Minggu, 27 Juni 2010

Sajak-Sajak Heri Latief

http://www.sastra-indonesia.com/
Protes!

zaman ini dibilang berwarna hijau dollar
semua warna menjual diri di kotak suara

rakyat cuma bisa protes di dunia maya
pejabat dan makelar sibuk cari proyek

masa depan suram generasi pemikul hutang
pewaris segala kebusukan rezim yang korup

demokrasi semu dijadikan kebanggaan
perbedaan kelas itu kenyataan boss!

siapa yang miskin pasti tau arti kelaparan
klub super kaya membeli semua yang bisa dibeli

lihatlah potret buram bangsa terpedaya
sampai saat ini hanya mengulang cerita lama

Amsterdam, 14 Juni 2010



Fakta di Belanda

rasisme itu tersesat di sistem liberal
labilitas pemilih terbujuk rayuan maut
kepincangan sosial di eropa jadi tumbal
siapa yang ketakutan kehilangan identitas
membisu jutaan orang berdarah campuran

Amsterdam, 12 Juni 2010



Musim Semi

apartheid di belanda

Amsterdam, 12 Juni 2010



Lupa ya?

dia masuk tadi pagi dalam kedaan sakit berat, mulutnya berbusa. menjelang magrib ia dikeluarkan dari kamar isolasi, wajahnya kusut kayak benang kusut, mulutnya menggumam sesuatu yang gak jelas, dan jalannya masih sempoyongan. mendung di luar, hujan menjelang senja, siapa yang berani melawan lupa?

Amsterdam, 10 Juni 2010



Gila Kata

percintaan seru angin dan hujan
mengandung mendung menggulung tabu
musim pancaroba banyak cerita bersambung
tak ada badai tanpa air mata buaya, aha!
dan kau tersenyum di depan layar kaca



Pemilu Belanda 2010

politik belanda suara rakyat katanya
isu yang dijual manipulasi soal moral
sembunyi dibalik krisis ekonomi pedagang bumbu
alangkah gampangnya mencari alasan di zeedijk

membelokkan perhatian dari kegagalan strategi
dicarilah kambing hitam berwajah orang asing
kasian deh cuma segitu aja kemampuan intelektualnya
sekali fasis tetaplah rasis demikianlah judulnya

Amsterdam, 10 Juni 2010



Bunga

teks itu bicara sayangku
kulihat lagi maknanya kata
tanpa koma cerita itu berjiwa
wangi bunga harum berpuisii
ah, kau juga tau maksudku itu?

Amsterdam, 08/06/2010



Basi!

jangan sembunyi di balik mimpi
pilihan hidup ini bukan berjudi

selama dunia masih berputar searah
roda kehidupan menuju ke depan
sedangkan budaya ketinggalan kereta

takut pada semua yang jujur
kerna raja maling jadi panutan
negeri korupsi siapa malu boss?

lupa sudah arti demokrasi
lalu bertopeng reformasi, dan basi!

Amsterdam, 8 Juni 2010

Senjakala Tamansari

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Hari ini adalah Kamis, di sore hari ketika darah telah bergejolak karena kabar angin yang memang selalu terdengar sebagai lagu duka bagi seorang lelaki pendosa. Dia memang selalu bangga menyebut dirinya sebagai lelaki pendosa, lelaki yang dilumuri dengan kesalahan di setiap tapak kehidupan. Memang, dia sengaja. Tapi, di dalam hatinya diniatkan agar namanya yang dia sematkan itu mampu mengingatkan, kalau dirinya hanya seorang lelaki pendosa dan musti berjalan jauh untuk menjadi pembenaran atas pemahaman sampai dia yakin ketika bertemu denganNya, bahwa dia bukan seorang lelaki pendosa. Bukan manusia yang dialiri darah kesalahan.

Hari Kamis, menjadi hari perjalanan bagi si Lelaki Pendosa untuk melewati perjalanan waktu bersama dengan seorang Perempuan Pendoa yang pernah dia temui ketika perjalanannya mengantarkan pada surau kecil yang bercahaya. Entah dalam alur yang bagaimana, Dia yang memiliki kuasa atas alur kehidupan telah menggariskan keduanya dalam pertemuan sunyi pada persetubuhan cinta yang akan mengkristal menjadi abadi. Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendoa bertemu di Senin dan Kamis, pada senjakala yang memerah indah.

Lelaki Pendosa menapaki anak tangga yang terus membawanya pada dataran tinggi. Perempuan Pendoa di belakangnya, mengamit tangan kakasihnya dengan erat, sambil menahan lapar-dahaga yang bergejolak di dalam dada. Perempuan itu menahan segalanya. Hasrat di dalam dada dikekang, terantai oleh dirinya sendiri tanpa ada yang mampu mengusik. Itu lah perjuangan yang indah dalam perjalanan Perempuan Pendoa yang selalu tengadah memohon cinta yang memiliki kesempurnaan.

“Entah mulai kapan sayang, aku menjadi jatuh cinta dengan tanah kita pijak ini.” Ucap Lelaki Pendosa ketika mereka menapaki jalan ke atas dimana orang-orang bercanda, menatap matahari, mengambil foto berada di bawah keduanya. “Reruntuhan masa lalu di tengah kota. Perbukitan di tengah kota. Rumah-rumah yang padat, mengepung dalam pengabdian yang tidak terbayar oleh berjuta uang bahkan segunung Merapi emas yang berkilauan.”

Perempuan Pendoa tersenyum sambil menatap ke sekeliling dimana, lalu pada langit yang mulai memerah. “Kamu selalu memiliki kata-kata untuk setiap hal yang telah kau tangkap dan reguk, Mas!” sahut Perempuan Pendoa dalam pandangan teduh yang membuat dada Lelaki Pendosa bergetar.

“Dan kamu selalu memiliki senyuman yang manis, menyimpan semua duka dan kebahagiaanmu!” ungkap Lelaki Pendosa sampai mereka bertatapan untuk beberapa saat.

“Ah, Mas,” Perempuan Pendoa menundukkan kepala menahan senyuman yang semakin merekah.

Lelaki Pendosa menggelengkan kepala. Dia melemparkan pandangan jauh ke langit yang semakin memerah ketika matahari diam-diam merangkak untuk bersembunyi di dalam cakrawala. Pandangannya pun jatuh pada lingkaran masjid yang hanya bisa dirasakan dari atas puncak Tamansari. “Kalau kita berbuat dosa, berzina, apa yang paling kamu takutkan, sayang?” Lelaki Pendosa melemparkan pertanyaan sambil memandangi Masjid yang melingkar di bawahnya. “Adakah ketakutanmu pada Tuhan di sana?”

Seketika, pandangan Perempuan Pendoa berubah. Pandangan diarahkan ke langit yang luas. Tatapan mata perempuan itu menengadah begitu jauh. Sangat jauh sekali ke langit yang luas. Sementara itu, di dalam tubuhnya, rasa lapar memberondong benteng-benteng lambung yang begitu tipisnya. Di lorong gerbang yang lain, rasa kering kerontang menggelitik, menggerus rasa yang berbeda. Dan pada gerbang bibirnya yang tipis dan memerah, tertutup rapat untuk menggerakkan lidah yang tetap berusaha berdoa. Perempuan Pendoa itu pun kemudian menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan kekasih yang duduk di sampingnya.

“Ada, Mas, tapi baru aku sadari kalau Dia tidak menjadi ketakutan yang pertama.” Ucap Perempuan Pendoa dengan resah.

“Yah, kita masih sama, Sayangku, Kekasihku, Istriku, Pujaanku, Perempuan Pendoaku! Kita ini masih manusia. Dan bersyukurlah masih menjadi manusia!” ungkap Lelaki Pendosa dalam senyuman lebar yang di dalamnya tanpa ketakutan sedikit pun. “Pernah aku membuat suatu lingkaran, dimimpikan pada ajaran-ajaran lama yang berharga bahwa hidup manusia itu berputar. Aku mencintai simbol ini, ternyata, baru kali ini mata butaku ini mampu melihat. Bahwa dari nol akan kembali pada nol, yang dari satu akan kembali ke satu, yang dari tanah akan kembali ke tanah.”

“Mas?”

“Manusia berasal dari Tuhan, dan dia akan kembali kepadaNya!” ungkap Lelaki Pendosa yang masih dalam senyuman yang sama, senyuman tanpa ketakutan yang kemudian melemparkan pandangan pada Masjid yang melingkar di bawahnya.

Seruan telah melengking, mengalun di dalam angin dari masjid-masjid yang berdiri di sudut-sudut bumi. Perempuan Tersenyum, meraih tangan Lelaki Pendosa, Kekasihnya, dan Suaminya. Dia mencium tangan lelaki itu, “Terima kasih, Mas, Sayang!” ucap Perempuan Pendoa dalam senyuman manisnya yang telah meruntuhkan kepongahan Lelaki Pendosa.

Ketika sang Perempuan Pendosa meneguk air yang langsung menghujani tanah kering di dalam dirinya, dia memejamkan mata. Mulutnya bergetar, tentang sesuatu yang hanya dia sendiri dan Tuhannya yang tahu. Di dalam angin, sebuah tembang terdengar oleh Lelaki Pendosa yang memejamkan mata ketika senja mereka habiskan di puncak Tamansari:

Kemudian,
di puncak Tamansari kita memandang matahari
Kau memandang ke barat, berdoa dalam berbuka. *

Sang Lelaki Pendosa bangkit dari duduknya. Dia mengamit tangan kekasihnya untuk menuju ke temaram di Wijilan. Memuaskan hasrat dan kemudian untuk berdiri tegak menegakkan pelaksanaan kewajiban.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks,
Minggu, 27 Juni 2010.

*) Dikutip dari sajak “Permata Air Mata” karya Dhian Hari M.D. Atmaja
Sumber: http://www.dhianhmda.wordpress.com/

Menari di Padang Prairi

Abidah El Khalieqy
http://www.jawapos.co.id/

OKE! Aku menyerah. Teruslah menari seluas padang prairi. Karena kau adalah benih adalah hujan adalah angin dan matahari. Tunas cinta menyembul darimu per detik. Tak ada jemu. Meski telah kubabat rumputan sabanamu, kuluapkan sungai-sungaimu hingga kering dan kutebas pohonan rimba rayamu. Meski telah kututup pintu-pintu dan kukafani sejarahmu. Meski telah kuhapus huruf-huruf yang mengisahkan namamu.

”Salam. Aku datang lagi…!”

”Tak bisakah meninggalkanku sekejap saja?”

”Atas alasan apa? Matahari terus bersinar tak peduli lilin-lilin dinyalakan atau dipadamkan.”

”Tapi aku sudah di Mars dengan matahariku sendiri.”

”Tak masalah. Lebih banyak matahari lebih nyala dunia ini. Benderang di hati.”

”But love is country with map.”

”Yups! Earth and Mars adalah peta wilayah cinta. Kita penghuninya.”

Percuma mendebatmu, Sayang! Lagi pun cinta itu sesuatu yang terberi. Sekuat apa menolaknya, kalau ternyata ia tak minta apa-apa selain hatimu. Sekarang pikirkan cara bagaimana strategi menolak kata hati. Kalau tidak ingin majnun dan masuk er-es-je.

”Tetapi aku merasa telah berkhianat pada matahari.”

”Bukan berkhianat, karena tak ada yang mampu membalik arus mentari. Kau hanya butuh waktu untuk sadar bahwa alam ini memiliki banyak mentari.”

”Jadi?”

”Nikmati saja anugerah yang melimpah.”

Aku pun menyibak korden memandangi sepadang hijau yang tumbuh lagi dan lagi. Berapa kali kubabat, ia tumbuh bersama angin. Matahari mengomporinya kian nyala. Kadang terpikir dalam benakku, mestikah kubakar saja agar hangus bersama akar-akarnya. Namun hujan mengguyur semesta bumi dan menghijau lagi. Kian mewangi dan berseri tujuh mentari. Dan aku perempuan dengan sebutir mentari di hati.

”Datang lagi aku, hallow…!”

”Mengapa tak jera juga? Jika seluruh dunia telah panas bergunjing, kau akan tahu bahwa sepotong udara saja bakal tersengal kau menghirupnya.”

”Siapa takut. Laki-laki dilahirkan untuk menebas rintangan.”

”Tak berarti rintangan ke jurang kan?”

”Jurang mawar atau jurang berduri?”

”Kali ini mawar berduri. Kau mesti sadar bahwa duri mungil pun memiliki daya memusnahkan jika diberdayakan.”

”Tak berarti kau mengancamku kan?”

”Aku hanya mengingatkan. Maka sebaiknya hati-hati.”

Paginya kusaksikan hil yang mustahal. Sepadang hijau menguncup bunga beraneka rupa. Harumnya meluapkanku menuju surga ketiga. Lagi-lagi mentari datang dengan senyuman Rubaiyyat Khayam. Memaksaku jadi merpati di singgasana para dewa Amor. Langitku biru seluruh. Seakan menyilah bagiku terbang ke mana suka. Matamu begitu cerah.

”Kita adalah dua merpati di keheningan,” kau bilang.

”Bukan. Kita dua elang laut di atas ketinggian. Cakrawala terlalu luas bagi persinggahan. Maka terus kita berputar tak punya ruang untuk bermalam.”

”Jangan takut, Sayang! Kita bukan dari kumpulan yang terbuang. Rabiah dan Ibrahim Adham sudah basah air mata merindui kita. Memang di keheningan, namun kita bersaf dalam kejayaan.”

”Tapi ke mana kita akan menuju?”

”Tak usah muluk membayangkan dermaga penuh terisi perbendaharaan ikan-ikan dunia. Kita jalan saja menikmati angin.”

”Dasar kurang kerjaan!”

”Lho!? Menikmati angin dan menghikmati magmanya. Kau tahu bahwa angin juga bisa mengirim prahara. Jika sudah pernah bertemu prahara, kau akan tahu bahwa angin tak selamanya ramah.”

”Dah tahu je. Sejak zaman baheula. Namun T-Rex berubah jadi kadal melata. Mammot pindah rupa jadi gajah. He!”

”Eh, iya benar itu, Diajeng. Tapi angin tak ikutan ber-evolusi. Seperti cinta. Mereka ber-revolusi. Angin itu revolusioner!”

”Kayak kamu dong!”

”Terima kasih sudah dinilai.”

”Aku tak menilaimu, hanya melakukan analogi aja.”

”Apa pun perhatianmu, aku bahagia.”

”Ge-er!”

”Atau begini. Apa pun seberapa pun kau mengolokku atau mencoret-coret mukaku, menertawa bahkan andai kau meninjuku, kuharap kau bahagia selalu.”

”Hek! Miring, Lu!”

”Hingga miring pun! Bahagia aku.”

”Syaraaaap! Majnun fil hubb ma’al isyq wal hawa. Ieh!”

”Betul benar sahih dan sharih pula. Inti sakawly ya man hubbiy! Kau yang membuatku sakao duhai cintaku!”

”Wa inta syauqiliy ya malaky! Dan kau rinduku duhai pangeran!”

Matahari nyala di ubun jiwa. Sang waktu kini bicara bahwa angin memang revolusioner adanya. Sepoi saja atau memprahara, ia berdaya menggerakkan massa. Demikian cinta Adam dan Hawa di lubuk semesta. Ruh yang bertemu ruh, lupa kalau jasad menempel di dataran rendah yang rentan musibah. Aku memelukmu dan kau memelukku. Kita berpelukan seperti dua pemabuk di meja perjamuan. Anggur merah ditumpahkan.

Gerhana lalu membayang!

”Hai para pecundang. Bangun dan becermin pada kolam kearifan!”

”Siapa kamu? Kurang kerjaan amat ngurusi bahagia kami!” Responmu kurang bijaksana.

”Haha…! Pemabuk sepertimu mana mungkin mengenalku?” Topan mencibir. ”Buka matamu lebar-lebar, kau akan lihat bahwa matahari sepenuhnya di tanganku. Bersama bumi aku melaju. Dan kau? Kau hanya lilin kecil menanti saat listrik padam. Kau hanyalah lampu semprong di gubuk-gubuk pedalaman. Hanyalah sebutir dian!” lanjut Topan meremehkan.

”…yang tak kunjung padam,” lanjutmu bangga.

Membelalak Topan, sama sekali tak mengira akan mendengar jawaban demikian. Kau telah menantangnya bersaing dalam pergulatan. Mengajaknya berlaga duel di arena kata dan puisi kehidupan. Topan meradang, merasa lebih berhak bersinar karena di ketinggian. Ia datang tiap pagi tepat waktu, senantiasa datang meski sering tertutup awan dan hujan. Sementara engkau mencuri-curi situasi di kegelapan dan siap selalu menjadi dian yang tak kunjung padam.

”Haha! Bermimpilah menjadi seribu lilin, namun lilin tetaplah lilin. Semiliar lilin pun tak sampai kakiku. Wajahku terlalu jauh. Tinggi paripurna!”

”Jangan sombong karena posisi. Karena kursi-kursi pun bisa terjungkal!”

”Kau mengancamku. Mau makar?”

”Makar apaan. Makar ketela kali. Aku tak dalam kuasa siapa pun kecuali diriku sendiri. Jika mau tumbang, tumbanglah sendiri jangan bawa-bawa namaku. Jika sudah keropos, semua yang kuat dan hebat pun bakal jungkalit. Tejungkal, Dab!”

Tapi Topan benar-benar merasa hendak ditumbangkan. Entah oleh ketakutannya atau siapa. Ia membayangkan barisan musuh berwajah kamu. Senapan dikokang. Pedang-pedang ditajamkan. Sniper dingin mendengus-dengus di pelipis kiri. Kuku maut Izrail serasa gores di tengkuk. Ia ketakutan dan ngos-ngosan siang malam. Berlari dan seakan terus berlari. Kadang berjingkatan melompat kian kemari seakan menepis serbuan bertubi-tubi.

”Hey! Kau pikir aku takut?” teriaknya nervous.

”Memang kau takut. Takut akan serbuan kelemahanmu sendiri huaha…!”

”Eh, polisi apa, Lu! Beraninya cari kambing hitam.”

”Huaha…Elu tu etawa. Jenis baru yang suka ngembek minta dimandiin bidadari. Emang Jaka Tarub?”

”Ente itu Jaka Tarub yang sembunyi-sembunyi mau nyuri bidadariku.”

”Mending kita bertaruh aja gimana? Karena ini menyangkut urusan hati.”

”Bertaruh apaan. Seribu taruhan pun, akulah sang pemenang!”

”Belum tentu, Bro! Kita betaruh sekarang. Jika esok pagi mawar di padang itu berbunga merah, kau memang milik bidadari. Tapi jika warnanya putih, berarti akulah pemiliknya. Setuju?”

”Putih itu tanda kalah atau suci. Yang mana kau pilih?”

Topan segera pergi ke padang memeriksa pohon demi pohon mawar yang tumbuh menghijau. Sejak kapan bunga-bunga ini memenuhi padang sabanaku. Sejak kapan aku menanami mawar di penjuru sabana ini. Sejak kapan aku lupa bahwa sabana ini milikku. Sejak kapan kepikunan itu menyerbu. Gemetar ia menyadari jika andai kalah bertaruh dan mawar-mawar ini berbunga putih. Bahkan aku tak tahu kalau di antara mawar ada yang berbunga putih. Bahkan jingga. Kupikir segalanya merah.

Semalaman insomnia. Jika tidur menghampiri, mimpi buruk menyertai. Topan gelisah melintasi jembatan neraka malam yang membara. Kelojotan seakan dipanggang di atas penggorengan (emang kerupuk kalee). Tergeragap bangun berulang kali seperti ada yang memanggil-manggil di kejauhan, namun dekat. Sepasang mata mengawasinya dari balik entah. Penjuru kamar telah dipasangi mata-mata oleh entah. Berulang kali ia sibak korden dan menjulurkan kepala keluar jendela, memastikan kapan bunga-bunga itu mulai mekar membawa warna-warni dari alam mimpi. Namun gelap saja menyelimuti bumi.

Di puncak lelah bertahan dalam jaga, tidur menyambarnya ke alam koma. Kau memapasnya di simpang tujuh di bawah cemara.

”Hey, pemabuk! Ngapain malam-malam gentayangan aja, Lu! Mau nyuri warna mawarku ya?” Topan curiga.

”Haha…curigaisen aja pembawaan Lu akhir-akhir ini. Sepertinya lagi stress ya, Bro!”

”Sok tahulah! Kau bawa berapa kilogram cat untuk mengubah warna-warna itu?”

”Wakakaka… aku tak membutuhkan warna, Bro. Tapi warna-warna membutuhkanku.”

”Soklah kamu! Memangnya apa fungsimu bagi warna?”

”Untuk memperindah tampilan. Karena pada awalnya, segalanya hitam saja, Bro! Seperti alam ini, pada mulanya adalah gelap. Kabut hitam yang bergulung-gulung dalam pekat. Nah, keberadaanku di antara mereka, tentunya dalam rangka mewarna.”

”Memangnya siapa kamu ini, hey pemimpi!”

”Haha…sudah kujelaskan tadi, aku ini sang pewarna, pelukis mandraguna yang menghenyakkan mata dunia. Lihatlah di depanku mereka ngantre. Satu ingin kuoranyekan, satu ingin kuhijau-daunkan, satu ingin kucoklatkan dan yang lain tengah menimbang segala kemungkinan tentang warna yang membahagiakan.”

”Mimpi Lu ya! Payah Lu, pemabuk!”

”Aku ini serius. Coba tatap mataku lekat-lekat, kau bisa baca di sana, apa aku ini pengibul?”

Topan maju mencoba tatap mata purnama. Tak tahan ia terjengkang ke belakang saking kagetnya, silau dan terhenyak habis oleh nyala. Turun naik napasnya menahan amarah dan cemburu. Setenang danau bening sejuk dan nyaman, kau respons gemuruhnya dengan senyuman.

”Sudah lihat sekarang, berapa kadar emas di antara warna cetakanku? Baca mataku!”

Sunyi mulut Topan. Ia tengah menanting kejernihan dan harga. Dan menemukan kenyataan, betapa kadarmu di maqam para tinggi yang tak lagi miliki hasrat dan inginkan benda-benda. Ia respek dan mengaku, setuju bahwa engkau bukanlah lilin yang mengendap di kegelapan dan bermimpi kapan listrik padam. Engkau adalah mentari. Tujuh mentari terangkum dalam matamu. Tubuhmu cahaya dan segalanya sirna, silau akan hadirmu yang seribu kilau.

Tapi nanti dulu. Adalah mustahil tumbuh dua mentari di satu bumi. Kau harus enyah atau mencari bumi lain untuk berdiri. Untuk apa hadir di sini mengganggu bahagia kami. Topan membatin dalam hati.

”Aku tak mengganggu bahagia kalian, tapi sempurnakan apa yang masih kurang,” katamu.

”Eh ngeyel! Dari mana tahu kalau kami ada yang kurang?” Topan jengah.

”Dari warna bunga-bunga itu. Lihatlah si ungu dan si biru.”

Topan kaget nengok ke belakang, sehamparan mawar tumbuh memenuhi sabana luas, seluas mata memandang. Warna-warni melukisi padang hijau seperti pelangi sore hari. Jadi sudah pagikah ini? Penuh cemas ia mencari-cari, di manakah mawar putih yang bakal menumbangkanku dalam taruhan. Ia mencari dan terus menyibaki gerumbul demi gerumbul hijau, kalau-kalau sang putih muncul di balik rerimbun. Karena hijau demikian menyemesta, ia capek lunglai dilangkah kesekian dari jam yang terus merambat naik. Tak sekelebat pun dilihatnya si putih muncul, baik di permukaan atau di sebalik gerumbulan. Merasa menang (lupa si ungu dan si biru), ia teriak kencang sembari melompat terbang.

Hiya fatih ahkin! Penakluk masa depan!

Alih-alih kemenangan di genggaman, Topan terbangun ngos-ngosan penuh keringat dingin di sekujur badan. Blingsatan ia mengingati fragmentasi mimpi kemenangan semu. Terlonjak berdiri dan tergesa sibak korden jendela. Matahari pagi menyapanya gundah. Perayaan mawar putih harum mewangi menusuk matanya, hati terdalamnya luka. Dari rerumpun hijau itu, kau menyembul dengan senyuman rekah dan megah. Menakluk yang pongah.

Hiya fatih mahabbat dernigiz!

Yups! Penakluk cinta langit!

Tarah min ‘ain. Sil ‘ala shirat fakana junain!

Hanyut dari tatap mata. Tersambung jembatan maka bertemulah dua gila!

Dan kau mengajakku naik dalam tarian kemenangan si putih yang bermekaran di bawah mentari. Semilir angin surga menggeraikan senyummu lebih cinta. Duhai kekasih yang adalah cakrawala saat hati ini penjara. Aku menyerah kini. Menjadi tawananmu lebih bermutu dari sepuluh danau yang menggenang. Mencintaimu adalah api. Gerak yang tak kunjung usai melawan arus mentari. Mari kita menari.

”Tak semudah itu wahai pemimpi! Kau hanya menang taruhan, belum menang di laga sungguhan…” Topan terus saja menghadang.

”Apa maksudmu, Bro. Kau ingin kita duel seperti Qabil dan Habil. Jadul itu! Out of date!”

”Kau pikir taruhanmu tidak jadul juga. Ribuan abad mereka sudah lihai betaruh hatta hal-hal sepele sekalipun!”

”Berarti sama-sama jadul dan terbukti akulah sang pemenang. Mau apa lagi, Bro? Berbesar hati dan terima kenyataan.”

”Kenyataan gundulmu! Aku tak terima!”Topan meradang.

”Bahkan rambutku gondrong kau bilang gundul. Aku juga tak terima!” kau ikutan meradang.

Terus terang aku geli dan terkikik bahagia menyaksikan para Adam bertempur di medan laga. Ada yang berbambu runcing dan busana koteka, ada yang revolver berperedam dengan sepatu londo, berkelewang, juga ada yang ber-AK-47 bahkan pakai meriam dan sputnik penuh terisi bom hydrogen. Hikhik! Aku senang dan mengeploki mereka penuh semangat 45. Kuterbangkan balon-balon udara memeriahkan suasana dan ribuan kembang api berletusan seperti mitraliur.

Udara cerah matahari bercahaya disoraki burung-burung angkasa. Berbondong angin dikirim dari samudera raya, mengembus ramah seperti tetamu dari swargaloka. Apa yang kurang dari dunia. Segalanya ada tercipta untukmu yang tahu, bahwa cinta memang segalanya. Teruslah terang, tarung, dan melawan. Rebut hakmu yang kurang atau dijauhkan, karena engkaulah para prajurit cinta. Yang darinya engkau ada, tumbuh dan mengelola dunia penuh mahabbah.

”Awas ya, kutinju, Ente!” Topan tak sabar.

”Siapa takut. Maju saja kalau berani. Bukan hanya Tyson. Aku juga menyimpan magma itu!”

Lalu mereka tinju. Beradu gulat dan sepak takraw. Jumpalitan tak kenal henti. Sebab bagi kami, perlawanan itu napas abadi. ***

Jogjakarta, 2010

*) Abidah El Khalieqy, penulis novel Perempuan Berkalung Sorban. Tinggal di Jogja.

Puisi Thukul Bukan Sekadar Modal Dengkul

Alex R. Nainggolan
http://www.sinarharapan.co.id/

Penerbitan ulang kumpulan puisi Wiji Thukul Aku Ingin Jadi Peluru oleh Indonesiatera, barangkali sedikit unik. Di tengah riuh reformasi, di mana keran kebebasan ekspresi seni yang terbuka lebar, puisi-puisi Thukul, yang acapkali bernada protes itu, mungkin terkesan biasa, bahkan tak ada artinya sama sekali. Kita pun sama-sama tahu, jauh sebelum Thukul menulis sejumlah puisi yang bernada kecaman, W.S. Rendra, di paruh dekade 70-an sudah menuliskan dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, atau Emha Ainun Nadjib dengan Sesobek Catatan Buat Indonesia. Kegeraman para penyair itu, merupakan saksi abadi, yang membungkus segala ketimpangan sekaligus protes terhadap kondisi sosial-ekonomi di tengah masyarakat.

Kegeraman semacam itu, dengan mencoba untuk memotret gap-gap di sekeliling, terangkum pula dengan pelbagai tema, baik itu kaya-miskin, baik-jahat, kediktatoran, kesewenangan kekuasaan. Memang pijakan awal dari semua denyut aura kalimat yang tumbuh berpusat pada kekuasaan (power) di mana segala keinginan untuk tetap mempertahankan kursi, yang ternyata tak selamanya mulus. Seandainya para penguasa mendengarkan suara-suara bawah, tentu ia akan memperbaiki, dengan mempertimbangkan dan melakukan koreksi dari dalam. Tapi ternyata para penguasa cenderung amnesia untuk sekadar menghiraukan suara-suara ”sumbang” tersebut.

Kegeraman yang ditulis para penyair, semacam Thukul, Emha, dan Rendra, yang ternyata memilih untuk bertindak sebagai penyaksi. Penyair, bagaimanapun seseorang yang menciptakan dunianya sendiri, dunia dari karya-karyanya. Tetapi ia pun bertindak dalam posisi yang tak pernah mungkin untuk lepas dari realitas. Sajak-sajak yang bernuansa protes sosial, terkadang cenderung mengeluarkan penyair dari dunianya. Meskipun demikian, sajak-sajak protes juga tak tinggal diam, bukan sekadar menjelma jadi pamflet yang gelap, sebagaimana iklan di televisi akhir-akhir ini. Katakanlah sajak-sajak serupa itu ditulis di periode saat ini, ketika euforia kebebasan menggema merupakan susunan bunyi yang ganjil, tentu akan diacuhkan begitu saja. Akan tetapi penyair-penyair sebelumnya, yang bertindak sebagai ”penyaksi” yang berhadapan dengan cermin realitas yang bobrok, melakukan jauh sebelum keran demokrasi negeri ini terbuka bebas. Dan, Thukul adalah salah seorangnya. Sajak-sajak yang terangkum dalam Aku Ingin Jadi Peluru terkesan sederhana, diksi-diksi yang dipakai sangat biasa, bahkan lumrah ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Namun yang tergambar di sana ialah sebuah kesederhanaan yang memancar. Lewat kata-kata yang umumnya kita jumpai sehari-hari, Thukul seperti mencoba untuk menarik sebuah busur yang baru, dengan memosisikan dirinya sebagai yang terlibat di dalam (insider). Puisi-puisi yang ditulisnya menampakkan wajah protes yang meluap, pertanyaan-pertanyaan satire—yang menuju sebuah muara bagaimanapun dalam peristiwa politik, kehidupan bernegara melulu rakyat kecil yang menjadi korban. Sudah barang tentu, lingkungan kondisi masyarakat golongan ekonomi ke bawah cukup akrab di mata Thukul. Melalui puisi ia berjuang, sekadar melakukan ”penggugatan”, dan perjuangan yang dilakukan olehnya tidak hanya berhenti hanya sebatas diksi dalam puisi, melainkan juga melebar dalam kegiatan nyata di mana ia juga bergabung dalam sebuah gerakan yang memperjuangkan kebebasan orang-orang sipil bersama mahasiswa.

Thukul seperti ingin menegaskan jika seorang penyair, tidak hidup sendirian. Meminjam Afrizal Malna, seorang penyair juga hidup bersama masyarakat luas. Cerminan karya yang dihasilkan tidak akan jauh dari lingkungan di mana ia tinggal. Suatu hal yang mengingatkan pula bagaimana Arief Budiman menghidupkan sastra kontekstual yang sempat menjadi perbincangan hangat di ranah sastra Indonesia.
Meskipun pada bagian lain, antara karya dan penyair memerlukan suatu ”jarak” yang aman. Bagaimana puisi dan penyair mampu memilah realitas, sehingga menciptakan dunia sendiri: imajinasi. Sebuah batas yang memang tak bisa ditarik secara gamblang, tetapi setidaknya dalam berkarya para penyair (sastrawan) juga berpijak dalam realitas tersebut. Sehingga tidak hanya sekadar berdiri sendiri, hidup dalam menara gading imajinasinya sendiri saja.

Lima Bagian

Buku ini dipilah menjadi lima bagian, ditambahkan pula lima buah puisi baru dalam edisi cetak ulang ini. Bagian pertama: Lingkungan Kita Si Mulut Besar, kedua Ketika Rakyat Pergi, ketiga Darman dan Lain-Lain, keempat Puisi Pelo, dan kelima adalah Baju Loak Pundaknya. Dalam majalah Basis, Yogyakarta pernah pula diangkat masalah puisi Momok Hiyong, yang menjadi sentral perjalanan hidup Wiji Thukul. Tragedi-tragedi kemanusiaan yang selama ini ditutupi kembali terkuak dengan membaca kumpulan ini. sebuah protes dari masyarakat biasa, yang mencoba menegakkan kembali hakikat kemanusiaan.

Banyak judul puisi yang terkumpul memakai kata Catatan, saya kira memang Thukul bermaksud untuk mencatat secara garis besar realitas keseharian yang ditemuinya. Berbagai potret kegetiran hidup hadir terkuak semacam ongkos yang mahal di sebuah puskesmas, kehidupan buruh yang sengsara, atau ketika kesenian tak lagi bisa menjadi pegangan hidup. Sejumlah kesaksian yang begitu tegar, getir, dan siap menjadi pisau. Ternyata hidup tidak hanya berisi kesenangan semata, sebagaimana yang tertuang dalam acara sinetron di layar televisi kita. Thukul memaparkan pula, bagaimana ia mencintai perempuan, dengan bermodal baju yang loak pundaknya.

Pemakaian simbol binatang banyak pula hadir, simak dalam sajak Tikus—bagaimana Thukul mencoba menggugat tentang kekalahan si ”kecil” dengan yang ”besar”. Kita pun dihadapi dalam sebuah hukum rimba, siapa yang menang dialah yang berkuasa:seekor tikus/pecah perutnya/terburai isinya/berhamburan dagingnya//seekor tikus mampus/dilindas kendaraan/tergeletak/di tengah jalan/kaki dan ekornya terpisah dari badan/darah dan bangkainya/menguap/bersama panas aspal hitam//siapa suka/melihat manusia dibunuh/semena-mena/ususnya terburai tangannya terkulai/seperti tikus selokan/mampus/digebuk/dibuang/di jalan/dilindas kendaraan//kekuasaan sering jauh lebih ganas/ketimbang harimau hutan yang buas/korbannya berjatuhan/seperti tikus-tikus/kadang tak berkubur/tak tercatat/seperti tikus/dilindas/kendaraan lewat…

Sajak ini ditutup dengan pertanyaan yang bersedia. Thukul seperti mempertanyakan lagi naluri kemanusiaan bagi orang-orang yang kerjanya menindas:kau bersedia/diumpamakan/ seperti tikus?
Kekerasan demi kekerasan terus saja diabadikan, Thukul seperti membingkainya dengan mencatat keseharian, sikap dirinya, pernyataan yang tak mau ”menolak patuh”, tentunya lewat puisi. Perlawanan yang tak berkesudahan diungkap, dan Thukul bersedia menjadi martir untuk itu. Inilah salah satu kelebihan Thukul, puisi-puisi yang ditulisnya bukan hanya sekadar bermodal dengkul semata. Ia piawai menggabungkan keseharian yang acapkali luput dari perhatian kita, namun tak bisa kita ingkari. Suatu hal yang mengingatkan saya pada gaya-gaya nyeleneh, baik yang tertulis di kaus oblong atau lirik-lirik lagu gaya anak muda. Lirik-lirik itu pun tetap menohok realitas sekelilingnya, walaupun Thukul memakai diksi yang lebih ”keras” lagi. Hal lain yang kembali menerawangkan ingatan saya pada puisi-puisi epik Pablo Neruda, menyandingkannya bagaimana perlawanan yang ditawarkan kedua penyair ini hampir sama.

Dalam Bunga dan Tembok tampak juga bagaimana Thukul menghardik kekuasaan tiran:…jika kami bunga/engkau adalah tembok/tapi di tubuh tembok itu/telah kami sebar biji-biji/suatu saat kami akan tumbuh bersama/dengan keyakinan:engkau harus hancur!//dalam keyakinan kami/di mana pun –tirani harus tumbang! Sikap dirinya sebagai seorang penulis juga tergambar dalam puisi lainnya di Puisi di Kamar:…tak menyerah aku pada tipudaya bahasamu/yang keruh dan penuh genangan darah/aku menulis aku penulis terus menulis/sekalipun teror mengepung.

Demikianlah, Thukul, dalam menulis puisi juga berusaha untuk tidak terlalu menghiraukan para kritikus sastra. Dalam pengantarnya, Thukul menulis bahwa dalam penciptaan puisi penyair hanya tergantung kepada diri sendiri. Mungkin kritikus ada juga fungsinya. Tetapi, kritikus bagi Thukul cuma nomor empat urutannya. Penyair yang bagus, ialah penyair yang tidak tertekan, sebagaimana berada di dalam bilik pemilu, tanpa tekanan, bebas, tidak dipilihkan, melainkan memilih sendiri.

Barangkali, memang benar apa yang diucapkan oleh H.B.Jassin—yang konon terilhami dari negarawan besar Mahatma Gandhi, semestinya sastra menempatkan posisi sebagai penyaksi zaman dengan prinsip humanisme universal-nya. Kemanusiaan yang menyeluruh, meskipun kita tahu, jauh sebelumnya telah ”menggugat” bagaimana kekuasaan yang timpang tak akan mampu menopang kehidupan berbangsa menjadi lebih baik. Kita pun mencatat, bagaimana Rendra sempat tinggal di balik jeruji, kerapkali dilarang untuk membaca puisinya. Tapi hukuman berbalik yang diterima bagi penguasa yang paranoid terhadap karya sastra memang tak akan bertahan lama. Dan sejarah telah mencatatnya. Thukul merupakan salah seorang dari para pencatat sejarah itu.***

Penulis adalah penyair, tinggal di Jakarta.

”Si Buta dari Gua Hantu”: Cinta, Dendam, Petualangan

Anton Kurnia*
http://www.sinarharapan.co.id/

Cinta yang terluka dan balas dendam sebagai api yang menyalakan semangat untuk mengarungi hidup penuh petualangan bisa kita temui dalam serial komik silat Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes Th.
Si Buta, sejak kelahirannya pada 1967 lewat terbitan UP Soka Jakarta, tak pelak merupakan tokoh komik lokal paling populer. Namanya terus bergema sejak diangkat ke gedung bioskop pada dasawarsa 1970-an dengan mencuatkan mendiang Ratno Timoer sebagai aktor pemerannya hingga ke layar kaca dalam zaman sinetron dewasa ini. Saat ini sebuah sinetron yang dibuat berdasarkan salah satu episode komik petualangan Si Buta masih diputar di sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Kisah Si Buta dari Gua Hantu diawali oleh dendam yang tak terbalas. Barda Mandrawata, seorang pemuda tani di sebuah desa pelosok Banten, tengah menanti hari pernikahannya dengan Marni Dewianti saat seorang buta yang sakti tapi telengas, Si Mata Malaekat, mampir di desanya dan berbuat onar. Ia membunuh Ganda Lelajang, ayahanda Marni, karena soal sepele. Barda dan kawan-kawannya dari Perguruan Elang Putih mencoba menuntut balas. Paksi Sakti Indrawata, ayahanda Barda sekaligus ketua perguruan, menantang duel Si Mata Malaekat. Namun, ia tewas.

Barda yang merasa kalah jago dari si pembunuh pergi meninggalkan desanya dan menyepi di sebuah gua untuk memperdalam ilmu silat. Ia ingin membalas dendam. Berkaca pada musuhnya, ia berupaya mempelajari ilmu membedakan suara yang tak tergantung pada mata.

Pada suatu hari, pemuda yang dibakar dendam itu mengangkat goloknya menyilang sejajar dengan mata. Digerakkannya golok itu menggores sepasang matanya. Sejak itu Barda menjadi buta. Tapi, menjadi buta ternyata membuatnya lebih tangguh. Kepekaan nalurinya justru menjadi jauh lebih tajam karena terbebas dari indera penglihatan. Kesaktian ini membuat Barda bertekad menuntaskan dendamnya pada Si Mata Malaekat.

Singkat cerita, Si Mata Malaekat tewas di tangan Barda. Dendam terbalas sudah. Tapi, cerita justru baru dimulai. Tambatan cintanya, Marni yang jelita, telah menjadi isteri orang, meninggalkan luka di hati Barda. Barda alias Si Buta dari Gua Hantu yang kini tampil gagah dengan setelan baju kulit ular berikut tongkat yang didapatnya dari gua tempatnya menempa diri memutuskan hengkang meninggalkan kampung halamannya. Ia bertualang ke berbagai penjuru Nusantara demi menumpas kejahatan ditemani oleh Wanara, monyet cerdik yang setia.

Setelah episode pertama berjudul Si Buta dari Gua Hantu, muncul berbagai petualangan singkat Si Buta di Pulau Jawa, antara lain lewat episode Borobudur dan Mawar Berbisa. Lalu, ia terus mengembara ke Timur, menyeberang ke Bali dalam Banjir Darah di Pantai Sanur dan Nusa Tenggara Barat dalam kisah Reo Manusia Srigala yang mengambil latar di Sumbawa. Disambung perjalanan melintasi lautan menuju Sulawesi dalam Prahara di Donggala, Perjalanan ke Neraka dan Kabut Tinombala. Selanjutnya, ia kembali menyeberangi laut menuju Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau Flores, dalam Tragedi Larantuka.

Si Buta dalam Sejarah Komik Indonesia

Si Buta merupakan masterpiece Ganes Th yang pada masanya merupakan salah satu dari tiga dewa komik Indonesia bersama Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Mereka adalah penerus generasi yang lebih awal dengan tiga tokoh utamanya: Taguan Hardjo, Zam Nuldyn dan Abdul Salam.

Ganes Th memulai kariernya sebagai ilustrator dan pembuat komik remaja. Namanya mencuat sejak munculnya serial Si Buta dari Gua Hantu yang kemudian difilmkan. Ia juga membuat sejumlah komik lepas, antara lain Tuan Tanah Kedawung (berlatar Betawi tempo doeloe, difilmkan oleh Tidar Film, 1972), Taufan (sebuah kritik sosial, berlatar zaman Jepang hingga awal masa kemerdekaan) dan Pendekar Slebor yang berlatar kehidupan pesantren di pesisir utara Pulau Jawa.

Ganes terutama menyandarkan komiknya pada kekuatan gambar dan gerak tokoh-tokohnya daripada penggunaan bahasa. Kelebihannya itu mampu menutupi kekurangannya dalam menggambar naturalis. Seperti halnya Taguan Hardjo, kelebihannya yang lain adalah gayanya yang ekspresif dalam menggambarkan raut wajah tokoh-tokohnya. Si Buta sendiri nyaris selalu ditampilkan bermimik dingin dengan garis bibir tipis yang berkesan keras.

Ia pun mahir menyusun plot berliku. Seringkali ia menyembunyikan identitas tokoh antagonis hingga saat terakhir dan mencoba mengecoh pembaca dengan kesimpulan yang keliru.

Terkadang ia mencoba puitis. Ia pernah menyisipkan selarik sajak Chairil Anwar (1922-1949), Aku, yang dipelesetkannya dalam salah satu episode petualangan Si Buta. Sajak itu dideklamasikan oleh seorang tokoh pengemis eksentrik yang selalu mengulang-ulang kalimat, ”Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang…”

Si Buta adalah sebuah fenomena, bahkan legenda, dalam dunia komik silat kita. Dari serial laris ini bermunculan sederet epigon yang kemudian ikut meramaikan kancah perkomikan nasional di masa lalu. Tak bisa disangkal, kesuksesan Ganes dengan Si Buta dari Gua Hantu mengilhami para komikus setelahnya.

Salah satunya adalah Djair Warni yang melejit lewat serial Jaka Sembung (terbit mulai 1968). Dalam serial itu Djair menciptakan sesosok tokoh bernama Karta alias Si Gila dari Muara Bondet yang dari namanya saja sudah terlihat jejak kemiripannya dengan Si Buta. Profil tokoh ini amat dekat dengan Si Buta: tampan, gagah, berambut gondrong. Hanya saja, ia tidak buta.

Awal proses kependekaran Karta tak jauh beda dengan ”metamorfosis” Barda, lagi-lagi disebabkan oleh dendam dan cinta. Karta, pemuda desa yang lugu, lari dari desanya akibat kematian Nuraini, kekasihnya yang bunuh diri pada malam perkawinannya dengan lelaki pilihan orangtuanya. Karta yang dijadikan kambing hitam kematian itu dihajar oleh si lelaki hingga babak belur, menorehkan dendam di hatinya.

Ia kemudian memperdalam ilmu silat secara otodidak dengan latihan ganjil selama bertahun-tahun di sebuah muara sungai hingga mampu menguasai sebuah ilmu golok yang aneh tapi ampuh. Setelah dendamnya terbalas, ia bertualang. Ia dianggap gila karena sering tertawa-tawa sendiri lalu tiba-tiba menangis sesenggukan apabila teringat pada almarhum kekasihnya. Karta lalu diangkat sebagai adik seperguruan oleh Jaka Sembung.

Djair pun tampaknya terilhami petualangan Si Buta keliling Nusantara saat menciptakan sejumlah episode pengembaraan Jaka Sembung di Indonesia Timur dalam lakon Singa Halmahera, Iblis Pulau Aru, Wori Pendekar Bumerang dan Papua. Bedanya, Djair mewarnai karyanya dengan napas perlawanan terhadap kaum penjajah asing dan nuansa Islam yang cukup kentara (simak misalnya episode Wali Kesepuluh).

Menimbang Aspek Intrinsik Si Buta

Sebagai sebuah karya, serial komik Si Buta dari Gua Hantu sebenarnya tak jauh beda dengan komik-komik lain sezamannya. Ada beberapa kelemahan umum, seperti logika teks yang terkadang diabaikan oleh kebetulan-kebetulan. Namun, ada sejumlah keunggulan di dalamnya, antara lain soal penokohan.

Ganes memberi alasan bagi kecenderungan tokoh-tokohnya walau tak jauh dari tema cinta dan dendam. Ada perkembangan psikologis dalam diri mereka. Barda yang semula berwatak periang memilih pergi dari kampung halamannya dan bersikap dingin pada wanita karena cintanya yang terluka.

Si Buta pun digambarkan cukup manusiawi. Terkadang ia dan monyetnya tampak sedang makan di warung nasi dan membayar dengan uang yang didapat dari orang yang pernah ditolongnya (lihat Perjalanan ke Neraka). Si Buta pun bukannya tak bisa kalah. Ia pernah nyaris mati akibat racun pukulan kecubung biru dan terpaksa harus mencari obat penawarnya dengan susah payah (baca Kabut Tinombala).

Selain itu, Si Buta tak mengabaikan latar tempat dan waktu. Ganes dengan sadar mengambil tempat-tempat faktual (Banten, Borobudur, Pantai Sanur, Gunung Rinjani, Donggala, Gunung Tinombala, Pulau Flores, Larantuka) sebagai ajang petualangan Si Buta. Bandingkan misalnya dengan komik-komik silat Jan Mintaraga atau serial Panji Tengkorak karya Hans Djaladara.

Waktu kejadian dalam kisah Si Buta, walaupun tak disebut eksplisit, kira-kira adalah sekitar abad ke-17 ketika VOC mulai menancapkan kukunya di Nusantara. Itu ditandai dengan munculnya tokoh orang-orang Belanda (VOC berdiri pada 1602) dan penggambaran suasana yang belum terlalu modern (kendaraan yang lazim ditampilkan adalah kereta kuda).

Tokoh antagonis dalam kisah Si Buta bukanlah kaum penjajah asing, melainkan tuan-tuan tanah, penguasa-penguasa lokal yang tamak, atau tukang-tukang pukul yang doyan menindas rakyat kecil. Mereka itulah yang menjadi musuh Si Buta, sang pembela kaum tertindas.

Cukup menarik cara pandang Ganes terhadap modernitas dalam serial Si Buta ini. Ia berpihak pada ilmu pengetahuan modern dan menolak tahayul. Dalam kisah Reo Manusia Serigala, terdapat tokoh ilmuwan asing yang tengah melakukan penyelidikan botani di Nusantara. Saat Reo sakit demam, bocah itu disembuhkan dengan larutan air kina yang diberikan oleh sang ilmuwan. Rupanya Reo mengidap malaria.

Begitupun dalam Tragedi Larantuka terdapat tokoh dokter bule yang berupaya menolong warga sebuah desa di Larantuka yang terserang wabah rabies akibat serangan gerombolan anjing liar. Penduduk lokal menganggap penyakit itu disebarkan oleh setan. Dengan cerdik, Ganes menampilkan tokoh dukun tradisional justru sebagai pembantu dokter yang tak lagi percaya pada ilmu klenik. Ia bekerja sama dengan si dokter mengumpulkan dana untuk membeli obat bagi rakyat miskin dengan cara memanipulasi kebodohan seorang tuan tanah kikir.

Komik dalam Kebudayaan Kita

Demikianlah catatan singkat tentang Si Buta dari Gua Hantu, tokoh legendaris dalam sejarah komik Indonesia. Tulisan ini hanyalah merupakan tinjauan sederhana seorang pembaca. Telaah yang lebih serius dari berbagai sudut pandang keilmuan, entah itu dari aspek sastra atau seni rupa, dan tinjauan ilmiah yang lebih mendalam, tentunya terbuka untuk dilakukan.

Sejauh ini, telaah paling serius terhadap komik Indonesia justru dilakukan oleh seorang Prancis bernama Marcel Bonnef dalam disertasi yang dibuatnya pada 1973 silam, Les Bandes dessines Indonesiennes (baru diterjemahkan di sini sebagai sebuah buku bertajuk Komik Indonesia pada 1998).

Bagaimanapun, seperti ditulis komikus Jan Mintaraga dalam sebuah esai bertajuk ”Komik, Bastar Tanpa Kewarganegaraan” (dimuat Kompas, 1983), komik adalah bagian tak tersangkal dari kebudayaan kita yang berkaitan seni rupa dan sastra, biarpun pada kenyataannya di sini tak pernah dianggap sebagai karya yang pantas diperbincangkan secara terhormat.

*) Sastrawan dan pembaca komik.

SENI TRADISI: BERTOLAK DARI TEATER MISKIN

Balok Sf
http://terpelanting.wordpress.com/

Ketika seni tradisi, ludruk, wayang, maupun kentrung, dihadapkan pada masyarakatnya bukan lagi sebagai suatu tontonan yang menjadi tuntunan yang sebenar, tetapi hanyalah dianggap sebagai “seni pinggiran” yang sifatnya hanyalah sekilas, hiburan, temporer. Seni Tradisi tidak bermakna lagi di hati mereka. Inilah yang dinamakan tuntunan yang menjadi tontonan. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa awal muncul seni tradisi banyak memuat ajaran-ajaran moral, baik tersurat maupun tersirat.

Dalam sejarahnya, yang pernah kita ketahui, bahwa seni tardisi, ludruk, wayang, maupun kentrung lahir dari religiusitas komunal yang membutuhkan komunikasi langsung dengan penontonnya. Antara aktor, penonton maupun pekerja seni menyatu dalam religiusitas berkesenian. Mereka merasa memiliki dan dimiliki. Seperti ada suatu kesepakatan yang harus diakui dan dipatuhi, dalam bentuknya maupun penyajiannya. Di sini seolah-olah masyarakatlah yang mencipta kesenian itu. Akhirnya kesenian ini menjadi milik masyarakat.

Tetapi, sekarang, kesenian semacam ini hilang. Seolah-olah, atau memang benar-benar, menjauh dari masyarakatnya. Misalnya: ludruk, wayang, maupun kentrung telah ditinggalkan oleh masyarakat yang pernah menciptanya. Mereka (pelaku seni tradisi) tidak bermakna lagi ketika bertutur, berkreasi di hadapan masyarakat pemiliknya. Ini menjadi semacam akibat dari konsumenisme masyarakat terhadap hasil dari produk-produk kapitalis. Sifat-sifat semacam ini merambah di dunia kesenian. Apapun pola tingkah lakunya selalu dibatasi oleh sifat-sifat itu. Sehingga dorongan-dorongan kerja kreatif dalam berkesenian tidak ada. Seolah-olah ketika mereka melihat suatu pertunjukan kesenian, ia melihat suatu produk yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok kesenian. Sehingga menghilangkan “religiusitas” dalam berkesenian. Padahal kalau kita kaji secara mendalam, penonton dalam suatu pertunjukan adalah orang yang kreatif atau andil dalam mencipta suatu pertunjukan.

Sifat-sifat ini akhirnya melanda dunia seni tradisi. Apalagi dengan adanya televisi maupun gedung bioskop, karena merasa tersaingi dan ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya, maka pekerja seni tradisi menjual karcis pertunjukan dengan harga yang murah sekali agar terjangkau oleh masyarakat. Kemurahan karcis ini lambat laun mempengaruhi pertunjukan seni tradisi, penggarapan pertunjukannya tanpa diikuti dengan estetika yang tinggi. Tanpa ada pemikiran-pemikiran. Sastra, sebagai sumber pijakan pementasan yang bermutu, dikesampingkan oleh sang seniman. Pola pertunjukan tidak lagi didasari dengan kerja-kerja kreatif. Ini terlihat pada pementasan ludruk Srimulat Surabaya.

Kalau kita tilik kembali pada perkembangan seni tradisi, bahwa kesenian ini membawa akibat yang dahsyat sekali bila digali dengan serius. Seni ini dapat menghipnotis masyarakat. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa kehebatan ini juga pernah dipakai dalam masa pemerintahan orde lama maupun orde baru. Karena seni ini dibangun dari kelisanan tahap pertama yang lebih dekat dengan masyarakatnya.

Cak Durasim pernah melakukan hal ini dalam menentang pemerintahan Jepang. Cak Durasim melakukan perlawanan terhadap Jepang bukan dengan senjata atau bambu runcing. Tetapi dengan berkesenian, ludruk. Dan ini dilakukan oleh Cak Durasim. Dengan model parikannya ia melawan Jepang. Dan ini sangat berpengaruh terhadap semangat rakyat Jawa Timur, kala itu, untuk melawan Jepang. Dengan parikan Bekupon omahe dara, melok Nippon urip sengsara. Mampu menjadikan suatu perlawanan yang dahsyat. Dan ini diketahui dan disadari sendiri oleh pemerintahan Jepang. Maka, kala itu, Cak Durasim dicari dan dibunuh.

Kelisanan tahap pertama juga pernah digunakan oleh pemerintahan Jerman dan Amerika. Walaupun kedua negara tersebut sangat kental dengan tradisi tulis. Namun tradisi lisan mempunyai dan berpengaruh yang sangat jelas terhadap masyarakat yang dituju. Hal ini pernah disadari oleh Goebbels, Menteri Propaganda Nazi yang kemudian membuat pidato Hitler seolah-olah seperti pidato dari Dewa bangsa Arya.

Sebelumnya, di Amerika pada tahun 1938, tepat pada hari perayaan Halloween, sebuah stasiun radio menyiarkan drama sebabak mengenai kedatangan pasukan planet Martian di wilayah New Jersey. Sebagian masyarakat yang mendengarkan siaran itu menjadi panik dan ketakutan. Kenyataan itu memperlihatkan bahwa berbagai bentuk media yang memanfaatkan aspek kelisanan dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Bahkan beberapa tokoh, seperti George Orwel, Aldous Huxley, dan Neil Postman, menganggap kekuatan kelisanan dapat mengancam bagi tradisi keberaksaraan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh teknologi modern.

Dari ketiga peristiwa tersebut, perlawanan Cak Durasim di Surabaya, pidato Hitler di Jerman, dan perayaan Halloween di New Jersey, dapat dijadikan pelajaran untuk perkembangan dan keberlangsungan seni tradisi di Jawa Timur. Mereka bisa menggunakan celah-celah seni tradisi untuk keberlangsungan berkesenian. Masalah material dalam berkesenian dapat teratasi, tidak seperti ludruk atau ketoprak di THR yang berkutat pada masalah dana dan pendanaan. Memang, kita berkesenian selalu membutuhkan dana, tapi bukan suatu yang primer. Kalau masalah primernya hanya berkutat pada masalah dana dan pendanaan maka estetika pertunjukan akan tersingkir. Dan ini mengakibatkan kemunduran terhadap seni tradisi.

Cak Durasim bisa mengatasi celah-celah kekurangan dalam pementasan seni tradisi. Mengapa kita tidak bisa? Marilah kita belajar kepada Cak Durasim atau berpijak pada Teater Miskin-nya Jerzy Grotowski. Saya memilih Cak Durasim, karena ia lebih dekat dengan seni pertunjukan kita, seni kita. Saya memilih Jerzy Grotowski karena masalah yang dikemukakan sama dengan pertunjukan kita saat ini. Konsepnya bisa ditarik ke dunia seni tradisi maupun seni modern. Konsep teater miskinnya Jerzy Grotowski ini sangat lentur dan sesuai dengan perkembang seni pertunjukan kita. Sehingga dapat mengatasi kegelisahan kita dalam berkesenian, berteater. Baik yang modern maupun tradisional. Di lingkungan kampus maupun khalayak umum. Walaupun Jerzy Grotowski berangkat dari teater modern.

Jerzy Grotowski pernah mengatakan bahwa hanya ada satu unsur di mana film dan TV tidak dapat merampok teater: dekatnya organisme yang hidup. Karena kedekatan itulah, setiap tantangan dari sang aktor, setiap lakunya yang magis (yang tak bisa dihasilkan oleh penonton) menjadi sesuatu yang besar, sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang mendekati ekstase. Oleh sebab itulah kita perlu menghilangkan jarak yang ada antara aktor dan penonton dengan cara pengaturan kembali tata–pentas, menyingkirkan semua garis perbatasan. Usahakan agar adegan-adegan yang terjadi di depan para penonton, seolah-olah mereka dapat dijangkau oleh aktor, dapat merasakan tarikan napas dan mencium bau keringatnya. Untuk itu kita membutuhkan teater. Dengan ini penonton dapat dirangsang untuk mengadakan atau melakukan analisa diri ketika dihadapkan dengan aktor maka tentu sudah harus ada beberapa persamaan dasar antara keduanya —sesuatu yang dapat mereka tolak dalam suatu sikap atau mengadakan upacara bersama. Oleh sebab itu teater harus menyerang apa yang biasa disebut “kebencian-kebencian kolektif masyarakat yang tak berdasar”, akar bawah sadar kolektif atau mungkin juga terlalu sadar, mitos-mitos yang bukanlah ditemukan oleh pikiran-pikiran tetapi diwariskan lewat darah seseorang, agama, kebudayaan atau iklim.

Dengan cara-cara demikian kita dapat menumbuh kembangkan dunia seni tradisi, teater, seperti ludruk, ketoprak, kentrung. Karena kita dapat melampaui keinginan masyarakat. Dan menjadikan masyarakat sebagai penonton yang kreatif, penuh dengan pemikiran-pemikiran baru.

Bagaimana untuk menjadikan suatu pertunjukan menjadi bermakna, penuh dengan pemikiran-pemikiran yang bermutu? Ini adalah tugas seorang intelektual dan lembaga-lembaga kesenian untuk terjun langsung kepada masyarakat pemiliknya. Untuk memberi pengetahuan (bukan pengarahan) atau terjun langsung membentuk suatu pertunjukan. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa di lingkungan kita banyak bermunculan lembaga-lembaga kesenian. Di Surabaya ada DKJT, Taman Budaya, DKS. Di Sidorajo ada Dewan Kesenian Sidoarjo. Di Malang ada Dewan Kesenian Malang. Tapi, bagaimana keterlibatan mereka untuk melestarikan seni tradisi menjadi bermakna di hadapan masyarakatnya? Keterlibatan lembaga kesenian ini diperlukan secara serius, tapi, seperti yang pernah saya lihat, keterlibatan lembaga-lembaga ini hanya sebatas sebagai penanggap. “Penanggap” seni tradisi bukan suatu solusi yang mutlak untuk melestarikan seni tradisi. Penanggap ini pun sifatnya hanya temporer.

Perlu kita ingat, bahwa Surabaya yang kental dengan kesenian ludruknya akan menghilang begitu saja ketika kesenian ludruk di hadapkan kepada publik Surabaya. Ludruk seperti katak dalam tempurung. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa ludruk mempunyai estetika yang unik tetapi mengapa ludruk tidak bisa bergerak dengan kekayaan estetikanya. Ludruk masih kalah dengan gendangnya musik dangdut atau yang sejenisnya. Lihat saja kasus di Surabaya, Ludruk Srimulat masih kalah dengan goyang dangdutnya THR. Padahal kalau kita dilihat, bahwa untuk masuk ke dalam area goyang dang dut THR lebih mahal dari pada masuk dalam gedung pertunjukan Srimulat.

Apakah ini tanda-tanda rendahnya estetika ludruk? Atau penggarapan ludruk yang asal-asalan?
Ada yang mengatakan bahwa ketertinggalan estetika ludruk dikarenakan adanya personel ludruk itu sendiri yang tidak mau belajar dan gemar membaca untuk perkembangan ludruk. Sehingga ludruk akan ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya. Untuk mengatasai masalah itu seniman ludruk harus belajar untuk mengetahui selera masyarakat maupun belajar dari kesuksesan teater-teater modern. Dengan adanya wawasan ini maka kita dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat kesenian. Penghilangan jarak antara aktor dan penonton akan terjadi dengan sendirinya. Penghilangan garis pemisah, seperti yang pernah dikatakan oleh Jerzy Grotowski, akan terjadi sehingga akan terjadi suatu religiusitas komunal dalam berkesenian. Karena adegan-adegan yang terjadi di depan para penonton, seolah-olah mereka dapat dijangkau oleh aktor, dapat merasakan tarikan napas dan mencium bau keringatnya, dengan enak. Karena kesenian semacam ini diperlukan komunikasi “via personal”.

Seperti yang dikata oleh Max Arifin, dalam Menuju Teater Miskin, untuk memperoleh pembaruan sang seniman harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas dan mendalam tentang tradisi teater yang ada dengan segala kekayaan idiomnya. Dan sang seniman kenal dengan masyarakatnya dan merasa bagian daripadanya sehingga merasa perlu untuk berkomunikasi.

*) Balok Safarudin, Penulis adalah Penyair, Ketua Paguyuban TEKI (Teater Kentrung Indonesia).
Alamat : Jl. Sido Mukti 45 RT: ½ Ds. Ngadilangkung Kec Kepanjen Kab. Malang.

Menafsir Mimpi Generasi Terkini

Judul : Orde Mimpi
Penulis : R Giryadi
Penerbit : Dewan Kesenian Jawa Timur-Bayumedia
Tebal : 236 halaman
Cetakan : Cetakan I, November 2009
Peresensi : Risang Anom Pujayanto
http://www.surabayapost.co.id/

Apakah yang tersisa dalam akhir pementasan drama?

Aristoteles pernah meniscayakan efek yang ditinggalkan pementasan teater laiknya adanya reaksi kimiawi diri—katharsis, penyucian diri—bagi seluruh ekologi di sekeliling pementasan sandiwara. Piranti lain mengatakan adanya stimuli tinggi neurosis yang sanggup merusak jaringan otak apabila gagasan, apresiasi dan kritik, pasca memaknai lakon yang dipentaskan, tidak tersalurkan atau dikomunikasikan dengan baik dalam arena diskusi lisan maupun dalam bentuk tulisan. Sementara dalam jagad intertekstualitas, akhir pementasan teater dimaknai sebagai bukan akhir sebuah proses, melainkan justru merupakan babak awal pementasan teater baru.

Secara garis besar ketiga fitur yang tertera di atas telah merepresentasikan turunan gambar ideal dalam akhir suatu pementasan teater. Namun itu bukan berarti output pementasan lakon hanya terangkum dalam ruang tiga paparan sederhana itu saja, karena masih banyak spesifikasi pencapaian-pencapaian parsial dan personal yang bisa pembaca tafsirkan sendiri ketika menyaksikan langsung pementasan drama. Seperti diketahui bahwa banyak sekali akrobatik pemahaman atau keajaiban-keajaiban yang tak terduga dihasilkan dari sebuah intensitas.

Khusus persoalan intertekstualitas, dramawan Rakhmat Giryadi dalam kumpulan naskah dramanya; Orde Mimpi mengamini adanya interteks dengan membeberkan naskah ’Retorika Lelaki Senja’. Di mana dalam kata pengantar ’Retorika Lelaki Senja’ yang bertitle ’Korupsi yang Berurat dan Berakar’, R Giryadi mengakui secara terang-terangan telah mengadopsi partikel-partikel yang ada dalam naskah karya (alm) Arifin C Noer. Dalam kerangka ini, upaya pengadaptasian bisa dimanfaatkan sebagai strategi mereproduksi pertunjukkan teater dalam format baru.

Opini yang ada di naskah ini disitir dari beberapa naskah karya Arifin C Noer (alm) mantan pimpinan Teater Kecil Jakarta. Naskah itu seperti Tengul, Sumur Tanpa Dasar, dan Kapai-Kapai. (hal 33)

Dalam logika kalkulasi matematis, kemudahan daya serap dari teks-teks lain; seperti novel, cerpen, dan puisi, selazimnya berimplikasi pada jumlah naskah dan kuantitas pementasan. Bahkan jika jumlah tersebut diakumulasikan dengan pementasan drama yang benar-benar berasal dari teks drama murni seperti karya Putu Wijaya, WS Rendra, Danarto, Arifin C Noer, Remy Silado, Akhudiat, N Riantiarno dan sebagainya, maka tidak dipungkiri aktor yang tersebar di seluruh komunitas teater se-Indonesia sekali pun bakal kesulitan memerankan total seluruh karya yang (diandai-andaikan) ada itu.

Kita bisa mengadaptasi puisi, cerpen, dan novelet yang dimuat di media massa, koran, tabloid, dan majalah. Kalau hal itu bisa kita lakukan, berarti setiap minggu kita bisa mendapatkan naskah teater, karena setiap minggu terbit cerpen dan puisi di koran-koran, bukan? (hal 191)

Uniknya dewasa ini yang terjadi justru sebaliknya. Artinya, naskah drama yang digadang-gadang memiliki progres potensi percepatan perkembangan yang pesat justru jatuh kembang-kempis, menjelma sawah tak tergarap yang diabaikan oleh tuannya, hingga mendekati sinyal-sinyal kelangkaan. Sehingga ketika kondisi mendesak membutuhkan pementasan lakon sandiwara, yang sering terjadi biasanya justru pengulangan-pengulangan lakon lawas yang didaur ulang. Dan dalam situasional seperti itu biasanya pembelaan diri yang paling rasional yang sekaligus aman dijadikan senjata pamungkas yakni mengeksploitasi dalih-dalih dan argumentasi, serta berpura-pura mengobservasi tentang relevansi keberadaan teks lama dengan zaman sekarang. Kesannya memang mengada-ada, tapi ajaibnya semua bisa dibuat percaya. Logis sekali. Tapi bisa disebut sindikalisasi kebohongan yang benar-benar telah terkonsep sangat rapi.

Problem keringnya naskah drama memang tidak bisa dibebankan pada satu elemen, misalnya pada bahu kreator seni peran saja. Pasalnya, banyak faktor yang membuat penulisan naskah drama kurang populer. Kendati masalahnya begitu kompleks, peran sentral tetap berada di pundak dramawan. Karena itu diperlukan kesadaran mandiri dari kalangan dramawan itu sendiri. Dan R Giryadi yang melihat minimnya perhatian kalangan dramawan akan naskah drama mencoba memberi secercah pencerahan dengan menghadirkan satu buku yang berisi tujuh naskah drama yang terangkum dalam satu judul besar: Orde Mimpi.

Tujuh naskah tersebut disusun ke dalam tiga subbab: Monolog (3 naskah), Dialog (3 naskah) dan Epilog (1 naskah). Ketujuh naskah tersebut yakni, ’Biografi Kursi Tua’ (2001), ’Monolog Peperangan’ (2000), ’Retorika Lelaki Senja’ (2005), ’Orde Mimpi’ (1994), ’Orang-Orang Bawah Tanah’ (1994), ’Terompet Senjakala’(2003), dan ’Hikayat Perlawanan Sakiyem: Nyai Ontosoroh’(2007).

Masing-masing naskah drama dalam Orde Mimpi disertai kata pengantar dari penulis (R Giryadi). Kata pengantar yang menyeritakan tentang tema, sinopsis dan ilustrasi setting tersebut dimaksudkan sebagai sarana mempermudah pemahaman pembacaan. Tidak hanya itu, terdapat pula kesederhanaan retorika dan adanya seruan-seruan kecil di sana. Dari kesederhanaan retorika dan adanya seruan-seruan kecil dalam kata pengantar itulah disinyalir bahwa Orde Mimpi ini memiliki pretensi tersendiri.

Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa tendensi seorang seniman jangan serta-merta disetarakan pada image buruk kepentingan kaum politisi. Sebab, tidak ada sedikit pun upaya kepentingan diri sendiri di sini. Dan apa yang dikerjakan R Giryadi dalam Orde Mimpi adalah wujud keprihatinan terhadap sepinya apresiasi teater saja. Oleh karena itu, melalui kumpulan naskah drama Orde Mimpi, R Giryadi hendak membuat jembatan penghubung dengan generasi penerus. Terlebih saat ini, dalam kancah teater nusantara, sangat booming ungkapan umum bahwa sedang terjadi keterputusan generasi. Keinginan dan daya kritis untuk mengangkat wacana generasi seperti ini dipaparkan secara apik dalam monolog ’Biografi kursi Tua’ atau dialog ’Orde Mimpi’. Atau, secara vulgar pesan penuh pretensi itu dapat diamati pada lima panel di cover belakang, dari ”Kata siapa… bermain teater itu sulit” hingga ”Sekarang… Mulailah…!!!”

Bagi generasi muda yang mulai tekun bergiat di dunia teater, Orde Mimpi adalah kawah candradimuka. Di mana generasi muda yang berminat akan diceburkan di kawah candradimuka dan R Giryadi melemparkan segala jenis teknik teater beserta segala kemungkinan yang bisa dieksplor. Sehingga ketika selesai menyeburkan diri atau membaca Orde Mimpi, kemampuan yang mumpuni diharapkan selalu menyertai, bisa melebur dan menyatu dalam melahirkan regenerasi yang sesuai harapan. Tidak instan. Bukan pula hasil rekayasa genetika.

Kembali ke pernyataan awal: apakah yang tersisa dalam akhir pementasan drama? Ketiga komponen yang disebut sebelumnya; katarsis, diskusi dan pementasan selanjutnya, sejatinya berada dalam tataran yang rentan terlupakan. Bukan bermaksud meremehkan brankas penyimpanan otak, namun ditinjau dari segi mental manusia, manusia memang membutuhkan pemantik untuk mengingatkan kembali atau mengembalikan memori suatu peristiwa yang pernah terjadi. Pemantik itu bisa berupa peristiwa maupun benda yang pernah merangkumnya.

Harus diakui manusia tetap makhluk lemah yang membutuhkan sarana dalam menjalani hidup. Termasuk dalam perkembangannya tidak hanya persoalan primer hidup saja, tetapi manusia juga menciptakan sesuatu untuk keperluan-keperluan instrumental lain seperti membantu pengoptimalan kinerja penyimpanan otak. Karena itu dalam konteks pementasan drama, pementasan yang rawan terlupa, maka pendokumentasian naskah-naskah yang telah dipentaskan seharusnya wajib disimpan sebagai upaya pengabadian seluruh atmosfer yang sebelumnya bersifat sementara.

Singkatnya, bagi generasi yang kebetulan tidak dipilih oleh takdir untuk menikmati pementasan sandiwara secara langsung, dengan adanya pembekuan pementasan drama dengan format formal, salah satunya dalam bentuk tulisan, maka setidaknya pembaca bisa memaknai secara imajinatif apa yang terjadi kala itu. Atau bisa dijadikan rujukan pementasan ulang karya-karya yang masih dianggap relevan dengan zaman. Demi mengembalikan efek-efek katarsis, perdebatan intelektual, dan dampak positif lainnya. Karena itu, pantaslah apabila Orde Mimpi disemati predikat sebagai kawah candradimuka yang senantiasa merindukan kehadiran serta menghasilkan para penggiat drama secara berkelanjutan.

Bahasa Daerah, Karya Sastra, Amnesia

Ahmad Syubbanuddin Alwy
http://cetak.kompas.com/

Setiap bahasa-sebutlah bahasa Sunda, Jawa, Batak, Belanda, dan lain-lain-adalah produk pengalaman sejarah yang terpisah. Ia merupakan produk organisasi-organisasi masyarakat, sastra, spesialisasi budaya, dan pandangan-pandangan metafisik. (Prof Benedict Anderson)

Susastra atau kesusastraan merupakan bagian penting dari implementasi salah satu unsur eksploratif bahasa, dalam konteks bahasa mana pun. Tak terelakkan juga, kelak susastra menjadi instrumen pergumulan proses kreatif dari mana bahasa itu tumbuh sekaligus dikembangkan. Kehadiran karya-karya sastra di situ kemudian menandai berbagai aktivitas penciptaan gagasan ataupun pencapaian artistik para pengguna bahasa. Dalam perspektif ini, teks karya sastra menegaskan eksistensi bahasa yang mempertemukan interaksi teks dari sosial, politik, budaya, tradisi, hingga religiositas serta representasi sejumlah tafsir terhadap perubahan zaman.

Karya sastra berbahasa daerah tidak saja berfungsi serta berposisi sebagai wilayah dialektis yang mengukuhkan energi tekstual dengan realitas teks-teks di luar dirinya. Namun, kehadiran genre karya sastra ini juga merupakan transformasi dari konstruksi pemikiran yang meletakkan bahasa “berkuasa” mengantarkan ide-ide lebih bermakna. Bagaimana bahasa masih menyisakan percik kekuatan nalar serta memori latar sosial yang dibawanya dan karena itu tidak hanya berdiri menjadi konfigurasi estetika kata-kata?

Bahasa daerah

Fenomena bahasa daerah, terlebih karya sastranya, kini berhadapan dengan realitas publik yang serba terbatas. Bahasa Cirebon, juga rumpun dialek-idioleknya, misalnya, dihidupkan dengan mengikuti jejak “selera massa” yang dibentuk secara pragmatis dalam genjrang- genjreng kemasan musik. Peran sosialnya sebagai teks bercampur begitu rupa dengan bahasa Indonesia, melengkapi harmoni syair-syair dan lagu dangdut pesisiran itu, terkadang dengan simplifikasi seolah tidak diketahui padanan katanya.

Bahasa dan karya sastra Cirebon tidak lagi berfungsi secara literal sebagai gugusan teks yang independen, tetapi juga berdesakan dan berhamburan keluar dari koridor teks-teks bacaan, beralih ke khazanah nonliteral, merayakan booming industri hiburan semata.

Di tengah ingar-bingar kapitalisasi budaya massa sekarang ini, perlahan-lahan bahasa Cirebon, seperti bahasa daerah lain yang kehilangan otoritas publiknya, menjadi teks yang terkesan sangat eksklusif. Bagaimana bahasa dan karya sastra yang semula mampu mendistribusikan makna dan wacana sosialnya tampak dinegasikan? Bahasa daerah, sekali lagi bahasa Cirebon, dengan artikulasi unsur-unsur lokalitas, semestinya dapat membentuk gagasan lebih luas. Namun, kenyataannya, bahasa itu justru telah mengalami pergeseran berbagai orientasi secara acak. Masyarakat Cirebon yang caruban (campuran), berada di antara pusaran arus geokultural Sunda dan Jawa, dan terbuka terhadap penetrasi kebudayaan dari arah mana pun.

Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini, adakah karya sastra yang ditulis dalam format bahasa daerah, dalam konteks ini bahasa Cirebon, mampu merefleksikan berbagai pemikiran yang mendeskripsikan kekuatan unsur-unsur tekstualitas suatu momentum sosial publik para pembacanya? Adakah bahasa Cirebon dalam konteks itu berhasil menjembatani tradisi kelisanan memasuki gerbang keberaksaraan di mana kesadaran berbahasa daerah ditumbuhkan dan dengan begitu kelak berkembang dalam ekspresi ruang akademis? Ruang menyempit

Puluhan bahasa daerah kita memang menghadapi situasi sosial, politik, dan budaya yang sama, yaitu terseret dalam entakan globalisasi budaya instan. Bahasa-bahasa daerah itu mengalami reduksi dan perlahan-lahan ditinggalkan penuturnya dalam lingkup pergaulan ataupun mekanisme sosial bahasa tersebut berasal. Agaknya, melalui ketaksadaran semantik-linguistik, bahasa itu digantikan dengan bahasa yang didesakkan secara visual dalam mobilisasi sistem teknologi kapitalisme yang datang kemudian. Bahasa daerah itu, terlebih karya sastranya, dinisbikan. Para penutur bahasa daerah sendiri merasakan ruang komunikasi yang semakin menyempit.

Mula-mula para penutur bahasa daerah dihinggapi sikap rendah diri. Penggunaan bahasa daerah dalam momentum tertentu tidak lagi menandai sistem sosial yang padu dan berkesinambungan. Akan tetapi, hal itu menghadapkan sikap perlawanan yang oleh beberapa lapisan masyarakat dikesankan kampungan, menjauhkan diri dari sistem pergaulan masyarakat kota yang secara simbolik beradaptasi dengan penggunaan bahasa dalam pencanggihan produk kapitalisme. Bahasa bukan lagi alat komunikasi an sich, melainkan cara pandang yang mendikotomisasi spirit berbahasa memasuki lorong gelap interpretasi. Ironisnya, secara masif hal itu seakan dilegitimasi.

Dengan kata lain, bahasa daerah seperti kehilangan dimensinya sebagai mata rantai dalam siklus kebudayaan yang menyusun kekuatan akar, latar, dan nalarnya sendiri. Kita agaknya telanjur mengabaikan betapa bahasa daerah demikian strategis dalam konteks kehidupan global sekarang ini. Justru karena bahasa daerah telah menandai bagaimana semakin terpinggirkannya kebudayaan lokal, ia masih memberikan spirit untuk menyelam ke dasar sumur sejarah yang menjadi kesadaran serta keteguhan kita menghikmati eksplorasi sosialnya ke depan.

Ia bukan sekadar akumulasi dari endapan peristiwa yang kehilangan memori dan momentum sejarah yang melahirkannya. Ia juga bukan sebentuk amnesia. Ia bukan pula sekumpulan luka yang menyurutkan kita, masyarakat dari berbagai penjuru negeri ini, takluk serta bertekuk lutut menghadapi gagap budaya (culture shock) di hamparan kehidupan yang sangat terbuka.

Titik orientasi Lomba Maca Puisi Basa Cerbon 3 di Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang, Cirebon, 24-25 Februari 2010, yang diselenggarakan Yayasan Dewan Kesenian Cirebon dan Lingkar Studi Sastra bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat serta Pemerintah Kabupaten/Kota Cirebon menyodorkan ruang alternatif yang membuka bahasa daerah untuk diapresiasi.

Dalam konteks luas, hal itu telah meyakinkan kami, para penyelenggara, kembali menghidupkan solidaritas sosial, kearifan lokal, dan keberagaman kultural yang mengantarkan bangsa ini dapat berdiri dan berdampingan dengan bahasa-bahasa lain di belahan dunia. Bahasa yang menggoreskan limpahan cahaya, mencerahkan publiknya, dan menyusun transformasi kebudayaan yang kian kompleks.

AHMAD SYUBBANUDDIN ALWY Penyair, Tinggal di Cirebon.

Upacara Menunggu Kunang-kunang

Indra Tranggono
http://entertainmen.suaramerdeka.com/

SEJAK pindah di kota Glazy, aku sering disekap kesunyian yang begitu kukuh, begitu perkasa. Apalagi bila senja mulai merambati langit, merambati perbukitan, merambati lembah-lembah, merambati gerumbulan pepohonan pinus, tangan-tangan kesunyian yang muncul dari pori-pori waktu, memelukku kuat-kuat, hingga aku seperti terjerat. Lalu, malam menyempurnakan dengan kegelapan. Dan satu-satunya hiburanku hanyalah melihat tarian kunang-kurang terbang; jumlahnya bisa ribuan bahkan bisa jutaan.

Telah melekat kuat di benak ucapan Ayah, kunang-kunang itu jelmaan dari kuku orang mati. Bertahun-tahun cerita Ayah itu telah menjelma horor di kepalaku, bahkan sesudah kubaca di buku pelajaran: kunang-kunang adalah serangga malam yang gemar memamerkan cahaya. Dan anehnya, aku lebih memercayai dongeng Ayah daripada buku pelajaran yang membosankan. Meski pun aku tahu, waktu itu Ayah cuma ingin menakut-nakuti, agar aku tidak berlama-lama bermain di kegelapan dan segera tidur.

Waktu kecil, aku sering membayangkan bagaimana kunang-kunang itu tercipta. Orang-orang mati, baik yang banyak amalnya atau yang banyak dosanya, begitu ditimbun tanah, tubuh mereka akan menggelembung dan pecah. Tanah yang setia memeluk jasad mereka pun, dengan suka cita, mengeluarkan jutaan bala tentara bakteri. Dengan penuh gairah, bakteri-bakteri itu akan mengurai jasad demi jasad. Begitu semua bagian tubuh itu mencair, kuku-kuku tangan dan kaki pun saling berlepasan dari jari-jari, lalu menjelma menjadi kunang-kunang yang terbang menembus gundukan tanah. Sangat menakjubkan. Bayangan ribuan kunang-kunang itu terus mengeram di kepala, hingga aku dewasa bahkan punya anak. Setiap aku berupaya menghapusnya, jumlah kunang-kunang itu justru semakin banyak. Mereka berdesak-desakan di rongga kepala, hingga aku sering merasa pening, bahkan pingsan.

Tapi, entah kenapa, aku selalu merindukan kunang-kunang itu yang selalu datang bagai kristal-kristal cahaya, kemudian berbondong-bondong terbang entah ke mana. Selalu muncul hampir setiap malam. Jika mereka tidak datang, aku pun sering murung dan termenung di beranda rumah. Dan Aku pun setia menunggu mereka hingga kokok ayam mengejek ketololanku.

Malam demi malam, aku selalu mengadakan upacara menunggu kunang-kunang itu datang. Aku sering tidak sabar. Kulantunkan lagu yang kuhapal luar kepala: Yen Ing Tawang Ana Lintang, sebuah lagu asing yang usianya sudah ratusan tahun. Menurut ensiklopedi, lagu itu dinyanyikan Mbak Waldjinah, biduanita asal Jawa. Konon pulau Jawa pernah ada di belahan selatan dunia (aku sendiri selalu kesulitan mencari dalam peta).

Ajaib, setiap syair lagu itu mengalun menembus pori-pori malam, satu per satu kunang-kunang datang. Tidak terlalu lama, jumlahnya mereka mencapai ratusan, ribuan, ratusan ribu bahkan aku sulit menemukan angka perkiraan. Mungkin jutaan. Yang kutahu hanyalah, padang luas di depan apartemen kami itu mendadak dipenuhi lampu-lampu kristal yang terus bergerak membentuk berbagai komposisi. Kunang-kunang itu seperti mengerti makna syair lagu yang kulantunkan. Mereka seperti mendengarkan dengan khitmat kalimat-demi kalimat. Setelah lagu itu habis, mereka akan terbang meninggi lalu menjauh dan terus menjauh.

Aku sering iseng berpikir: jika di daerah sekitar tempat tinggalku ini ada begitu banyak kunang-kunang tentu juga ada banyak orang yang dikuburkan di sini. Tapi, kenapa tidak ada satu pun kuburan di wilayah kami? Satu-satunya kuburan hanyalah di ujung jalan menuju kota Zan-zan yang jauhnya sekitar 20 kilometer dari kota Glazy. Jumlah orang yang dikubur di sana pun hanya puluhan. Lalu, dari mana kunang-kunang itu datang? Apakah mereka dikrim Tuhan dari langit untuk menghiburku?

Sebagai peneliti, aku tertarik mengamati kehidupan kunang-kunang itu. Malam itu, sesudah mereka datang mendengarkan laguku, mereka berbondong-bondong pergi ke utara, hanya beberapa meter dari apartemenku. Kuikuti mereka, setengah berlari. Begitu sampai di dekat pohon pinus, mendadak aku melihat tanah merekah dan pelan-pelan terbuka, diiringi suara gemuruh seperti deru ribuan mesin buldoser. Aku gemetar. Tapi, rasa penasaran membuatku bertahan.

Pada rekahan tanah sekitar tiga meter itu, jutaan kunang itu masuk ke dalam tanah, seperti barisan lampu-lampu kristal yang dibawa para peri, panjang sekali. Jantungku pun berdegub, ketika lampu-lampu kristal itu makin jauh dan sayup ditelan kegelapan ruang bawah tanah. Lalu terdengar suara benturan sangat keras. Tanah yang merekah itu menyatu kembali.

Ah, kunang-kunang itu, siapa kalian?

Malam itu, kutinggalkan istri dan anakku di meja makan. Aku sama sekali tak punya selera makan. Perutku terasa sangat kenyang, meski hanya terisi sepotong roti tawar dan air mineral. Tanpa sepengetahuan anak dan isteriku, aku berjalan membelah kegelapan malam. Kerah jaket kuangkat tinggi-tinggi agar hawa dingin tak leluasa merajamku. Namun, berjalan memasuki hutan kecil, tubuhku terasa menggigil. Hawa dingin itu tetap perkasa, ternyata. Tapi aku tak peduli. Kuayun langkahku, makin dalam memasuki hutan. Aku ingin menemukan lubang tempat jutaan kunang-kunang itu muncul dan terbang ke utara. Rasa penasaran mengusir rasa lelah. Kuayun kaki ku terus melangkah. Tepat di kaki bukit kecil, gejolak perasaan menghentikan kakiku. Berdiri setengah gemetar, kupandangi daerah sekitar yang penuh pohon akasia atau rumput-rumput liar. Tak ada siapa-siapa di sini, kecuali hanya gelap malam yang begitu perkasa meringkus tubuhku.

Namun, belum sempat aku duduk di atas batu, mendadak terdengar suara gemuruh serupa deru mesin ribuan buldoser. Kurasakan bumi terguncang. Aku undur beberapa langkah dan menemukan pohon akasia untuk bertahan. Seperti kuduga, tanah itu pun merekah. Kuharapkan ribuan kunang-kunang muncul dari dalam tanah. Tapi dugaanku meleset. Yang muncul adalah sosok-sosok manusia. Mereka muncul seperti gerakan gasing, memutar sangat cepat lalu melesat ke udara dan kaki mereka menangcap di tanah dengan sempurna. Aku terhenyak. Jantungku berdengup sangat cepat. Kucoba angkat kaki, tapi seluruh persendianku mendadak ngilu dan lemas. Aku hanya bisa berdiri gemetar. Cemas.

Sosok-sosok manusia itu melesat cepat, merenggut tubuhku. Tangan-tangan mereka begitu kukuh meringkus, hingga perlawananku sia-sia. Aku tak bisa meronta, tak bisa bergerak. Bahkan untuk sekadar teriakpun, tidak.

Mereka membawaku masuk liang. Kurasakan tubuhku berputar sangat cepat seperti gasing, bersama sosok-sosok manusia itu. Tubuh kami terus berputar ke bawah, terus ke bawah hingga dasar.

Kutemukan daerah yang asing. Sebuah hamparan tanah cokelat yang sangat luas. Aku seperti memasuki dunia animasi, ketika kulihat bangunan-bangunan yang tidak menancap di tanah tapi mengambang, namun tak bergoyang. Juga jalan-jalan yang membentang. Juga pohon-pohon, sungai-sungai, semuanya mengambang. Semuanya melayang, juga tubuhku, dan tubuh manusia-manusia aneh itu.

Mereka membawaku ke sebuah bangunan besar tanpa pilar, yang seluruh dindingnya dan gentengnya terdiri atas tanah liat. Juga lampu, meja, kursi, perabot rumah, gelas, dan ranjang. Semuanya serba cokelat tanah.

“Selamat datang di kota kami,” sapa orang tua yang seluruh tubuhnya berwarna cokelat tanah persis patung mentah.

Aku masih bungkam. Orang tua itu mengulurkan tangannya. Begitu kupegang, kurasakan tangan itu sangat dingin.

“Kamilah kunang-kunang yang setiap malam mengunjungi Anda,” ujar orang tua itu dengan senyum mengembang.

Aku mengangguk. Tapi setengah bergidik.

“Berarti Anda semua ini telah mati,” aku mundur beberapa langkah.

“Mati? Kami tidak tahu persis. Yang kami tahu, kami ini hanya berpindah dunia, berpindah kehidupan…,” ujar si tua itu memperlihatkan gigi tanah liatnya.

“Siapa kalian?” aku memberanikan diri bertanya, pelan.

“Sama seperti Anda. Kami telah ratusan tahun menghuni kota ini. Semua penduduk di sini tak ada yang punya nama. Kami saling memanggil dengan angka. Dan masing-masing warga kami selalu ingat nomor orang lain, meski jumlah kami ini jutaan. Nama, adalah tanda yang mengandung riwayat. Kami telah mengubur dalam-dalam riwayat hidup kami. Riwayat yang sangat menyakitkan.” Orang tua itu bicara dengan tatapan mata kosong.

Kulihat mata tanah liatnya sama sekali tak berkedip.

“Kenapa riwayat itu harus dikubur?”

Mendadak susana berubah sangat hening dan genting. Ruangan seperti membatu. Dadaku sesak. Aku merasa telah lancang bertanya dan menyakiti hati mereka. “Maafkan saya…maafkan saya…”

Mereka saling memandang. Lalu orang tua itu berjalan dengan tubuh melayang mendekatiku, “Anda tidak salah. Kami saja yang malas mengingat. Terlalu menyakitkan…”

Orang tua itu mengajakku mengitari ruangan. Tangannya menarik semacam kain yang membungkus dinding itu. Dan terlihat foto-foto yang melayang. Foto-foto itu tampak sangat kusam, warnanya telah berubah cokelat. Di sana kulihat rumah-rumah mereka yang tenggelam oleh lumpur. Juga kulihat foto orang-orang yang meregangkan nyawa. Lalu dengan sigap, orang tua itu menarik kain penutup dinding. Ia lama tak bicara.

“Mereka telah merampas hak hidup kami. Menenggelamnya sejarah kami, seluruh kenangan kami, nasib kami…Mereka rakus membajak alam, tapi tak becus. Bukan gas atau minyak yang mereka dapat, tapi lumpur yang menyembur. Dan lumpur itu harus kami telan.”

Orang tua itu memandangku. Aku merasakan ada kobaran api di balik bola mata tanah liatnya.

“Di mana dulu Anda tinggal?”

“Di Jawa, pulau yang kini entah bernama apa.”

Aku terhenyak. Mendandak lagu Yen Ing Tawang Ana Lintang kembali mencuat dari pita ingatanku. Lagu itu selalu kunyanyikan untuk mengundang kunang-kunang. Mataku menyapu orang-orang, kulihat jari-jari tangan dan kaki-kaki mereka. Semuanya tak punya kuku. Aku jadi semakin yakin pada dongeng Ayah waktu aku masih bocah: kunang-kunang jelmaan kuku orang mati. Mereka bukan serangga yang bisa mati disemprot dengan obat antihama. Mereka tak pernah mati. Tak pernah.

Yogyakarta September 2006

Taufik Ikram Gelar Kembara Sajak Tersebab Aku Melayu

Yurnaldi
http://oase.kompas.com/

Sastrawan Taufik Ikram Jamil, akan membacakan sajak-sajak yang terhimpun dalam buku sajaknya yang terbaru tersebab aku melayu , di Bentara Budaya, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, hari Selasa (22/6/2010) malam. Ini merupakan tempat pertama yang dikunjunginya dalam kegiatan yang dinamakannya kembara sajak tersebab aku melayu. Beberapa tempat akan dikunjunginya di Sumatera dan Jawa dalam kegiatan serupa sampai Agustus mendatang.

Ikram akan membacakan sembilan sajaknya dengan masa sekitar satu jam. Di antara sajak yang dibacakannya berisi tentang perspektif kejayaan Melayu untuk masa kini dan bagaimana memanfaatkannya seperti dalam sajak gurindam bukit siguntang (sriwijaya,Red.), catatan terakhir oleh raffles, di sungai siak, dan orang asing rupanya aku. Ia juga membawa dialog keruntuhan Majapahit melalui sajak hanya karena aku bukan seorang jawa (biografi dara petak). Dalam membacakan sajak, ia dibantu multimedia.

“Inti acara ini adalah silaturahim dengan mengajak untuk saling pengertian antara puak yang satu dengan puak lainnya,” ujar Ikram, Minggu (20/6/2010) . Silaturahim ini semakin penting di tengah pergaulan antaretnis yang menajam, apalagi menarik garis pembangunan nasional yang bertopang pada otonomi daerah. Selain itu adalah hubungan antarnegara serumpun Melayu yang selalu buram.

Buku sajak Ikram yang kedua ini, tersebab aku melayu, memuat 59 sajak yang sebagian besar sudah dipublikasikan di berbagai media seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, Republika, Riau Pos, Padang Ekspres. Buku ini disebut sebagai buku sajak penggal kedua, setelah buku sajak penggal pertama yang berjudul hampir serupa dengan buku kedua ini yakni tersebab haku melayu diterbitkan tahun 1995.

Penanggalan huruf h pada judul buku sajak kedua ini dibandinghkan buku sajak pertama, ternyata memberi pengaruh besar pada daya ungkap sajak-sajak Ikram. Tak kurang penyair semacam Sutardji Calzoum Bachri, Tan Lie Ie (Indonesia), A.Samad Said (Malaysia), Suratman Markasan (Singapura), dan seorang pengamat sastra Melayu lulusan Universitas Leiden Jan van der Puten, memberi penghargaan tinggi pada buku ini.

Taufik Ikram Jamil yang lahir di Telukbelitung, Riau, 19 September 1963 memang menulis pada semua jenis sastra, diperlihatkan dengan penerbitan dua novelnya dan tiga kumpulan cerpen. Ia sempat meraih berbagai penghargaan dari Yayasan Sagang (1997 dan 2003).

Majalah sastra Horison pernah menobatkan cerpennya yang berjudul Menjadi Batu sebagai cerpen terbaik. Ini disusul dengan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta yang menetapkan cerpennya Pagi Jumat Bersama Amuk sebagai cerpen utama Indonesia tahun 1998. Setahun kemudian, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan kumpulan cerpennya Membaca Hang Jebat sebagai karya sastra terbaik tahun 1999.

Karyanya menarik perhatian antara lain disebabkan kemampuan mengangkat khazanah Melayu. Will Derks dari Universitas Leiden misalnya mengatakan, puisi-puisi Ikram mengawinkan kelisanan dan keberaksaraan yang memberi perlawanan pada dominasi pusat. Maman S.Mahayana dari Unversitas Indonesia menyebutkan bahwa novelnya yang berjudul Hempasan Gelombang merupakan satu dari dua novel terpenting Indonesia tahun 1990 -an. Sedangkan Michael Bodden dari University of Victoria, Canada, menyebutkan bahwa karya Taufik Ikram Jamil mengajukan sebuah makna baru untuk novel warna lokal yang diubah menjadi sebuah identitas linguistik, budaya, dan sejarah yang berbeda dengan prosa Indonesia pada umumnya.

Dengan kondisi ini, Bodden melihat bahwa sastra Indonesia sedang menegaskan otonomi dari ideologi negara dan sebagian besar politikus dengan perintisan sebuah gagasan baru tentang nasionalisme dan identitas lokal.

Sehari-hari Taufik Ikram Jamil juga dikenal bergiat sebagai pekerja seni. Bersama kawan-kawan, dia sempat mendirikan majalah sastra menyimak dan berdaulat, bahkan mendirikan perguruan tinggi sekaligus berkhidmat sebagai pengajar yakni Akademi Kesenian Melayu Riau. Selain itu juga pernah menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Riau. Dia telah membaca kan sajak-sajaknya di berbagai kota di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Senin, 07 Juni 2010

Babi dalam Dompet

A Rodhi Murtadho
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Dompet lengket di saku celana. Babi terus mendengkur. Paijan terus berjalan dari rumah ke rumah. Sales. Bukan kerja yang sembarangan. Tak semua orang bisa menekuni profesi ini. Paling tidak harus punya mulut yang kuat bicara. Lidah yang pandai bersilat. Tatapan mata meyakinkan. Bau badan tidak kecut. Baju rapi. Sepatu mengkilat. Senyum menawan dengan gigi putih dan bau nafas tidak apek. Potongan klimis biasanya ikut mendukung.

Setiap kali Paijan mengetuk pintu, dia harus memegang erat dompetnya. Setiap ketukan mengakibatkan dengkur yang keras Babi yang ada di dompet. Kalau sampai tiga kali lebih ketukan, biasanya Babi itu berusaha meloncat keluar. Menggedor pintu dan menyeruduknya hingga jebol.

“Selamat siang, Bu!” ucap Paijan lembut.

“Siang, ada apa ya?” sahut Salamah, Ibu rumah tangga. Leher, tangan, dan kaki berkilatan penuh dengan emas. Biar paras tak begitu lembut tapi kilau benda yang ada di tubuhnya membuat para lelaki berpikir dua kali. Ingin mengambil semua perhiasan dan menjualnya.

“Saya punya kosmetik. Lengkap, Bu. Ada bedak, gincu, per…”

“Sudah…Sudah. Saya tidak mau membeli. Saya sudah punya banyak. Lemari saya sudah penuh dengan barang-barang seperti itu.”

“Tapi ini bagus lho, Bu. Asli buatan negeri tropis. Sejuk. Menjadikan kulit mulus, cantik. Apalagi parfum ini. Hidung lelaki akan mengikuti Ibu. Apalagi yang hidung belang. Banyak artis yang menggunakan ini, Bu. Wah, pokoknya dijamin Ibu akan cantik. Kalau tidak percaya, boleh Ibu coba.”

Jurus terakhir ketika ada penolakan dari calon pembeli. Mencobakan. Paijan mulai mengeluarkan satu set kosmetik. Mulai melukis dengan hati-hati wajah Salamah. Menyemprotkan minyak wangi pada area bebas biar tidak bercampur peluh. Menghindari kontaminasi. Menjaga agar minyak wangi tidak berbau tak karuan. Apek.

“Nah, Ibu lihat kan. Ibu bertambah cantik. Makin cantik. Saya yakin suami Ibu bakal betah di rumah. Tidak akan selingkuh karena sudah melihat Ibu yang aduhai memikat hati. Eh…sampai-sampai saya sendiri juga tertarik pada Ibu.”

“Ah, Mas, bisa saja. Boleh saya pinjam cerminnya?”

Paijan mendekatkan cermin ke tangan Salamah. Kanan kiri Salamah memandangi wajahnya dengan bergaya manja. Cantik, lirih ucapnya. Rasanya juga sejuk dan nyaman.

“Ehm…! Oke! Saya membeli kosmetik ini tapi uangnya lusa. Kosmetiknya ditinggal di sini saja. Uangnya ada di kotak dalam lemari. Saya mau mengambil tapi kuncinya dibawa suami saya. Bisa ya, Mas. Pasti saya bayar.”

Babi yang ada di dompet Paijan meronta keluar. Seakan tak terima barang dagangan dikredit. Dicegah Paijan. Dipegang erat dompetnya. Tak membiarkan Babi itu nyruduk keluar atau dengkurannya terdengar.

“Ya, bolehlah, Bu. Lusa saya akan datang lagi.”
***

Malam bertambah kalut. Bau kemenyan lekat dan menyengat. Senyum Lasmini terus menghiasi mata Paijan. Lasmini sudah mengerti isyarat dari Paijan. Babi dalam dompet segera keluar. Lasmini harus terlentang membuka seluruh pembungkus badan. Menyeringai. Mengangkang. Babi keluar dari dompet lantas meloncat keluar dan mendarat di atas Lasmini. Dengkurannya membuat tubuh Lasmini bergetar. Moncong hidung dihenduskan di sekujur tubuh. Menggeliatkannya. Lasmini terpejam merasakan kehangatan yang menempel di selangkangan masuk ke tubuh. Babi itu menghilang.

Lasmini lantas menyalakan lampu ublik. Kemenyan ditambahkan pada bara arang membara. Mantra diucapkan. Ia ingat pesan suaminya kalau rumah tujuan babi adalah rumah Bu Salamah. Telanjang tubuh Lasmini beraromakan kemenyan membuat nyamuk tak doyan menempel. Lasmini duduk bersila. Berkonsentrasi.

“Ambil, ambil, hisap, hisap. Hisap semuanya,” perintah Lasmini dalam mantranya.

Uang bertebaran dari langit-langit kamar yang jelas tak berlubang. Entah dari mana. Ia tak mempertanyakannya. Hanya melihat uang berlembar-lembar bertaburan. Lasmini tersenyum.

Ada suara di balik pintu kamarnya. Dengkuran Babi. Mungkin hanya perasaan saja, pikirnya. Mas Paijan belum selesai menghisap uang. Aneh yang dirasakan Lasmini. Uang bertaburan tak henti-henti. Banyak sekali. Namun yang ada di lantai hanya sedikit. Ke mana uang itu? Lasmini hanya keheranan. Pasrah. Mungkin memang sedikit yang didapatnya.
***

Salamah terus mendesak suaminya, Parman, untuk pergi ke rumah Paijan. Sales Kosmetik. Sudah sejak sore Salamah menyiapkan kembang, kemenyan, dan lilin. Namun suaminya menolak. Salamah tak peduli dan langsung memantrai suaminya yang tidur-tiduran. Menjadikannya babi. Dengan begitu, Salamah mudah memerintahnya.

“Pergi kau ke rumah Paijan. Hisap semua uangnya. Aku tunggu hasilnya di kotak dalam lemari.”

Rupa binatang membuat jiwa binatang ada dalam diri Parman. Babi Parman bergegas keluar rumah. Tanpa membuka pintu. Dalam perjalanan, Babi Parman menjumpai banyak babi berkeliaran. Saling menyapa dengan dengkuran. Tak memperdulikan arah mereka. Biarpun ada salah satu babi yang menuju rumahnya. Babi Parman tak peduli.

Babi Parman memasuki rumah Paijan. Tanpa permisi atau mengetuk pintu dan langsung menuju kamar yang berbau uang. Membenturkan kepala di pintu dan mendengkur. Dengan begitu uang yang ada dalam kamar langsung masuk ke kotak dalam lemari.
***

Proses penghisapan Babi Paijan dan Babi Parman terus berlangsung mungkin selamanya akan tetap berlangsung. Sampai kiamat pun mungkin terus berlangsung. Uang Parman di kotak dalam lemari dihisap Babi Paijan kemudian masuk ke kamar Lasmini. Setelah uang masuk ke kamar Lasmini, dihisap Babi Parman masuk ke kotak di dalam lemari Salamah.

Lilin di hadapan Salamah mulai habis meleleh. Merasa khawatir dengan suaminya yang tak kunjung kembali. Lilin segera habis. Kalau tidak kembali sebelum lilin habis, Parman harus menunggu malam berikutnya untuk dimantrai lagi untuk menjadi manusia.

Salamah tak mampu berbuat apa-apa lagi. Lilin telah habis. Merasa putus asa. Salamah keluar membuka pintu kamar. Tak disangka seekor babi terus mengeluskan kepala di dinding kamar. Salamah menghampiri babi itu. Menggendong masuk. Memperlakukannya seperti bayi. Mengelus, mencium, dan menimang di dadanya. Salamah menuju kamar. Babi itu menyeruduknya dengan dengkuran. Ekornya berkibas tak tentu arah. Mungkin sedang bernafsu. Salamah pun segera membuka pembalut tubuh. Takut kalau keinginan Babi itu tidak dituruti, dirinya akan terkena kutuk. Berdosa.

Minyak tanah lampu ublik Lasmini mulai habis. Tubuhnya mulai merasa dingin. Adzan subuh akan datang sebentar lagi. Kalau suaminya tak kembali berarti ia tidak akan bisa keluar rumah. Harus telanjang terus. Menunggu sehari untuk memantrai Babi. Lasmini bingung. Tak ada tanda bahaya. Uang masih bertebaran. Tapi lampu mulai redup dan mati. Menghentikan tebaran uang. Mungkin Mas Paijan menggoda, pikirnya.

Lasmini beranjak dari duduknya. Melangkahkan kaki dan membuka pintu. Ia menemui babi yang menempelkan kepalanya pada dinding luar kamar.

“Mas. Mengapa tidak masuk. Sekarang lihat rupa mas. Babi. Sungguh babi. Kalau Mas masuk sebelum lampu mati tadi, pasti bisa berubah lagi. Sekarang, lampu sudah mati. Mas harus menjadi babi seharian. Sementara aku juga harus telanjang seharian.”

Lasmini menggendong Babi itu masuk ke kamar. Mencoba memantrainya tapi gagal. Lasmini pun memutuskan untuk menunggu esok malam. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang. Memposisikan dirinya di samping Babi.

Babi itu mulai berulah. Lasmini pun tak segan lagi. Membiarkan tubuhnya diendus dengan dengkuran babi. Dijilati lidah yang penuh liur babi. Lasmini membuka selangkangan. Mengangkang di atas ranjang. Tanda Lasmini mengizinkan babi untuk menindihnya. Kadang dari atas. Kadang dari kiri. Kadang dari kanan. Kadang dari belakang. Tetapi kadang juga di bawah, ditindih Lasmini.
***

Malam kembali mengalir. Babi Paijan dan Babi Parman tak dimantrai oleh istri mereka untuk menjadi manusia. Mereka langsung diperintah untuk menghisap uang dari tetangga yang banyak uangnya.

Babi Paijan yang berada dalam genggaman Salamah kembali ke rumah. Kepada istrinya, Lasmini. Babi Parman yang berada dalam buaian Lasmini juga kembali ke rumahnya. Alasan yang sama yang mereka utarakan kepada istri mereka. Capek dan besok harus bekerja. Agar tetangga dan teman kerja tak banyak menaruh curiga.

Pagi hari, Parman berangkat bekerja di pabrik. Paijan juga berangkat bekerja menjadi sales sambil meniliki rumah hartawan.

Paijan mengetuk pintu rumah Salamah. Suara langkah mengalun dari dalam. Membukakan pintu. Senyum dari gigi berlarik menyeringai. Menyambut Paijan yang juga lekat dengan senyum. Saling mengangguk dan menyapa. Salamah mempersilahkan Paijan masuk.

“Eh. Begini, Bu. Saya mau…”
“Ya, saya sudah mengerti. Tunggu sebentar. Saya ambil uangnya dulu. Tunggu sebentar. Pasti cepat kok.”

Sekelebat Salamah masuk kamar. Salamah keluar dengan membawa sejumlah uang dan diberikan kepada Paijan.

Paijan, dengan tersenyum, menerimanya. Diambil dompet. Berniat untuk memasukkan uang yang baru diterima dari Salamah. Tiba-tiba Babi yang ada di dompetnya nyruduk keluar. Belum sempat Paijan memasukkan uang. Paijan lupa karena terlalu bahagia menerima uang. Babi itu meloncat kesana kemari. Mengitari Salamah lantas menyeruduknya. Babi itu kembali berada di atas tubuh Salamah.

Surabaya, 7 Juni 2006.

Politik Kanonisasi Sastra

Saut Situmorang
http://www.facebook.com/note.php?note_id=45356609697

Dalam dunia sastra Indonesia banyak pengarang sangat yakin bahwa apa yang mereka sebut sebagai “substansi” sastra, yang konon universal, bebas-nilai (apolitis), dan abadi, itu memang ada dan merupakan satu-satunya faktor penentu baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra menjadi sebuah karya sastra. Contoh yang paling sering saya alami adalah menerima pernyataan “Buktikanlah dengan karya!” setiap kali saya berusaha mendongeng tentang pentingnya menyadari politik sastra yang mempengaruhi sastra di manapun terutama di Indonesia, seolah-olah apa saja karya yang mereka produksi memang secara otomatis sudah sangat penting nilainya bagi sejarah sastra. Ada sementara dari para pengarang romantik ini memakai istilah lain untuk maksud yang sama, yaitu “sublim”. Sebuah puisi yang menjadi, misalnya, adalah sebuah puisi yang “sublim”, kata mereka. Tapi para pengarang bakat alam yang romantik ini selalu lupa untuk mengelaborasi arti dari istilah pseudo-filosofis tsb, atau paling tidak menunjukkan contoh karya-karya sastra mana yang “sublim” itu dan kenapa karya-karya itu “sublim”.

Bagi para pengarang yang tidak berbakat alam – jumlah mereka sangat sedikit di Indonesia – istilah “kanon sastra” tentu bukan merupakan sebuah istilah eksotis-filosofis kayak “substansi” sastra atau sastra “sublim”. Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.

Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Apakah karena puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis?

Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini para pengarang bakat alam yang romantik itu? Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya – mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?

Pertanyaan-pertanyaan cerewet seperti ini sudah waktunya diumumkan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia karena kondisi sastra Indonesia saat ini sudah mencapai titik dekadensi yang mengkhawatirkan. Absennya tradisi kritik sastra yang kuat dan mapan seperti dalam sastra-sastra nasional di peradaban Barat telah mengakibatkan apa yang saya sebut sebagai “anarkisme interpretasi dan evaluasi” merajalela dalam sastra Indonesia dimana orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi atau latar belakang pendidikan akademis ilmu sastra merasa tidak ada persoalan sama sekali untuk mempublikasikan komentar-komentar mereka yang mereka klaim sendiri sebagai “kritik sastra”, walau komentar-komentar mereka tsb tidak memiliki prosedur interpretasi dan evaluasi yang menjadi ciri-khas kritik sastra di mana-mana. Akses media-massa cetak seperti koran nasional terbitan Jakarta yang relatif mudah, misalnya, membuat komentar-komentar para pseudo-kritikus ini mendominasi lalulintas “opini publik” tentang sastra dan berakibat terjadinya distorsi-arti tentang apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan “kritik(us) sastra”. Akibatnya terjadilah penciptaan kanon sastra dalam sastra kontemporer Indonesia yang sama sekali tidak merefleksikan realitas sebenarnya dari apa yang kita kenal sebagai Sastra Indonesia itu.

***

Istilah “kanon”, atau “canon” dalam bahasa Inggrisnya, berasal dari kata bahasa Junani Kuno, yaitu kanon, yang berarti sebuah “buluh” atau sebuah “tongkat” yang dipakai sebagai alat pengukur. Istilah ini di kemudian hari memiliki makna tambahan yaitu “peraturan” atau “hukum” dan makna ini yang akhirnya menjadi makna utamanya dalam bahasa-bahasa modern Eropa. Dalam konteks kritik sastra, istilah “kanon” menjadi sebuah istilah penting setelah dipakai di abad 4 M dalam merujuk ke daftar teks atau pengarang, khususnya buku-buku yang akhirnya menjadi kitab suci agama Kristen yaitu Alkitab atau Bibel dan para theolog awal agama tsb. Di sini istilah “kanon” memiliki arti sebagai sebuah prinsip seleksi atas pengarang-pengarang tertentu mana atau teks-teks tertentu mana yang dianggap lebih pantas untuk dilestarikan dibanding yang lainnya. Teks-teks dan pengarang-pengarang yang gagal masuk kanon Bibel tsb (disebut “apokrifa” dalam tradisi Kristen) tidak berhasil karena alasan dogma: para pemimpin agama Kristen awal harus memutuskan “ajaran-ajaran” mana yang harus diajarkan kepada para pengikutnya. Para pembuat kanon Bibel di awal berkembangnya agama Kristen ini tidak begitu peduli dengan “keindahan” teks-teks yang mereka pilih atau sifat universalitasnya. Yang paling penting bagi mereka adalah bahwa teks-teks tsb “sesuai” dengan standar komunitas mereka, atau dengan “peraturan/hukum” mereka. Tujuan utama mereka lebih kepada memisahkan mana yang ortodoks dan mana yang bidah.

Dalam konteks sastra banyak kritikus sastra di luar Indonesia yakin bahwa seleksi atas karya-karya sastra untuk “kanonisasi” – yaitu karya-karya yang disebut sebagai karya “klasik” itu – terjadi sama seperti pada kanon Bibel. Para kritikus ini yakin bahwa di balik pretensi “objektivitas” penilaian mutu karya terdapat sebuah agenda politik terselubung, yaitu eksklusi atas banyak kelompok dari representasi dalam kanon sastra. Sebuah contoh yang paling sering disebutkan adalah fakta lebih sedikitnya jumlah sastrawan (jenis kelamin) perempuan dalam kanon sastra. Atau begitu sedikitnya jumlah pengarang non-Eropa (bukan kulit putih) dalam kanon sastra berbahasa Inggris, misalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu diajukan adalah apakah karya para sastrawan yang tidak masuk kanon sastra ini – sastrawan perempuan dan sastrawan bukan kulit putih – memang lebih rendah mutunya dibanding karya-karya kanon? Bagaimana menentukan tinggi-rendahnya “mutu” sastra? Apa itu “mutu” sastra?

***

Di sastra Indonesia persoalan “mutu” sebuah karya sastra selalu dikaitkan dengan sifat “universal” yang dianggap dimiliki oleh sebuah karya yang “bermutu”. Sebuah karya yang dianggap “bermutu” tinggi pasti juga akan “universal” pengakuan atas “mutu” yang dimilikinya itu. Perbedaan konteks budaya dan waktu/zaman, misalnya, dianggap tidak berlaku atas sebuah karya yang “bermutu”. “Mutu” sebuah karya berbanding lurus dengan “universalitas” pengakuan atasnya, demikianlah keyakinan kebanyakan sastrawan Indonesia. “Mutu” itu sendiri sangat diyakini sudah inheren dimiliki oleh setiap karya sastra yang dianggap “berhasil”. Inilah sebenarnya yang dimaksudkan para pengarang bakat alam yang romantik itu sebagai “substansi” atau “sublimitas” karya sastra.

Kalau memang benar “substansi” sastra itu ada dan keberadaannya tidak dipengaruhi sama sekali oleh faktor-faktor dari luar teks sastra, maka bagaimana, misalnya, menjelaskan tentang “kegagalan” para sastrawan dunia seperti Maxim Gorky, Vladimir Mayakovsky, James Joyce, DH Lawrence, Virginia Woolf, Ezra Pound, Bertolt Brecht, George Orwell, Paul Eluard, Jorge Luis Borges… sampai Pramoedya Ananta Toer untuk “memenangkan” Hadiah Nobel Sastra, hadiah sastra paling bergengsi di planet ini? Apakah “substansi” karya sastra mereka lebih buruk “sublimitas”nya dibanding para sastrawan pemenang Nobel Sastra? Atau seperti yang pernah dipertanyakan oleh sastrawan Eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, waktu menolak menerima Hadiah Nobel Sastra 1964 yang “dimenangkan”nya: Dari semua pemenang Hadiah Nobel Sastra asal Uni Soviet dulu, kenapa sastrawan yang menentang Partai Komunis Uni Soviet yang lebih banyak mendapat Hadiah Nobel Sastra? (Kasus Sartre sendiri unik. Sebenarnya yang seharusnya mendapat Hadiah Nobel Sastra untuk tahun 1964 itu adalah penyair Komunis asal Chile, Pablo Neruda. Tapi “status” Neruda sebagai anggota Komite Sentral Partai Komunis Chile dan bahwa Neruda pada tahun 1953 dianugrahi Hadiah Stalin untuk puisinya telah membuat badan intelijen Amerika Serikat CIA panas-dingin dan melalui lembaga “kebudayaan” yang dibentuknya pada 1950 dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, yaitu “Congress for Cultural Freedom”, telah berhasil mempengaruhi Panitia Nobel untuk tidak memilih Neruda tahun 1964 itu. Ironisnya, Sartre yang “dimenangkan” Panitia Nobel justru menolak menerima Hadiah Nobelnya! (lihat: Who Paid the Piper? The CIA and the Cultural Cold War (Granta Books, 2000) karya Frances Stonor Saunders.)

Di dunia ini intelektual manakah yang belum pernah mengenal penyair cum dramawan Inggris bernama William Shakespeare? Walaupun belum tentu pernah membaca karya aslinya, setiap orang yang menganggap dirinya “berbudaya” pasti paling tidak akan mengaku pernah mendengar nama sastrawan yang hidup di paroh kedua abad 16 Inggris ini. Justru di sinilah persoalannya. Karya-karya Shakespeare tidak dibaca luas tapi keuniversalan namanya fenomenal. Mungkin Shakespeare adalah contoh dari sastra yang punya “substansi” dan “sublim” itu. Tapi benarkah karya-karya Shakespeare yang terbaik sekalipun memang secara “estetika” sempurna tidak bercacat?

Ternyata munculnya apa yang dikenal sebagai Teori Sastra Pascakolonial sebagai akibat terbitnya buku Orientalism (1978) karya pengarang kelahiran Palestina, Edward Said, telah menyebabkan terjadinya “pembacaan-ulang” atas para sastrawan kanon Barat termasuk Shakespeare. Dan hasilnya: Shakespeare adalah seorang sastrawan rasis dalam karya-karyanya yang tokoh-tokohnya “berkulit berwarna”, seperti The Merchant of Venice (1596), Othello (1604), dan The Tempest (1611).

Hal yang sama terjadi juga atas Joseph Conrad, yang dianggap salah seorang novelis terbesar Inggris. Karya-karya bekas pelaut kelahiran Polandia ini banyak mengambil setting cerita di negeri-negeri yang pernah dia singgahi seperti Afrika, Indonesia dan Amerika Latin. Sebuah novel pendeknya yang dianggap salah satu novel terdahsyat dalam bahasa Inggris yaitu Heart of Darkness (1902) yang bersetting di pedalaman Afrika di tepi Sungai Kongo dicaci-maki dengan keras oleh novelis besar Afrika Chinua Achebe sebagai sebuah novel jelek karena sangat rasisnya dalam menggambarkan orang kulit hitam Afrika. Beberapa novel lain Conrad seperti Almayer’s Folly (1895) dan Lord Jim (1900) mengambil latar-cerita di Kalimantan dan Jawa periode kolonialisme Belanda. Tentu akan menarik sekali untuk mengetahui bagaimana reaksi pembaca kontemporer Indonesia asal Kalimantan dan Jawa dalam menanggapi penggambaran orang-orang lokal kedua daerah tsb dalam kedua novel Conrad itu.

Di Indonesia sendiri kita juga memiliki banyak contoh dari terjadinya apa yang saya sebut sebagai politik kanonisasi sastra ini. Seperti nama William Shakespeare di dunia internasional, di Indonesia siapakah intelektual kita yang tidak pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer! Bagi mereka yang serius membaca karya sastra Indonesia akan mengerti bahwa dari keseluruhan fiksi yang pernah ditulis dan dipublikasikan oleh Pram (ataupun oleh para novelis Indonesia lainnya) maka seri-novel yang dihasilkannya selama menjalani hukuman-tanpa-pengadilan rejim Orde Baru di Pulau Buru yang terkenal dengan nama Tetralogi Buru itu (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) merupakan karya terbaik Pram dan salah satu karya terbaik fiksi dalam sejarah sastra Indonesia. Justru karena Tetralogi Buru inilah nama Pram berkali-kali masuk dalam nominasi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Tapi apa yang terjadi dengan seri-novel ini di Indonesia sendiri? Kita semua tahu karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Tetralogi Buru dilarang di Indonesia! Selama rejim militer Suharto berkuasa, siapa saja yang ketahuan memiliki satu saja dari keempat novel Pram ini pasti akan ditangkap dan dimasukkan penjara (dan disiksa lagi!) sebagai seorang subversif atau pengkhianat bangsa dan negara!

Setelah rejim Suharto jatuh dan tidak berkuasa lagi, publikasi dan pemilikan atas Tetralogi Buru tidak lagi mengakibatkan penangkapan dan pemenjaraan tapi larangan atasnya tetap berlaku. Larangan yang masih terus berjalan itu adalah larangan untuk mempelajarinya secara formal di sekolah dan perguruan tinggi.

Kalau kita tanya apa sebenarnya alasan yang membuat Tetralogi Buru harus dilarang padahal keempat novel itu merupakan sebuah gugatan kritis seorang sastrawan Indonesia atas (sejarah) kolonialisme Belanda di Indonesia, maka jawaban klise yang terus menerus didaur-ulang/direproduksi oleh penguasa Republik ini adalah bahwa pengarangnya seorang Komunis! Kalau kita tanya lagi apa bukti Pram itu seorang Komunis, maka jawabannya… tidak ada jawaban! (Kita, misalnya, masih belum bertanya soal apa sebenarnya “kesalahan” Komunis dalam sejarah Indonesia! Atau, apa sebenarnya Komunis itu sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengannya dilarang di negeri komunal dan gotong royong ini.) Dari Kasus Pram ini kita bisa melihat betapa eksistensi sebuah teks sastra sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar teks baik dalam publikasi maupun resepsi atasnya.

Contoh lain adalah reputasi majalah sastra Horison selama masih dengan sangat aktif dieditori oleh HB Jassin, tokoh legendaris yang dianggap sebagai Paus Sastra Indonesia itu. Bagi para sastrawan Indonesia yang masih waras otaknya pada periode yang saya maksudkan (terutama pada tahun 1970an), apalagi yang baru mulai menulis sastra, dimuatnya karya di Horison bisa dikatakan setara dengan memenangkan Hadiah Nobel Sastra bagi sastrawan dunia. Sebuah pencapaian “artistik/estetik” yang paling tinggi! Sebuah pengakuan/pembaptisan legitimasi gelar kesastrawanan! Makanya pemberian gelar mentereng “Paus Sastra Indonesia” tadi kepada Jassin! Selera HB Jassin menentukan “bermutu-tidaknya” karya sastra Indonesia pada zamannya. Bisa dikatakan HB Jassin bukan cuma “Paus Sastra Indonesia” tapi justru Sastra Indonesia itu sendiri! Tak ada “sastra(wan)” Indonesia di luar HB Jassin! Hanya mereka yang menulis novel pop, cerpen pop dan lirik lagu pop saja yang tidak peduli pada keangkeran nama Horison dan HB Jassinnya.

Karena “eksperimentasi bentuk” merupakan “estetika” kaum Humanis Universal, kaum Manikebuis, yang direpresentasikan oleh sosok Jassin ini, maka hanya karya-karya apolitis yang eksperimental secara formal/bentuk (walau isinya biasa-biasa saja malah cenderung konservatif) yang menjadi kanon sastra Indonesia, seperti fiksi Danarto, Putu Wijaya dan Budi Darma atau puisi Sutardji Calzoum Bachri. Karena dunia teater Indonesia sangat dipengaruhi sastra Indonesia, maka efek Jassinisne ini juga merebak ke teater Indonesia dan jadi kanon teater pulalah para sastrawan Horison seperti Putu Wijaya dan Arifin C Noor.

Maka sepilah sastra kita, atau sangat minimlah sastra kita dari karya-karya yang tidak peduli pada eksperimen bentuk, yaitu karya-karya yang mementingkan isi, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan sosial-politik masyarakatnya.

Maka tidak kenallah kebanyakan dari kita karya-karya para pengarang Lekra, para pengarang yang berbeda “estetika”, berbeda “ideologi” sastra dari para pengarang Horison, para pengarang Manikebuis di atas.

Maka rendahlah penilaian kita atas karya-karya yang Lekrais, karya-karya yang mementingkan isi ketimbang eksperimen bentuk, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan kontemporer masyarakatnya, karya-karya yang realis.

Selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa, berpolitik adalah kata haram dalam segala kegiatan masyarakat, termasuk dalam kegiatan sastra kita. Seni haram berpolitik, karena akan mengingatkan pada periode Polemik Lekra-Manikebu. Karena “politik bukan lagi panglima kehidupan” termasuk kehidupan sastra, maka a-politik alias anti-politik sekarang menjadi panglima. Dalam konteks teks sastra, bermain-main dengan eksperimen bentuk merupakan perwujudan paling ideal, paling tinggi, dari konsep seni a-politis ini. Ketimbang melakukan “seni untuk kehidupan” maka sastrawan Indonesia yang menjadi sastrawan Horison, yang menjadi kanon sastra, memilih ideologi berkesenian “seni untuk seni”, art for art’s sake, l’art pour l’art. Dalam kata lain, “Estetisisme adalah Panglima”. Cirinya: Sastra (seni) adalah yang paling adiluhung nilainya di antara semua produk manusia, karena otonom mandiri dan tidak mempunyai relevansi (moral dan praktikal) dan referensi di luar dirinya sendiri. Kesempurnaan bentuk adalah segalanya.

Fetishisme atau pemberhalaan pada (eksperimen) bentuk inilah yang menyebabkan Dami N Toda dengan sangat terkenal membaptis Sutardji Calzoum Bachri sebagai setara dengan Chairil Anwar dalam kebesarannya (pencapaian artistiknya), yaitu dengan membuat pernyataan metaforis “kalau Chairil adalah mata kanan, maka Sutardji adalah mata kiri puisi Indonesia”. (Saut Situmorang mungkin cuma jerawat puisi Indonesia!) Makanya dianggap tidak sedahsyat pencapaian puisi-mantra Sutardjilah pencapaian epik Rendra dalam Blues untuk Bonnie yang dipublikasikannya dalam periode yang sama dengan sajak-sajak Sutardji.

Inilah “tradisi” kritik sastra Indonesia selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa. Selama rejim sastra apolitis Horison Manikebuis berkuasa. Inilah zaman keemasan ideologi estetisisme dalam sejarah sastra Indonesia. Inilah ideologi politik kanonisasi sastra Indonesia.

Dan efeknya masih terus dengan kuat mencengkram isi kepala para sastrawan Indonesia sampai detik ini!

Buktinya adalah keyakinan para sastrawan bakat alam kita seperti yang saya singgung di awal esei saya ini: bahwa sastra itu otonom, bebas nilai, hanya tergantung pada “substansi”nya saja untuk menjadi baik atau buruk, dan universal.

Seperti yang sudah saya buktikan di atas, politik kanonisasi sastra kita selama berkuasanya rejim sastra Horison Manikebuis tidak seobjektif, senetral seperti yang disiratkan ideologi estetisisme para sastrawan bakat alam di atas. Politik seleksi sangat mempengaruhi diakui-tidaknya sebuah karya sastra sebagai karya yang berhasil atau bermutu. Eksperimentasi bentuk sebagai standar selera utama rejim sastra Horison Manikebuis telah mengakibatkan hilangnya pluralitas “estetika” dan mendominasinya sastra non-realis apolitis dalam sastra kontemporer kita.

Makanya mendominasilah saat ini apa yang oleh media massa Jakarta disebut sebagai “Sastrawangi”. Sastra yang ditulis oleh perempuan-perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa tsb dan yang cuma bicara tentang apa-apa saja yang dilakukan oleh para perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa. Seksualitas, konon, adalah isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan muda yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi. Seksualitas dalam prosa para Sastrawangi ini bahkan diklaim merupakan aksi pembebasan dari penindasan yang dialami perempuan Indonesia yang terkutuk hidup dalam masyarakat patriarkal bernama Indonesia!

Tubuh adalah Jalan Keselamatan Perempuan Indonesia, menurut para Sastrawangi ini. Makanya berseTubuh melululah mereka dalam prosa mereka! BerseTubuh adalah Pembebasan! Perempuan adalah sama di mana-mana, universal, teriak mereka. Karena itulah seksualitas yang konon merupakan persoalan perempuan muda di kota-kota besar Indonesia adalah juga persoalan perempuan (muda dan tua) di mana-mana termasuk di desa-desa. Tubuh, seksualitas dan perempuan adalah satu bagi para Sastrawangi ini. Seperti teks sastra para Estetis, para Horison Manikebuis, dan para bakat alamis, maka bagi para Sastrawangi tidak ada hal lain di luar Tritunggal “Tubuh-Seksualitas-Perempuan”. Tidak ada persoalan kemiskinan perempuan, tidak ada persoalan pendidikan perempuan yang rendah, tidak ada persoalan jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, bahkan tidak ada persoalan tubuh perempuan yang jelek gembrot berjerawat bagi para Sastrawangi yang konon cantik menurut media massa ini. Aku ngeseks maka aku ada, begitulah kira-kira kredo mereka!

Non-realisme prosa para Sastrawangi ini dapat kita lihat dari betapa sempitnya (dunia) “perempuan” diartikan dalam teks mereka. Betapa sunyinya teks mereka dari para perempuan “biasa” yang tiap hari kita temui di pasar ikan sayur mayur becek berlumpur, di toko-toko kelas bawah, di pabrik-pabrik, di dapur rumah-rumah gedongan kelas menengah ke atas, di sekolah-sekolah menengah di kota-kota kecil dan pedesaan… Siapakah yang paling “perempuan” antara para Sastrawangi dan para perempuan (muda dan tua) “biasa” yang menjadi tetangga rumah kita (the women next door)?

Apolitisme prosa para Sastrawangi ini, ironisnya, malah dianggap sangat politis oleh para sastrawan laki-laki tua Horison Manikebuis! Justru para apolitis tua, para Patriark inilah yang pertama-tama mengklaim betapa “sadar politik jender” para Sastrawangi tsb! Cuma karena para Sastrawangi ini berani buka-bukaan dalam prosa mereka, juga dengan pakaian mereka!

Makanya tidak dianggap “artistik” atau “bermutu” atau “dahsyat” karya sastra para perempuan muda lain, yang mungkin bahkan jauh lebih “cantik” dan muda dibanding kaum Sastrawangi tsb, yang menolak untuk buka-bukaan dalam fiksi mereka, dengan pakaian mereka, yang memilih untuk menulis tentang kehidupan Islami misalnya. Pernahkah kita membaca ada “kritikus” sastra membahas fiksi para pengarang perempuan Forum Lingkar Pena yang berjilbab itu? Begitu jelekkah fiksi mereka? Kenapa jelek? Apa ukuran yang dipakai untuk menjelekkannya?

Kalau fiksi para perempuan muda Forum Lingkar Pena dinilai dengan standar buka-bukaan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya, tentu saja jelek amat hasil karya kelompok Forum Lingkar Pena itu. Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau standar “estetika” Forum Lingkar Pena yang jadi kriteria penilaian prosa Ayu dan Djenar dkk? Apakah lucu membayangkan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu memakai jilbab? Kok bisa lucu? Apa yang menyebabkan timbulnya rasa lucu yang lebih bersifat mengejek jilbab itu? Apakah jilbab bukan simbol “perempuan” dibanding bunga Kantong Semar yang bernama laki-laki itu atau Rafflesia yang bau itu?

Internalisasi ideologi “seni untuk seni”, seni yang apolitis, seni Horison Manikebuis, seni Humanisme Universal, telah begitu kuat dalam diri mayoritas sastrawan, dan juga pembaca sastra, kontemporer Indonesia. Makanya terasa wajarlah, normallah ideologi tsb bagi kita. Seniman tidak perlu berpolitik, tapi berkaryalah! Seolah-olah “berkarya” itupun bukan sebuah sikap politik. Tak ada faktor di luar teks sastra yang mempengaruhi baik-buruknya mutu teks, demikianlah keyakinan umum dalam Sastra Indonesia.

Politik sastra juga dilakukan oleh koran Kompas dengan seri-antologi Cerpen Pilihan Kompas dan kelompok Teater Utan Kayu (TUK). Penerbitan tahunan seri-antologi Kompas tsb telah berhasil membentuk opini publik sastra yang positif atasnya. Saat ini seri-antologi tsb sudah berhasil masuk dalam kanon cerpen Indonesia dan para cerpenisnya pun sudah dianggap cerpenis “bermutu” Indonesia. Dua faktor yang paling mempengaruhi interpretasi dan resepsi atas seri-antologi tsb adalah pertama, reputasi Kompas sendiri sebagai koran nasional yang paling besar oplahnya dan paling banyak dibaca kaum intelektual kota besar kita. Faktor jurnalistiknya sebagai koran kaum intelektual nasional tidak bisa tidak diperhitungkan. Kedua adalah strategi pemakaian (Kritik) Kata Pengantar dan Kata Penutup yang rata-rata ditulis oleh nama-nama yang dianggap “otoritas” sastra Indonesia. Keberadaan Kata Pengantar dan Kata Penutup oleh para otoritas sastra tsb telah mempengaruhi bagaimana pembacanya harus membaca seri-antologi itu. “Kesastraan” (literariness) dari seri-antologi itu terjamin sudah oleh keberadaan tulisan para otoritas sastra tsb.

TUK adalah satu-satunya kelompok “Teater” di sastra kontemporer kita yang paling serius berambisi untuk mendominasi dunia sastra kita. Bukanlah sebuah kebetulan belaka bahwa embrio kelompok Teater yang tidak pernah mementaskan produksi teater ini lahir setelah memudarnya zaman keemasan majalah Horison (dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta), setelah pecahnya Kelompok Horison Manikebuis menjadi Kelompok Goenawan Mohamad dan Mochtar Lubis dkk. Kita tentu masih ingat bahwa Kelompok Goenawan Mohamad sempat menerbitkan satu edisi majalah Horison versi mereka sebelum akhirnya memulai penerbitan majalah Kalam yang kemudian menjadi ikon TUK itu. “Kemenangan” dan publikasi novel salah seorang anggota TUK, Ayu Utami, Saman, merupakan peristiwa bersejarah pertama dalam politik sastra TUK. “Kemenangan” naskah “fragmen” novel ini sendiri di sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998 masih bisa dipersoalkan “kebenaran”nya. Lalu, manipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer di sampul belakang novel yang diterbitkan itu, yang menjadi seolah-olah memuji tinggi novel tsb. Terakhir “kemenangan” Ayu Utami – “karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya” seperti tertulis di halaman belakang novelnya Larung – atas Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000 padahal terjemahan bahasa Belanda (atau bahasa lainnya) novel satu-satunya yang pernah ditulisnya saat itu, Saman, belum ada, sehingga sangat masuk akal kalau menimbulkan pertanyaan bagaimana para juri Prince Claus Award “tahu” tentang kehebatan novel tsb. Siapakah yang menjadi “narasumber” kehebatan novel tsb? Kalau komentar pengarang sekaliber Pram saja tidak malu-malu mereka manipulasi di dalam negeri sendiri, bagaimana di luar negeri sana lagi?!

Politik sastra TUK makin dipercanggih dengan berhasilnya TUK “memindahkan” festival (lebih tepat disebut expo sastra kolonial) bernama Winternachten di Den Haag, Belanda ke Indonesia yang akhirnya diganti namanya menjadi Utan Kayu International Literary Biennale. Promosi tentang “internasionalisme” acara baca-sastra mereka ini ternyata ampuh dalam mempesona kebanyakan sastrawan muda Indonesia yang, bisa dipahami, berambisi besar untuk cepat-cepat go international. Seandainya saja para pengarang muda kita ini tidak begitu buta akan peta sastra internasional kontemporer yang sebenarnya tentu mereka tidak akan begitu saja terpedaya dengan klaim “internasional” pada nama acara sastra TUK ini dan sadar bahwa yang “internasional” hanyalah nama dan asal pesertanya saja. Di luar itu, tak ada yang “internasional” di acara Utan Kayu International Literary Biennale.

Seperti pada kasus Cerpen Pilihan Kompas, Biennale Sastra TUK pun akhirnya dianggap menjadi jalan menuju kanon sastra Indonesia. Seperti yang dengan penuh percaya diri pernah diungkapkan Direkturnya, Sitok Srengenge, bahwa sastrawan Indonesia baru dianggap sebagai sastrawan Indonesia setelah diundang dalam acara sastra TUK semacam Biennalenya yang “internasional” itu. Kita memang dianggap sangat kampungan pergaulan kita oleh Sitok Srengenge sampai legitimasi kita sebagai Sastrawan Indonesia pun harus berijasah “TUK” dulu baru sah diakui.

Politik sastra TUK tidak berhenti hanya pada penyelenggaraan Biennale Sastra yang merupakan legitimasi kesastraan sastrawan Indonesia (bagi para sastrawan “internasional”nya itu tentu saja, dan sebaliknya) seperti yang dinyatakan Sitok Srengenge di atas tapi juga meluas ke penguasaan media massa yang punya posisi penting dalam percaturan sastra kontemporer kita. Kompas pun akhirnya berhasil dirangkul melalui Hasif Amini yang menggantikan Sutardji Calzoum Bachri sebagai redaktur rubrik puisinya. Kita tentu saja bisa bertanya: Kok Hasif Amini? Apa kredensial orang ini dalam hal puisi padahal dia tidak dikenal sebagai penyair ataupun sastrawan malah? Seperti Sutardji, dia bukan wartawan Kompas, tapi “diundang” dari luar. Fakta inilah yang membuat kita berhak mempertanyakan alasan pemilihan Hasif Amini yang orang TUK itu dibanding orang lain dan fakta bahwa reputasi jurnalistik Kompas akan sangat mempengaruhi resepsi pembaca atas puisi-puisi yang dimuat tiap Minggu, seperti pada kasus cerpen Kompas.

Politik kanonisasi sastra TUK memiliki dua wajah. Di dalam Indonesia, TUK berusaha membentuk jaringan ideologis dimana pusat pengaruh legitimasi identitas kesastrawanan pengarang Indonesia ada di tangannya, disadari atau tidak oleh sastrawan yang terjaring di dalamnya. Biennale Sastra TUK, posisi Hasif Amini di Kompas Minggu sampai keterlibatan TUK dalam seleksi siapa sastrawan lokal yang pantas ikut acara Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali merupakan prakteknya. Sementara ke luar Indonesia, TUK berusaha menciptakan identitas-diri sebagai satu-satunya institusi sastra(wan) yang paling representatif mewakili sastra(wan) Indonesia, demi berbagai maksud dan tujuan. Pembentukan jaringan pengaruh atau politik kanonisasi sastra di dalam Indonesia sangat penting artinya bagi strategi “hubungan internasional” TUK ini.

Sekarang timbul pertanyaan: Kenapa TUK harus melakukan semua ini? Apakah demi tujuan luhur untuk (di dalam Indonesia) mengangkat mutu dan (di luar Indonesia) derajat sastra(wan) Indonesia? Sejarah yang akan membuktikan saya benar atau salah.

Pada umumnya politik kanonisasi sastra diyakini lebih banyak dipengaruhi oleh politik kekuasaan demi kepentingan ideologis, politis dan nilai-nilai ketimbang sekedar karena kedahsyatan artistik karya. Pada saat yang sama politik kanonisasi sastra juga membuktikan betapa naifnya, betapa ahistorisnya, betapa tidak membuminya, para sastrawan yang masih yakin bahwa teks sastra adalah segalanya, bahwa tidak ada apa-apa di luar teks sastra, apalagi yang bisa mempengaruhi eksistensinya, bahwa “substansi” sastra adalah ukuran karya sastra, karena “substansi” sastra adalah “estetika” sastra yang “sublim”, sastra yang menjadi itu.

Marilah kita mulai belajar dewasa dalam bersastra.

Jogja, Oktober 2007

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi