Minggu, 27 Juni 2010

Menari di Padang Prairi

Abidah El Khalieqy
http://www.jawapos.co.id/

OKE! Aku menyerah. Teruslah menari seluas padang prairi. Karena kau adalah benih adalah hujan adalah angin dan matahari. Tunas cinta menyembul darimu per detik. Tak ada jemu. Meski telah kubabat rumputan sabanamu, kuluapkan sungai-sungaimu hingga kering dan kutebas pohonan rimba rayamu. Meski telah kututup pintu-pintu dan kukafani sejarahmu. Meski telah kuhapus huruf-huruf yang mengisahkan namamu.

”Salam. Aku datang lagi…!”

”Tak bisakah meninggalkanku sekejap saja?”

”Atas alasan apa? Matahari terus bersinar tak peduli lilin-lilin dinyalakan atau dipadamkan.”

”Tapi aku sudah di Mars dengan matahariku sendiri.”

”Tak masalah. Lebih banyak matahari lebih nyala dunia ini. Benderang di hati.”

”But love is country with map.”

”Yups! Earth and Mars adalah peta wilayah cinta. Kita penghuninya.”

Percuma mendebatmu, Sayang! Lagi pun cinta itu sesuatu yang terberi. Sekuat apa menolaknya, kalau ternyata ia tak minta apa-apa selain hatimu. Sekarang pikirkan cara bagaimana strategi menolak kata hati. Kalau tidak ingin majnun dan masuk er-es-je.

”Tetapi aku merasa telah berkhianat pada matahari.”

”Bukan berkhianat, karena tak ada yang mampu membalik arus mentari. Kau hanya butuh waktu untuk sadar bahwa alam ini memiliki banyak mentari.”

”Jadi?”

”Nikmati saja anugerah yang melimpah.”

Aku pun menyibak korden memandangi sepadang hijau yang tumbuh lagi dan lagi. Berapa kali kubabat, ia tumbuh bersama angin. Matahari mengomporinya kian nyala. Kadang terpikir dalam benakku, mestikah kubakar saja agar hangus bersama akar-akarnya. Namun hujan mengguyur semesta bumi dan menghijau lagi. Kian mewangi dan berseri tujuh mentari. Dan aku perempuan dengan sebutir mentari di hati.

”Datang lagi aku, hallow…!”

”Mengapa tak jera juga? Jika seluruh dunia telah panas bergunjing, kau akan tahu bahwa sepotong udara saja bakal tersengal kau menghirupnya.”

”Siapa takut. Laki-laki dilahirkan untuk menebas rintangan.”

”Tak berarti rintangan ke jurang kan?”

”Jurang mawar atau jurang berduri?”

”Kali ini mawar berduri. Kau mesti sadar bahwa duri mungil pun memiliki daya memusnahkan jika diberdayakan.”

”Tak berarti kau mengancamku kan?”

”Aku hanya mengingatkan. Maka sebaiknya hati-hati.”

Paginya kusaksikan hil yang mustahal. Sepadang hijau menguncup bunga beraneka rupa. Harumnya meluapkanku menuju surga ketiga. Lagi-lagi mentari datang dengan senyuman Rubaiyyat Khayam. Memaksaku jadi merpati di singgasana para dewa Amor. Langitku biru seluruh. Seakan menyilah bagiku terbang ke mana suka. Matamu begitu cerah.

”Kita adalah dua merpati di keheningan,” kau bilang.

”Bukan. Kita dua elang laut di atas ketinggian. Cakrawala terlalu luas bagi persinggahan. Maka terus kita berputar tak punya ruang untuk bermalam.”

”Jangan takut, Sayang! Kita bukan dari kumpulan yang terbuang. Rabiah dan Ibrahim Adham sudah basah air mata merindui kita. Memang di keheningan, namun kita bersaf dalam kejayaan.”

”Tapi ke mana kita akan menuju?”

”Tak usah muluk membayangkan dermaga penuh terisi perbendaharaan ikan-ikan dunia. Kita jalan saja menikmati angin.”

”Dasar kurang kerjaan!”

”Lho!? Menikmati angin dan menghikmati magmanya. Kau tahu bahwa angin juga bisa mengirim prahara. Jika sudah pernah bertemu prahara, kau akan tahu bahwa angin tak selamanya ramah.”

”Dah tahu je. Sejak zaman baheula. Namun T-Rex berubah jadi kadal melata. Mammot pindah rupa jadi gajah. He!”

”Eh, iya benar itu, Diajeng. Tapi angin tak ikutan ber-evolusi. Seperti cinta. Mereka ber-revolusi. Angin itu revolusioner!”

”Kayak kamu dong!”

”Terima kasih sudah dinilai.”

”Aku tak menilaimu, hanya melakukan analogi aja.”

”Apa pun perhatianmu, aku bahagia.”

”Ge-er!”

”Atau begini. Apa pun seberapa pun kau mengolokku atau mencoret-coret mukaku, menertawa bahkan andai kau meninjuku, kuharap kau bahagia selalu.”

”Hek! Miring, Lu!”

”Hingga miring pun! Bahagia aku.”

”Syaraaaap! Majnun fil hubb ma’al isyq wal hawa. Ieh!”

”Betul benar sahih dan sharih pula. Inti sakawly ya man hubbiy! Kau yang membuatku sakao duhai cintaku!”

”Wa inta syauqiliy ya malaky! Dan kau rinduku duhai pangeran!”

Matahari nyala di ubun jiwa. Sang waktu kini bicara bahwa angin memang revolusioner adanya. Sepoi saja atau memprahara, ia berdaya menggerakkan massa. Demikian cinta Adam dan Hawa di lubuk semesta. Ruh yang bertemu ruh, lupa kalau jasad menempel di dataran rendah yang rentan musibah. Aku memelukmu dan kau memelukku. Kita berpelukan seperti dua pemabuk di meja perjamuan. Anggur merah ditumpahkan.

Gerhana lalu membayang!

”Hai para pecundang. Bangun dan becermin pada kolam kearifan!”

”Siapa kamu? Kurang kerjaan amat ngurusi bahagia kami!” Responmu kurang bijaksana.

”Haha…! Pemabuk sepertimu mana mungkin mengenalku?” Topan mencibir. ”Buka matamu lebar-lebar, kau akan lihat bahwa matahari sepenuhnya di tanganku. Bersama bumi aku melaju. Dan kau? Kau hanya lilin kecil menanti saat listrik padam. Kau hanyalah lampu semprong di gubuk-gubuk pedalaman. Hanyalah sebutir dian!” lanjut Topan meremehkan.

”…yang tak kunjung padam,” lanjutmu bangga.

Membelalak Topan, sama sekali tak mengira akan mendengar jawaban demikian. Kau telah menantangnya bersaing dalam pergulatan. Mengajaknya berlaga duel di arena kata dan puisi kehidupan. Topan meradang, merasa lebih berhak bersinar karena di ketinggian. Ia datang tiap pagi tepat waktu, senantiasa datang meski sering tertutup awan dan hujan. Sementara engkau mencuri-curi situasi di kegelapan dan siap selalu menjadi dian yang tak kunjung padam.

”Haha! Bermimpilah menjadi seribu lilin, namun lilin tetaplah lilin. Semiliar lilin pun tak sampai kakiku. Wajahku terlalu jauh. Tinggi paripurna!”

”Jangan sombong karena posisi. Karena kursi-kursi pun bisa terjungkal!”

”Kau mengancamku. Mau makar?”

”Makar apaan. Makar ketela kali. Aku tak dalam kuasa siapa pun kecuali diriku sendiri. Jika mau tumbang, tumbanglah sendiri jangan bawa-bawa namaku. Jika sudah keropos, semua yang kuat dan hebat pun bakal jungkalit. Tejungkal, Dab!”

Tapi Topan benar-benar merasa hendak ditumbangkan. Entah oleh ketakutannya atau siapa. Ia membayangkan barisan musuh berwajah kamu. Senapan dikokang. Pedang-pedang ditajamkan. Sniper dingin mendengus-dengus di pelipis kiri. Kuku maut Izrail serasa gores di tengkuk. Ia ketakutan dan ngos-ngosan siang malam. Berlari dan seakan terus berlari. Kadang berjingkatan melompat kian kemari seakan menepis serbuan bertubi-tubi.

”Hey! Kau pikir aku takut?” teriaknya nervous.

”Memang kau takut. Takut akan serbuan kelemahanmu sendiri huaha…!”

”Eh, polisi apa, Lu! Beraninya cari kambing hitam.”

”Huaha…Elu tu etawa. Jenis baru yang suka ngembek minta dimandiin bidadari. Emang Jaka Tarub?”

”Ente itu Jaka Tarub yang sembunyi-sembunyi mau nyuri bidadariku.”

”Mending kita bertaruh aja gimana? Karena ini menyangkut urusan hati.”

”Bertaruh apaan. Seribu taruhan pun, akulah sang pemenang!”

”Belum tentu, Bro! Kita betaruh sekarang. Jika esok pagi mawar di padang itu berbunga merah, kau memang milik bidadari. Tapi jika warnanya putih, berarti akulah pemiliknya. Setuju?”

”Putih itu tanda kalah atau suci. Yang mana kau pilih?”

Topan segera pergi ke padang memeriksa pohon demi pohon mawar yang tumbuh menghijau. Sejak kapan bunga-bunga ini memenuhi padang sabanaku. Sejak kapan aku menanami mawar di penjuru sabana ini. Sejak kapan aku lupa bahwa sabana ini milikku. Sejak kapan kepikunan itu menyerbu. Gemetar ia menyadari jika andai kalah bertaruh dan mawar-mawar ini berbunga putih. Bahkan aku tak tahu kalau di antara mawar ada yang berbunga putih. Bahkan jingga. Kupikir segalanya merah.

Semalaman insomnia. Jika tidur menghampiri, mimpi buruk menyertai. Topan gelisah melintasi jembatan neraka malam yang membara. Kelojotan seakan dipanggang di atas penggorengan (emang kerupuk kalee). Tergeragap bangun berulang kali seperti ada yang memanggil-manggil di kejauhan, namun dekat. Sepasang mata mengawasinya dari balik entah. Penjuru kamar telah dipasangi mata-mata oleh entah. Berulang kali ia sibak korden dan menjulurkan kepala keluar jendela, memastikan kapan bunga-bunga itu mulai mekar membawa warna-warni dari alam mimpi. Namun gelap saja menyelimuti bumi.

Di puncak lelah bertahan dalam jaga, tidur menyambarnya ke alam koma. Kau memapasnya di simpang tujuh di bawah cemara.

”Hey, pemabuk! Ngapain malam-malam gentayangan aja, Lu! Mau nyuri warna mawarku ya?” Topan curiga.

”Haha…curigaisen aja pembawaan Lu akhir-akhir ini. Sepertinya lagi stress ya, Bro!”

”Sok tahulah! Kau bawa berapa kilogram cat untuk mengubah warna-warna itu?”

”Wakakaka… aku tak membutuhkan warna, Bro. Tapi warna-warna membutuhkanku.”

”Soklah kamu! Memangnya apa fungsimu bagi warna?”

”Untuk memperindah tampilan. Karena pada awalnya, segalanya hitam saja, Bro! Seperti alam ini, pada mulanya adalah gelap. Kabut hitam yang bergulung-gulung dalam pekat. Nah, keberadaanku di antara mereka, tentunya dalam rangka mewarna.”

”Memangnya siapa kamu ini, hey pemimpi!”

”Haha…sudah kujelaskan tadi, aku ini sang pewarna, pelukis mandraguna yang menghenyakkan mata dunia. Lihatlah di depanku mereka ngantre. Satu ingin kuoranyekan, satu ingin kuhijau-daunkan, satu ingin kucoklatkan dan yang lain tengah menimbang segala kemungkinan tentang warna yang membahagiakan.”

”Mimpi Lu ya! Payah Lu, pemabuk!”

”Aku ini serius. Coba tatap mataku lekat-lekat, kau bisa baca di sana, apa aku ini pengibul?”

Topan maju mencoba tatap mata purnama. Tak tahan ia terjengkang ke belakang saking kagetnya, silau dan terhenyak habis oleh nyala. Turun naik napasnya menahan amarah dan cemburu. Setenang danau bening sejuk dan nyaman, kau respons gemuruhnya dengan senyuman.

”Sudah lihat sekarang, berapa kadar emas di antara warna cetakanku? Baca mataku!”

Sunyi mulut Topan. Ia tengah menanting kejernihan dan harga. Dan menemukan kenyataan, betapa kadarmu di maqam para tinggi yang tak lagi miliki hasrat dan inginkan benda-benda. Ia respek dan mengaku, setuju bahwa engkau bukanlah lilin yang mengendap di kegelapan dan bermimpi kapan listrik padam. Engkau adalah mentari. Tujuh mentari terangkum dalam matamu. Tubuhmu cahaya dan segalanya sirna, silau akan hadirmu yang seribu kilau.

Tapi nanti dulu. Adalah mustahil tumbuh dua mentari di satu bumi. Kau harus enyah atau mencari bumi lain untuk berdiri. Untuk apa hadir di sini mengganggu bahagia kami. Topan membatin dalam hati.

”Aku tak mengganggu bahagia kalian, tapi sempurnakan apa yang masih kurang,” katamu.

”Eh ngeyel! Dari mana tahu kalau kami ada yang kurang?” Topan jengah.

”Dari warna bunga-bunga itu. Lihatlah si ungu dan si biru.”

Topan kaget nengok ke belakang, sehamparan mawar tumbuh memenuhi sabana luas, seluas mata memandang. Warna-warni melukisi padang hijau seperti pelangi sore hari. Jadi sudah pagikah ini? Penuh cemas ia mencari-cari, di manakah mawar putih yang bakal menumbangkanku dalam taruhan. Ia mencari dan terus menyibaki gerumbul demi gerumbul hijau, kalau-kalau sang putih muncul di balik rerimbun. Karena hijau demikian menyemesta, ia capek lunglai dilangkah kesekian dari jam yang terus merambat naik. Tak sekelebat pun dilihatnya si putih muncul, baik di permukaan atau di sebalik gerumbulan. Merasa menang (lupa si ungu dan si biru), ia teriak kencang sembari melompat terbang.

Hiya fatih ahkin! Penakluk masa depan!

Alih-alih kemenangan di genggaman, Topan terbangun ngos-ngosan penuh keringat dingin di sekujur badan. Blingsatan ia mengingati fragmentasi mimpi kemenangan semu. Terlonjak berdiri dan tergesa sibak korden jendela. Matahari pagi menyapanya gundah. Perayaan mawar putih harum mewangi menusuk matanya, hati terdalamnya luka. Dari rerumpun hijau itu, kau menyembul dengan senyuman rekah dan megah. Menakluk yang pongah.

Hiya fatih mahabbat dernigiz!

Yups! Penakluk cinta langit!

Tarah min ‘ain. Sil ‘ala shirat fakana junain!

Hanyut dari tatap mata. Tersambung jembatan maka bertemulah dua gila!

Dan kau mengajakku naik dalam tarian kemenangan si putih yang bermekaran di bawah mentari. Semilir angin surga menggeraikan senyummu lebih cinta. Duhai kekasih yang adalah cakrawala saat hati ini penjara. Aku menyerah kini. Menjadi tawananmu lebih bermutu dari sepuluh danau yang menggenang. Mencintaimu adalah api. Gerak yang tak kunjung usai melawan arus mentari. Mari kita menari.

”Tak semudah itu wahai pemimpi! Kau hanya menang taruhan, belum menang di laga sungguhan…” Topan terus saja menghadang.

”Apa maksudmu, Bro. Kau ingin kita duel seperti Qabil dan Habil. Jadul itu! Out of date!”

”Kau pikir taruhanmu tidak jadul juga. Ribuan abad mereka sudah lihai betaruh hatta hal-hal sepele sekalipun!”

”Berarti sama-sama jadul dan terbukti akulah sang pemenang. Mau apa lagi, Bro? Berbesar hati dan terima kenyataan.”

”Kenyataan gundulmu! Aku tak terima!”Topan meradang.

”Bahkan rambutku gondrong kau bilang gundul. Aku juga tak terima!” kau ikutan meradang.

Terus terang aku geli dan terkikik bahagia menyaksikan para Adam bertempur di medan laga. Ada yang berbambu runcing dan busana koteka, ada yang revolver berperedam dengan sepatu londo, berkelewang, juga ada yang ber-AK-47 bahkan pakai meriam dan sputnik penuh terisi bom hydrogen. Hikhik! Aku senang dan mengeploki mereka penuh semangat 45. Kuterbangkan balon-balon udara memeriahkan suasana dan ribuan kembang api berletusan seperti mitraliur.

Udara cerah matahari bercahaya disoraki burung-burung angkasa. Berbondong angin dikirim dari samudera raya, mengembus ramah seperti tetamu dari swargaloka. Apa yang kurang dari dunia. Segalanya ada tercipta untukmu yang tahu, bahwa cinta memang segalanya. Teruslah terang, tarung, dan melawan. Rebut hakmu yang kurang atau dijauhkan, karena engkaulah para prajurit cinta. Yang darinya engkau ada, tumbuh dan mengelola dunia penuh mahabbah.

”Awas ya, kutinju, Ente!” Topan tak sabar.

”Siapa takut. Maju saja kalau berani. Bukan hanya Tyson. Aku juga menyimpan magma itu!”

Lalu mereka tinju. Beradu gulat dan sepak takraw. Jumpalitan tak kenal henti. Sebab bagi kami, perlawanan itu napas abadi. ***

Jogjakarta, 2010

*) Abidah El Khalieqy, penulis novel Perempuan Berkalung Sorban. Tinggal di Jogja.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi