Minggu, 27 Juni 2010

”Si Buta dari Gua Hantu”: Cinta, Dendam, Petualangan

Anton Kurnia*
http://www.sinarharapan.co.id/

Cinta yang terluka dan balas dendam sebagai api yang menyalakan semangat untuk mengarungi hidup penuh petualangan bisa kita temui dalam serial komik silat Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes Th.
Si Buta, sejak kelahirannya pada 1967 lewat terbitan UP Soka Jakarta, tak pelak merupakan tokoh komik lokal paling populer. Namanya terus bergema sejak diangkat ke gedung bioskop pada dasawarsa 1970-an dengan mencuatkan mendiang Ratno Timoer sebagai aktor pemerannya hingga ke layar kaca dalam zaman sinetron dewasa ini. Saat ini sebuah sinetron yang dibuat berdasarkan salah satu episode komik petualangan Si Buta masih diputar di sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Kisah Si Buta dari Gua Hantu diawali oleh dendam yang tak terbalas. Barda Mandrawata, seorang pemuda tani di sebuah desa pelosok Banten, tengah menanti hari pernikahannya dengan Marni Dewianti saat seorang buta yang sakti tapi telengas, Si Mata Malaekat, mampir di desanya dan berbuat onar. Ia membunuh Ganda Lelajang, ayahanda Marni, karena soal sepele. Barda dan kawan-kawannya dari Perguruan Elang Putih mencoba menuntut balas. Paksi Sakti Indrawata, ayahanda Barda sekaligus ketua perguruan, menantang duel Si Mata Malaekat. Namun, ia tewas.

Barda yang merasa kalah jago dari si pembunuh pergi meninggalkan desanya dan menyepi di sebuah gua untuk memperdalam ilmu silat. Ia ingin membalas dendam. Berkaca pada musuhnya, ia berupaya mempelajari ilmu membedakan suara yang tak tergantung pada mata.

Pada suatu hari, pemuda yang dibakar dendam itu mengangkat goloknya menyilang sejajar dengan mata. Digerakkannya golok itu menggores sepasang matanya. Sejak itu Barda menjadi buta. Tapi, menjadi buta ternyata membuatnya lebih tangguh. Kepekaan nalurinya justru menjadi jauh lebih tajam karena terbebas dari indera penglihatan. Kesaktian ini membuat Barda bertekad menuntaskan dendamnya pada Si Mata Malaekat.

Singkat cerita, Si Mata Malaekat tewas di tangan Barda. Dendam terbalas sudah. Tapi, cerita justru baru dimulai. Tambatan cintanya, Marni yang jelita, telah menjadi isteri orang, meninggalkan luka di hati Barda. Barda alias Si Buta dari Gua Hantu yang kini tampil gagah dengan setelan baju kulit ular berikut tongkat yang didapatnya dari gua tempatnya menempa diri memutuskan hengkang meninggalkan kampung halamannya. Ia bertualang ke berbagai penjuru Nusantara demi menumpas kejahatan ditemani oleh Wanara, monyet cerdik yang setia.

Setelah episode pertama berjudul Si Buta dari Gua Hantu, muncul berbagai petualangan singkat Si Buta di Pulau Jawa, antara lain lewat episode Borobudur dan Mawar Berbisa. Lalu, ia terus mengembara ke Timur, menyeberang ke Bali dalam Banjir Darah di Pantai Sanur dan Nusa Tenggara Barat dalam kisah Reo Manusia Srigala yang mengambil latar di Sumbawa. Disambung perjalanan melintasi lautan menuju Sulawesi dalam Prahara di Donggala, Perjalanan ke Neraka dan Kabut Tinombala. Selanjutnya, ia kembali menyeberangi laut menuju Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau Flores, dalam Tragedi Larantuka.

Si Buta dalam Sejarah Komik Indonesia

Si Buta merupakan masterpiece Ganes Th yang pada masanya merupakan salah satu dari tiga dewa komik Indonesia bersama Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Mereka adalah penerus generasi yang lebih awal dengan tiga tokoh utamanya: Taguan Hardjo, Zam Nuldyn dan Abdul Salam.

Ganes Th memulai kariernya sebagai ilustrator dan pembuat komik remaja. Namanya mencuat sejak munculnya serial Si Buta dari Gua Hantu yang kemudian difilmkan. Ia juga membuat sejumlah komik lepas, antara lain Tuan Tanah Kedawung (berlatar Betawi tempo doeloe, difilmkan oleh Tidar Film, 1972), Taufan (sebuah kritik sosial, berlatar zaman Jepang hingga awal masa kemerdekaan) dan Pendekar Slebor yang berlatar kehidupan pesantren di pesisir utara Pulau Jawa.

Ganes terutama menyandarkan komiknya pada kekuatan gambar dan gerak tokoh-tokohnya daripada penggunaan bahasa. Kelebihannya itu mampu menutupi kekurangannya dalam menggambar naturalis. Seperti halnya Taguan Hardjo, kelebihannya yang lain adalah gayanya yang ekspresif dalam menggambarkan raut wajah tokoh-tokohnya. Si Buta sendiri nyaris selalu ditampilkan bermimik dingin dengan garis bibir tipis yang berkesan keras.

Ia pun mahir menyusun plot berliku. Seringkali ia menyembunyikan identitas tokoh antagonis hingga saat terakhir dan mencoba mengecoh pembaca dengan kesimpulan yang keliru.

Terkadang ia mencoba puitis. Ia pernah menyisipkan selarik sajak Chairil Anwar (1922-1949), Aku, yang dipelesetkannya dalam salah satu episode petualangan Si Buta. Sajak itu dideklamasikan oleh seorang tokoh pengemis eksentrik yang selalu mengulang-ulang kalimat, ”Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang…”

Si Buta adalah sebuah fenomena, bahkan legenda, dalam dunia komik silat kita. Dari serial laris ini bermunculan sederet epigon yang kemudian ikut meramaikan kancah perkomikan nasional di masa lalu. Tak bisa disangkal, kesuksesan Ganes dengan Si Buta dari Gua Hantu mengilhami para komikus setelahnya.

Salah satunya adalah Djair Warni yang melejit lewat serial Jaka Sembung (terbit mulai 1968). Dalam serial itu Djair menciptakan sesosok tokoh bernama Karta alias Si Gila dari Muara Bondet yang dari namanya saja sudah terlihat jejak kemiripannya dengan Si Buta. Profil tokoh ini amat dekat dengan Si Buta: tampan, gagah, berambut gondrong. Hanya saja, ia tidak buta.

Awal proses kependekaran Karta tak jauh beda dengan ”metamorfosis” Barda, lagi-lagi disebabkan oleh dendam dan cinta. Karta, pemuda desa yang lugu, lari dari desanya akibat kematian Nuraini, kekasihnya yang bunuh diri pada malam perkawinannya dengan lelaki pilihan orangtuanya. Karta yang dijadikan kambing hitam kematian itu dihajar oleh si lelaki hingga babak belur, menorehkan dendam di hatinya.

Ia kemudian memperdalam ilmu silat secara otodidak dengan latihan ganjil selama bertahun-tahun di sebuah muara sungai hingga mampu menguasai sebuah ilmu golok yang aneh tapi ampuh. Setelah dendamnya terbalas, ia bertualang. Ia dianggap gila karena sering tertawa-tawa sendiri lalu tiba-tiba menangis sesenggukan apabila teringat pada almarhum kekasihnya. Karta lalu diangkat sebagai adik seperguruan oleh Jaka Sembung.

Djair pun tampaknya terilhami petualangan Si Buta keliling Nusantara saat menciptakan sejumlah episode pengembaraan Jaka Sembung di Indonesia Timur dalam lakon Singa Halmahera, Iblis Pulau Aru, Wori Pendekar Bumerang dan Papua. Bedanya, Djair mewarnai karyanya dengan napas perlawanan terhadap kaum penjajah asing dan nuansa Islam yang cukup kentara (simak misalnya episode Wali Kesepuluh).

Menimbang Aspek Intrinsik Si Buta

Sebagai sebuah karya, serial komik Si Buta dari Gua Hantu sebenarnya tak jauh beda dengan komik-komik lain sezamannya. Ada beberapa kelemahan umum, seperti logika teks yang terkadang diabaikan oleh kebetulan-kebetulan. Namun, ada sejumlah keunggulan di dalamnya, antara lain soal penokohan.

Ganes memberi alasan bagi kecenderungan tokoh-tokohnya walau tak jauh dari tema cinta dan dendam. Ada perkembangan psikologis dalam diri mereka. Barda yang semula berwatak periang memilih pergi dari kampung halamannya dan bersikap dingin pada wanita karena cintanya yang terluka.

Si Buta pun digambarkan cukup manusiawi. Terkadang ia dan monyetnya tampak sedang makan di warung nasi dan membayar dengan uang yang didapat dari orang yang pernah ditolongnya (lihat Perjalanan ke Neraka). Si Buta pun bukannya tak bisa kalah. Ia pernah nyaris mati akibat racun pukulan kecubung biru dan terpaksa harus mencari obat penawarnya dengan susah payah (baca Kabut Tinombala).

Selain itu, Si Buta tak mengabaikan latar tempat dan waktu. Ganes dengan sadar mengambil tempat-tempat faktual (Banten, Borobudur, Pantai Sanur, Gunung Rinjani, Donggala, Gunung Tinombala, Pulau Flores, Larantuka) sebagai ajang petualangan Si Buta. Bandingkan misalnya dengan komik-komik silat Jan Mintaraga atau serial Panji Tengkorak karya Hans Djaladara.

Waktu kejadian dalam kisah Si Buta, walaupun tak disebut eksplisit, kira-kira adalah sekitar abad ke-17 ketika VOC mulai menancapkan kukunya di Nusantara. Itu ditandai dengan munculnya tokoh orang-orang Belanda (VOC berdiri pada 1602) dan penggambaran suasana yang belum terlalu modern (kendaraan yang lazim ditampilkan adalah kereta kuda).

Tokoh antagonis dalam kisah Si Buta bukanlah kaum penjajah asing, melainkan tuan-tuan tanah, penguasa-penguasa lokal yang tamak, atau tukang-tukang pukul yang doyan menindas rakyat kecil. Mereka itulah yang menjadi musuh Si Buta, sang pembela kaum tertindas.

Cukup menarik cara pandang Ganes terhadap modernitas dalam serial Si Buta ini. Ia berpihak pada ilmu pengetahuan modern dan menolak tahayul. Dalam kisah Reo Manusia Serigala, terdapat tokoh ilmuwan asing yang tengah melakukan penyelidikan botani di Nusantara. Saat Reo sakit demam, bocah itu disembuhkan dengan larutan air kina yang diberikan oleh sang ilmuwan. Rupanya Reo mengidap malaria.

Begitupun dalam Tragedi Larantuka terdapat tokoh dokter bule yang berupaya menolong warga sebuah desa di Larantuka yang terserang wabah rabies akibat serangan gerombolan anjing liar. Penduduk lokal menganggap penyakit itu disebarkan oleh setan. Dengan cerdik, Ganes menampilkan tokoh dukun tradisional justru sebagai pembantu dokter yang tak lagi percaya pada ilmu klenik. Ia bekerja sama dengan si dokter mengumpulkan dana untuk membeli obat bagi rakyat miskin dengan cara memanipulasi kebodohan seorang tuan tanah kikir.

Komik dalam Kebudayaan Kita

Demikianlah catatan singkat tentang Si Buta dari Gua Hantu, tokoh legendaris dalam sejarah komik Indonesia. Tulisan ini hanyalah merupakan tinjauan sederhana seorang pembaca. Telaah yang lebih serius dari berbagai sudut pandang keilmuan, entah itu dari aspek sastra atau seni rupa, dan tinjauan ilmiah yang lebih mendalam, tentunya terbuka untuk dilakukan.

Sejauh ini, telaah paling serius terhadap komik Indonesia justru dilakukan oleh seorang Prancis bernama Marcel Bonnef dalam disertasi yang dibuatnya pada 1973 silam, Les Bandes dessines Indonesiennes (baru diterjemahkan di sini sebagai sebuah buku bertajuk Komik Indonesia pada 1998).

Bagaimanapun, seperti ditulis komikus Jan Mintaraga dalam sebuah esai bertajuk ”Komik, Bastar Tanpa Kewarganegaraan” (dimuat Kompas, 1983), komik adalah bagian tak tersangkal dari kebudayaan kita yang berkaitan seni rupa dan sastra, biarpun pada kenyataannya di sini tak pernah dianggap sebagai karya yang pantas diperbincangkan secara terhormat.

*) Sastrawan dan pembaca komik.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi