya sastra pribumi (daerah) -—merupakan salah satu identitas kultural yang mengandung unsur-unsur ideologis dan estetis di dalamnya. Jadi, tak sekadar untuk menjangkau publik yang luas alias memenuhi tuntutan pasar.

Untungnya, hal itu masih dapat kita mafhumkan, karena toh Koko banyak menampilkan kutipan dari redaksi Roman Pergaoelan sekaligus publikasi penerbit atau resensi karya-karya Roman Pergaoelan. Boleh jadi, Koko memang tak perlu “mengatakan”, karena ia sejatinya telah “menunjukkan” bagaimana Roman Pergaoelan menggunakan ragam bahasa yang mudah diterima oleh khalaya pembacanya: “oleh masjarakat Indonesia jang masih dalam fase permoelaan ini”.

*) Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM Yogyakarta.

Presiden Bogambola

Fahrudin Nasrulloh
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Ayo, kita bebaskan iblis dan setan
Agar jelas mana surga mana neraka
Tanpa dunia di tengahnya!

Kita seakan dibikin bahlul dan geregetan menonton kondisi kisruh KPK-POLRI yang hinggi kini makin memanas. Mafia peradilan, makelar kasus, dan koruptor di mana-mana. Seperti puting-beliung Menggasak siapa saja. Skandal Bank Century sungguh menghantui. Hingga, si Amin, nasabahnya, stress lalu bunuh diri. Lama-lama orang-orang yang terlibat di dalamnya bagai monster. Memangsa saudara sendiri. Negeri ini bak “pabrik aib”, “sampah kebejatan” dan gudangnya anjing-anjing politik yang kerjanya nyolong dan saling menjilat. Tak ubahnya mafioso Michael Corleone dalam The Godfather yang kuasa membeli jabatan kehormatan “Mobilionare” di kepausan Vatikan. Everything is money and gun will finished everything, begitulah yang tersirat di film besutan Francis Ford Coppola dan Mario Puzzo ini. Jadi, demi segala persoalan di negeri ini, apa kira-kira yang dipikirkan Presiden kita?

Jadi pada siapa rakyat berharap penyelesaian semua itu? Pada Presiden? Pada MUI? Pada penegak hukum? Tampaknya tidak ada jaminan. Jika benar-benar serius, apa yang dilakukan SBY dalam 100 hari pemerintahannya? Solusi hanya andai-andai. Ngambang dan lamban. Ya, inilah “Dunia Bogambola” kita: dunia yang buntu, mampat, mentok, no way to run, no way to out. Bayangkan, jika selokan Anda mampat. Sampah menumpuk, menyumbat. Kadang karena bangkai tikus atau kucing kudisan. Baunya minta ampun. Bikin pening dan muntah-muntah. Bau banger, amis, dan rasa jijik juga adalah yang kita tonton tiap hari di TV. Drama politik yang mendebarkan. Santapan sinetron politik yang lebih aduhai, bikin ngiler, belingsatan, lebih menggairahkan plus kepingkal-pingkal ketimbang adegan Aming di film Perjaka Terakhir. Di balik semua keruwetan negeri ini, apa yang selalu digelisahkan Presiden kita?

Sajak Sosiawan Leak “Dunia Bogambola” yang ditulisnya pada 2000 tidak diniatkan menggambarkan kemampatan akut seseorang. Tapi sebagai sindiran, ia menonjok siapa pun. Karena dirinya sendiri juga pernah merasakan kebuntuan sebagai seniman, dan terhentak untuk mencari jalan keluar dengan berseru: Ayo, kita bebaskan iblis dan setan. Tapi toh iblis dan setan telah menguasai babi-babi politik yang sebenarnya tahu perbedaan mana jalan yang menuntun ke surga maupun ke neraka. Mengerti mana halal mana haram. Baik dan buruk. Nista dan bajik. Meski orang-orang Indonesia mayoritas muslim. Ya, puisi Leak cuma kata-kata yang tak mampu seperti celeng hutan menyeruduk kaum koruptor. Puisi bukan Izrail yang dengan seucap geram dapat menggencet nyawa si durja. Puisi juga bukan tank yang seketika bisa melindas ketidakadilan.

Namun, jika dihayati benar, puisi dapat berfungsi sebagai peniup kesadaran. Corong berisi angin kearifan, kendati tak semua orang bisa menangkapnya. Apapun bisa terudar atasnya. Bentuknya bisa kesadaran kolektif yang menggedor kebobrokan yang terjadi di negeri ini. Mengintrusi alam batin rakyat. Yang sekian lama disia-siakan. Dipecundangi. Ditilap. Digelapkan kesejahteraannya. Reformasi 1998 adalah bukti pemicu gerakan perlawanan rakyat dan pemuda. “Suara rakyat adalah suara Tuhan”, menemukan momentumnya saat itu. Apakah sengkarut hukum yang didramatisir saat ini bakal meledakkan aksi sosial yang besar? Entahlah. Imajinasi tidak bisa diremehkan. Imajinasi akan “suara Tuhan” sebagai kebenaran yang diangankan dalam konteks psiko-sosiologi menyimpan “daya bangkit” sendiri. Ia dapat jadi hulu-ledak atas nama perlawanan rakyat. Apa pula yang akan diperbuat sang Presiden jika hal itu terjadi?

Krisis kepemimpinan saat ini di ujung ambang. Masyarakat tak lagi percaya. Mereka hanya punya harapan. Mungkin yang tersisa impen-impen kosong. Boleh jadi banyak yang kecewa atas terpilihnya SBY, juga menteri-menteri pilihannya. Setidaknya untuk saat-saat pelik akhir-akhir ini. Tepisan berulang-ulang SBY soal keterlibatan sejumlah tim suksesnya yang diduga menerima aliran dana dari Bank Century untuk kampanye kian mengasapi kebingungan masyarakat. Prasangka pahit dan menyudutkan ini sangat memukul SBY hingga ia perlu bersumpah “Demi Allah” atas tuduhan pengucuran dana tersebut.

Pemerintahan yang bersih dan tata hukum yang steril dari anjing-anjing politikus busuk adalah harapan kita semua. Tak ada yang berharap negara ini mengalami krisis yang menghebat. Sejarah mencatat betapa Jerman, Italia dan Jepang hancur habis-habisan setelah Perang Dunia II, lalu bisa pulih, membangun kembali kejayaan mereka. Raden Patah di Demak juga demikian. Ia bisa memulihkan situasi centang-perenang dan hiruk huru-hara di masa Wikrama Wardana. Di masa selanjutnya, pemerintahan Raden Patah juga mengalami kegoncangan yang luar biasa akibat lahirnya sosok Panembahan Senopati yang menancapkan kekuatan baru di tlatah Mataram.

SBY dan pemerintahannya tidak diperhadapkan pada situasi genting demikian. Hanya yang perlu diingat bagaimana ia mamandang dan menempatkan “rasio” kedaulatan rakyat. Artinya, tujuan SBY dipilih adalah agar cita-cita dan harapan rakyat terwujud. Bukan menambah beban penderitaan. Pasti, rakyat tak menghendaki kekuatan Presiden yang misalnya, absolut, fasis, tiranik, atau lebih kuat menancapkan partai politik tunggal demi kelanggengan kekuasaannya. Buku Membela Masa Depan karya WS Rendra menyebutnya sebagai “Politik Daulat Tuanku”. Inilah praktek yang dilakukan Niccolo Macheavelli di zaman renaissance Eropa di Florenzo, Italia. Ia mendasarkan pemikirannya bahwa stabilitas politik hanya bisa diciptakan oleh seorang penguasa yang secara mutlak menguasai dana dan serdadu dalam negara. Para pemimpin kesohor dunia melakoni teori ini seperti Napoleon, Stalin, Hitler, dan Mussolini. Inilah yang kita khawatirkan terjadi di negeri ini, meski agak mustahil.

Justru “Daulat Hukum” yang sekarang dirongrong, dilanda krisis. Dilecehkan cukong-cukong, dan Anda bisa terkaget-kaget sendiri bagaimana rekaman si Anggodo yang mencatut banyak pihak menyebar menjelma gosip sengak bahkan fitnah. Kewibawaan hukum di sana dimainkan. Ditertawakan. Ditunggangi. Yang fakta disulap jadi fiksi. Yang fiksi direka-rancang sedetil mungkin supaya jadi fakta yang benar-benar dapat dibuktikan. Kita tak lagi tahu mana penegak hukum yang jujur dan bersih dengan penegak hukum yang kotor dan jago bersilat manipulasi. Terasa benar di rekaman itu, si penegak hukum diperintah-perintah dengan cibiran mengece. Jika sudah begitu, sebagaimana kesan Mahfud MD (ketua Mahkamah Konstitusi yang dihadirkan beberapa waktu lalu di acara Kick Andy): para penegak hukum ini seperti “binatang” yang bisa seenak udelnya disuruh-suruh seperti budak. Nah, bagimana Presiden mengatasi semua sengkarut di lembaga hukum Indonesia ini?

Saya tidak berharap, Presiden kita adalah Presiden Bogambola: yang pikiran dan kerjanya tidak fokus karena digrujug banyak persoalan sehingga jadi buntu, mampat, dan mentok. Kita tunggu, dengan debar dan gatal, episode sandiwara politik selanjutnya!

Aceh di Mata Sastra

Herman Rn*
http://sosbud.kompasiana.com/

Jika ada yang menyebutkan “Aceh dan Islam” adalah ibarat dua sisi mata uang, yang apabila satu di antaranya tidak ada maka tak berfungsi mata uang tersebut, di sini saya hendak menisbatkan Aceh di mata sastra. Dalam hemat saya, “Aceh dan sastra adalah ibarat keniscayaan zat ngon sifeut, kulet ngon asoe, agam ngon inong, langet ngon bumo“.

Mungkin jargon ini memang terlalu berlebihan. Namun, inilah Aceh dan sastra. Terlepas dari ada atau tidaknya kesetujuan orang terhadap nisbat tersebut, hemat saya demikian adanya. Mereka yang memberi gelar pada Aceh sebagai Seuramoe Makkah, Tanoh Rincong, Nanggroe Iskandar Muda, Daerah Modal, Daerah Istimewa, hingga terakhir sebagai Negeri Syariat Islam, tentunya memiliki alibi masing-masing. Maka saya menisbatkan Aceh dan sastra sebagai zat ngon sifeut, juga berdasarkan asumsi yang saya miliki.

Menurut saya, kejayaan dan kemasgulan Aceh tak lepas dari peran sastra dan sastrawannya yang membuat nama daerah ini dikenal hingga ke bangsa luar, bansigom donya. Kendati demikian, tentu pula tak terlepas dari peran pejuang-pejuang Aceh di masa silam yang menjadikan sejumlah ulama Aceh berani lahir sebagai sastrawan, yang kemudian pada akhirnya mengukir Aceh di mata dunia, bahkan di hati bangsa-bangsa yang pernah menjajah wilayah Aceh. Sungguh, dengan demikian, ulama Aceh pada masa silam adalah sastrawan.

Kita sebut saja dengan nama Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdul Rauf As-Singkili, dua ulama Aceh ini juga tercatat dalam ensiklopedi atas nama sastrawan. Sangking masyhurnya, Prof. Dr. Hamka menyatakan bahwa menyebut nama dua ulama besar (Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf As-Singkili) itu, sama halnya dengan menyebut 1000 bahkan 2000 orang Aceh lainnya. Mengapa bisa? Karya sastralah yang membuat mereka bisa seperti itu.

Sebut saja salah satu karya sastra dimaksud kitab tafsir Turjuman Al-Mastafiid, satu dari sekian karya Abdul Rauf As-Singkili yang bernama lengkap Syekh Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Turjuman Al-Mastafiid merupakan sebuah kitab tafsir pertama terhadap seluruh isi kandungan Al-Quran, mulai dari Surah Al-Fatihah sampai dengan Surah An-Nash. Sampai hari ini, kitab tafsir tersebut masih diakui sebagai karya sastra fenomenal yang belum ada tandingannya sebagai sebuah karya tafsir terhadap wahyu Allah swt. Sayangnya, masyarakat Aceh, sekalipun dia meyebut diri sebagai sastrawan, masih jarang kenal terhadap kitab tersebut. Kalaupun ada yang tahu pasti tentang Turjuman Al-Mastafiid, hanya sekelompok orang. Padahal, di luar sana, karya tersebut sangat dikagumi dan bernilai sehingga meskipun sudah berlangsung belasan abad, Turjuman Al-Mastafiid masih terus dicetak ulang. Pencetakan ulang secara kontinyu terhadap kitab tersebut dilakoni oleh penulis terkenal di Mesir, Syaikh Mustafa al-Babi al-Halabi. Disebutkan pula bahwa kitab tafsir tersebut masih dibaca tekun oleh Muslim di Negeri Syiam, Kamboja, Malaysia, Banjar, dan mungkin sejumlah wilayah lainnya. Turjuman Al-Mastafiid adalah satu dari sekian karya Abdul Rauf yang telah membawa nama Aceh dikenal gagah oleh bangsa-bangsa luar.

Selanjutnya, yang membawa nama Aceh dikenal di dunia karya sastra adalah Bustanussalatin. Goresan pena Nuruddin Ar-Raniry itu telah membuktikan bahwa sastra di Aceh sudah hidup dan berkembang sejak zaman kejayaan Iskandar Muda.

Tersebut pula Hikayat Prang Sabi karangan Teuku Chik Pante Kulu. Sangking dikenalnya sastra berbentuk hikayat itu, Belanda secara khusus mengirim Snouck Hurgronje untuk meneliti sastra tersebut. Snouck yang terkenal punya banyak ide dan licik itu menyimpulkan bahwa Hikayat Prang Sabi berbahaya bagi orang asing yang masuk ke Aceh, terutama bangsa non-Islam seperti Belanda. Hal ini karena dalam hikayat tersebut dikatakan bahwa perang melawan kaphé Beulanda adalah suci dengan imbalan surga. Karenanya pula, sastra satu ini berhasil membawa nama Aceh sepanjang abad untuk dikenal dan disegani oleh bangsa luar, terlepas masa sekarang perubahan terhadap apa yang ditakutkan itu tidak lagi berterima.

Sastra Panggung

Selain dalam bentuk sastra tulis atau sastra tutur, Aceh juga dikenal dengan sastra panggungnya. Salah satu sastra tersebut adalah seudati. Para pakar kolonialis Belanda sepakat bahwa dalam gerak seudati terkandung nilai-nilai karakteristik keacehan yang sangat tinggi. Melalui gerak tarian seudati disimpulkan oleh para peniliti Belanda bahwa Aceh memiliki sifat ke-aku-an yang sangat memuncak, egois, dan arogan. Tuduhan itu disematkan dari gerak seudati yang berulang kali menepuk dada, memukul perut, dan menelisip “licik” dari kelincahan keramaian lewat variasi gerak yang beragam. Keindahan gerak itu ditamsilkan awak Belanda sebagai kelicikan ureueng Aceh dalam melakukan penyusupan ke dalam pihak musuh.

Kendati disematkan dengan nilai-nilai negatif, seudati diakui sebagai simbol sastra yang sangat tinggi, yang geraknya sulit ditiru oleh orang (bangsa) lain. Ini pulalah yang membuat Aceh semakin dikenal di mata sastra.

Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan Aceh boleh jadi dikenal oleh bangsa luar lewat Iskandar Muda. Namun, masa pemerintahan tersebut mulai pudar seiring bergantinya rezim pemerintahan di Aceh atau jika boleh tidak munafik, kehilangan gemilang itu sejak Aceh termakan tipu muslihat Indonesia. Bayangkan saja, berapa besar sumbangan rakyat Aceh untuk membeli dua pesawat terbang bagi Indonesia, tetapi yang dibeli hanya satu pesawat RI-001, sedangkan uang sisa satu pesawat lagi, tak jelas. Ini baru secuil kisah memilukan Aceh dari Indonesia, belum lagi kita balik sejarah Aceh yang membiayai hidup pakar-pakar kebanggaan Indonesia seperti Dr. Sudarsono di India, L.N.Palar di Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu (PBB) New York, biaya keliling Haji Agussalim, hingga Konferensi Asia di New Delhi pun dibiayai dari uang rakyat Aceh. Bukankah semua ini dapat menjadi catatan sejarah kegemilangan Aceh masa lalu?

Hal ini terkesan pudar atau sengaja dipudarkan (?). Maka sastra menjawab itu semua sehingga tak mampu dikalahkan. Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf As-Singkili adalah salah satu dari sekian contohnya. Kemasyhuran dan kemasygulan dua sastrawan itu pula, menjadikan Aceh sangat dikenal dalam bidang agama, terutama atas nama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa gelar Serambi Makkah itu muncul karena adanya sastrawan. Artinya, ada sastrawan dahulu, baru muncul gelar-gelar yang lain. Itu salah satu alibi saya menyebut Aceh tak dapat dilepaskan dari sastra serupa kulit dengan isi.

Sastrawan dengan karyanya memperkenalkan Aceh ke belahan dunia mana pun secara cepat, sedangkan raja, menjadi masgul hanya tatkala pemerintahannya bagus dan apik dikelola. Jika mengacu pada zaman sejarah, sang raja baru akan dikenal oleh bangsa luar tatkala menang perang dengan segala taktiknya. Sedangkan sastrawan, cukup bermodalkan sebatang pena dan kertas, baik dalam situasi kalah perang maupun menang, tetap dapat mengangkat marwah bangsa dan daerahnya. Hal ini karena sastra berbicara atas dasar estetika dan etis, yakni keindahan dengan menjunjung tinggi peradaban, bukan perlawanan yang berdarah-darah. Maka dalam warkah ini, ada gelisah yang membesar di benak saya, yakni manakala karya-karya besar dan sastrawan hebat Aceh tersebut jarang dikenal oleh dan di bangsanya sendiri, lantas di manakah peran sastrawan Aceh di masa kini dan akan datang? Haruskah kita hanya bernostalgia atas gemilang yang sudah lampau, sementara zaman terus berputar?

Sejatinya, peran pemerintah Aceh, baik di tingkat daerah maupun provinsi, sangat penting demi mendukung kemajuan sastrawan Aceh. Sebab, selama ini saya melihat yang menjadi konsumsi anak-anak Aceh hanya dongeng dari negeri seberang. Padahal, di Aceh banyak hikayat yang menjadi kecerdasan dan semangat bagi aneuk-aneuk Aceh. Namun, semua masih bertabur sehingga sering kita dengar sastrawan-sastrawan muda di Aceh kesulitan mendokumentasikan naskahnya sebagai sebuah penghargaan untuk Aceh. Saya kira pemerintah Aceh tahu yang mesti diperbuatnya terhadap sastra di Aceh, sebab sastra dengan Aceh ibarat dua sisi mata uang yang salig berkesinambungan. Atau kita kembali menerima kekalahan berikutnya dari negeri kesatuan ini?

*) Mahasiswa Pascasarjana Bahasa dan Sastra Universitas Syiah Kuala. Menulis di beberapa media lokal. Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi