Minggu, 27 Juni 2010

SENI TRADISI: BERTOLAK DARI TEATER MISKIN

Balok Sf
http://terpelanting.wordpress.com/

Ketika seni tradisi, ludruk, wayang, maupun kentrung, dihadapkan pada masyarakatnya bukan lagi sebagai suatu tontonan yang menjadi tuntunan yang sebenar, tetapi hanyalah dianggap sebagai “seni pinggiran” yang sifatnya hanyalah sekilas, hiburan, temporer. Seni Tradisi tidak bermakna lagi di hati mereka. Inilah yang dinamakan tuntunan yang menjadi tontonan. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa awal muncul seni tradisi banyak memuat ajaran-ajaran moral, baik tersurat maupun tersirat.

Dalam sejarahnya, yang pernah kita ketahui, bahwa seni tardisi, ludruk, wayang, maupun kentrung lahir dari religiusitas komunal yang membutuhkan komunikasi langsung dengan penontonnya. Antara aktor, penonton maupun pekerja seni menyatu dalam religiusitas berkesenian. Mereka merasa memiliki dan dimiliki. Seperti ada suatu kesepakatan yang harus diakui dan dipatuhi, dalam bentuknya maupun penyajiannya. Di sini seolah-olah masyarakatlah yang mencipta kesenian itu. Akhirnya kesenian ini menjadi milik masyarakat.

Tetapi, sekarang, kesenian semacam ini hilang. Seolah-olah, atau memang benar-benar, menjauh dari masyarakatnya. Misalnya: ludruk, wayang, maupun kentrung telah ditinggalkan oleh masyarakat yang pernah menciptanya. Mereka (pelaku seni tradisi) tidak bermakna lagi ketika bertutur, berkreasi di hadapan masyarakat pemiliknya. Ini menjadi semacam akibat dari konsumenisme masyarakat terhadap hasil dari produk-produk kapitalis. Sifat-sifat semacam ini merambah di dunia kesenian. Apapun pola tingkah lakunya selalu dibatasi oleh sifat-sifat itu. Sehingga dorongan-dorongan kerja kreatif dalam berkesenian tidak ada. Seolah-olah ketika mereka melihat suatu pertunjukan kesenian, ia melihat suatu produk yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok kesenian. Sehingga menghilangkan “religiusitas” dalam berkesenian. Padahal kalau kita kaji secara mendalam, penonton dalam suatu pertunjukan adalah orang yang kreatif atau andil dalam mencipta suatu pertunjukan.

Sifat-sifat ini akhirnya melanda dunia seni tradisi. Apalagi dengan adanya televisi maupun gedung bioskop, karena merasa tersaingi dan ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya, maka pekerja seni tradisi menjual karcis pertunjukan dengan harga yang murah sekali agar terjangkau oleh masyarakat. Kemurahan karcis ini lambat laun mempengaruhi pertunjukan seni tradisi, penggarapan pertunjukannya tanpa diikuti dengan estetika yang tinggi. Tanpa ada pemikiran-pemikiran. Sastra, sebagai sumber pijakan pementasan yang bermutu, dikesampingkan oleh sang seniman. Pola pertunjukan tidak lagi didasari dengan kerja-kerja kreatif. Ini terlihat pada pementasan ludruk Srimulat Surabaya.

Kalau kita tilik kembali pada perkembangan seni tradisi, bahwa kesenian ini membawa akibat yang dahsyat sekali bila digali dengan serius. Seni ini dapat menghipnotis masyarakat. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa kehebatan ini juga pernah dipakai dalam masa pemerintahan orde lama maupun orde baru. Karena seni ini dibangun dari kelisanan tahap pertama yang lebih dekat dengan masyarakatnya.

Cak Durasim pernah melakukan hal ini dalam menentang pemerintahan Jepang. Cak Durasim melakukan perlawanan terhadap Jepang bukan dengan senjata atau bambu runcing. Tetapi dengan berkesenian, ludruk. Dan ini dilakukan oleh Cak Durasim. Dengan model parikannya ia melawan Jepang. Dan ini sangat berpengaruh terhadap semangat rakyat Jawa Timur, kala itu, untuk melawan Jepang. Dengan parikan Bekupon omahe dara, melok Nippon urip sengsara. Mampu menjadikan suatu perlawanan yang dahsyat. Dan ini diketahui dan disadari sendiri oleh pemerintahan Jepang. Maka, kala itu, Cak Durasim dicari dan dibunuh.

Kelisanan tahap pertama juga pernah digunakan oleh pemerintahan Jerman dan Amerika. Walaupun kedua negara tersebut sangat kental dengan tradisi tulis. Namun tradisi lisan mempunyai dan berpengaruh yang sangat jelas terhadap masyarakat yang dituju. Hal ini pernah disadari oleh Goebbels, Menteri Propaganda Nazi yang kemudian membuat pidato Hitler seolah-olah seperti pidato dari Dewa bangsa Arya.

Sebelumnya, di Amerika pada tahun 1938, tepat pada hari perayaan Halloween, sebuah stasiun radio menyiarkan drama sebabak mengenai kedatangan pasukan planet Martian di wilayah New Jersey. Sebagian masyarakat yang mendengarkan siaran itu menjadi panik dan ketakutan. Kenyataan itu memperlihatkan bahwa berbagai bentuk media yang memanfaatkan aspek kelisanan dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Bahkan beberapa tokoh, seperti George Orwel, Aldous Huxley, dan Neil Postman, menganggap kekuatan kelisanan dapat mengancam bagi tradisi keberaksaraan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh teknologi modern.

Dari ketiga peristiwa tersebut, perlawanan Cak Durasim di Surabaya, pidato Hitler di Jerman, dan perayaan Halloween di New Jersey, dapat dijadikan pelajaran untuk perkembangan dan keberlangsungan seni tradisi di Jawa Timur. Mereka bisa menggunakan celah-celah seni tradisi untuk keberlangsungan berkesenian. Masalah material dalam berkesenian dapat teratasi, tidak seperti ludruk atau ketoprak di THR yang berkutat pada masalah dana dan pendanaan. Memang, kita berkesenian selalu membutuhkan dana, tapi bukan suatu yang primer. Kalau masalah primernya hanya berkutat pada masalah dana dan pendanaan maka estetika pertunjukan akan tersingkir. Dan ini mengakibatkan kemunduran terhadap seni tradisi.

Cak Durasim bisa mengatasi celah-celah kekurangan dalam pementasan seni tradisi. Mengapa kita tidak bisa? Marilah kita belajar kepada Cak Durasim atau berpijak pada Teater Miskin-nya Jerzy Grotowski. Saya memilih Cak Durasim, karena ia lebih dekat dengan seni pertunjukan kita, seni kita. Saya memilih Jerzy Grotowski karena masalah yang dikemukakan sama dengan pertunjukan kita saat ini. Konsepnya bisa ditarik ke dunia seni tradisi maupun seni modern. Konsep teater miskinnya Jerzy Grotowski ini sangat lentur dan sesuai dengan perkembang seni pertunjukan kita. Sehingga dapat mengatasi kegelisahan kita dalam berkesenian, berteater. Baik yang modern maupun tradisional. Di lingkungan kampus maupun khalayak umum. Walaupun Jerzy Grotowski berangkat dari teater modern.

Jerzy Grotowski pernah mengatakan bahwa hanya ada satu unsur di mana film dan TV tidak dapat merampok teater: dekatnya organisme yang hidup. Karena kedekatan itulah, setiap tantangan dari sang aktor, setiap lakunya yang magis (yang tak bisa dihasilkan oleh penonton) menjadi sesuatu yang besar, sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang mendekati ekstase. Oleh sebab itulah kita perlu menghilangkan jarak yang ada antara aktor dan penonton dengan cara pengaturan kembali tata–pentas, menyingkirkan semua garis perbatasan. Usahakan agar adegan-adegan yang terjadi di depan para penonton, seolah-olah mereka dapat dijangkau oleh aktor, dapat merasakan tarikan napas dan mencium bau keringatnya. Untuk itu kita membutuhkan teater. Dengan ini penonton dapat dirangsang untuk mengadakan atau melakukan analisa diri ketika dihadapkan dengan aktor maka tentu sudah harus ada beberapa persamaan dasar antara keduanya —sesuatu yang dapat mereka tolak dalam suatu sikap atau mengadakan upacara bersama. Oleh sebab itu teater harus menyerang apa yang biasa disebut “kebencian-kebencian kolektif masyarakat yang tak berdasar”, akar bawah sadar kolektif atau mungkin juga terlalu sadar, mitos-mitos yang bukanlah ditemukan oleh pikiran-pikiran tetapi diwariskan lewat darah seseorang, agama, kebudayaan atau iklim.

Dengan cara-cara demikian kita dapat menumbuh kembangkan dunia seni tradisi, teater, seperti ludruk, ketoprak, kentrung. Karena kita dapat melampaui keinginan masyarakat. Dan menjadikan masyarakat sebagai penonton yang kreatif, penuh dengan pemikiran-pemikiran baru.

Bagaimana untuk menjadikan suatu pertunjukan menjadi bermakna, penuh dengan pemikiran-pemikiran yang bermutu? Ini adalah tugas seorang intelektual dan lembaga-lembaga kesenian untuk terjun langsung kepada masyarakat pemiliknya. Untuk memberi pengetahuan (bukan pengarahan) atau terjun langsung membentuk suatu pertunjukan. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa di lingkungan kita banyak bermunculan lembaga-lembaga kesenian. Di Surabaya ada DKJT, Taman Budaya, DKS. Di Sidorajo ada Dewan Kesenian Sidoarjo. Di Malang ada Dewan Kesenian Malang. Tapi, bagaimana keterlibatan mereka untuk melestarikan seni tradisi menjadi bermakna di hadapan masyarakatnya? Keterlibatan lembaga kesenian ini diperlukan secara serius, tapi, seperti yang pernah saya lihat, keterlibatan lembaga-lembaga ini hanya sebatas sebagai penanggap. “Penanggap” seni tradisi bukan suatu solusi yang mutlak untuk melestarikan seni tradisi. Penanggap ini pun sifatnya hanya temporer.

Perlu kita ingat, bahwa Surabaya yang kental dengan kesenian ludruknya akan menghilang begitu saja ketika kesenian ludruk di hadapkan kepada publik Surabaya. Ludruk seperti katak dalam tempurung. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa ludruk mempunyai estetika yang unik tetapi mengapa ludruk tidak bisa bergerak dengan kekayaan estetikanya. Ludruk masih kalah dengan gendangnya musik dangdut atau yang sejenisnya. Lihat saja kasus di Surabaya, Ludruk Srimulat masih kalah dengan goyang dangdutnya THR. Padahal kalau kita dilihat, bahwa untuk masuk ke dalam area goyang dang dut THR lebih mahal dari pada masuk dalam gedung pertunjukan Srimulat.

Apakah ini tanda-tanda rendahnya estetika ludruk? Atau penggarapan ludruk yang asal-asalan?
Ada yang mengatakan bahwa ketertinggalan estetika ludruk dikarenakan adanya personel ludruk itu sendiri yang tidak mau belajar dan gemar membaca untuk perkembangan ludruk. Sehingga ludruk akan ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya. Untuk mengatasai masalah itu seniman ludruk harus belajar untuk mengetahui selera masyarakat maupun belajar dari kesuksesan teater-teater modern. Dengan adanya wawasan ini maka kita dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat kesenian. Penghilangan jarak antara aktor dan penonton akan terjadi dengan sendirinya. Penghilangan garis pemisah, seperti yang pernah dikatakan oleh Jerzy Grotowski, akan terjadi sehingga akan terjadi suatu religiusitas komunal dalam berkesenian. Karena adegan-adegan yang terjadi di depan para penonton, seolah-olah mereka dapat dijangkau oleh aktor, dapat merasakan tarikan napas dan mencium bau keringatnya, dengan enak. Karena kesenian semacam ini diperlukan komunikasi “via personal”.

Seperti yang dikata oleh Max Arifin, dalam Menuju Teater Miskin, untuk memperoleh pembaruan sang seniman harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas dan mendalam tentang tradisi teater yang ada dengan segala kekayaan idiomnya. Dan sang seniman kenal dengan masyarakatnya dan merasa bagian daripadanya sehingga merasa perlu untuk berkomunikasi.

*) Balok Safarudin, Penulis adalah Penyair, Ketua Paguyuban TEKI (Teater Kentrung Indonesia).
Alamat : Jl. Sido Mukti 45 RT: ½ Ds. Ngadilangkung Kec Kepanjen Kab. Malang.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi