Dwi S. Wibowo
http://sastrasaya.blogspot.com/
Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari. (Afrizal Malna: “dada”)
Naomi srikandi, dalam pengantarnya (Manusia Grogi Mebaca Puisi-Puisi Afrizal Malna) dalam acara launching buku kumpulan puisi afrizal malna yang dicetak ulang oleh penerbit omah sore menyebut bahwasanya membaca puisi-puisi afrizal malna adalah keluar dari taman bacaan sastra yang manyajikan keindahan namun memasuki tong sampah, toilet umum, dan slogan-slogan busuk yang terpampang di kota-kota. Yang justru menyajikan kesan spontan yang acak adul. Tidak seperti kebanyakan penyair lain yang betah berlama-lama membuai diri dalam kenikmatan berbahasa, afrizal justru terkesan meledak-ledak dalam ekspresi berbahasa dalam sajak-sajaknya akan kita jumpai metafor-metafor yang terlampau jauh. Bahkan bisa jadi akan sangat susah dicerna, karena memang kerap kali dalam puisi-puisi afrizal malna terdapat simbolisme-simbolisme yang bisa dibilang baru. Sehingga akan lebih terasa bahwa puisi-puisi afrizal malna sekedar menampilkan imaji-imaji visual yang mengajak pembaca ke sebuah dunia baru yang benar-benar asing dari kenyataan, dan bukan menampilkan pesan-pesan yang ingin disampaikan didalamnya.
Dalam kumpulan puisi Abad Yang Berlari, kita akan menemukan puisi berjudul “dada” yang salah satu baitnya berisi begini:
Dada
Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, dada. Hanya hidup, hanya hidup membaca diri sendiri; seperti anakanak membaca, seperti anak-anak bertanya. Menulis, dada. Menulis kenapa harus menulis, bagaimana harus menulis, bagaimana harus ditulis. Orang-orang menjauh dari setiap yang bergerak, dada;seperti menakuti setiap yang dibaca dan ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa mebaca. Menulis jadi mengapa menulis.
Dalam satu bait puisi di atas terdapat tiga kata “dada”, dan penempatan diksi tersebut yang sepertinya tidak mengarah pada fungsi dada sebagai salah satu organ manusia, sebagai objek mati, namun justru afrizal malna meletakkan kata “dada” sebagai sebuah objek yang hidup seperti halnya menyebut nama orang. Saya sempat menerka demikian, namun perlakuan afrizal malna terhadap diksi “dada” yang demikian tidak hanya dalam puisi “dada” saja namun saya juga menemukannya dalam puisi “abad yang berlari”. Ada kalimat yang berbunyi begini:
Dada yang bekerja di dalam waktu
Di sinipun dada diperlakukan sebagai sebuah subjek hidup yang nyata bekerja. Bisa dibilang ini merupakan metafor yang tidak lazim dipakai dalam puisi di indonesia yang akan lebih banyak mengeksplorasi benda mati untuk dihidupkan dalam bait, bukan terhadap organ-organ manusia yang bisa dibilang benda hidup namun tidak dapat sepenuhnya hidup sebagai objek dalam perilaku berbahasa. Meskipun ada juga penyair lain yang juga mencoba menghidupkan organ-organ manusia, yaitu gus tf, semisal dalam puisinya yang bertajuk “daging akar”, namun di dalam puisi tersebut gus tf tidak mampu sepenuhnya menghidupkan daging menjadi subjek yang seratus persen hidup yang berlaku sesuai fungsinya sebagai subjek, daging dalam puisi gus tf hanya menjadi bulan-bulan untuk hidup namun juga menghidupi kata lain dalam puisi itu untuk menyusun metafor yang indah. Dalam kumpulan puisi Abad Yang Berlari afrizal malna melakukan banyak sekali eksplorasi semacam itu. Jadi semacam terjadi proses totalisasi yang berpusat pada subjek dalam puisi afrizal malna, tempat segala objek menjadi subjek, ekspresi suasana hati manusia. Di situ kita menyaksikan sebuah personifikasi subjek, sebuah antroposentrisme (faruk:150). Kumpulan puisi Abad Yang Berlari menampung banyak sekali diksi “dada” mulai dari puisi yang berjudul “dada”, “tanah dada”, sampai “dia hanya dada”. Nampaknya afrizal malna begitu terpesona pada dada hingga ia enggan untuk berjauhan dari dada.
Setelah saya membaca usai buku kumpulan puisi tersebut, ternyata saya menjumpai bahwasanya afrizal tidak hanya mencintai dada, namun ada beberapa diksi yang juga ia perlakukan sama halnya dengan “dada”, melakukan proses antroposentrisme, proses personifikasi subjek. Metafor lain yang ia gunakan ialah “televisi” dan “palu”. Penggunaan metafor “televisi” ini saya pikir menjadi unik karena hampir setiap pemakaiannya, afrizal seperti ingin menyampaikan sesuatu, kalau boleh saya bilang kekaguman terhadap fenomena keluarnya televisi di era 80-an
Yang barangkali masih menjadi benda langka kala itu. Misalnya dalam peutup puisi “lembu yang berjalan” terdapat kalimat seperti ini:
Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri… tak ada lagi, berita manusia.
Televisi seperti merenggut sebagian besar perhatian manusia, manusia tidak lagi berpikir nama, tidak lagi berpikir tempat. Semua telah terenggut televisi. Atau juga dalam puisi “chanel 00” yang sangant pendek,begini bunyinya:
Chanel 00
Sebentar.
Saya sedang bunuh diri.
Teruslah mengaji dalam televisi berdarah itu, bunga.
1983
Unik sekali, pendek namun betapa jelas menggambarkan imaji visual. Afrizal malna merupakan penyair yang cukup peka dengan fenomena sosial di sekitarnya, pemakaian metafor “televisi” sendiri merupakan bagian dari kepekaannya melihat fenomena masyarakat tahun 80-an yang deigemparkan oleh munculnya pesawat televisi. Sedangkan penggunaan metafor “palu” hanya saya dapati pada puisi “abad yang berlari” :
Abad Yang Berlari
Palu. Waktu tak mau berhenti, palu. Waktu tak mau berhenti. Seribu jam menunjuk waktuyang berbeda-beda. Semua berjalan sendiri-sendiri, palu.
Sama halnya dengan pemakaian metafor “dada”, metafor “palu” digunakan dengan proses antroposentrisme, personifikasi subjek secara total. Dan uniknya lagi, “dada”, “palu” selalu dikombinasikan dengan waktu. Nampaknya afrizal hendak menyampaikan bahwasanya waktu dalam dada sama dengan palu yang memukul-mukul paku (ini hanya terkaan saya saja).
Mengutip K.L. Junandharu dalam sebuah diskusi di yayasan umar kayam, (desember 2009). Bahwasanya afrizal malna menulis puisi yang bertujuan untuk melampaui hukum-hukum kausalitas temporal yang niscaya pada suatu puisi, dan memimpikan satu puisi dimana efek-efek penyejajaran dan keserempakan bisa tercipta. Afrizal malna tidak sekedar mengacak semiotika bahasa, namun ia membawa konsep dasar untuk manampilkan imaji-imaji visual yang baru dan segar lewat pemakaian simbol-simbol dalam metafor-metafornya. Terlepas dari itu semua, Abad Yang Berlari memberikan banyak sekali memberikan petualangan baru dalam ranah bahasa, sebuah permainan yang menarik seperti bermain ski di kepala afrizal yang botak, salah langkah sedikit dalam upaya memahaminya bisa terjebak dalam longsor salju tanda tanya yang mengejar dengan kecepatan ratusan mph dan siap mengubur hidup-hidup.
_ , Yogyakarta, 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 24 Maret 2010
Sabtu, 20 Maret 2010
estetika “tanah api”
MENGGAGAS TOKOH IDE, MEMBEBASKAN DARI TRAGEDI DIRI
S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
“Jadilah tokoh di situ digagas menyerupai tokoh ide, sepasukan pekerja yang memikul beban gagasan di pundak masing-masing. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh itu diperlakukan tidak sebagai layaknya manusia. Memang dia bukan manusia, melainkan cuma sepenggal korban. Tampak sekali pemahamannya perlu bergeser menjadi” bahwa ide lebih penting ketimbang tokoh.”
TULISAN ini tanpa mengurangi rasa hormat kawan-kawan, penikmat, pembaca, pendengar yang turut merayakan karya sastra. Sengaja penulis menggunakan idiom “merayakan” karena yakin sama-sama punya harapan besar dengan bersastra, semoga sanggup mewarnai khazanah negeri yang sering disebut dunia ketiga ini, demi menjadi warga sastra dunia.
Harapan ini bukan omong kosong, bukan impian dan bukan pula tanpa alasan. Apalagi bila dengan penuh kesadaran telah siap gagasan estetis maupun artistik pada setiap karya para pengarang, meskipun menyadari hal ini berarti harus menghadapi sejumlah masalah, lantaran bukan rahasia lagi bagi pengetahuan sejarah, sosial, filsafat maupun budaya sastra kita berada pada posisi kebimbangan konsep estetik.
Sastra kita dianggap kehilangan spirit untuk hidup dan menghidupi wilayah pengetahuan yang memang sangat terbuka diperdebatkan dan bahkan membuka diri untuk diperalat, didzolimi serta dijadikan bulan-bulanan ini. Sudah bisa diduga siapa pelakunya, tak lain adalah manusia.
Beruntung sekali (dan tentu saja curiga) kita mendapat istilah kebimbangan estetis itu di era tahun 1990-an dari seorang professor sejarah Asia Tenggara yang berdiam di Prancis—Profesor Dennys Lombard. Beruntung karena sebagai ilmuwan tentu saja dia jujur dan kita menyetujui pernyataannya. Sementara curiga dan menyisakan banyak sekali pertanyaan karena boleh jadi kita menangkap ada semacam standar ganda dalam pernyataannya, sebagaimana setiap teori barat yang secara ekstrem diyakini Al Ghazali tidak banyak berguna itu.
Sisa pertanyaan dari pernyataan Lombard adalah: bukankah Lombard juga penganut mondernitas yang banyak menelantarkan pelbagai hal (termasuk sastra) dan kemudian memasuki gerbang postmodernisme yang juga perlu diwaspadai itu?
Terus terang, banyak yang disetujui dan perlu angkat topi dengan kemampuan konseptual Lombard ketika menjelaskan isme kesenian termasuk sastra yang hidup di negeri seperti Indonesia, ideologi kesenian di Prancis merujuk karya, aliran yang punya tempat dan ruang tertentu dan waktu dengan posisi yang jelas masing-masing dalam kisi-kisi sejarahnya, mulai dari impresionisme, realisme sosialis, surealis dan sebagainya. Namun di sini sudah tersedia serempak. Ini pukulan hebat kepada seniman-sastrawan kita yang dengan bahasa lain sama artinya dengan “asal pasang urusan selesai” atau “daripada susah-susah pakai yang ada saja.”
Pramudya, Mochtar Lubis dituding sebagai pembawa modernitas. Putu Wijaya, Iwan Simatupang dan juga Budi Darma penganut wajah lain dari itu. Sementara karya-karya Danarto agak perkecualian karena Danarto sanggup meracik sufisme (Islam) Jawa ke dalam pandangan dunianya meski kelemahan di sana-sini, semisal logika mistis itu sendiri kadang-kadang masih dimaknai sebagaimana cara pandang logika modernitas.
Bukankah mitos itu memiliki logikanya sendiri, dan pandangan dunia Islam Danarto memunculkan banyak pertanyaaan universalisme sastra sebagai seni dan bukan agama?
Kiranya, orang yang tak kalah besarnya harus bertanggungjawab adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan sezamannya yang membawa suara baru arah susastra menuju penciptaan memasuki ruang pribadi yang dibuka sejak Hikayat Abdullah, cikal bakal malapetaka pelbagai ranah ilmu pengetahuan, sejarah, teknologi, sosial, filsafat yang mengasingkan manusia dari keberadaan semestanya.
Siapa yang salah? Karena manusia menjadi pusat semesta, manusia pula yang kemudian menjadi korbannya. Sebagaimana ilmu lainnya sastra yang tanpa dosa akhirnya menjadi tidak bermakna.
Maaf kalau terpaksa mengajak pembaca untuk bersikap romantis dan berjalan pada masa silam yang harus diakui sempat mengalami puncak-puncak estetis sebelum akhirnya jatuh tidak pernah tuntas, hilang lenyap karena didera masa depan yang agresif dan niscaya itu.
Sebagai orang Jawa, banyak yang telah tahu benar sebelum Lombard mendedahkan bagaimana Jawa mengenal keterkaitan hakiki jagad makrokosmos dan mikrokosmos. Bahwa ungkapan kesenian adalah sarana ungkapan keselarasan, penyeimbang, setiap kali tampak terancam. Manusia tak bisa dikeluarkan dari persekutuan masyarakatnya dan tak terpisahkan dari alam.
Rupanya perlu dicetak tebal kata “terancam” dan tugas pujangga tidak hanya melihat tetapi memaknai. Tanpa berusaha membebani makna berlebihan, hal itu terungkap sejak sastra anonim, mantra, puisi lama, dongeng, sastra suluk, pelbagai tembang Jawa dan puncaknya adalah wayang. Bahwa spirit untuk menjaga keutuhan kosmos dan harmoni jagad cilik jagad gedhe jadi lelaku hidup orang Jawa.
Sekali lagi maaf karena memang harus dibeberkan hal ini. Karena harus dilukiskan dengan sisa ingatan yang ada sembari mewaspadai ketakutan apa yang pernah dilontarkan komponis Slamet Abdul Sjukur bahwa kalau tidak hati-hati kita bisa belajar gamelan kepada barat. Kata gamelan bisa diganti dengan musik, teater, senirupa dan tentu saja sastra.
Seni rupa abad 8 – 10 Hindu Jawa menghasilkan pahatan realis pada Borobudur, Prambanan. Ketika bergeser ke Jawa Timur terutama abad 14 cenderung surrealis gaya wayang. Artinya, puncak-puncak pencapaian estetis sudah terlampaui yang di tangan konseptor barat stereotif maupun arketipnya menjadi demikian rumit ketika kita pelajari lagi. Dan terpenting, belum pernah ada upaya untuk melepaskan manusia dari keselarasan kosmos.
Boleh dikata kelemahan kita terletak pada kemampuan untuk merumuskan gagasan-gagasan yang kemudian celah itu diambil oleh barat. Kukira bukan kebetulan jika kemudian rumusan-rumusan itu lantas diputarbalikkan dan sanggup melumpuhkan akar dan spirit budaya asali. Fatalnya, selama berpuluh-puluh tahun kita dibuat terperangah olehnya. Politik kekuasaan dan industri media mempercepat usaha untuk menghapus serta melepas manusia Indonesia dari kejayaan masa silam serta keharmonisan masa depan.
Lantas kenapa sastra? Novel, misalnya? Sastra kita sastra dunia ketiga, memang terus tumbuh, lahir dan perkembangannya sangat mencurigakan. Semula kita cukup dibuat percaya bahwa subtansi novel adalah tokoh. Namun dari uraian di atas kepercayaan terhadap pelaku-pelaku jadi sumbang. Tokoh bukan segala-galanya. Karena itu tokoh dalam novel sah bila hanyalah pembuka jalan demi sejumlah penokohan lainnya. Tokoh tidak ambil pusing dengan sesuatu kenyataan fakta real peristiwa maupun imajiner.
Jadilah tokoh di situ digagas menyerupai tokoh ide, sepasukan pekerja yang memikul beban gagasan di pundak masing-masing. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh itu diperlakukan tidak sebagai layaknya manusia. Memang dia bukan manusia, melainkan cuma sepenggal korban. Tampak sekali pemahamannya perlu bergeser menjadi” bahwa ide lebih penting ketimbang tokoh. Bukankah sebuah novel bisa pula tanpa tokoh?
Dalam dunia ide, kita sangat percaya bahwa punya hak untuk memperlakukan secara bersama-sama keseluruhan teks, realitas, imajiner, fantasi (realis-surrealis-realisme magis?). Bukankah dari uraian di atas sebelumnya kita sama-sama memiliki akar sehingga kejadian apakah realitas atau imajiner haruslah mengandung arti pentingnya sendiri?
Sampai di sini cukup dimengerti pernyataan Milan Kundera, novel adalah prosa sintetis yang panjang yang didasarkan pada permainan dengan tokoh-tokoh yang diciptakan. Sintetis adalah keinginan novelis untuk memaknai subjeknya dari segala sisi dan dalam kelengkapannya yang paling penuh—esai, narasi, penggalan otobiografis, dan aliran, fantasi. Kekuatan sintetis novel sanggup mengkombinasikan segala hal ke dalam satu kesatuan tanggal. Tidak harus plot tapi tema.
Hanya saja, lagi-lagi yang meragukan ucapannya adalah ketika Kundera mengungkapkan novel tidak memaksakan apapun. Bahwa novel mencari dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bahwa dia tidak tahu mana tokohnya yang benar. Bahwa cerita dalam novelnya hanya ini berisi konfrontasi tokoh-tokoh karena dengan cara itu dia bisa mengajukan pertanyaan. Katanya, kebijakan novel berasal dari dimilikinya pertanyaan untuk segala hal.
***
KECURIGAAN sebagai pembaca lebih sebagai seorang ilmuwan yang harus menyikapi apriori setiap ilmu pengetahuan dan senantiasa menggugat, menyoal dan mendesak untuk membuktikannya. Namun demikian pembaca akan lebih menerima pernyataan dan pertanyaan Kundera itu sebagai upaya karena ketidakpahaman antara kenyataan dan fiksi atau kesulitan membedakan keduanya akibat terlalu kabur. Kenyataan menjadi fiksi atau fiksi menjadi kenyataan seperti terjadi di negeri ini semisal bagaimana kebutuhan berdusta terjadi dimana-mana. Karena itulah sah mengajukan pertanyaan-pertanyaan (lebih tepatnya gugatan) dengan metafora.
Di sini, lantas sah bila ada yang mempersoalkan realitas di luar teks dengan menyusun teks baru sastra. Boleh jadi “pertanyaan” menjadi sesuatu yang sama sekali baru artinya. Katakanlah ada spirit baru di situ—perjuangan untuk menjaga ingatan masa silam sembari memaknai kekinian demi menatap hari depan. Ada yang menemukan jalan menuju ke sana tidak dalam rupa-rupa persoalan pribadi, melainkan dalam bentuk persoalan ilmu pengetahuan, yakni dengan bahasa lain serupa ingatan kolektif. Meski kematian ide, kelupaan adalah masalah terbesar pribadi manusia, hilangnya masa silam sebagai bangsa, negeri, adalah kematian bersama yang hadir dalam kehidupan. Jadi dengan bahasa mistik: yang membuat kita takut pada kematian bukanlah masa depan tapi masa lalu.
Perihal ini F Budi Hardiman,filusuf dari STF Driyarkara melontarkan pernyataan bahwa sastra yang baik itu yang otonom dan memihak. Otonom dalam arti memiliki demensi rasionalitasnya sendiri yang akan mandul kalau diintervensi system administrasi politis dan manipulasi komersial. Otentitas itu menyangkut kemampuan reflektif karya seni terhadap hubungan pengalaman seniman dan standar nilai yang berlaku.
Dengan kata lain seni otonom itu memikhak para korban patologi modernitas. Sebetulnya Nirwan Dewanto tahun 1991 pernah menyusun konseptual pandangan kebudayaan dengan gemilang, yang sesungguhnya lebih mirip dari gabungan teori ideology John B Thomson dan Sosiologi Pengetahuan dari Peter L Berger yang dikembangkan sebelumnya di sini oleh sastrawan dan budayawan Kuntowijoyo.
Entah mengapa kemudian Nirwan Dewanto justru menjadi juru bicara paling agung dari gerakan postmodernisme di negeri ini yang sudah barang tentu di mataku harus dihadapi dengan kehati-hatian (ingat bila bangsa ini tak jadi lebih bersahaja dengan kebudayaannya, anda juga harus bertanggungjawab, Bung!) Bahkan tahun 2000, masa yang membuka pintu masuk abad 21, dalam sebuah pidato kebudayaannya, sastrawan Cina Gao Xingjian karena meraih hadiah Nobel, menyatakan dengan bahasa yang sangat bias menyebut sastra dingin—sastra yang tak punya kewajiban apa-apa terhadap rakyat jelata dan komunikasi antara penulis dan pembaca adalah komunikasi spiritual—adalah sastra yang akan melarikan diri untuk bertahan hidup, inilah sastra yang menolak untuk dicekik oleh masyarakat dalam pencariannya dalam keselamatan spiritual. Bias yang saya maksudkan karena di satu sisi tak punya kewajiban apa-apa namun di pihak lain menyediakan dirinya jadi sumur gagasan spiritual yang tak lain adalah ajaran Tao-nya.
Ada ruang kosong yang bisa jadi amat berbahaya di antara keduanya. Pertanyaannya: apakah Gao serta merta berubah wajah dirinya seperti Nietzsche yang sulit memahami manusia dari spesies hewan lantaran dorongan kodratnya untuk senantiasa ingin berkuasa? Di situ ada perbedaan mendasar antara kodrat dan fitrah. Bahwa manusia hidup dan hadir di bumi sebagai wakil dari pencipta, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan tidak untuk yang lain, apalagi untuk terus menjadi korban. Bahwa kebudayaan adalah spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Di sini jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kosmos. Dalam untaian kata sucinya, Tuhan tidak marah bila umatnya mengumpat sekalipun ke angkasa, itu bagi yang teraniaya.
Demikianlah, sebagai pribadi, sebagai pengarang dan sebagai ilmuwan, novel lahir karena dorongan kuat dan serangan hebat dalam bagian hidup untuk menyusun ke dalam jalinan kisah. Pendek kata, pengarang tidak mau mati ide. Pengarang harus berani mengakui sebagai manusia lahir cacat oleh pendahulu-pendahulunya. Boleh jadi apa yang dikerjakan sekarang ini telah lebih dulu dilahirkan sastrawan sebelumnya. Sehebat apapun karya sastranya mungkin bukan sesuatu yang benar-benar baru, karena orisinalitas di tengah hiruk pikuk zaman juga kian sulit ditemui dan dicari.
Boleh jadi, karya sastra yang dilahirkan pengarang, jauh lebih hebat dari karya sastrawan terdahulu, Steinback, Jose Rizal, Gorky, Tolstoy, Pasternak, Pramudya, Milan Kundera, apalagi Tahar Ben Jelloun, Naguib Mahfudz, Mishima, Marquez, Borges, Sindhunata, Centini, Mahabarata, Seribu Satu Malam. Dapat dikata karyanya terbarunya adalah sampah. Namun demikian tekad untuk sadar bahwa cukup karyanya sajalah yang cacat dan bukan diri pengarang atau setidaknya ia bisa mengurangi cacat dalam diri yang terbawa sejak lahir. Bayangkan betapa sebuah tragedi besar bakal terjadi bila pengarang tak lahirkan suatu karya. Sudah barangtentu dia cacat sebagai makhluk hidup karena mati ide.
Karena itulah dalam diri pengarang mengalir semacam pemahaman bahwa pengarang tidak percaya dengan karya terbaik. Baginya sebuah karya yang terbaik hanyalah karya yang belum lahir dan masih ada di dalam otak. Artinya, semua sastra itu misterius, tidak mustahil menyimpan niatan buruk, pembodohan, kebohongan, kejujuran di situ sulit dipertanggungjawabkan. Pengarang lebih cepat percaya pada karya sastra itu dibebani setumpuk obsesi, keserakahan, kemabukan, aksi tipu-tipu, target, cita-cita, dendam, gejolak dan sebagainya, keinginan popularitas terselubung penulis.
Tak cuma kepada penulis atau sastrawan lain, bahkan kepada karya sastranya sendiri pun pengarang juga harus menghadapinya dengan sikap apriori. Jadi satu-satunya amanah penulis itu terletak pada kemuliaannya dan kewajibannya untuk saling mengingatkan. Bahwa harus diaakui setelah karya terbarunya, masih ada sekian banyak obsesinya yang belum terwujud. []
*) Penulis adalah pengarang. Sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga) Surabaya.
S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
“Jadilah tokoh di situ digagas menyerupai tokoh ide, sepasukan pekerja yang memikul beban gagasan di pundak masing-masing. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh itu diperlakukan tidak sebagai layaknya manusia. Memang dia bukan manusia, melainkan cuma sepenggal korban. Tampak sekali pemahamannya perlu bergeser menjadi” bahwa ide lebih penting ketimbang tokoh.”
TULISAN ini tanpa mengurangi rasa hormat kawan-kawan, penikmat, pembaca, pendengar yang turut merayakan karya sastra. Sengaja penulis menggunakan idiom “merayakan” karena yakin sama-sama punya harapan besar dengan bersastra, semoga sanggup mewarnai khazanah negeri yang sering disebut dunia ketiga ini, demi menjadi warga sastra dunia.
Harapan ini bukan omong kosong, bukan impian dan bukan pula tanpa alasan. Apalagi bila dengan penuh kesadaran telah siap gagasan estetis maupun artistik pada setiap karya para pengarang, meskipun menyadari hal ini berarti harus menghadapi sejumlah masalah, lantaran bukan rahasia lagi bagi pengetahuan sejarah, sosial, filsafat maupun budaya sastra kita berada pada posisi kebimbangan konsep estetik.
Sastra kita dianggap kehilangan spirit untuk hidup dan menghidupi wilayah pengetahuan yang memang sangat terbuka diperdebatkan dan bahkan membuka diri untuk diperalat, didzolimi serta dijadikan bulan-bulanan ini. Sudah bisa diduga siapa pelakunya, tak lain adalah manusia.
Beruntung sekali (dan tentu saja curiga) kita mendapat istilah kebimbangan estetis itu di era tahun 1990-an dari seorang professor sejarah Asia Tenggara yang berdiam di Prancis—Profesor Dennys Lombard. Beruntung karena sebagai ilmuwan tentu saja dia jujur dan kita menyetujui pernyataannya. Sementara curiga dan menyisakan banyak sekali pertanyaan karena boleh jadi kita menangkap ada semacam standar ganda dalam pernyataannya, sebagaimana setiap teori barat yang secara ekstrem diyakini Al Ghazali tidak banyak berguna itu.
Sisa pertanyaan dari pernyataan Lombard adalah: bukankah Lombard juga penganut mondernitas yang banyak menelantarkan pelbagai hal (termasuk sastra) dan kemudian memasuki gerbang postmodernisme yang juga perlu diwaspadai itu?
Terus terang, banyak yang disetujui dan perlu angkat topi dengan kemampuan konseptual Lombard ketika menjelaskan isme kesenian termasuk sastra yang hidup di negeri seperti Indonesia, ideologi kesenian di Prancis merujuk karya, aliran yang punya tempat dan ruang tertentu dan waktu dengan posisi yang jelas masing-masing dalam kisi-kisi sejarahnya, mulai dari impresionisme, realisme sosialis, surealis dan sebagainya. Namun di sini sudah tersedia serempak. Ini pukulan hebat kepada seniman-sastrawan kita yang dengan bahasa lain sama artinya dengan “asal pasang urusan selesai” atau “daripada susah-susah pakai yang ada saja.”
Pramudya, Mochtar Lubis dituding sebagai pembawa modernitas. Putu Wijaya, Iwan Simatupang dan juga Budi Darma penganut wajah lain dari itu. Sementara karya-karya Danarto agak perkecualian karena Danarto sanggup meracik sufisme (Islam) Jawa ke dalam pandangan dunianya meski kelemahan di sana-sini, semisal logika mistis itu sendiri kadang-kadang masih dimaknai sebagaimana cara pandang logika modernitas.
Bukankah mitos itu memiliki logikanya sendiri, dan pandangan dunia Islam Danarto memunculkan banyak pertanyaaan universalisme sastra sebagai seni dan bukan agama?
Kiranya, orang yang tak kalah besarnya harus bertanggungjawab adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan sezamannya yang membawa suara baru arah susastra menuju penciptaan memasuki ruang pribadi yang dibuka sejak Hikayat Abdullah, cikal bakal malapetaka pelbagai ranah ilmu pengetahuan, sejarah, teknologi, sosial, filsafat yang mengasingkan manusia dari keberadaan semestanya.
Siapa yang salah? Karena manusia menjadi pusat semesta, manusia pula yang kemudian menjadi korbannya. Sebagaimana ilmu lainnya sastra yang tanpa dosa akhirnya menjadi tidak bermakna.
Maaf kalau terpaksa mengajak pembaca untuk bersikap romantis dan berjalan pada masa silam yang harus diakui sempat mengalami puncak-puncak estetis sebelum akhirnya jatuh tidak pernah tuntas, hilang lenyap karena didera masa depan yang agresif dan niscaya itu.
Sebagai orang Jawa, banyak yang telah tahu benar sebelum Lombard mendedahkan bagaimana Jawa mengenal keterkaitan hakiki jagad makrokosmos dan mikrokosmos. Bahwa ungkapan kesenian adalah sarana ungkapan keselarasan, penyeimbang, setiap kali tampak terancam. Manusia tak bisa dikeluarkan dari persekutuan masyarakatnya dan tak terpisahkan dari alam.
Rupanya perlu dicetak tebal kata “terancam” dan tugas pujangga tidak hanya melihat tetapi memaknai. Tanpa berusaha membebani makna berlebihan, hal itu terungkap sejak sastra anonim, mantra, puisi lama, dongeng, sastra suluk, pelbagai tembang Jawa dan puncaknya adalah wayang. Bahwa spirit untuk menjaga keutuhan kosmos dan harmoni jagad cilik jagad gedhe jadi lelaku hidup orang Jawa.
Sekali lagi maaf karena memang harus dibeberkan hal ini. Karena harus dilukiskan dengan sisa ingatan yang ada sembari mewaspadai ketakutan apa yang pernah dilontarkan komponis Slamet Abdul Sjukur bahwa kalau tidak hati-hati kita bisa belajar gamelan kepada barat. Kata gamelan bisa diganti dengan musik, teater, senirupa dan tentu saja sastra.
Seni rupa abad 8 – 10 Hindu Jawa menghasilkan pahatan realis pada Borobudur, Prambanan. Ketika bergeser ke Jawa Timur terutama abad 14 cenderung surrealis gaya wayang. Artinya, puncak-puncak pencapaian estetis sudah terlampaui yang di tangan konseptor barat stereotif maupun arketipnya menjadi demikian rumit ketika kita pelajari lagi. Dan terpenting, belum pernah ada upaya untuk melepaskan manusia dari keselarasan kosmos.
Boleh dikata kelemahan kita terletak pada kemampuan untuk merumuskan gagasan-gagasan yang kemudian celah itu diambil oleh barat. Kukira bukan kebetulan jika kemudian rumusan-rumusan itu lantas diputarbalikkan dan sanggup melumpuhkan akar dan spirit budaya asali. Fatalnya, selama berpuluh-puluh tahun kita dibuat terperangah olehnya. Politik kekuasaan dan industri media mempercepat usaha untuk menghapus serta melepas manusia Indonesia dari kejayaan masa silam serta keharmonisan masa depan.
Lantas kenapa sastra? Novel, misalnya? Sastra kita sastra dunia ketiga, memang terus tumbuh, lahir dan perkembangannya sangat mencurigakan. Semula kita cukup dibuat percaya bahwa subtansi novel adalah tokoh. Namun dari uraian di atas kepercayaan terhadap pelaku-pelaku jadi sumbang. Tokoh bukan segala-galanya. Karena itu tokoh dalam novel sah bila hanyalah pembuka jalan demi sejumlah penokohan lainnya. Tokoh tidak ambil pusing dengan sesuatu kenyataan fakta real peristiwa maupun imajiner.
Jadilah tokoh di situ digagas menyerupai tokoh ide, sepasukan pekerja yang memikul beban gagasan di pundak masing-masing. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh itu diperlakukan tidak sebagai layaknya manusia. Memang dia bukan manusia, melainkan cuma sepenggal korban. Tampak sekali pemahamannya perlu bergeser menjadi” bahwa ide lebih penting ketimbang tokoh. Bukankah sebuah novel bisa pula tanpa tokoh?
Dalam dunia ide, kita sangat percaya bahwa punya hak untuk memperlakukan secara bersama-sama keseluruhan teks, realitas, imajiner, fantasi (realis-surrealis-realisme magis?). Bukankah dari uraian di atas sebelumnya kita sama-sama memiliki akar sehingga kejadian apakah realitas atau imajiner haruslah mengandung arti pentingnya sendiri?
Sampai di sini cukup dimengerti pernyataan Milan Kundera, novel adalah prosa sintetis yang panjang yang didasarkan pada permainan dengan tokoh-tokoh yang diciptakan. Sintetis adalah keinginan novelis untuk memaknai subjeknya dari segala sisi dan dalam kelengkapannya yang paling penuh—esai, narasi, penggalan otobiografis, dan aliran, fantasi. Kekuatan sintetis novel sanggup mengkombinasikan segala hal ke dalam satu kesatuan tanggal. Tidak harus plot tapi tema.
Hanya saja, lagi-lagi yang meragukan ucapannya adalah ketika Kundera mengungkapkan novel tidak memaksakan apapun. Bahwa novel mencari dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bahwa dia tidak tahu mana tokohnya yang benar. Bahwa cerita dalam novelnya hanya ini berisi konfrontasi tokoh-tokoh karena dengan cara itu dia bisa mengajukan pertanyaan. Katanya, kebijakan novel berasal dari dimilikinya pertanyaan untuk segala hal.
***
KECURIGAAN sebagai pembaca lebih sebagai seorang ilmuwan yang harus menyikapi apriori setiap ilmu pengetahuan dan senantiasa menggugat, menyoal dan mendesak untuk membuktikannya. Namun demikian pembaca akan lebih menerima pernyataan dan pertanyaan Kundera itu sebagai upaya karena ketidakpahaman antara kenyataan dan fiksi atau kesulitan membedakan keduanya akibat terlalu kabur. Kenyataan menjadi fiksi atau fiksi menjadi kenyataan seperti terjadi di negeri ini semisal bagaimana kebutuhan berdusta terjadi dimana-mana. Karena itulah sah mengajukan pertanyaan-pertanyaan (lebih tepatnya gugatan) dengan metafora.
Di sini, lantas sah bila ada yang mempersoalkan realitas di luar teks dengan menyusun teks baru sastra. Boleh jadi “pertanyaan” menjadi sesuatu yang sama sekali baru artinya. Katakanlah ada spirit baru di situ—perjuangan untuk menjaga ingatan masa silam sembari memaknai kekinian demi menatap hari depan. Ada yang menemukan jalan menuju ke sana tidak dalam rupa-rupa persoalan pribadi, melainkan dalam bentuk persoalan ilmu pengetahuan, yakni dengan bahasa lain serupa ingatan kolektif. Meski kematian ide, kelupaan adalah masalah terbesar pribadi manusia, hilangnya masa silam sebagai bangsa, negeri, adalah kematian bersama yang hadir dalam kehidupan. Jadi dengan bahasa mistik: yang membuat kita takut pada kematian bukanlah masa depan tapi masa lalu.
Perihal ini F Budi Hardiman,filusuf dari STF Driyarkara melontarkan pernyataan bahwa sastra yang baik itu yang otonom dan memihak. Otonom dalam arti memiliki demensi rasionalitasnya sendiri yang akan mandul kalau diintervensi system administrasi politis dan manipulasi komersial. Otentitas itu menyangkut kemampuan reflektif karya seni terhadap hubungan pengalaman seniman dan standar nilai yang berlaku.
Dengan kata lain seni otonom itu memikhak para korban patologi modernitas. Sebetulnya Nirwan Dewanto tahun 1991 pernah menyusun konseptual pandangan kebudayaan dengan gemilang, yang sesungguhnya lebih mirip dari gabungan teori ideology John B Thomson dan Sosiologi Pengetahuan dari Peter L Berger yang dikembangkan sebelumnya di sini oleh sastrawan dan budayawan Kuntowijoyo.
Entah mengapa kemudian Nirwan Dewanto justru menjadi juru bicara paling agung dari gerakan postmodernisme di negeri ini yang sudah barang tentu di mataku harus dihadapi dengan kehati-hatian (ingat bila bangsa ini tak jadi lebih bersahaja dengan kebudayaannya, anda juga harus bertanggungjawab, Bung!) Bahkan tahun 2000, masa yang membuka pintu masuk abad 21, dalam sebuah pidato kebudayaannya, sastrawan Cina Gao Xingjian karena meraih hadiah Nobel, menyatakan dengan bahasa yang sangat bias menyebut sastra dingin—sastra yang tak punya kewajiban apa-apa terhadap rakyat jelata dan komunikasi antara penulis dan pembaca adalah komunikasi spiritual—adalah sastra yang akan melarikan diri untuk bertahan hidup, inilah sastra yang menolak untuk dicekik oleh masyarakat dalam pencariannya dalam keselamatan spiritual. Bias yang saya maksudkan karena di satu sisi tak punya kewajiban apa-apa namun di pihak lain menyediakan dirinya jadi sumur gagasan spiritual yang tak lain adalah ajaran Tao-nya.
Ada ruang kosong yang bisa jadi amat berbahaya di antara keduanya. Pertanyaannya: apakah Gao serta merta berubah wajah dirinya seperti Nietzsche yang sulit memahami manusia dari spesies hewan lantaran dorongan kodratnya untuk senantiasa ingin berkuasa? Di situ ada perbedaan mendasar antara kodrat dan fitrah. Bahwa manusia hidup dan hadir di bumi sebagai wakil dari pencipta, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan tidak untuk yang lain, apalagi untuk terus menjadi korban. Bahwa kebudayaan adalah spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Di sini jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kosmos. Dalam untaian kata sucinya, Tuhan tidak marah bila umatnya mengumpat sekalipun ke angkasa, itu bagi yang teraniaya.
Demikianlah, sebagai pribadi, sebagai pengarang dan sebagai ilmuwan, novel lahir karena dorongan kuat dan serangan hebat dalam bagian hidup untuk menyusun ke dalam jalinan kisah. Pendek kata, pengarang tidak mau mati ide. Pengarang harus berani mengakui sebagai manusia lahir cacat oleh pendahulu-pendahulunya. Boleh jadi apa yang dikerjakan sekarang ini telah lebih dulu dilahirkan sastrawan sebelumnya. Sehebat apapun karya sastranya mungkin bukan sesuatu yang benar-benar baru, karena orisinalitas di tengah hiruk pikuk zaman juga kian sulit ditemui dan dicari.
Boleh jadi, karya sastra yang dilahirkan pengarang, jauh lebih hebat dari karya sastrawan terdahulu, Steinback, Jose Rizal, Gorky, Tolstoy, Pasternak, Pramudya, Milan Kundera, apalagi Tahar Ben Jelloun, Naguib Mahfudz, Mishima, Marquez, Borges, Sindhunata, Centini, Mahabarata, Seribu Satu Malam. Dapat dikata karyanya terbarunya adalah sampah. Namun demikian tekad untuk sadar bahwa cukup karyanya sajalah yang cacat dan bukan diri pengarang atau setidaknya ia bisa mengurangi cacat dalam diri yang terbawa sejak lahir. Bayangkan betapa sebuah tragedi besar bakal terjadi bila pengarang tak lahirkan suatu karya. Sudah barangtentu dia cacat sebagai makhluk hidup karena mati ide.
Karena itulah dalam diri pengarang mengalir semacam pemahaman bahwa pengarang tidak percaya dengan karya terbaik. Baginya sebuah karya yang terbaik hanyalah karya yang belum lahir dan masih ada di dalam otak. Artinya, semua sastra itu misterius, tidak mustahil menyimpan niatan buruk, pembodohan, kebohongan, kejujuran di situ sulit dipertanggungjawabkan. Pengarang lebih cepat percaya pada karya sastra itu dibebani setumpuk obsesi, keserakahan, kemabukan, aksi tipu-tipu, target, cita-cita, dendam, gejolak dan sebagainya, keinginan popularitas terselubung penulis.
Tak cuma kepada penulis atau sastrawan lain, bahkan kepada karya sastranya sendiri pun pengarang juga harus menghadapinya dengan sikap apriori. Jadi satu-satunya amanah penulis itu terletak pada kemuliaannya dan kewajibannya untuk saling mengingatkan. Bahwa harus diaakui setelah karya terbarunya, masih ada sekian banyak obsesinya yang belum terwujud. []
*) Penulis adalah pengarang. Sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga) Surabaya.
Gigitan Kritis “Penulis Nyamuk”
Bandung Mawardi
http://suaramerdeka.com/
Soe Hok Gie adalah “penulis nyamuk“. Arief Budiman menginformasikan bahwa Hok Gie memiliki kebiasaan tengah malam mengetik di ruang belakang rumah dalam gairah pemikiran dan renungan. Proses menulis itu ditemani atau direcoki oleh nyamuk dan lampu temaram. Keadaan ruang dan antusiasme menulis menjadi bukti heorik Hok Gie.
Nyamuk tidak bisa jadi alasan untuk tidak berpikir dan menulis. Nyamuk untuk orang lain adalah gangguan menyakitkan dan memancing emosi karena dengung dan gigitan. Hok Gie mungkin mengartikan nyamuk sebagai pirit dan kekuatan untuk menghasilkan ulisan menggigit dan menganggu pihak-pihak tertentu karena jadi sasaran kritik pedas dan lugas.
Tulisan-tulisan merek nyamuk dari Hok Gie bisa disimak melalui publikasi buku Catatan Seorang Demonstran, Di Bawah Lentera Merah, Zaman Peralihan, atau Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Tulisan-tulisan nyamuk justru mengena saat terpublikasikan melalui media Kompas, Sinar Harapan, Indonesia Raya, dan Mahasiswa Indonesia pada 1960-an.
Artikel atau reportase garapan Hok Gie kerap memikat pembaca dari kelas bawah sampai elite politik. Kekuatan nyamuk juga sanggup membuat para pejabat marah atau kalangan intelektual sengit menimpali dengan polemik.
Hok Gie memang legenda gairah keintelektualan dalam masa politik panas. Sikap kritis dan idealisme menjadi patokan untuk melakukan perlawanan, penyadaran, dan pencerahan dengan risiko kecaman, penjara, atau kematian. Hok Gie tidak melempem kendati represi politik telah memakan korban sekian kalangan intelektual, jurnalis, dan aktivis. Demonstrasi, artikel, diskusi, pendakian gunung, dan menonton film adalah realisasi memukau dari ambisi keintelektualan seorang pemuda dalam pelbagai dilema. Kesibukan itu mesti ditebus dengan keterasingan, kegagalan cinta, permusuhan, dan mencapai titik akhir pada kematian saat pendakian di Gunung Semeru.
Peristiwa kematian Hok Gie pada 16 Desember 1969 menjadi landasan untuk mengenangkan dan memetik hikmah biografis. Teman-teman Hok Gie memberi kesaksian dari ingatan-ingatan hampir punah.
Penelusuran jauh memang merepotkan tapi proses penulisan terus dilakukan agar ada pengekalan dan pewarisan catatan untuk siapa saja.
Penulisan pelbagai fragmen kehidupan Hok Gie dilakukan oleh pelbagai kalangan dengan niat memberi penghormatan dan memicu pembelajaran atas sosok-sosok fenomenal dalam impian menjadi Indonesia. Hok Gie adalah contoh dari persemaian spirit intelektual tanpa henti.
Antusiasme
Penerbitan buku ini mengesankan antusiasme membuka ruang ingatan atas peran intelektual dalam perbedaan latar zaman. Para penulis menulis dengan kesadaran atas tautan politik, ekonomi, pendidikan, sejarah, seni, keluarga, sastra, cinta, dan ekologi. Testimoni dari saksi hidup memang mencengangkan karena menjadi jalan mengenali sosok Hok Gie secara manusiawi dan penghindaran dari pengkultusan. Tulisan memukau disajikan oleh Kartini Sjahrir dengan titel “Surat Terbuka Ker Buat Gie.“ Tulisan dalam format surat ini menghadirkan sisi Gie dalam ambisi cinta dan pemikiran.
Kartini Sjahrir mengisahkan dengan intim, terbuka, dan mengejutkan terkait intimitas diri dengan Hok Gie ketika masa kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kenangan dan ingatan atas pelbagai pengharapan.
A Dahana sebagai karib memberi pujian: “So Hok Gie adalah seorang Indonesia sejati yang sudah melupakan identitasnya sebagai seorang keturunan Tionghoa.“ Pujian ini muncul karena keterbukaan Hok Gie untuk ikut memberi arti pada proses pembentukan Indonesia tanpa rasa minder atas persepsi minoritas. Proyek menjadi Indonesia seperti jadi impian suci bagi Gie. Aktivitas keintelektualan adalah jalan untuk mencapai impian.
Pembacaan atas Indonesia dilakukan dengan kritis dan keberanian melancarkan gugatan atas kebijakan rezim Orde Lama dan Orde Baru ketika menghinakan rakyat. Perlawanan adalah keniscayaan.
Takdir Hok Gie itu pun memberi gairah besar pada Riri Reza dan Mira Lesmana untuk mengabadikan dalam tafsir film. Dua orang ini ikut menyumbang tulisan sebagai apresiasi atas ketokohan Hok Gie untuk menyemaikan proyek Indonesia bagi kalangan muda. Nicholas Saputra sebagai pemeran Gie dalam film itu juga memberi tulisan bertajuk “Catatan Seorang Aktor“. Tulisan ini adalah representasi dari hikmah Hok Gie untuk menjadi spirit kalangan muda merawat dan menggerakan Indonesia menuju terang.
Kontribusi film Gie memang memberi pengaruh signifikan untuk melengkapi kesuntukan pembaca tulisan-tulisan Gie.
Mozaik
Buku ini merupakan mozaik Gie karena menghadirkan tulisan-tulisan dari pelbagai kalangan dalam perspektif pluralistik. Pembaca diajak menikmati pelbagai tulisan dengan bumbu, aroma, dan kelezatan berbeda dari para kontributor: Rudy Badil, Jakob Oetama, Der Soz Gumilar Rusliwa Somantri, John Maxwell, Jimmy Harianto, Herman O Lantang, Cut Dewi Septisari, Luki Sutrisno Bekti, Ben Anderson, Hilmar Farid, Stanley Adi Prasetyo, dan lain-lain. Tulisan-tulisan Hok-gie di pelbagai koran juga turut dimuat dalam bagian akhir untuk mengantarkan pembaca pada afirmasi spirit keintelektualan secara kritis dan reflektif.
Hok-gie memang telah mati. Warisan tulisan dan pemikiran tentu memberi pada proyek menjadi Indonesia. Kematian Gie pada usia menjelang 27 tahun telah membuka sekian jalan untuk pembelajaran publik mengenai pelbagai hal terkait dengan eksistensi manusia, keindonesiaan, kekuatan nalar, nasionalisme, humanisme, dan lain-lain. Gie seperti memenuhi hikmah dari seorang filsuf Yunani: “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.“ Silakan mengenang Gie.
http://suaramerdeka.com/
Soe Hok Gie adalah “penulis nyamuk“. Arief Budiman menginformasikan bahwa Hok Gie memiliki kebiasaan tengah malam mengetik di ruang belakang rumah dalam gairah pemikiran dan renungan. Proses menulis itu ditemani atau direcoki oleh nyamuk dan lampu temaram. Keadaan ruang dan antusiasme menulis menjadi bukti heorik Hok Gie.
Nyamuk tidak bisa jadi alasan untuk tidak berpikir dan menulis. Nyamuk untuk orang lain adalah gangguan menyakitkan dan memancing emosi karena dengung dan gigitan. Hok Gie mungkin mengartikan nyamuk sebagai pirit dan kekuatan untuk menghasilkan ulisan menggigit dan menganggu pihak-pihak tertentu karena jadi sasaran kritik pedas dan lugas.
Tulisan-tulisan merek nyamuk dari Hok Gie bisa disimak melalui publikasi buku Catatan Seorang Demonstran, Di Bawah Lentera Merah, Zaman Peralihan, atau Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Tulisan-tulisan nyamuk justru mengena saat terpublikasikan melalui media Kompas, Sinar Harapan, Indonesia Raya, dan Mahasiswa Indonesia pada 1960-an.
Artikel atau reportase garapan Hok Gie kerap memikat pembaca dari kelas bawah sampai elite politik. Kekuatan nyamuk juga sanggup membuat para pejabat marah atau kalangan intelektual sengit menimpali dengan polemik.
Hok Gie memang legenda gairah keintelektualan dalam masa politik panas. Sikap kritis dan idealisme menjadi patokan untuk melakukan perlawanan, penyadaran, dan pencerahan dengan risiko kecaman, penjara, atau kematian. Hok Gie tidak melempem kendati represi politik telah memakan korban sekian kalangan intelektual, jurnalis, dan aktivis. Demonstrasi, artikel, diskusi, pendakian gunung, dan menonton film adalah realisasi memukau dari ambisi keintelektualan seorang pemuda dalam pelbagai dilema. Kesibukan itu mesti ditebus dengan keterasingan, kegagalan cinta, permusuhan, dan mencapai titik akhir pada kematian saat pendakian di Gunung Semeru.
Peristiwa kematian Hok Gie pada 16 Desember 1969 menjadi landasan untuk mengenangkan dan memetik hikmah biografis. Teman-teman Hok Gie memberi kesaksian dari ingatan-ingatan hampir punah.
Penelusuran jauh memang merepotkan tapi proses penulisan terus dilakukan agar ada pengekalan dan pewarisan catatan untuk siapa saja.
Penulisan pelbagai fragmen kehidupan Hok Gie dilakukan oleh pelbagai kalangan dengan niat memberi penghormatan dan memicu pembelajaran atas sosok-sosok fenomenal dalam impian menjadi Indonesia. Hok Gie adalah contoh dari persemaian spirit intelektual tanpa henti.
Antusiasme
Penerbitan buku ini mengesankan antusiasme membuka ruang ingatan atas peran intelektual dalam perbedaan latar zaman. Para penulis menulis dengan kesadaran atas tautan politik, ekonomi, pendidikan, sejarah, seni, keluarga, sastra, cinta, dan ekologi. Testimoni dari saksi hidup memang mencengangkan karena menjadi jalan mengenali sosok Hok Gie secara manusiawi dan penghindaran dari pengkultusan. Tulisan memukau disajikan oleh Kartini Sjahrir dengan titel “Surat Terbuka Ker Buat Gie.“ Tulisan dalam format surat ini menghadirkan sisi Gie dalam ambisi cinta dan pemikiran.
Kartini Sjahrir mengisahkan dengan intim, terbuka, dan mengejutkan terkait intimitas diri dengan Hok Gie ketika masa kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kenangan dan ingatan atas pelbagai pengharapan.
A Dahana sebagai karib memberi pujian: “So Hok Gie adalah seorang Indonesia sejati yang sudah melupakan identitasnya sebagai seorang keturunan Tionghoa.“ Pujian ini muncul karena keterbukaan Hok Gie untuk ikut memberi arti pada proses pembentukan Indonesia tanpa rasa minder atas persepsi minoritas. Proyek menjadi Indonesia seperti jadi impian suci bagi Gie. Aktivitas keintelektualan adalah jalan untuk mencapai impian.
Pembacaan atas Indonesia dilakukan dengan kritis dan keberanian melancarkan gugatan atas kebijakan rezim Orde Lama dan Orde Baru ketika menghinakan rakyat. Perlawanan adalah keniscayaan.
Takdir Hok Gie itu pun memberi gairah besar pada Riri Reza dan Mira Lesmana untuk mengabadikan dalam tafsir film. Dua orang ini ikut menyumbang tulisan sebagai apresiasi atas ketokohan Hok Gie untuk menyemaikan proyek Indonesia bagi kalangan muda. Nicholas Saputra sebagai pemeran Gie dalam film itu juga memberi tulisan bertajuk “Catatan Seorang Aktor“. Tulisan ini adalah representasi dari hikmah Hok Gie untuk menjadi spirit kalangan muda merawat dan menggerakan Indonesia menuju terang.
Kontribusi film Gie memang memberi pengaruh signifikan untuk melengkapi kesuntukan pembaca tulisan-tulisan Gie.
Mozaik
Buku ini merupakan mozaik Gie karena menghadirkan tulisan-tulisan dari pelbagai kalangan dalam perspektif pluralistik. Pembaca diajak menikmati pelbagai tulisan dengan bumbu, aroma, dan kelezatan berbeda dari para kontributor: Rudy Badil, Jakob Oetama, Der Soz Gumilar Rusliwa Somantri, John Maxwell, Jimmy Harianto, Herman O Lantang, Cut Dewi Septisari, Luki Sutrisno Bekti, Ben Anderson, Hilmar Farid, Stanley Adi Prasetyo, dan lain-lain. Tulisan-tulisan Hok-gie di pelbagai koran juga turut dimuat dalam bagian akhir untuk mengantarkan pembaca pada afirmasi spirit keintelektualan secara kritis dan reflektif.
Hok-gie memang telah mati. Warisan tulisan dan pemikiran tentu memberi pada proyek menjadi Indonesia. Kematian Gie pada usia menjelang 27 tahun telah membuka sekian jalan untuk pembelajaran publik mengenai pelbagai hal terkait dengan eksistensi manusia, keindonesiaan, kekuatan nalar, nasionalisme, humanisme, dan lain-lain. Gie seperti memenuhi hikmah dari seorang filsuf Yunani: “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.“ Silakan mengenang Gie.
Sumbang Saran Kritik Seni
Baridul Islam Pr
http://www.sinarharapan.co.id/
Membaca kritik sastra yang ditulis Binhad Nurrohmat, Budi Darma, Satmoko Budi Santoso dan Edy AFN yang termuat dalam segmen Seni di Harian Kompas minggu di bulan Mei-Juni 2003 membuat perdebatan sastra dan kritiknya kembali menarik untuk dilakukan. Begitu juga dengan tulisan penyair Ajip Rosidi yang berjudul: ”Hanya Dijadikan Obyek” (Kompas, 29/6/2003). Dari kedua macam kritik sastra dan seni tersebut penulis mencoba menarik dua kesimpulan awal. Kesimpulan pertama, pada karya kritik sastra yang dibuat oleh ke empat penulis di awal menitikberatkan kritiknya pada para pekerja seni (penyair, seniman, sastrawan) di lain sisi berbalik dengan apa yang dilakukan oleh Ajip Rosidi yang mengkritik para intelektual terhadap perlakuannya pada para seniman. Meski Kompas mungkin tidak memaksudkan untuk mem-versus-kan kedua wacana di atas, secara nyata terlihat adanya relasi demikian. Yang satu bertema (perspektif) intelektual menggugat pekerja seni, satunya lagi pekerja seni gugat intelektual.
Kesimpulan kedua bahwa kedua macam tulisan di atas saling merisaukan keberadaan masing-masing: intelektual risau jika pekerja seni hanya menjadikan dirinya sebagai kritikus yang sekadar melegitimasi kepentingan pekerja seni untuk ”bekerja mencari nafkah”, di lain sisi gugatan pekerja seni adalah mereka hanya dijadikan objek penelitian bagi para intelektual yang juga untuk ”bekerja mencari nafkah”.
Dari kedua kesimpulan awal yang juga menjadi bagian dari kerja evaluasi terhadap dua bentuk tulisan terdahulu (penulis mengandaikan bahwa kedua bentuk tulisan di atas merupakan kerja reflektif dan aksi, dan posisi tulisan ini sebagai evaluasi terhadap kerja-kerja terdahulu), tulisan kali ini akan mencoba menawarkan sebuah gagasan untuk mendialogkan kedua kepentingan di atas sehingga secara bersama akan didapatkan perubahan yang lebih baik, tidak hanya untuk win-win solution bagi keduanya tetapi juga manfaat bagi siapa pun yang terkena imbas darinya (pembaca kritik dan para pencinta seni).
Merombak Paradigma Pikir
Thomas F. Khun menyebut paradigma sebagai kerangka berpikir, dan kerangka berpikir seseorang sangat mempengaruhi perbuatannya, demikian Mansour Fakih meneruskan. Banyak ragam pemetaan paradigma, di antaranya adalah yang dilontarkan Giroux dan Arenowitz. Menurut mereka ada tiga jenis paradigma, pertama adalah paradigma konservatif. Paradigma ini menyandarkan dirinya pada cara berpikir yang melihat segala sesuatu merupakan takdir Tuhan. Dalam perkembangan berikutnya paradigma ini beranggapan bahwa segalanya sudah terberi, muncul dengan seketika dan alamiah. Karena semuanya ”sudah demikian adanya”, maka penganut cara berpikir demikian akan pasrah melihat realitas, tidak mau berubah dan bila menjadi penguasa, ia akan terus berupaya mempertahankan kekuasaannya. Dalam kehidupan keseharian, penganutnya sering berucap: ”wah gimana lagi, sudah takdirnya saya seperti ini”, untuk para penguasa, maka ia akan berujar: ”kekuasaan yang dia peroleh berasal dari Tuhan atau keturunan yang sah sehingga tak boleh tergantikan kecuali oleh keturunan yang sah pula”; dalam kancah seniƱjuga termasuk di dalamnya sastra—para seniman yang demikian berkecenderungan memiliki cara berpikir yang mendukung keberadaan penguasa dan sangat mengandalkan kepada bakat alamiah, serta modal keturunan trah seniman.
Kedua, paradigma liberal-reformis. Aliran ini menaruh latar pada cara berpikir yang monolog, linear, prestasi, persaingan, menghakimi kesalahan pada si manusia. Freire membahasakannya dengan kesadaran naif, yakni kesadaran yang berujung pada sikap acuh tak acuh dan cara melihat realitas sosial dan tidak berdasar pada kerangka analisis. Akibatnya, saat muncul realitas dominan seperti globalisasi yang beorientasi pada pasar, ia akan berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan merebut pasar dan buta akan keadaan sekelilingnya. Paradigma yang sekadar ingin memperbaiki ini sering lupa dan/atau sengaja melupakan bahwa realitas dominan yang tercipta adalah rekaan dari kepentingan besar yang dibangun oleh sekelompok kecil pemegang kapital. Dalam kehidupan keseharian, aliran ini sangat dominan dan muncul dengan jargon-jargon utama: ”dalam rangka persaingan di era globalisasi, maka siapkanlah diri Anda untuk berpacu dengan waktu dengan meraih prestasi lewat penguasaan bahasa Inggris dan internet di …….(biasanya belakangnya adalah iklan dari si pembuat jargon)”. Jika ia menjadi penguasa maka berkecenderungan mengikuti arus dominan tanpa reserve dan sekadar melakukan perubahan kosmetik. Seorang seniman yang menganut cara pikir demikian akan menghambur-hamburkan karyanya untuk produksi dalam rangka memenuhi selera dan kehendak pasar (untuk lebih lanjut lihat Kompas Minggu yang memuat perdebatan seputar seniman seni rupa yang terbit bulan Januari-Maret 2003) .
Selanjutnya adalah paradigma kritis. Paradigma ini melihat bahwa realitas yang tercipta saat ini merupakan hasil penciptaan yang sistematis, terkonstruksi dan hegemonik. Lantas siapa yang menciptakannya? Melalui analisis sosial maka realitas yang tercipta akan mudah tampak dengan melihat siapa-siapa yang berperan dan seberapa jauh dia diuntungkan dalam lingkaran relasi tersebut. Keuntungan tersebut tidak hanya soal materi tetapi juga akses kekuasaan. Pada intinya paradigma ini melihat bahwa kesalahan terletak pada struktur kekuasaan yang hegemonik dan berorientasi pada pasar. Dalam keseharian, penganutnya akan terus-menerus gelisah untuk berpikir dan menyikapi kenyataan yang hadir, jika ia adalah seorang seniman maka kegelisahannya akan dituangkan dalam karya-karyanya, contoh di antaranya adalah Saman yang mengatasi sekat-sekat tabuisme, Ca Bau Kan dengan upaya melawan segala bentuk diskriminasi ras, Borobudur Agitatif sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan budaya kaum penguasa, komunitas seni lereng gunung Merapi-Merbabu sebagai buah karya perlawanan kultural rakyat yang terpinggirkan, dan kerja seni penyadaran yang dilakukan Moelyono dengan melakukan pendidikan membangun kesadaran kritis melalui media seni.
Metodologi Kritik
Setelah keduanya Ʊintelektual dan seniman— paham akan arti penting cara berpikir kritis maka kelanjutannya adalah bagaimana menghadirkan metodologi dalam melakukan kerja Ʊpenelitian dan atau pendidikan— budaya untuk memajukan pemikiran dan kesenian.
Metodologi penelitian yang dominan sampai saat ini banyak dipengaruhi oleh cara pikir positivistik (baca: konservatif atau liberal-reformis) yakni melihat realitas sebagaimana yang ditampilkan, bebas nilai, objektif. Cara berpikir demikian banyak mengadopsi cara pandang ilmu alam yang pasti, dalam perkembangan selanjutnya cara berpikir positivistik ini berimplikasi pada penggeneralisasian terhadap setiap kenyataan yang ada, selain itu melihat segala sesuatunya jauh dari kepentingan. Meski sebetulnya justru kepentingan itulah yang dipertahankan, sebagai misal: banyak pekerja seni kita yang tanpa sadar atau (pura-pura) tidak sadar terus-menerus memproduksi karyanya untuk kepentingan dan selera pasar sehingga ia tidak berpikir bahwa saat menuangkan suatu gagasan lewat karyanya maka si seniman akan mempengaruhi para penikmatnya.
Dalam perkembangannya mulai muncullah kritik terhadap dominasi positivistik, dengan memulainya melalui kerja budaya yang berasal dari kalangan bawah yang disesuaikan dengan realitas yang terjadi. Meminjam perkembangan penelitian desa yang ditulis Robert Chambers dan kemudian memodifikasinya dalam bentuk penelitian untuk para seniman dan karya-karyanya, penulis mencoba menawarkan gagasan belajar bersama untuk transformasi sosial berupa pendidikan penyadaran yang merupakan kritik atas metodologi penelitian sebelumnya. Untuk lebih sistematis dalam melihat perbedaan tersebut lihatlah skema berikut:
Melakukan Aksi
Setelah terjadi pemahaman bersama tentang bagaimana menjalankan metodologi pendidikan penyadaran selanjutnya adalah secara bersama-sama pemahaman yang ada dituangkan dalam kerja-kerja berupa aksi, seperti Moelyono yang bersama-sama dengan anak-anak di SD Kebonsari, Punung, Pacitan berkesenian (gambar, puisi dan lagu) untuk menggambarkan problem yang dihadapi, membahasnya dalam diskusi dan hasilnya berupa ide-ide untuk memperbaiki kualitas hidup. Dengan seni penyadaran inilah Moelyono mencoba menggugah kesadaran anak untuk memahami realitas sosial yang ada di sekelilingnya. Selain peningkatan daya kreatif dan kritis buat anak, apa yang mereka lakukan juga berimbas pada orang tua mereka, di mana orang tua jika ingin berkumpul membahas kondisi ketertindasannya menggunakan gamelan sebagaimana anak menggunakan gambar, puisi dan syair lagu. Dengan demikian misi penyadaran melalui seni bukan sebagai corong propaganda yang tidak berestetika, tetapi ruang belajar bersama untuk transformasi sosial yang mengandung nilai-nilai estetik.
Dan jika kita runut ke belakang, maka ”isu lama, dengan kemasan baru”, dan perdebatan tiada henti antara LEKRA (baca: corong propaganda) dan MANIKEBU (baca: seni untuk estetika) dapat sementara terselesaikan lewat kerja budaya yang salah satunya dilakukan oleh Moelyono dan beberapa lainnya adalah para seniman lereng Merapi-Merbabu dengan simbol: ”Transformasi Sosial, YES, Estetika, YES”.
*) Penulis adalah Direktur Institut Kebudayaan Banyumas (IKB) dan periset New Social Movement, alumnus Sosiologi, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
http://www.sinarharapan.co.id/
Membaca kritik sastra yang ditulis Binhad Nurrohmat, Budi Darma, Satmoko Budi Santoso dan Edy AFN yang termuat dalam segmen Seni di Harian Kompas minggu di bulan Mei-Juni 2003 membuat perdebatan sastra dan kritiknya kembali menarik untuk dilakukan. Begitu juga dengan tulisan penyair Ajip Rosidi yang berjudul: ”Hanya Dijadikan Obyek” (Kompas, 29/6/2003). Dari kedua macam kritik sastra dan seni tersebut penulis mencoba menarik dua kesimpulan awal. Kesimpulan pertama, pada karya kritik sastra yang dibuat oleh ke empat penulis di awal menitikberatkan kritiknya pada para pekerja seni (penyair, seniman, sastrawan) di lain sisi berbalik dengan apa yang dilakukan oleh Ajip Rosidi yang mengkritik para intelektual terhadap perlakuannya pada para seniman. Meski Kompas mungkin tidak memaksudkan untuk mem-versus-kan kedua wacana di atas, secara nyata terlihat adanya relasi demikian. Yang satu bertema (perspektif) intelektual menggugat pekerja seni, satunya lagi pekerja seni gugat intelektual.
Kesimpulan kedua bahwa kedua macam tulisan di atas saling merisaukan keberadaan masing-masing: intelektual risau jika pekerja seni hanya menjadikan dirinya sebagai kritikus yang sekadar melegitimasi kepentingan pekerja seni untuk ”bekerja mencari nafkah”, di lain sisi gugatan pekerja seni adalah mereka hanya dijadikan objek penelitian bagi para intelektual yang juga untuk ”bekerja mencari nafkah”.
Dari kedua kesimpulan awal yang juga menjadi bagian dari kerja evaluasi terhadap dua bentuk tulisan terdahulu (penulis mengandaikan bahwa kedua bentuk tulisan di atas merupakan kerja reflektif dan aksi, dan posisi tulisan ini sebagai evaluasi terhadap kerja-kerja terdahulu), tulisan kali ini akan mencoba menawarkan sebuah gagasan untuk mendialogkan kedua kepentingan di atas sehingga secara bersama akan didapatkan perubahan yang lebih baik, tidak hanya untuk win-win solution bagi keduanya tetapi juga manfaat bagi siapa pun yang terkena imbas darinya (pembaca kritik dan para pencinta seni).
Merombak Paradigma Pikir
Thomas F. Khun menyebut paradigma sebagai kerangka berpikir, dan kerangka berpikir seseorang sangat mempengaruhi perbuatannya, demikian Mansour Fakih meneruskan. Banyak ragam pemetaan paradigma, di antaranya adalah yang dilontarkan Giroux dan Arenowitz. Menurut mereka ada tiga jenis paradigma, pertama adalah paradigma konservatif. Paradigma ini menyandarkan dirinya pada cara berpikir yang melihat segala sesuatu merupakan takdir Tuhan. Dalam perkembangan berikutnya paradigma ini beranggapan bahwa segalanya sudah terberi, muncul dengan seketika dan alamiah. Karena semuanya ”sudah demikian adanya”, maka penganut cara berpikir demikian akan pasrah melihat realitas, tidak mau berubah dan bila menjadi penguasa, ia akan terus berupaya mempertahankan kekuasaannya. Dalam kehidupan keseharian, penganutnya sering berucap: ”wah gimana lagi, sudah takdirnya saya seperti ini”, untuk para penguasa, maka ia akan berujar: ”kekuasaan yang dia peroleh berasal dari Tuhan atau keturunan yang sah sehingga tak boleh tergantikan kecuali oleh keturunan yang sah pula”; dalam kancah seniƱjuga termasuk di dalamnya sastra—para seniman yang demikian berkecenderungan memiliki cara berpikir yang mendukung keberadaan penguasa dan sangat mengandalkan kepada bakat alamiah, serta modal keturunan trah seniman.
Kedua, paradigma liberal-reformis. Aliran ini menaruh latar pada cara berpikir yang monolog, linear, prestasi, persaingan, menghakimi kesalahan pada si manusia. Freire membahasakannya dengan kesadaran naif, yakni kesadaran yang berujung pada sikap acuh tak acuh dan cara melihat realitas sosial dan tidak berdasar pada kerangka analisis. Akibatnya, saat muncul realitas dominan seperti globalisasi yang beorientasi pada pasar, ia akan berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan merebut pasar dan buta akan keadaan sekelilingnya. Paradigma yang sekadar ingin memperbaiki ini sering lupa dan/atau sengaja melupakan bahwa realitas dominan yang tercipta adalah rekaan dari kepentingan besar yang dibangun oleh sekelompok kecil pemegang kapital. Dalam kehidupan keseharian, aliran ini sangat dominan dan muncul dengan jargon-jargon utama: ”dalam rangka persaingan di era globalisasi, maka siapkanlah diri Anda untuk berpacu dengan waktu dengan meraih prestasi lewat penguasaan bahasa Inggris dan internet di …….(biasanya belakangnya adalah iklan dari si pembuat jargon)”. Jika ia menjadi penguasa maka berkecenderungan mengikuti arus dominan tanpa reserve dan sekadar melakukan perubahan kosmetik. Seorang seniman yang menganut cara pikir demikian akan menghambur-hamburkan karyanya untuk produksi dalam rangka memenuhi selera dan kehendak pasar (untuk lebih lanjut lihat Kompas Minggu yang memuat perdebatan seputar seniman seni rupa yang terbit bulan Januari-Maret 2003) .
Selanjutnya adalah paradigma kritis. Paradigma ini melihat bahwa realitas yang tercipta saat ini merupakan hasil penciptaan yang sistematis, terkonstruksi dan hegemonik. Lantas siapa yang menciptakannya? Melalui analisis sosial maka realitas yang tercipta akan mudah tampak dengan melihat siapa-siapa yang berperan dan seberapa jauh dia diuntungkan dalam lingkaran relasi tersebut. Keuntungan tersebut tidak hanya soal materi tetapi juga akses kekuasaan. Pada intinya paradigma ini melihat bahwa kesalahan terletak pada struktur kekuasaan yang hegemonik dan berorientasi pada pasar. Dalam keseharian, penganutnya akan terus-menerus gelisah untuk berpikir dan menyikapi kenyataan yang hadir, jika ia adalah seorang seniman maka kegelisahannya akan dituangkan dalam karya-karyanya, contoh di antaranya adalah Saman yang mengatasi sekat-sekat tabuisme, Ca Bau Kan dengan upaya melawan segala bentuk diskriminasi ras, Borobudur Agitatif sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan budaya kaum penguasa, komunitas seni lereng gunung Merapi-Merbabu sebagai buah karya perlawanan kultural rakyat yang terpinggirkan, dan kerja seni penyadaran yang dilakukan Moelyono dengan melakukan pendidikan membangun kesadaran kritis melalui media seni.
Metodologi Kritik
Setelah keduanya Ʊintelektual dan seniman— paham akan arti penting cara berpikir kritis maka kelanjutannya adalah bagaimana menghadirkan metodologi dalam melakukan kerja Ʊpenelitian dan atau pendidikan— budaya untuk memajukan pemikiran dan kesenian.
Metodologi penelitian yang dominan sampai saat ini banyak dipengaruhi oleh cara pikir positivistik (baca: konservatif atau liberal-reformis) yakni melihat realitas sebagaimana yang ditampilkan, bebas nilai, objektif. Cara berpikir demikian banyak mengadopsi cara pandang ilmu alam yang pasti, dalam perkembangan selanjutnya cara berpikir positivistik ini berimplikasi pada penggeneralisasian terhadap setiap kenyataan yang ada, selain itu melihat segala sesuatunya jauh dari kepentingan. Meski sebetulnya justru kepentingan itulah yang dipertahankan, sebagai misal: banyak pekerja seni kita yang tanpa sadar atau (pura-pura) tidak sadar terus-menerus memproduksi karyanya untuk kepentingan dan selera pasar sehingga ia tidak berpikir bahwa saat menuangkan suatu gagasan lewat karyanya maka si seniman akan mempengaruhi para penikmatnya.
Dalam perkembangannya mulai muncullah kritik terhadap dominasi positivistik, dengan memulainya melalui kerja budaya yang berasal dari kalangan bawah yang disesuaikan dengan realitas yang terjadi. Meminjam perkembangan penelitian desa yang ditulis Robert Chambers dan kemudian memodifikasinya dalam bentuk penelitian untuk para seniman dan karya-karyanya, penulis mencoba menawarkan gagasan belajar bersama untuk transformasi sosial berupa pendidikan penyadaran yang merupakan kritik atas metodologi penelitian sebelumnya. Untuk lebih sistematis dalam melihat perbedaan tersebut lihatlah skema berikut:
Melakukan Aksi
Setelah terjadi pemahaman bersama tentang bagaimana menjalankan metodologi pendidikan penyadaran selanjutnya adalah secara bersama-sama pemahaman yang ada dituangkan dalam kerja-kerja berupa aksi, seperti Moelyono yang bersama-sama dengan anak-anak di SD Kebonsari, Punung, Pacitan berkesenian (gambar, puisi dan lagu) untuk menggambarkan problem yang dihadapi, membahasnya dalam diskusi dan hasilnya berupa ide-ide untuk memperbaiki kualitas hidup. Dengan seni penyadaran inilah Moelyono mencoba menggugah kesadaran anak untuk memahami realitas sosial yang ada di sekelilingnya. Selain peningkatan daya kreatif dan kritis buat anak, apa yang mereka lakukan juga berimbas pada orang tua mereka, di mana orang tua jika ingin berkumpul membahas kondisi ketertindasannya menggunakan gamelan sebagaimana anak menggunakan gambar, puisi dan syair lagu. Dengan demikian misi penyadaran melalui seni bukan sebagai corong propaganda yang tidak berestetika, tetapi ruang belajar bersama untuk transformasi sosial yang mengandung nilai-nilai estetik.
Dan jika kita runut ke belakang, maka ”isu lama, dengan kemasan baru”, dan perdebatan tiada henti antara LEKRA (baca: corong propaganda) dan MANIKEBU (baca: seni untuk estetika) dapat sementara terselesaikan lewat kerja budaya yang salah satunya dilakukan oleh Moelyono dan beberapa lainnya adalah para seniman lereng Merapi-Merbabu dengan simbol: ”Transformasi Sosial, YES, Estetika, YES”.
*) Penulis adalah Direktur Institut Kebudayaan Banyumas (IKB) dan periset New Social Movement, alumnus Sosiologi, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Jumat, 19 Maret 2010
Pengantar dalam Menjelajahi Kitab Para Malaikat
Hasnan Bachtiar
http://www.sastra-indonesia.com/
Pengantar dalam menjelajahi Kitab Para Malaikat sebagai suatu karya sastra pada umumnya, adalah hendak mengurai apakah suatu teks berpotensi sebagai kebenaran, kendati bukan merupakan teks keagamaan?
Teks merupakan fenomena yang sedemikian kaya dengan ketakterbatasan makna. Hal ini berlaku bagi teks apapun termasuk teks keagamaan yang berdimensi sakralitas (Northrop Frye, The Great Code: the Bible and Literature). Tetapi pada intinya, teks-teks bahasa sebenarnya adalah sarana untuk mengungkapkan realitas dengan cara tertentu. Kendati demikian, bahasa – termasuk teks bahasa - memiliki fungsi lain selain fungsi umum tersebut, yaitu fungsi komunikatif, yang mengasumsikan adanya hubungan antara pembicara dengan sasaran bicara, dan antara pengirim dan penerima (Roman Jakobson, Linguistics and Poetics: 350).
Menanggapi pengertian tersebut, pada hakikatnya penulis tidak terlalu tergesa dalam menjelajahi ketakterbatasan makna-makna dari ritus-ritus, jejak-jejak, simbol-simbol dan pelbagai penampakan lain yang berserakan dalam ruang kosmos. Belum lagi adanya ceceran-ceceran kebenaran yang tak terjangkau oleh kekuatan intelegensia (Mohammed Arkoun, Islam: to Reform or to Subvert?: 15), sekaligus watak gradualisme interpretasi tanpa batas (Paul Ricoer, The Conflict of Interpretation: 289). Karena itu, kecenderungan penulis lebih kepada, apa yang menjadi persoalan utama dalam bahasa dan teks?
Sejak semula, Aristoteles menungkapkan ketidakmungkinan untuk membawa ide-ide nalar ke dalam keberadaan benda yang nyata. Alih-alih perlambang ontologis suatu benda, namun harus menggunakan namanya sebagai simbol. Konsekuensinya adalah tampil suatu anggapan bahwa apa yang terjadi dalam nama-nama terjadi pula dalam benda.
"It is impossible in a discussion to bring in the actual things discussed: we use their names as symbols instead of them; and therefore we suppose that what follows in the names, follows in the things as well, just as people who calculate suppose in regard to their counters. But the two cases (names and things) are not alike. For names are finite and so is the sum-total of formulae, while things are infinite in number" (Aristoteles, On Sophistical Refutations).
Inilah problem bahasa di satu sisi dan aktualisasi pengertian di sisi lain. Problematika semakin meningkat ketika Heidegger menulis bahwa, para pemikir sejak dahulu selalu memikirkan dan membicarakan suatu hal dan benda yang ada, namun di sisi lain melupakan ”ada” itu sendiri sebagai landasan dan merangkum segalanya (Martin Heidegger, Being and Times). Dari sini Derrida mengungkap kenyataan bahwa manusia tidak mengungkapkan diri dan malah tidak dapat bernalar kecuali melalui bahasa, tradisi kebahasaan dan tradisi teks tertentu. Dengan kata lain, manusia tidak dapat berpikir atau menulis apapun, kecuali merujuk pada tradisi pemikiran tertentu yang mengendap dan dilestarikan dalam sekian banyak teks yang saling berkaitan (Jacques Derrida, Dissemination). Karena itu, berangkat dari pembedaan antara pikiran (noesis) dengan yang dipikirkan (noema) oleh Hegel dan Husserl, suatu struktur interpretasi bukan lagi berpijak pada logos-ucapan-penulisan, tetapi pada logos-penulisan-ucapan (Gayatri Chakravorty Spivak, An Introduction to Jacques Derrida of Gramatology: 133-173).
Menarik mengamati Kitab Para Malaikat sebagai suatu karya monumental Nurel Javissyarqi, ketika dibenturkan dengan pelbagai problematika kebahasaan. Sebagai suatu teks yang otonom, kitab ini mengandung pelbagai nilai kosmos maupun representasi kosmos yang bisa dibaca oleh siapapun. Kondisi teks sebagai sebagai teks beserta kematian pengarangnya merupakan suatu syarat untuk lepas dari segala determinasi ide dan penjara struktur ide pengarangnya, termasuk pasungan pilihan-pilihan teori nalarnya. Pembacaan yang demikian diharapkan mampu menemukan suatu kondisi di mana kemurnian gagasan ditemukan tanpa terjebak dalam ideologi atau mitis yang hadir baik dengan kesengajaan ataupun semena-mena.
Berpijak pada postulat awal bahwa teks merupakan pintu logos dan kosmos sekaligus atau logos dan kosmos merupakan teks atau simbol sekaligus, melampaui dekonstruksi Derrida yang membongkar logosentrisme, bahwa teks-teks atau ayat-ayat dari Kitab Para Malaikat berpretensi memberi petanda terakhir (le signifie dernier). Sesungguhnya suatu petanda transendental, tidak hanya terbatas pada teks-teks keagamaan seperti pada asumsi Arkoun (Arkoun, ’Lecture de la Fatihah), namun juga terdapat pada teks apapun, walau tanpa berjubah sakralitas. Konsekuensinya, Hermes dan Avatar hanyalah seperangkat penunjang kebenaran, demi hakikat kebenaran itu sendiri sebagai ”ada”. Atau analoginya dalam Islam adalah, tinggal mengganti Hermes dengan Jibril dan Avatar dengan Muhammad. Jadi, petanda terakhir niscaya hadir dengan ataupun tanpa teks dan kosmos itulah teks yang sesungguhnya.
Demikianlah pengantar dalam menjelajahi Kitab Para Malaikat, diharapkan adanya ide-ide fenomenologis yang melampaui sekedar ide-ide kritis ini mampu meraup makna-makna yang bergentayangan dalam semesta, yang terungkap dari jejak-jejak yang berlari-lari tanpa henti, tak beraturan dan seringkali tak tertangkap oleh kekuatan intelegensia.
*) Koordinator Studi Linguistik dan Semiotika di Center for Religious and Social Studies (RĆ«SIST) Malang.
http://www.sastra-indonesia.com/
Pengantar dalam menjelajahi Kitab Para Malaikat sebagai suatu karya sastra pada umumnya, adalah hendak mengurai apakah suatu teks berpotensi sebagai kebenaran, kendati bukan merupakan teks keagamaan?
Teks merupakan fenomena yang sedemikian kaya dengan ketakterbatasan makna. Hal ini berlaku bagi teks apapun termasuk teks keagamaan yang berdimensi sakralitas (Northrop Frye, The Great Code: the Bible and Literature). Tetapi pada intinya, teks-teks bahasa sebenarnya adalah sarana untuk mengungkapkan realitas dengan cara tertentu. Kendati demikian, bahasa – termasuk teks bahasa - memiliki fungsi lain selain fungsi umum tersebut, yaitu fungsi komunikatif, yang mengasumsikan adanya hubungan antara pembicara dengan sasaran bicara, dan antara pengirim dan penerima (Roman Jakobson, Linguistics and Poetics: 350).
Menanggapi pengertian tersebut, pada hakikatnya penulis tidak terlalu tergesa dalam menjelajahi ketakterbatasan makna-makna dari ritus-ritus, jejak-jejak, simbol-simbol dan pelbagai penampakan lain yang berserakan dalam ruang kosmos. Belum lagi adanya ceceran-ceceran kebenaran yang tak terjangkau oleh kekuatan intelegensia (Mohammed Arkoun, Islam: to Reform or to Subvert?: 15), sekaligus watak gradualisme interpretasi tanpa batas (Paul Ricoer, The Conflict of Interpretation: 289). Karena itu, kecenderungan penulis lebih kepada, apa yang menjadi persoalan utama dalam bahasa dan teks?
Sejak semula, Aristoteles menungkapkan ketidakmungkinan untuk membawa ide-ide nalar ke dalam keberadaan benda yang nyata. Alih-alih perlambang ontologis suatu benda, namun harus menggunakan namanya sebagai simbol. Konsekuensinya adalah tampil suatu anggapan bahwa apa yang terjadi dalam nama-nama terjadi pula dalam benda.
"It is impossible in a discussion to bring in the actual things discussed: we use their names as symbols instead of them; and therefore we suppose that what follows in the names, follows in the things as well, just as people who calculate suppose in regard to their counters. But the two cases (names and things) are not alike. For names are finite and so is the sum-total of formulae, while things are infinite in number" (Aristoteles, On Sophistical Refutations).
Inilah problem bahasa di satu sisi dan aktualisasi pengertian di sisi lain. Problematika semakin meningkat ketika Heidegger menulis bahwa, para pemikir sejak dahulu selalu memikirkan dan membicarakan suatu hal dan benda yang ada, namun di sisi lain melupakan ”ada” itu sendiri sebagai landasan dan merangkum segalanya (Martin Heidegger, Being and Times). Dari sini Derrida mengungkap kenyataan bahwa manusia tidak mengungkapkan diri dan malah tidak dapat bernalar kecuali melalui bahasa, tradisi kebahasaan dan tradisi teks tertentu. Dengan kata lain, manusia tidak dapat berpikir atau menulis apapun, kecuali merujuk pada tradisi pemikiran tertentu yang mengendap dan dilestarikan dalam sekian banyak teks yang saling berkaitan (Jacques Derrida, Dissemination). Karena itu, berangkat dari pembedaan antara pikiran (noesis) dengan yang dipikirkan (noema) oleh Hegel dan Husserl, suatu struktur interpretasi bukan lagi berpijak pada logos-ucapan-penulisan, tetapi pada logos-penulisan-ucapan (Gayatri Chakravorty Spivak, An Introduction to Jacques Derrida of Gramatology: 133-173).
Menarik mengamati Kitab Para Malaikat sebagai suatu karya monumental Nurel Javissyarqi, ketika dibenturkan dengan pelbagai problematika kebahasaan. Sebagai suatu teks yang otonom, kitab ini mengandung pelbagai nilai kosmos maupun representasi kosmos yang bisa dibaca oleh siapapun. Kondisi teks sebagai sebagai teks beserta kematian pengarangnya merupakan suatu syarat untuk lepas dari segala determinasi ide dan penjara struktur ide pengarangnya, termasuk pasungan pilihan-pilihan teori nalarnya. Pembacaan yang demikian diharapkan mampu menemukan suatu kondisi di mana kemurnian gagasan ditemukan tanpa terjebak dalam ideologi atau mitis yang hadir baik dengan kesengajaan ataupun semena-mena.
Berpijak pada postulat awal bahwa teks merupakan pintu logos dan kosmos sekaligus atau logos dan kosmos merupakan teks atau simbol sekaligus, melampaui dekonstruksi Derrida yang membongkar logosentrisme, bahwa teks-teks atau ayat-ayat dari Kitab Para Malaikat berpretensi memberi petanda terakhir (le signifie dernier). Sesungguhnya suatu petanda transendental, tidak hanya terbatas pada teks-teks keagamaan seperti pada asumsi Arkoun (Arkoun, ’Lecture de la Fatihah), namun juga terdapat pada teks apapun, walau tanpa berjubah sakralitas. Konsekuensinya, Hermes dan Avatar hanyalah seperangkat penunjang kebenaran, demi hakikat kebenaran itu sendiri sebagai ”ada”. Atau analoginya dalam Islam adalah, tinggal mengganti Hermes dengan Jibril dan Avatar dengan Muhammad. Jadi, petanda terakhir niscaya hadir dengan ataupun tanpa teks dan kosmos itulah teks yang sesungguhnya.
Demikianlah pengantar dalam menjelajahi Kitab Para Malaikat, diharapkan adanya ide-ide fenomenologis yang melampaui sekedar ide-ide kritis ini mampu meraup makna-makna yang bergentayangan dalam semesta, yang terungkap dari jejak-jejak yang berlari-lari tanpa henti, tak beraturan dan seringkali tak tertangkap oleh kekuatan intelegensia.
*) Koordinator Studi Linguistik dan Semiotika di Center for Religious and Social Studies (RĆ«SIST) Malang.
Butet Kertaredjasa dan Tanda-tanda Jaman
Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/
Dalam konsep drama tragedi terdapat monolog, soliloque, dan aside. Masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda. Monolog merupakan perenungan terhadap peristiwa yang sedang menimpa sang tokoh. Dalam drama tragedi misalnya, sang tokoh biasanya berujar sendiri terhadap nasib yang menimpanya. Seperti Hamlet ketika berbicara sendiri setelah mendapat bisikan dari roh bapaknya, yang ternyata dibunuh oleh pamannya.
Dalam drama tragedi, monolog muncul disaat tokoh sedang mengalami krisis. Dalam hal ini sang tokoh berusaha menemukan kembali (discovery) kenyataan-kenyataan yang dia hadapi. Disaat penemuan kembali itulah nasibnya dipertaruhkan (peripetia). Sang tokoh menemukan titik baliknya, apakah akan menuju tragedi atau katarsis, hanya nasiblah yang tahu.
Kemunculan Butet Kertaredjasa, ketika puncak kekuasaan Orde Baru berada dalam krisis adalah sangat tepat. Pada saat itu, kehidupan sosial politik mengalami ketegangan. Dalam struktur drama tragedi disebut peripetia (titik balik) tadi. Dalam konsep itu terkandung pengertian, terjadi karena adanya penemuan kembali (discovery) dari avidya menjadi vidya, dari cinta menjadi benci, atau dari beruntung ke nasib buruk. (Bakdi Sumanto : 2001: 245).
Namun Butet Kertaredjasa bukanlah tokoh utama. Dia tokoh yang berada dipinggir panggung kekuasaan yang bersama ratusan juta rakyat Indonesia mengalami nasib yang sama. Dimana kehidupan demokrasi dikekang. Disaat seperti itu, ia muncul dengan tepat lewat naskah Lidah Pingsan (Agus Noor dan Indra Tranggono, 1997).
Sebagai bagian dari drama tragedi, monolog Butet melibatkan orang-orang dalam istana kekuasaan. Melalui tokoh-tokoh besar itulah drama tragedi bisa berlangsung. Monolog Butet merupakan ketegangan antara rakyat dan kekuatan kekuasaan.
Dalam ketegangan itulah, harapan dan kecemasan saling bersinggungan. Karena pada saat itu jarak antara hidup dan mati, antara nasib baik dan buruk, menjadi sangat nisbi. Antara kebenaran dan keburukan juga sangat rentan. Kemunculan Butet menjadi penanda irama tragika itu sedang menuju yang dinamakan peripetia tadi.
Dengan sangat cerdik, kemudian Agus Noor dan Indra Tranggono mencobakan kembali naskah monolognya, pada tahun 1998, ketika masa ketegangan itu mencapai puncaknya. Lidah Masih Pingsan (1998) menjadi pertunjukan yang satiris sekaligus tragis untuk mencari sebuah katarsis.
Namun sebagaimana alur drama tragedi, penemuan kembali (discovery) dan titik balik (peripetia) akan menjadi tidak berdaya, ketika nasib berbicara lain. Dan nasib itu bisa terbaca saat musim reformasi berlangsung. Saat itu penguasa dengan menggunakan kekuatan militernya mampu ‘memukul’ kekuatan rakyat. Inilah sumber konflik batin, yang menampilkan seorang tokoh besar menjadi megah sekaligus jalan menuju kehancurannya. Dan kita sudah melihat sendiri, korban politik berjatuhan.
Dalam konseb drama tragedi situasi semacam ini dinamakan harmatia (salah pilih). Sumber harmatia adalajh free will, yaitu kemerdekaan melakukan sesuatu (Bakdi Sumanto: 2001:254). Seperti diketahui penguasa memilih represif pada kekuatan rakyat. Mereka memilih membunuh, menghilangkan, dan menculik kaum reformis. Inilah masa akhir drama tragedi itu. Agus Noor dan Indra Tranggono menandainya dengan pentas monolog Butet, Mayat Terhormat (1999).
Matinya Toekang Kritik (Agus Noor, 2006) adalah masa jeda yang panjang setelah musim reformasi yang tak menemukan jawabannya. Selama masa jeda itu agenda reformasi hanya diisi dengan ‘debat kusir’ yang tak ada ujung pangkalnya. Banyak politisi karbitan. Banyak kritikus gadungan. Dan banyak pula penguasa-pengusa dadakan yang diuntungkan oleh nasib baik. Maka selama jeda panjang ini yang terjadi adalah sebuah rekayasa demokrasi, untuk melanggengkan kekuasaan.
Saya mencatat, Matinya Toekang Kritik adalah babak akhir –kalau boleh saya sebut- dari tetralogi monolog yang dibuat Agus Noor dan Indra Tranggono (Lidah Pingsan (1997), Lidah Masih Pingsan (1998), Mayat Terhormat (1999)) yang diperankan oleh Butet tersebut.
Bisa jadi, bagian akhir ini juga menandai berakhirnya sebuah harapan tentang demokrasi yang sehat. Matinya Toekang Kritik bukan mencerminkan sebuah kekuasaan yang telah berlaku adil dan tanpa celah untuk kritik, namun justru menggambarkan situasi membuncahnya kritik yang tanpa didasari oleh semangat demokratisasi.
Dalam hal ini saya teringat dengan cerpen Budi Darma, Kritikus Adinan, dan juga Pengarang Rasman. Kritik yang baik dan benar, telah terkubur hidup-hidup oleh kekuatan ‘rezim anti kritik.’ Kalau tukang kritik sudah mati (dibunuh), apa yang akan terjadi? Apakah mereka (kita) menyerah?
Ternyata Agus Noor dan Indra Tranggono tidak kehabisan (akal) energi. Mereka malanjutkan dengan naskah monolog Sarimin (2007) yang telah dipentaskan pada Art Summit (Jakarta 17-19 November), Purna Budaya (Yogjakarta, 26-27 November), dan di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (14-15 Desember).
Saya kira Sarimin bagian dari akibat salah pilih (membunuh kritik). Hukum tidak ditegakkan. Yang benar diganjar (dihukum), yang salah disembah. Logika menjadi terbolak-balik, tergantung kepentingannya. Karena itu dialog yang sangat menarik dan patut direnungkan dalam Sarimin, adalah ‘Karena benar, maka kamu salah.’
Begitulah, ketika kritik buntu, kejujuran menjadi sesuatu yang sangat mahal. Agus Noor, Indra Tranggono, Butet Kertaredjasa, mengajak kita untuk merenung di tengah hukum yang carut marut. Monolog-monolognya menjadi penanda, sekaligus renungan kala kekuasaan (hukum) tidak berlaku adil.
Penanda itu semakin jelas, ketika seorang petinggi kepolisian di Surabaya, mengancam monolog Butet akan dicekal karena terlalu kritis mengkritik intitusinya. Meski tidak jadi dicekal, kenyataan ini menegaskan bahwa tengara ‘empat jagoan’ (Agus Noor, Indra Tranggono, Butet Kertaredjasa, dan Jaduk Ferianto) menemukan jawabannya, bahwa yang benar (jujur) bisa menjadi ajur (salah) ketika kekuasaan (hukum) berkata salah.
Maka akhir drama tragedi bangsa ini tergantung dari hasil negoisasi antara kekuasaan dan rakyat. Tragedi ini akan berakhir indah, jika demokrasi ditegakan. Demokrasi bisa tegak kalau hukum berlaku adil. Jika tidak, maka negeri ini menjadi negeri Sarimin. Negeri komedi kera. Rakyat hanya dikeluh (diperintah) kesana-kemari, jungkir balik (berakrobat) demi nasib sang majikan. Dengan cerdik, kita telah ditunjukan oleh ‘empat jagoan’ dari Jogjakarta, bahwa kita tidak lebih baik dari kera, eh Sarimin.
*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.
http://teaterapakah.blogspot.com/
Dalam konsep drama tragedi terdapat monolog, soliloque, dan aside. Masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda. Monolog merupakan perenungan terhadap peristiwa yang sedang menimpa sang tokoh. Dalam drama tragedi misalnya, sang tokoh biasanya berujar sendiri terhadap nasib yang menimpanya. Seperti Hamlet ketika berbicara sendiri setelah mendapat bisikan dari roh bapaknya, yang ternyata dibunuh oleh pamannya.
Dalam drama tragedi, monolog muncul disaat tokoh sedang mengalami krisis. Dalam hal ini sang tokoh berusaha menemukan kembali (discovery) kenyataan-kenyataan yang dia hadapi. Disaat penemuan kembali itulah nasibnya dipertaruhkan (peripetia). Sang tokoh menemukan titik baliknya, apakah akan menuju tragedi atau katarsis, hanya nasiblah yang tahu.
Kemunculan Butet Kertaredjasa, ketika puncak kekuasaan Orde Baru berada dalam krisis adalah sangat tepat. Pada saat itu, kehidupan sosial politik mengalami ketegangan. Dalam struktur drama tragedi disebut peripetia (titik balik) tadi. Dalam konsep itu terkandung pengertian, terjadi karena adanya penemuan kembali (discovery) dari avidya menjadi vidya, dari cinta menjadi benci, atau dari beruntung ke nasib buruk. (Bakdi Sumanto : 2001: 245).
Namun Butet Kertaredjasa bukanlah tokoh utama. Dia tokoh yang berada dipinggir panggung kekuasaan yang bersama ratusan juta rakyat Indonesia mengalami nasib yang sama. Dimana kehidupan demokrasi dikekang. Disaat seperti itu, ia muncul dengan tepat lewat naskah Lidah Pingsan (Agus Noor dan Indra Tranggono, 1997).
Sebagai bagian dari drama tragedi, monolog Butet melibatkan orang-orang dalam istana kekuasaan. Melalui tokoh-tokoh besar itulah drama tragedi bisa berlangsung. Monolog Butet merupakan ketegangan antara rakyat dan kekuatan kekuasaan.
Dalam ketegangan itulah, harapan dan kecemasan saling bersinggungan. Karena pada saat itu jarak antara hidup dan mati, antara nasib baik dan buruk, menjadi sangat nisbi. Antara kebenaran dan keburukan juga sangat rentan. Kemunculan Butet menjadi penanda irama tragika itu sedang menuju yang dinamakan peripetia tadi.
Dengan sangat cerdik, kemudian Agus Noor dan Indra Tranggono mencobakan kembali naskah monolognya, pada tahun 1998, ketika masa ketegangan itu mencapai puncaknya. Lidah Masih Pingsan (1998) menjadi pertunjukan yang satiris sekaligus tragis untuk mencari sebuah katarsis.
Namun sebagaimana alur drama tragedi, penemuan kembali (discovery) dan titik balik (peripetia) akan menjadi tidak berdaya, ketika nasib berbicara lain. Dan nasib itu bisa terbaca saat musim reformasi berlangsung. Saat itu penguasa dengan menggunakan kekuatan militernya mampu ‘memukul’ kekuatan rakyat. Inilah sumber konflik batin, yang menampilkan seorang tokoh besar menjadi megah sekaligus jalan menuju kehancurannya. Dan kita sudah melihat sendiri, korban politik berjatuhan.
Dalam konseb drama tragedi situasi semacam ini dinamakan harmatia (salah pilih). Sumber harmatia adalajh free will, yaitu kemerdekaan melakukan sesuatu (Bakdi Sumanto: 2001:254). Seperti diketahui penguasa memilih represif pada kekuatan rakyat. Mereka memilih membunuh, menghilangkan, dan menculik kaum reformis. Inilah masa akhir drama tragedi itu. Agus Noor dan Indra Tranggono menandainya dengan pentas monolog Butet, Mayat Terhormat (1999).
Matinya Toekang Kritik (Agus Noor, 2006) adalah masa jeda yang panjang setelah musim reformasi yang tak menemukan jawabannya. Selama masa jeda itu agenda reformasi hanya diisi dengan ‘debat kusir’ yang tak ada ujung pangkalnya. Banyak politisi karbitan. Banyak kritikus gadungan. Dan banyak pula penguasa-pengusa dadakan yang diuntungkan oleh nasib baik. Maka selama jeda panjang ini yang terjadi adalah sebuah rekayasa demokrasi, untuk melanggengkan kekuasaan.
Saya mencatat, Matinya Toekang Kritik adalah babak akhir –kalau boleh saya sebut- dari tetralogi monolog yang dibuat Agus Noor dan Indra Tranggono (Lidah Pingsan (1997), Lidah Masih Pingsan (1998), Mayat Terhormat (1999)) yang diperankan oleh Butet tersebut.
Bisa jadi, bagian akhir ini juga menandai berakhirnya sebuah harapan tentang demokrasi yang sehat. Matinya Toekang Kritik bukan mencerminkan sebuah kekuasaan yang telah berlaku adil dan tanpa celah untuk kritik, namun justru menggambarkan situasi membuncahnya kritik yang tanpa didasari oleh semangat demokratisasi.
Dalam hal ini saya teringat dengan cerpen Budi Darma, Kritikus Adinan, dan juga Pengarang Rasman. Kritik yang baik dan benar, telah terkubur hidup-hidup oleh kekuatan ‘rezim anti kritik.’ Kalau tukang kritik sudah mati (dibunuh), apa yang akan terjadi? Apakah mereka (kita) menyerah?
Ternyata Agus Noor dan Indra Tranggono tidak kehabisan (akal) energi. Mereka malanjutkan dengan naskah monolog Sarimin (2007) yang telah dipentaskan pada Art Summit (Jakarta 17-19 November), Purna Budaya (Yogjakarta, 26-27 November), dan di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (14-15 Desember).
Saya kira Sarimin bagian dari akibat salah pilih (membunuh kritik). Hukum tidak ditegakkan. Yang benar diganjar (dihukum), yang salah disembah. Logika menjadi terbolak-balik, tergantung kepentingannya. Karena itu dialog yang sangat menarik dan patut direnungkan dalam Sarimin, adalah ‘Karena benar, maka kamu salah.’
Begitulah, ketika kritik buntu, kejujuran menjadi sesuatu yang sangat mahal. Agus Noor, Indra Tranggono, Butet Kertaredjasa, mengajak kita untuk merenung di tengah hukum yang carut marut. Monolog-monolognya menjadi penanda, sekaligus renungan kala kekuasaan (hukum) tidak berlaku adil.
Penanda itu semakin jelas, ketika seorang petinggi kepolisian di Surabaya, mengancam monolog Butet akan dicekal karena terlalu kritis mengkritik intitusinya. Meski tidak jadi dicekal, kenyataan ini menegaskan bahwa tengara ‘empat jagoan’ (Agus Noor, Indra Tranggono, Butet Kertaredjasa, dan Jaduk Ferianto) menemukan jawabannya, bahwa yang benar (jujur) bisa menjadi ajur (salah) ketika kekuasaan (hukum) berkata salah.
Maka akhir drama tragedi bangsa ini tergantung dari hasil negoisasi antara kekuasaan dan rakyat. Tragedi ini akan berakhir indah, jika demokrasi ditegakan. Demokrasi bisa tegak kalau hukum berlaku adil. Jika tidak, maka negeri ini menjadi negeri Sarimin. Negeri komedi kera. Rakyat hanya dikeluh (diperintah) kesana-kemari, jungkir balik (berakrobat) demi nasib sang majikan. Dengan cerdik, kita telah ditunjukan oleh ‘empat jagoan’ dari Jogjakarta, bahwa kita tidak lebih baik dari kera, eh Sarimin.
*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.
MENEGUK SEJARAH DAN FALSAFAH
Judul Buku : Bung Sultan
Pengarang : RPA Suryanto Sastroatmodjo
Jenis Buku : Bunga Rampai Esai
Penerbit : Adi Wacana, Juni 2008
Tebal Buku : xxxiv + 230 hlm; 15 x 21 cm
Peresensi : Imamuddin SA.
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Wartawan, penulis, sastrawan, budayawan dan siapa saja yang mengabdikan diri dalam bidang tulis-menulis, semuanya pastilah memunguti batu-batu peristiwa yang berserakan di tepian hidupnya untuk dijadikan konsep dasar karyanya dan sebagai suatu kesaksian kecil dalam sejarah kehidupan umat manusia. Meskipun bersikap kecil, jika batu-batu itu dikumpulkan secara terus-menerus, seseorang akan mampu membuat rumah sejarah, bukit sejarah, bahkan gunung sejarah.
Bung Sultan merupakan sebuah karya yang patut kita selami dan kita teguk setetes demi setetes bening air kesaksian serta pemikiran pengarangnya. Karya ini digurat dari serpihan peristiwa yang tertangkap oleh indrawi pengarangnya. Pengarangnya tidak lain adalah seorang tokoh yang fenomenal yang dimiliki bangsa ini, terlebih-lebih bagi keraton Yogyakarta. Dialah KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (Mas Sur).
Mas Sur adalah seorang redaktur surat kabar, sastrawan, serta budayawan. Dalam buku bunga rampai esai ini, beliau banyak menggoreskan falsafah hidup sebagai suatu wacana kehidupan bagi umat manusia. Selain itu, di dalamnya merupakan saksi sejarah bagi daerah Yogyakarta dan sekitarnya kala bergerak mengikuti siklus modernisasi. Falsafah-falsafah hidup dalam buku ini diracik sedemikian rupa yang diarahkan dan dibenturkan dengan kepribadian manusia, realitas fisik daerah Yogyakarta dan sekitarnya serta masyarakatnya. Fenomena tersebut juga dibumbui dengan khasanah kejawen pengarangnya selaku seorang Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan Raden Panji Anom (RPA).
Mas Sur dalam bunga rampai esai ini seolah mengingatkan kita semua akan hakekat hidup yang semestinya. Beliau menyatakan bahwa “Aja lali marang tetenger sing ana. Yen wus gumathok pathoke, yo ing kono kiwi kena digoleki punjere” (Jangan melupakan peninggalan yang ada. Manakala sudah jelas letak nisan yang dicari, maka akan lebih gampang mencari pusatnya. Apa yang disebut “tetenger” pada kalimat di atas adalah berarti sesuatu monumen yang ditinggalkan oleh tokoh tertentu yang dibanggakan oleh dunia seputar. “Pathok” yang divisualkan dalam bentuk batu nisan yang kukuh, secara langsung merupakan penunjuk dalam kehidupan di jagad ini, yang darinya suatu keturunan menapaki. Sedangkan “punjer” berarti pusat alias teleng dari nukilan sejarah yang berlangsung. Jika kita ingin sesuatu dari rantauan hakiki istilah ini, maka akan kita temukan perkataan “panjer” yang artinya senantiasa dipasang, digantungkan, dicantelkan, ditayangkan di pokoknya. Selain itu, dalam esainya yang berjudul “Jejak Menuju Cagak” beliau menegaskan definisi cagak yang gimaksus. Baginya, cagak merupakan suatu tiang-pancangan, bahkan juga berarti tonggak yang menandai suatu rangkaian peristiwa dalam kehidupan ini. Dengan kata lain, dengan menyebut adanya cagak pada kehidupan ini, agaknya manusia harus menyadari dua hal. Pertama, suatu kenangan terhadap sejarah yang berada di latar belakang, yang sekaligus sebagai kerangka tindaknya. Sedangkan yang kedua, suatu kesadaran yang lebih substansial, bahwasanya hidup ini berlangsung dari periode yang satu ke periode berikutnya, seraya mengembangkan jalur-jalur “kenerdekaan ruh”-nya”. Dengan kata lain, Mas Sur dalam nuku ini mengisyarahkan akan dua hal, yaitu kesejatian hidup dan sejarah kehidupan.
Buku Bung Sultan ini cocok dinikmati oleh mereka yang gandrung dengan wacana kebudayaan serta nilai-nilai falsafah hidup. Meskipun demikian, buku ini kurang cocok dikonsumsi oleh mereka yang berusia SLTA ke bahwah. Hal itu disebabkan oleh muatan buku ini yang terlalu berat dicerna oleh mereka yang seusia itu. Bisa jadi buku ini akan terasa membosankan bagi mereka dan malah memampatkan daya minat baca mereka terhadap buku ini.
Ada tujuh belas pokok bahasan dalam buku ini yang dirangkai dalam tujuh belas judul esai. Ketujuh belas judul tersebut adalah: “Tetenger, Punjer, dan Panjer”, Tapa Wuda Asinjang Rikma, Dari Tikungan yang Menuju Pertigaan, Sandiwara dan Sambiwara, Jejak-Jejak Menuju Cagak, Yang Melahap dan Yang Menggilas, Si Cacat yang Tanpa Cela, Ciri-Cira di Tengah Upacara, Tiada yang Hilang di Balik Watugilang, “Wara Ratna” Sri Pakubuwono IX, Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata, Yang Lingsir di Pesisir, Yang Semi di Praja Kejawen, “Sawingka Sih-ing Nugraha, Saretna Gurit Kuwasa”, “Bocah Among Pradah, Sepuh Angon Kewuh”, R.A. Kartini dan Kebudayaan, Sang Sinuwun dalam Buhul-Buhul Dimensi, Malioborodan Siklus Lingkungan: Dapatkah Model Penataan Renggaprajan Awet Bertahan?”. Selanjutnya; pemahaman tanpa rasa segalanya kan terengkuh tanpa makna. Dan akhirnya, selamat meneguk kedalaman bening air telaganya.
Pengarang : RPA Suryanto Sastroatmodjo
Jenis Buku : Bunga Rampai Esai
Penerbit : Adi Wacana, Juni 2008
Tebal Buku : xxxiv + 230 hlm; 15 x 21 cm
Peresensi : Imamuddin SA.
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Wartawan, penulis, sastrawan, budayawan dan siapa saja yang mengabdikan diri dalam bidang tulis-menulis, semuanya pastilah memunguti batu-batu peristiwa yang berserakan di tepian hidupnya untuk dijadikan konsep dasar karyanya dan sebagai suatu kesaksian kecil dalam sejarah kehidupan umat manusia. Meskipun bersikap kecil, jika batu-batu itu dikumpulkan secara terus-menerus, seseorang akan mampu membuat rumah sejarah, bukit sejarah, bahkan gunung sejarah.
Bung Sultan merupakan sebuah karya yang patut kita selami dan kita teguk setetes demi setetes bening air kesaksian serta pemikiran pengarangnya. Karya ini digurat dari serpihan peristiwa yang tertangkap oleh indrawi pengarangnya. Pengarangnya tidak lain adalah seorang tokoh yang fenomenal yang dimiliki bangsa ini, terlebih-lebih bagi keraton Yogyakarta. Dialah KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (Mas Sur).
Mas Sur adalah seorang redaktur surat kabar, sastrawan, serta budayawan. Dalam buku bunga rampai esai ini, beliau banyak menggoreskan falsafah hidup sebagai suatu wacana kehidupan bagi umat manusia. Selain itu, di dalamnya merupakan saksi sejarah bagi daerah Yogyakarta dan sekitarnya kala bergerak mengikuti siklus modernisasi. Falsafah-falsafah hidup dalam buku ini diracik sedemikian rupa yang diarahkan dan dibenturkan dengan kepribadian manusia, realitas fisik daerah Yogyakarta dan sekitarnya serta masyarakatnya. Fenomena tersebut juga dibumbui dengan khasanah kejawen pengarangnya selaku seorang Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan Raden Panji Anom (RPA).
Mas Sur dalam bunga rampai esai ini seolah mengingatkan kita semua akan hakekat hidup yang semestinya. Beliau menyatakan bahwa “Aja lali marang tetenger sing ana. Yen wus gumathok pathoke, yo ing kono kiwi kena digoleki punjere” (Jangan melupakan peninggalan yang ada. Manakala sudah jelas letak nisan yang dicari, maka akan lebih gampang mencari pusatnya. Apa yang disebut “tetenger” pada kalimat di atas adalah berarti sesuatu monumen yang ditinggalkan oleh tokoh tertentu yang dibanggakan oleh dunia seputar. “Pathok” yang divisualkan dalam bentuk batu nisan yang kukuh, secara langsung merupakan penunjuk dalam kehidupan di jagad ini, yang darinya suatu keturunan menapaki. Sedangkan “punjer” berarti pusat alias teleng dari nukilan sejarah yang berlangsung. Jika kita ingin sesuatu dari rantauan hakiki istilah ini, maka akan kita temukan perkataan “panjer” yang artinya senantiasa dipasang, digantungkan, dicantelkan, ditayangkan di pokoknya. Selain itu, dalam esainya yang berjudul “Jejak Menuju Cagak” beliau menegaskan definisi cagak yang gimaksus. Baginya, cagak merupakan suatu tiang-pancangan, bahkan juga berarti tonggak yang menandai suatu rangkaian peristiwa dalam kehidupan ini. Dengan kata lain, dengan menyebut adanya cagak pada kehidupan ini, agaknya manusia harus menyadari dua hal. Pertama, suatu kenangan terhadap sejarah yang berada di latar belakang, yang sekaligus sebagai kerangka tindaknya. Sedangkan yang kedua, suatu kesadaran yang lebih substansial, bahwasanya hidup ini berlangsung dari periode yang satu ke periode berikutnya, seraya mengembangkan jalur-jalur “kenerdekaan ruh”-nya”. Dengan kata lain, Mas Sur dalam nuku ini mengisyarahkan akan dua hal, yaitu kesejatian hidup dan sejarah kehidupan.
Buku Bung Sultan ini cocok dinikmati oleh mereka yang gandrung dengan wacana kebudayaan serta nilai-nilai falsafah hidup. Meskipun demikian, buku ini kurang cocok dikonsumsi oleh mereka yang berusia SLTA ke bahwah. Hal itu disebabkan oleh muatan buku ini yang terlalu berat dicerna oleh mereka yang seusia itu. Bisa jadi buku ini akan terasa membosankan bagi mereka dan malah memampatkan daya minat baca mereka terhadap buku ini.
Ada tujuh belas pokok bahasan dalam buku ini yang dirangkai dalam tujuh belas judul esai. Ketujuh belas judul tersebut adalah: “Tetenger, Punjer, dan Panjer”, Tapa Wuda Asinjang Rikma, Dari Tikungan yang Menuju Pertigaan, Sandiwara dan Sambiwara, Jejak-Jejak Menuju Cagak, Yang Melahap dan Yang Menggilas, Si Cacat yang Tanpa Cela, Ciri-Cira di Tengah Upacara, Tiada yang Hilang di Balik Watugilang, “Wara Ratna” Sri Pakubuwono IX, Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata, Yang Lingsir di Pesisir, Yang Semi di Praja Kejawen, “Sawingka Sih-ing Nugraha, Saretna Gurit Kuwasa”, “Bocah Among Pradah, Sepuh Angon Kewuh”, R.A. Kartini dan Kebudayaan, Sang Sinuwun dalam Buhul-Buhul Dimensi, Malioborodan Siklus Lingkungan: Dapatkah Model Penataan Renggaprajan Awet Bertahan?”. Selanjutnya; pemahaman tanpa rasa segalanya kan terengkuh tanpa makna. Dan akhirnya, selamat meneguk kedalaman bening air telaganya.
Sejarah Getir Etnis Tionghoa
Judul: Jalan Panjang Menjadi WNI, Catatan Pengalaman dan Tinjau Kritis
Penulis: Chris Verdiansyah
Kata Pengantar: Frans H Winarata
Penerbit: Buku Kompas
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: vii+236 halaman
Peresensi: Bernando J. Sujibto,
http://suaramerdeka.com/
ETNIS Tionghoa selama rezim Orde Baru mengalami tindak diskriminasi di bawah kendali pemerintah. Semua urusan yang berkaitan dengan kepentingan mereka ditutup akasesnya secara terselubung.
Rezim Orde Baru mempertanyakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang menyangkut dengan "WNI keturunan" (sebuah istilah ganjil dari zaman Orde Baru) atau "Asli Pribumi dan Nonpribumi" ketika berurusan dengan mereka.
Tindakan dan perlakuan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara terhadap warganya sendiri. Diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Rezim Orde Baru itu marupakan tindakan yang mengarah kepada keriskanan rasial yang berpotensi konflik SARA di tengah multikulturalisme bangsa Indonesia. Seperti disinyalir Frans H Winarta, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN), "sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru adalah bentuk nyata genosida kultural (cultural genocide)." (halaman 14).
Perlakuan diskriminatif itu tidak hanya dalam urusan pemerintahan. Tapi ironisnya rakyat juga ikut-ikutan membabi buta membabat dan memusuhi mereka baik secara terang-terangan atau secara "kultural". Kenyataan pahit yang menjadi catatan paling hitam etnis Tionghoa adalah ketika pada 1998 terjadi perusakan besar-besaran dan tindak amoral terhadap etnis Tionghoa terjadi.
Buku yang merupakan kumpulan dari catatan pengalaman getir ini membahas secara kritis hal-hal yang telah menjadi akar dehumanisasi bangsa Indonesia. Perjalanan menjadi WNI yang sangat ruwet dan sulit, karena undang-undang yang mengatur tidak transparan dan cenderung kacau pada masa Soeharto, dihadirkan dalam buku ini dengan bukti autentik dari pengalaman orang yang bersangkutan. Buku ini membeberkan fakta etnis Tionghoa yang harus memeras darah dan terbirit-birit untuk (hanya) diakui menjadi WNI dengan selembar bukti KTP dan SBKRI. Istilah "pribumi" dan "nonpribumi" menjadi sangat rigid pembahasannya dalam buku ini. Konsep ini pada Orde Baru menjadi sangat penting posisinya.
Tersendat
Buku ini juga membeberkan fakta yang dituturkan langsung salah satu etnis Tionghoa yang tersendat ketika mengurus dokumen, yaitu atlet Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma, sebagai kontingen Indonesia cabang bulutangkis dalam olimpiade Yunani, yang harus berurusan dengan pihak pemerintah. Meskipun Susi-Alan bisa membawa obor olimpiade dan akhirnya menang dengan meraih medali emas yang dipersembahklan untuk negara Indonesia, sebuah negara yang telah mempersulit dirinya, tapi memori hitam tentang pengurusan visa dan dokumen lain yang dipersulit itu menjadi ironi pada masa Orde Baru.
Di Surabaya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pun masih cukup kentara. Seperti dituturkan Liauw Djai Ming (59). Dia tidak pernah pergi jauh dari rumahnya di Jalan Tambaksegeran, Surabaya. Meskipun lahir dan tumbuh besar di Surabaya, Djai Ming tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) atapun kartu keluarga (KK). Setelah 57 tahun tinggal di Indonesia, Djai Ming masih dianggap warga negara asing.
Di Surabaya para korban diskriminasi itu akhirnya membentuk sebuah badan organisasi untuk memperkokoh keberadaan dan pengakuan etnis Tionghoa sebagai bagian dari warga Indonesia. Mereka bergabung dalam Solidaritas Anti Diskriminasi (SikaD) dan Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) (halaman 25).
Beberapa catatan getir itu adalah sebagian perlakuan diskriminatif rezim Orde Baru yang terekspos. Buku ini cukup banyak membeberkan fakta semacam itu dengan kritis dan transparan.
Angin Segar
Namun pada masa reformasi, etnis Tionghoa mendapatkan angin segar setelah pemerintah mencabut kebijakan-kebijakan deskriminatif terhadap etnis Tionghoa, yaitu antara lain (i) Keppres No 56/1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI); (ii) Keppres No 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina; (iii) Inpres 26/1998 tentang Penghapusan Penggunakan Istilah Pri dan Non Pri; (iv) Kepres No 19/2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional (halaman ix).
Akhirnya etnis Tionghoa perlahan mulai berani muncul di tengah masyarakat luas karena mereka sudah sedikit merasa aman dengan undang-undang yang melindungi. Persentase pemeluk Kong Hu Cu pun bertambah setelah pemerintah mencabut pelarangan atas kepercayaan tersebut pada tahun 2000, seperti, hak untuk memperingati Tahun Baru Cina (Imlek) secara terbuka. Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia (Matakin) memperkirakan bahwa 95 persen penganut Kong Hu Cu adalah warga keturunan Tionghoa yang setengahnya adalah suku Jawa. Banyak penganut Kong Hu Cu juga mempraktikkan ajaran agama Buddha dan Kristen. Matakin mendesak pemerintah untuk sekali lagi memasukkan penganut Kong Hu Cu dalam kategori sensus.
Angin segar itu pun terus bersambut tangan ketika kesadaran masyarakat tentang multikulturalisme suku dan bangsa tumbuh. Bukan hanya pengakuan sebagai WNI yang telah dengan transparan ditunjukkan pemerintah tetapi agama mayoritas Etnis Tionghoa, Kung Hu Cu, juga mendapatkan tempat yang setara dengan jajaran agama-agama yang telah sah di Indonesia. Pada Januari 2006 Menteri Agama mendeklerasikan Kung Hu Cu menjadi agama resmi ke enam di Indonesia.
Buku ini sangat penting dibaca oleh semua kalangan melihat sejarah getir etnis Tionghoa yang kurang banyak diekspos. Dengan buku ini kita akan menambah koleksi inventaris tentang "tragedi" bangsa khususnya etnis Tionghoa yang pernah menoreh sejarah getir di Indonesia.
Penulis: Chris Verdiansyah
Kata Pengantar: Frans H Winarata
Penerbit: Buku Kompas
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: vii+236 halaman
Peresensi: Bernando J. Sujibto,
http://suaramerdeka.com/
ETNIS Tionghoa selama rezim Orde Baru mengalami tindak diskriminasi di bawah kendali pemerintah. Semua urusan yang berkaitan dengan kepentingan mereka ditutup akasesnya secara terselubung.
Rezim Orde Baru mempertanyakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang menyangkut dengan "WNI keturunan" (sebuah istilah ganjil dari zaman Orde Baru) atau "Asli Pribumi dan Nonpribumi" ketika berurusan dengan mereka.
Tindakan dan perlakuan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara terhadap warganya sendiri. Diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Rezim Orde Baru itu marupakan tindakan yang mengarah kepada keriskanan rasial yang berpotensi konflik SARA di tengah multikulturalisme bangsa Indonesia. Seperti disinyalir Frans H Winarta, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN), "sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru adalah bentuk nyata genosida kultural (cultural genocide)." (halaman 14).
Perlakuan diskriminatif itu tidak hanya dalam urusan pemerintahan. Tapi ironisnya rakyat juga ikut-ikutan membabi buta membabat dan memusuhi mereka baik secara terang-terangan atau secara "kultural". Kenyataan pahit yang menjadi catatan paling hitam etnis Tionghoa adalah ketika pada 1998 terjadi perusakan besar-besaran dan tindak amoral terhadap etnis Tionghoa terjadi.
Buku yang merupakan kumpulan dari catatan pengalaman getir ini membahas secara kritis hal-hal yang telah menjadi akar dehumanisasi bangsa Indonesia. Perjalanan menjadi WNI yang sangat ruwet dan sulit, karena undang-undang yang mengatur tidak transparan dan cenderung kacau pada masa Soeharto, dihadirkan dalam buku ini dengan bukti autentik dari pengalaman orang yang bersangkutan. Buku ini membeberkan fakta etnis Tionghoa yang harus memeras darah dan terbirit-birit untuk (hanya) diakui menjadi WNI dengan selembar bukti KTP dan SBKRI. Istilah "pribumi" dan "nonpribumi" menjadi sangat rigid pembahasannya dalam buku ini. Konsep ini pada Orde Baru menjadi sangat penting posisinya.
Tersendat
Buku ini juga membeberkan fakta yang dituturkan langsung salah satu etnis Tionghoa yang tersendat ketika mengurus dokumen, yaitu atlet Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma, sebagai kontingen Indonesia cabang bulutangkis dalam olimpiade Yunani, yang harus berurusan dengan pihak pemerintah. Meskipun Susi-Alan bisa membawa obor olimpiade dan akhirnya menang dengan meraih medali emas yang dipersembahklan untuk negara Indonesia, sebuah negara yang telah mempersulit dirinya, tapi memori hitam tentang pengurusan visa dan dokumen lain yang dipersulit itu menjadi ironi pada masa Orde Baru.
Di Surabaya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pun masih cukup kentara. Seperti dituturkan Liauw Djai Ming (59). Dia tidak pernah pergi jauh dari rumahnya di Jalan Tambaksegeran, Surabaya. Meskipun lahir dan tumbuh besar di Surabaya, Djai Ming tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) atapun kartu keluarga (KK). Setelah 57 tahun tinggal di Indonesia, Djai Ming masih dianggap warga negara asing.
Di Surabaya para korban diskriminasi itu akhirnya membentuk sebuah badan organisasi untuk memperkokoh keberadaan dan pengakuan etnis Tionghoa sebagai bagian dari warga Indonesia. Mereka bergabung dalam Solidaritas Anti Diskriminasi (SikaD) dan Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) (halaman 25).
Beberapa catatan getir itu adalah sebagian perlakuan diskriminatif rezim Orde Baru yang terekspos. Buku ini cukup banyak membeberkan fakta semacam itu dengan kritis dan transparan.
Angin Segar
Namun pada masa reformasi, etnis Tionghoa mendapatkan angin segar setelah pemerintah mencabut kebijakan-kebijakan deskriminatif terhadap etnis Tionghoa, yaitu antara lain (i) Keppres No 56/1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI); (ii) Keppres No 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina; (iii) Inpres 26/1998 tentang Penghapusan Penggunakan Istilah Pri dan Non Pri; (iv) Kepres No 19/2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional (halaman ix).
Akhirnya etnis Tionghoa perlahan mulai berani muncul di tengah masyarakat luas karena mereka sudah sedikit merasa aman dengan undang-undang yang melindungi. Persentase pemeluk Kong Hu Cu pun bertambah setelah pemerintah mencabut pelarangan atas kepercayaan tersebut pada tahun 2000, seperti, hak untuk memperingati Tahun Baru Cina (Imlek) secara terbuka. Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia (Matakin) memperkirakan bahwa 95 persen penganut Kong Hu Cu adalah warga keturunan Tionghoa yang setengahnya adalah suku Jawa. Banyak penganut Kong Hu Cu juga mempraktikkan ajaran agama Buddha dan Kristen. Matakin mendesak pemerintah untuk sekali lagi memasukkan penganut Kong Hu Cu dalam kategori sensus.
Angin segar itu pun terus bersambut tangan ketika kesadaran masyarakat tentang multikulturalisme suku dan bangsa tumbuh. Bukan hanya pengakuan sebagai WNI yang telah dengan transparan ditunjukkan pemerintah tetapi agama mayoritas Etnis Tionghoa, Kung Hu Cu, juga mendapatkan tempat yang setara dengan jajaran agama-agama yang telah sah di Indonesia. Pada Januari 2006 Menteri Agama mendeklerasikan Kung Hu Cu menjadi agama resmi ke enam di Indonesia.
Buku ini sangat penting dibaca oleh semua kalangan melihat sejarah getir etnis Tionghoa yang kurang banyak diekspos. Dengan buku ini kita akan menambah koleksi inventaris tentang "tragedi" bangsa khususnya etnis Tionghoa yang pernah menoreh sejarah getir di Indonesia.
Kisah Gelap Si Opsir Koppig
Sejarah dan legitimasi kekuasaan bagaikan dua sisi mata uang, selalu hidup berdampingan. Sejarah bisa membuat kekuasaan berdiri setegar batu karang, atau bahkan mampu membuat kekuasaan melempem bak kerupuk kena siram. Selama hampir 30 tahun lebih, sejarah Indonesia, khususnya pada peristiwa G30S 1965 yang kemudian diikuti oleh naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan, diselubungi kabut yang tak tersibakkan.
Judul Buku: Soeharto, Sisi Gelap sejarah Indonesia
Penulis: Asvi Warman Adam
Penerbit: Ombak
Cetakan: Pertama, Maret 2004
Tebal: xix + 204 halaman
Peresensi: Bonnie Triyana
http://suaramerdeka.com/
Entah disengaja atau tidak, yang jelas ketika pemerintah Orde Baru berkuasa, berbagai usaha penyeragaman versi sejarah mengenai peristiwa 65 dilakukan dengan gencar. Partai Komunis Indonesia (PKI) dipersalahkan sepenuhnya atas pembunuhan 6 perwira tinggi dan 1 perwira pertama Angkatan Darat. Pengambinghitaman PKI telah menyebabkan anggota dan simpatisan PKI dikejar-kejar, ditahan tanpa peradilan, dan dibunuh massal secara kejam.
Gelombang reformasi pada 1998 yang menghempaskan Soeharto dari kursi kepresidenan, memberi kesempatan kepada pelaku sejarah dan sejarawan untuk meneliti kembali peristiwa G.30.S 1965. Puluhan bahkan ratusan saksi korban 65 bersuara menuntut keadilan dan menuduh Soeharto sebagai dalang atas penderitaan mereka selama ini. Bersamaan dengan itu, seluruh versi sejarah yang pernah didirikan oleh Orde Baru runtuh berantakan. Sejarah versi Orde Baru dianggap omong kosong.
Rabu kemarin (10/03), Asvi Warman Adam, sejarawan yang memiliki perhatian pada sisi gelap Orde Baru meluncurkan bukunya, Soeharto, Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan artikelnya yang tersebar di berbagai media massa. Hampir semua tulisannya dinominasi oleh tema pembengkokan sejarah oleh Orde Baru cum Soeharto.
Pada Bab I, diuraikan intrik-intrik Soeharto untuk menggapai kekuasaan dan menyelamatkan dirinya sendiri. Soeharto dikenal sebagai jenderal Jawa yang mengadopsi nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupannya. Ia diam, sedikit senyum, tampak bersahaja, dan sederhana. Namun, di balik itu semua, Soeharto juga dikenal sebagai perwira yang gemar menikam rekannya sendiri. Dalam peristiwa 3 Juli 1946 misalnya, Soeharto turut bermain dalam percobaan kudeta yang gagal itu. Sehari sebelumnya, yakni pada 2 Juli 1946, Soeharto turut membebaskan para tahanan politik dari penjara Wirogunan, untuk lalu membawanya ke resimen Wiyoro. Di tempat itulah para tahanan poltik yang terdiri dari M. Yamin. Iwa Kusama Sumantri dan Dr. Sutjipto merumuskan sebuah surat yang intinya meminta Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan kepada Tan Malaka. Dalam pertemuan itu turut hadir Mayor Jenderal Soedarsono, Komandan Divisi III APRI, yang mendukung upaya transfer kekuasaan (baca: kudeta) itu.
Dalam otobiografinya, Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya Soeharto mengisahkan, bertempat di markas resimen Wiyoro, dirinya didatangi oleh Ketua Pemuda Patuk, Sundjojo yang membawa pesan dari Presiden Panglima Tertingi APRI agar menangkap Mayjen Soedarsono. Soedarsono ditangkap dengan alasan turut dalam usaha kudeta terhadap Soekarno. Di satu sisi Soeharto merasa bimbang, karena baik Soekarno ataupun Soedarsono adalah dua orang pemimpinnya. Namun di sisi lain dia tak ingin kehilangan jabatannya hanya karena melakukan insubordinasi pada presiden.
Akal bulus pun disusun rapi oleh Soeharto. Ia meminta agar Sundjojo mengembalikan surat penangkapan Soedarsono dan meminta agar perintah diberikan melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sundjojo yang membawa kabar penolakan perintah presiden oleh Soeharto itu membuat Bung Karno berang. Dalam kesempatan itu ia mengatai Soeharto sebagai opsir koppig atau opsir keras kepala. Setelah itu, pada malam harinya, iapun segera menghadap Soedarsono sembari mengatakan ada orang yang ingin menculiknya (Soeharto tidak memberitahu Soedarsono bahwa sesungguhnya yang diperintah menangkap dirinya adalah Soeharto sendiri), ia juga meminta agar Soedarsono pindah ke resimen III Wiyoro. Pada saat yang sama, Soedarsono mengatakan pada Soeharto bahwa ia akan menghadap Soekarno keesokan pagi. Lalu diam-diam Soeharto memberitahu pihak Istana tentang apa yang akan terjadi di markas resimen Wiyoro, dan memersilahkan mereka untuk menangkap Soedarsono di Istana Yogyakarta (hal. 5-8). Lalu di manakah letak kelicikan Soeharto. Hal itu dapat dilihat dari cara ia untuk mengikuti perintah Soekarno tanpa harus dibenci oleh Soedarsono, yakni dengan cara membohonginya.
Dalam buku ini Asvi juga menekankan pentingnya Soeharto diadili. Ada tujuh alasan yang dikemukakan oleh Asvi tentang perlunya pengadilan Soeharto, pertama, bukti kejahatan Soeharto selama berkuasa sudah mencukupi, kedua, pengadilan Soeharto akan membuktikan pada khalayak bahwa telah terjadi penegakan hukum tanpa pandang bulu, ketiga, proses hukum ini akan mendatangkan kebaikan bagi keluarga (Soeharto), masyarakat, dan negara, keempat, menghindarkan pandangan buruk masyarakat, kelima, menghindarkan terulangnya kasus Soekarno pada masa lalu, keenam dan ketujuh, untuk pengungkapan peristiwa sejarah dan usia Soeharto sudah mencapai 80 tahun, sehingga perlu dipercepat proses peradilan terhadap dirinya. Tujuh alasan ini dikemukakan oleh Asvi sebagai jalan untuk mendorong proses peradilan Soeharto yang akhir-akhir ini terkesa bertele-tele.
Buku ini mampu memberikan informasi gamblang kepada kita tentang kaburnya sejarah Indonesia dan betapa darah melumuri jalan kekuasaan Soeharto. Melalui buku ini, Asvi Warman Adam menerangi ruang sejarah yang selama ini digelapkan oleh Orde Baru. Satu-satunya kelemahan buku ini ialah penyuntingan yang kurang ketat, di sana-sini masih dapat ditemukan susunan kalimat yang tak tertata dengan baik, sehingga untuk memahaminya perlu berulang-ulang membaca. Bagaimanapun, buku ini patut dihargai sebagai usaha pelurusan sejarah dan penegakan hukum di Indonesia.
Judul Buku: Soeharto, Sisi Gelap sejarah Indonesia
Penulis: Asvi Warman Adam
Penerbit: Ombak
Cetakan: Pertama, Maret 2004
Tebal: xix + 204 halaman
Peresensi: Bonnie Triyana
http://suaramerdeka.com/
Entah disengaja atau tidak, yang jelas ketika pemerintah Orde Baru berkuasa, berbagai usaha penyeragaman versi sejarah mengenai peristiwa 65 dilakukan dengan gencar. Partai Komunis Indonesia (PKI) dipersalahkan sepenuhnya atas pembunuhan 6 perwira tinggi dan 1 perwira pertama Angkatan Darat. Pengambinghitaman PKI telah menyebabkan anggota dan simpatisan PKI dikejar-kejar, ditahan tanpa peradilan, dan dibunuh massal secara kejam.
Gelombang reformasi pada 1998 yang menghempaskan Soeharto dari kursi kepresidenan, memberi kesempatan kepada pelaku sejarah dan sejarawan untuk meneliti kembali peristiwa G.30.S 1965. Puluhan bahkan ratusan saksi korban 65 bersuara menuntut keadilan dan menuduh Soeharto sebagai dalang atas penderitaan mereka selama ini. Bersamaan dengan itu, seluruh versi sejarah yang pernah didirikan oleh Orde Baru runtuh berantakan. Sejarah versi Orde Baru dianggap omong kosong.
Rabu kemarin (10/03), Asvi Warman Adam, sejarawan yang memiliki perhatian pada sisi gelap Orde Baru meluncurkan bukunya, Soeharto, Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan artikelnya yang tersebar di berbagai media massa. Hampir semua tulisannya dinominasi oleh tema pembengkokan sejarah oleh Orde Baru cum Soeharto.
Pada Bab I, diuraikan intrik-intrik Soeharto untuk menggapai kekuasaan dan menyelamatkan dirinya sendiri. Soeharto dikenal sebagai jenderal Jawa yang mengadopsi nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupannya. Ia diam, sedikit senyum, tampak bersahaja, dan sederhana. Namun, di balik itu semua, Soeharto juga dikenal sebagai perwira yang gemar menikam rekannya sendiri. Dalam peristiwa 3 Juli 1946 misalnya, Soeharto turut bermain dalam percobaan kudeta yang gagal itu. Sehari sebelumnya, yakni pada 2 Juli 1946, Soeharto turut membebaskan para tahanan politik dari penjara Wirogunan, untuk lalu membawanya ke resimen Wiyoro. Di tempat itulah para tahanan poltik yang terdiri dari M. Yamin. Iwa Kusama Sumantri dan Dr. Sutjipto merumuskan sebuah surat yang intinya meminta Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan kepada Tan Malaka. Dalam pertemuan itu turut hadir Mayor Jenderal Soedarsono, Komandan Divisi III APRI, yang mendukung upaya transfer kekuasaan (baca: kudeta) itu.
Dalam otobiografinya, Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya Soeharto mengisahkan, bertempat di markas resimen Wiyoro, dirinya didatangi oleh Ketua Pemuda Patuk, Sundjojo yang membawa pesan dari Presiden Panglima Tertingi APRI agar menangkap Mayjen Soedarsono. Soedarsono ditangkap dengan alasan turut dalam usaha kudeta terhadap Soekarno. Di satu sisi Soeharto merasa bimbang, karena baik Soekarno ataupun Soedarsono adalah dua orang pemimpinnya. Namun di sisi lain dia tak ingin kehilangan jabatannya hanya karena melakukan insubordinasi pada presiden.
Akal bulus pun disusun rapi oleh Soeharto. Ia meminta agar Sundjojo mengembalikan surat penangkapan Soedarsono dan meminta agar perintah diberikan melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sundjojo yang membawa kabar penolakan perintah presiden oleh Soeharto itu membuat Bung Karno berang. Dalam kesempatan itu ia mengatai Soeharto sebagai opsir koppig atau opsir keras kepala. Setelah itu, pada malam harinya, iapun segera menghadap Soedarsono sembari mengatakan ada orang yang ingin menculiknya (Soeharto tidak memberitahu Soedarsono bahwa sesungguhnya yang diperintah menangkap dirinya adalah Soeharto sendiri), ia juga meminta agar Soedarsono pindah ke resimen III Wiyoro. Pada saat yang sama, Soedarsono mengatakan pada Soeharto bahwa ia akan menghadap Soekarno keesokan pagi. Lalu diam-diam Soeharto memberitahu pihak Istana tentang apa yang akan terjadi di markas resimen Wiyoro, dan memersilahkan mereka untuk menangkap Soedarsono di Istana Yogyakarta (hal. 5-8). Lalu di manakah letak kelicikan Soeharto. Hal itu dapat dilihat dari cara ia untuk mengikuti perintah Soekarno tanpa harus dibenci oleh Soedarsono, yakni dengan cara membohonginya.
Dalam buku ini Asvi juga menekankan pentingnya Soeharto diadili. Ada tujuh alasan yang dikemukakan oleh Asvi tentang perlunya pengadilan Soeharto, pertama, bukti kejahatan Soeharto selama berkuasa sudah mencukupi, kedua, pengadilan Soeharto akan membuktikan pada khalayak bahwa telah terjadi penegakan hukum tanpa pandang bulu, ketiga, proses hukum ini akan mendatangkan kebaikan bagi keluarga (Soeharto), masyarakat, dan negara, keempat, menghindarkan pandangan buruk masyarakat, kelima, menghindarkan terulangnya kasus Soekarno pada masa lalu, keenam dan ketujuh, untuk pengungkapan peristiwa sejarah dan usia Soeharto sudah mencapai 80 tahun, sehingga perlu dipercepat proses peradilan terhadap dirinya. Tujuh alasan ini dikemukakan oleh Asvi sebagai jalan untuk mendorong proses peradilan Soeharto yang akhir-akhir ini terkesa bertele-tele.
Buku ini mampu memberikan informasi gamblang kepada kita tentang kaburnya sejarah Indonesia dan betapa darah melumuri jalan kekuasaan Soeharto. Melalui buku ini, Asvi Warman Adam menerangi ruang sejarah yang selama ini digelapkan oleh Orde Baru. Satu-satunya kelemahan buku ini ialah penyuntingan yang kurang ketat, di sana-sini masih dapat ditemukan susunan kalimat yang tak tertata dengan baik, sehingga untuk memahaminya perlu berulang-ulang membaca. Bagaimanapun, buku ini patut dihargai sebagai usaha pelurusan sejarah dan penegakan hukum di Indonesia.
Saat Jurnalis Membocorkan Rahasia Keraton
Judul: Bangsawan Zaman Modern
Penulis: Kastoyo Ramelan
Penerbit: Teater Episode Surakarta, Departemen Penerbitan
Cetakan: Pertama, 2006
Tebal: 224 halaman
Peresensi: Triyanto Triwikromo
http://suaramerdeka.com/
Atau jangan-jangan mereka justru melakukan reposisi dan rekonstruksi kebudayaan sehingga bisa manjing ing kahanan, hidup secara kontekstual? Jangan-jangan pula, sebagaimana ungkapan budayawan Darmanto Jatman, mereka itu nitis, sehingga mampu hidup secara bermartabat pada zaman apa pun?
Buku ini dengan sangat gamblang menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Ia setidaknya bisa memberi tahu publik mengenai perubahan kehidupan keraton dari masa ke masa dalam "Keraton Tidak Membeku" (Bab I). Selain itu Ramelan menyatakan keraton ternyata tidak berhadap-hadapan dengan pemerintah (Bab II). Ini menunjukkan sekalipun pemerintah menjadi representasi dari kehidupan antifeodalisme, keberadaannya tidak dianggap sebagai musuh. Malah dengan gaya humor dan kritis, penulis juga mencoba membahas profesi sinuhun, para gusti, dan trah bangsawan pada zaman yang berganti (Bab III).
Selain itu juga dimunculkan interaksi orang-orang di luar keraton (semacam budayawan Rendra atau Hajar Satoto) yang dianggap sebagai penyangga kehidupan keraton (Bab IV). Dan yang sangat menarik penulis menggarap Bab V ("Perang Mahkota Akankah Selalu Ada") seperti sebuah pertunjukan teater, sehingga kita mengerti sisi tragis, dramatis, dan klimaks dari berbagai intrik yang terjadi di keraton dari zaman ke zaman.
Setara
Teks-teks dalam buku ini sesungguhnya bermula dari pertanyaan Ramelan tentang makna keraton dalam dunia jurnalistik. "Saya sebagai wartawan yang punya tanggung jawab liputan untuk daerah Surakarta berpikir, bisakah kiash putri dan pangeran serta raja di Keraton Surakarta maupun Pura Mangkunegaran diangkat menjadi topik berita?"
Karena pertanyaan itu muncul pada saat pers dunia sedang menulis tentang percintaan Lady Diana dengan Pangeran Charles, tulisan-tulisan Ramelan pun mendapatkan momentum. Apalagi karena Ir Adhi Moersid menyatakan, Keraton Surakarta setara dengan deretan situs warisan sejarah Islam seperti Shalimar Gardens (Lahore, Pakistan), Top Kapi Palace (Istanbul, Turkey), Nadi Palace ( Maroco), dan Citadel Saladin (Cairo), akhirnya membuat Ramelan seperti mendapatkan wangsit untuk segera menuliskan apa pun mengenai keraton-keraton di daerah liputannya (halaman 2).
Dengan mengenakan busana Jawa lengkap (halaman 3), wartawan Tempo dan akhirnya Gatra itu pun akhirnya menyusup ke daerah-daerah privat keraton. Malah kadang-kadang dengan cara mentraktir keluarga kerajaan di restoran mewah, ia berhasil menguak sedikit demi sedikit. Tak jarang justru putri dalem sendiri yang membayar. Strategi lain juga digunakan, yakni dengan mengirim parcel menjelang Lebaran atau mengirimkan bunga duka pada saat keluarga keraton didera duka.
Hasilnya? Hasilnya, misal saja, dari Ramelan akhirnya kita tahu mengapa Solo tidak bisa menjadi Daerah Istimewa Surakara (DIS). Pertimbangan pemerintah pusat membekukan DIS, karena di Solo muncul gerakan anti-swapraja yang digerakkan oleh elemen masyarakat. Lahir kekacauan, penculikan patih dan hampir seluruh kabupaten kasunanan menyatakan putus hubungan dengan keraton (halaman 11).
Gerakan tersebut akhirnya bisa mengubah status vorstenlanden Surakarta menjadi suatu karisidenan. Surakarta di bawah residen (bukan raja dari keraton) yang wilayahnya sebagaimana karisidenan lain langsung dalam pengawasan pemerintah pusat Republik Indonesia. Kita akhirnya tahu Keraton Surakarta akhirnya lebih menjadi pusat kebudayaan, ketimbang sebagai pusat pemerintahan.
Apa yang kemudian terjadi setelah keraton tidak lagi menjadi pusat kekuasaan? Yang jelas kemudian muncul profesi-profesi modern yang menyusup ke tubuh keraton.
Apa profesi Paku Buwana XII? Rupa-rupanya gelar sang raja adalah Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Senopati Panata Gama Paku Buwana XII. Sangat panjang. Sangat rumit. Sangat berat. Karena itulah Pusat Perdamaian International Sri Chinmoy memberikan pengargaan berupa gelar Lifting Up The With A Onenes Heart Award. Yang tidak banyak diketahui oleh publik sang raja ternyata memiliki 6 garwa, 35 anak, banyak cucu.
Keluarga raja juga memiliki profesi macam-macam. BPH Soemodiningrat jadi pegawai negeri, Gusti Kanjeng Ratu Alit (ahli kecantikan ala keraton), dra GRAY Kus Raspiyah (dosen), Dr KP Gunawan Sumodinigrat (ahli ekonomi, intelektual), BRAY Mooryati Sudibyo (ahli kecantikan), GPH Paundra Soekarnaputra Jiwanegara (artis), GPH Djatikusumo (militer), GRAY Koes Moertiyah (artis, seniwati), dan GPH Dipokusumo (petinggi keraton). Putra dan putri keraton yang lain juga memiliki profesi yang tak berbeda dari manusia-manusia modern yang lain. Itu berarti keraton beserta segala isinya sesunguhnya manjing ing kahanan. Mereka tidak mengasingkan diri dari kemodernan.
Yang juga terlihat dalam buku ini keraton menjadi hidup karena disangga oleh pendukung-pendukung lain (bukan kerabat) yang menghormati keberadaan keraton. Orang-orang terhormat -antara lain Amien Rais dan Akbar Tandjung- pun mendapat kekancingan. Kekancingan ini menjadi sebuah sarana untuk menyatupadukan antara orang-orang di dalam keraton dan luar keraton agar menjaga keraton sebagai "pusat kebudayaan".
Pasang surut kehidupan keraton juga digambarkan Ramelan dengan menggambarkan berapa kali terbakar, berapa kali dibangun.
Kejayaan dan kewibawaannya juga dilukiskan dengan menunjukkan kapan ontran-ontran demi ontran-ontran muncul di keraton. Termasuk geger di Kamandungan pada 2005 dilukiskan secara detail, teatrikal, dan memunculkan ketragisan.
Sayang, banyak ejaan buku ini yang ditulis secara serampangan. Meskipun demikian, buku ini telah membocorkan sesuatu yang tersembunyi di tubuh keraton. Kerja keras semacam itu, layak dihargai.
Penulis: Kastoyo Ramelan
Penerbit: Teater Episode Surakarta, Departemen Penerbitan
Cetakan: Pertama, 2006
Tebal: 224 halaman
Peresensi: Triyanto Triwikromo
http://suaramerdeka.com/
Atau jangan-jangan mereka justru melakukan reposisi dan rekonstruksi kebudayaan sehingga bisa manjing ing kahanan, hidup secara kontekstual? Jangan-jangan pula, sebagaimana ungkapan budayawan Darmanto Jatman, mereka itu nitis, sehingga mampu hidup secara bermartabat pada zaman apa pun?
Buku ini dengan sangat gamblang menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Ia setidaknya bisa memberi tahu publik mengenai perubahan kehidupan keraton dari masa ke masa dalam "Keraton Tidak Membeku" (Bab I). Selain itu Ramelan menyatakan keraton ternyata tidak berhadap-hadapan dengan pemerintah (Bab II). Ini menunjukkan sekalipun pemerintah menjadi representasi dari kehidupan antifeodalisme, keberadaannya tidak dianggap sebagai musuh. Malah dengan gaya humor dan kritis, penulis juga mencoba membahas profesi sinuhun, para gusti, dan trah bangsawan pada zaman yang berganti (Bab III).
Selain itu juga dimunculkan interaksi orang-orang di luar keraton (semacam budayawan Rendra atau Hajar Satoto) yang dianggap sebagai penyangga kehidupan keraton (Bab IV). Dan yang sangat menarik penulis menggarap Bab V ("Perang Mahkota Akankah Selalu Ada") seperti sebuah pertunjukan teater, sehingga kita mengerti sisi tragis, dramatis, dan klimaks dari berbagai intrik yang terjadi di keraton dari zaman ke zaman.
Setara
Teks-teks dalam buku ini sesungguhnya bermula dari pertanyaan Ramelan tentang makna keraton dalam dunia jurnalistik. "Saya sebagai wartawan yang punya tanggung jawab liputan untuk daerah Surakarta berpikir, bisakah kiash putri dan pangeran serta raja di Keraton Surakarta maupun Pura Mangkunegaran diangkat menjadi topik berita?"
Karena pertanyaan itu muncul pada saat pers dunia sedang menulis tentang percintaan Lady Diana dengan Pangeran Charles, tulisan-tulisan Ramelan pun mendapatkan momentum. Apalagi karena Ir Adhi Moersid menyatakan, Keraton Surakarta setara dengan deretan situs warisan sejarah Islam seperti Shalimar Gardens (Lahore, Pakistan), Top Kapi Palace (Istanbul, Turkey), Nadi Palace ( Maroco), dan Citadel Saladin (Cairo), akhirnya membuat Ramelan seperti mendapatkan wangsit untuk segera menuliskan apa pun mengenai keraton-keraton di daerah liputannya (halaman 2).
Dengan mengenakan busana Jawa lengkap (halaman 3), wartawan Tempo dan akhirnya Gatra itu pun akhirnya menyusup ke daerah-daerah privat keraton. Malah kadang-kadang dengan cara mentraktir keluarga kerajaan di restoran mewah, ia berhasil menguak sedikit demi sedikit. Tak jarang justru putri dalem sendiri yang membayar. Strategi lain juga digunakan, yakni dengan mengirim parcel menjelang Lebaran atau mengirimkan bunga duka pada saat keluarga keraton didera duka.
Hasilnya? Hasilnya, misal saja, dari Ramelan akhirnya kita tahu mengapa Solo tidak bisa menjadi Daerah Istimewa Surakara (DIS). Pertimbangan pemerintah pusat membekukan DIS, karena di Solo muncul gerakan anti-swapraja yang digerakkan oleh elemen masyarakat. Lahir kekacauan, penculikan patih dan hampir seluruh kabupaten kasunanan menyatakan putus hubungan dengan keraton (halaman 11).
Gerakan tersebut akhirnya bisa mengubah status vorstenlanden Surakarta menjadi suatu karisidenan. Surakarta di bawah residen (bukan raja dari keraton) yang wilayahnya sebagaimana karisidenan lain langsung dalam pengawasan pemerintah pusat Republik Indonesia. Kita akhirnya tahu Keraton Surakarta akhirnya lebih menjadi pusat kebudayaan, ketimbang sebagai pusat pemerintahan.
Apa yang kemudian terjadi setelah keraton tidak lagi menjadi pusat kekuasaan? Yang jelas kemudian muncul profesi-profesi modern yang menyusup ke tubuh keraton.
Apa profesi Paku Buwana XII? Rupa-rupanya gelar sang raja adalah Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Senopati Panata Gama Paku Buwana XII. Sangat panjang. Sangat rumit. Sangat berat. Karena itulah Pusat Perdamaian International Sri Chinmoy memberikan pengargaan berupa gelar Lifting Up The With A Onenes Heart Award. Yang tidak banyak diketahui oleh publik sang raja ternyata memiliki 6 garwa, 35 anak, banyak cucu.
Keluarga raja juga memiliki profesi macam-macam. BPH Soemodiningrat jadi pegawai negeri, Gusti Kanjeng Ratu Alit (ahli kecantikan ala keraton), dra GRAY Kus Raspiyah (dosen), Dr KP Gunawan Sumodinigrat (ahli ekonomi, intelektual), BRAY Mooryati Sudibyo (ahli kecantikan), GPH Paundra Soekarnaputra Jiwanegara (artis), GPH Djatikusumo (militer), GRAY Koes Moertiyah (artis, seniwati), dan GPH Dipokusumo (petinggi keraton). Putra dan putri keraton yang lain juga memiliki profesi yang tak berbeda dari manusia-manusia modern yang lain. Itu berarti keraton beserta segala isinya sesunguhnya manjing ing kahanan. Mereka tidak mengasingkan diri dari kemodernan.
Yang juga terlihat dalam buku ini keraton menjadi hidup karena disangga oleh pendukung-pendukung lain (bukan kerabat) yang menghormati keberadaan keraton. Orang-orang terhormat -antara lain Amien Rais dan Akbar Tandjung- pun mendapat kekancingan. Kekancingan ini menjadi sebuah sarana untuk menyatupadukan antara orang-orang di dalam keraton dan luar keraton agar menjaga keraton sebagai "pusat kebudayaan".
Pasang surut kehidupan keraton juga digambarkan Ramelan dengan menggambarkan berapa kali terbakar, berapa kali dibangun.
Kejayaan dan kewibawaannya juga dilukiskan dengan menunjukkan kapan ontran-ontran demi ontran-ontran muncul di keraton. Termasuk geger di Kamandungan pada 2005 dilukiskan secara detail, teatrikal, dan memunculkan ketragisan.
Sayang, banyak ejaan buku ini yang ditulis secara serampangan. Meskipun demikian, buku ini telah membocorkan sesuatu yang tersembunyi di tubuh keraton. Kerja keras semacam itu, layak dihargai.
Rabu, 10 Maret 2010
Televisi, Hiperrealitas, dan Dromologi Politik
Muhammadun A.S
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Tanggal 24 Agustus selalu diperingati sebagai Hari Televisi Nasional. Perkembangan televisi di tanah air mengalami percepatan luar biasa, khususnya perkembangan dalam wilayah reality show dan laju bisnisnya, lewat berbagai lembaga bisnis dan pesta politik. Sorotan televisi dalam Pemilu 2009 membuktikan, televisi menjadi kekuatan politik sangat krusial untuk mengundang simpati dan mendulang citra dalam perolehan suara. Televisi dan politik menjadi jala komunikasi yang siap "menyergap" para penikmat untuk "tergiur" atas dunia pencitraan yang digebyarkan.
Sebagai lembaga penyiaran audio visual, televisi berperan sangat penting dalam membantu penciptaan bangsa yang maju dan beradab. Berbeda dengan media lainnya seperti koran, televisi hadir lebih lugas dan bisa dinikmati dengan seksama. Sementara koran "terlambat" menampilkan fakta, karena harus melakukan hunting, reportase, editing, serta cetak di kertas. Televisi tampil dengan cepat. Setiap fakta datang, segera televisi menyambut. Siaran langsung atas fakta yang sedang terjadi, juga indikasi cepatnya arus informasi yang melekat dalam diri televisi.
Akan tetapi, kecepatan arus informasi televisi di tengah godaan pragmatisme bisnis dan politik, menjadikan televisi seringkali terjebak dalam hiperrealitas media. Menurut Jean Baudrillard dalam Simulationts (1983), hiperrealitas media adalah perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna di dalam media. Hiperrealitas media menciptakan satu kondisi sedemikian rupa, sehingga di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata dari kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar dari kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas (Yasraf: 2006; 222).
Berkembangnya hiperrealitas media, terlihat sekali dalam gelanggang dunia politik di Indonesia. Baik dalam pileg dan pilpres lalu, pencitraan politik dalam media hadir dengan penuh serba-serbi dan sajian kampanye yang serbamanis. Semua menjadi kamuflase yang disebarkan dalam berbagai tayangan televisi. Publik terjebak dengan penuh takjub, melihat adegan politik yang disajikan kaum elite. Kebenaran justru semakin tertutupi, karena bisa membuat malapetaka. Sementara kepalsuan yang hadir dari berbagai elite politik ditayangkan sedemikian rupa, simulasi bisnis berbagai merek tayang penuh sensasi, reality show hanya mengumbar gaya hidup yang absurd. Iring-iringan hiperrealitas menyebarkan berjuta kepalsuan informasi dan menebarkan berjuta kesemuan citra. Terjadilah pemutarbalikan tanda dalam semiotika politik (pseudo sign), terjadi penjungkirbalikan makna semantika politik (psedo meaning), dan terjadi penciptaan kesadaran semu politik (false consciousness).
Objektivitas dan kredibilitas informasi yang disajikan televisi, telah menciptakan disinformasi yang penuh ketidakpastian. Realitas yang disajikan sudah tidak mempunyai basis objektivitas, karena setting politik telah menciptakan ruang gerak kepalsuan bergerak semaunya. Data publik, angka statistik, hasil pemilu, angka korupsi, skandal kuasa, dan sebagainya telah kehilangan kredibilitas, karena topeng kepalsuan tidak menggambarkan realitas sosial sesungguhnya. Disinformasi ini juga mengakibatkan depolitisasi. Sedangkan depolitisasi bisa dilihat dari berbagai janji politik, yang disajikan di media hanyalah untuk mendulang suara. Kajian kemiskinan hanya menjadi proposal kekuasaan. Diskusi pengangguran hanya untuk meraih simpati kaum buruh. Depolitisasi terjadi penuh dengan keganjilan.
Kepalsuan informasi diproduksi berjuta-juta tanpa henti, lahirlah banalitas infromasi. Di dalam banatalitas informasi, Jean Baudrillard dalam In The Shadow of The Silent Majorities (1983) menjelaskan apa pun diubah menjadi informasi, menjadi tontonan, menjadi berita, menjadi data. Tak peduli betapa banalnya berita itu, ia tetap menjadi subjek informasi. Massa publik yang dikepung oleh berjuta-juta tanda dan citra, tidak mampu lagi menginternalisasikan dan menyublimasikan makna yang dihasilkannya (Yasraf: 224).
Kecepatan teknologi informasi yang dimainkan televisi telah menjadikan fakta baru bernama dromologi politik. Paul Virilio dalam Lost Dimension (1991) menjelaskan, dalam dunia yang dikuasai kecepatan, peran politik ruang (geopolitics) diambil alih semacam politik waktu (chrono politics), yang di dalamnya kecepatan, percepatan, dan tempo kehidupan yang semakin cepat telah mengharuskan setiap orang untuk hidup dan bertahan dalam satu mesin dunia yang berlari kencang (dromology machine).
Mereka gagal mencipta homo humanis, yakni manusia politik yang di dalam setiap aktivitasnya mampu meningkatkan kualitas manusia dan kemanusiaannya serta mampu mengangkat harkat manusia itu sendiri pada posisi yang lebih tinggi. Saatnya televisi kembali kepada khittah-nya dalam rangka memberikan informasi dan sarana pendidikan serta pencerdasan warga. Di sinilah peran menciptakan homo humanis bisa dijalankan dengan baik. Apa pun peran politik dan peran bisnis yang dimainkan, kalau komitmen mencipta homo humanis selalu terjaga, peran politik dan peran bisnis serta peran edukatif bisa menjadi jembatan emas, dalam merealisasikan tujuan luhur yang akan dicapai. Perkembangan informasi yang semakin cepat menuntut penciptaan homo humanis juga semakin cepat dan akurat. Saatnya televisi Indonesia berjuang untuk itu semuanya. Selamat hari televisi, semoga semakin berkualitas.***
*) Penulis, analis sosial, peneliti Cepdes Jakarta.
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Tanggal 24 Agustus selalu diperingati sebagai Hari Televisi Nasional. Perkembangan televisi di tanah air mengalami percepatan luar biasa, khususnya perkembangan dalam wilayah reality show dan laju bisnisnya, lewat berbagai lembaga bisnis dan pesta politik. Sorotan televisi dalam Pemilu 2009 membuktikan, televisi menjadi kekuatan politik sangat krusial untuk mengundang simpati dan mendulang citra dalam perolehan suara. Televisi dan politik menjadi jala komunikasi yang siap "menyergap" para penikmat untuk "tergiur" atas dunia pencitraan yang digebyarkan.
Sebagai lembaga penyiaran audio visual, televisi berperan sangat penting dalam membantu penciptaan bangsa yang maju dan beradab. Berbeda dengan media lainnya seperti koran, televisi hadir lebih lugas dan bisa dinikmati dengan seksama. Sementara koran "terlambat" menampilkan fakta, karena harus melakukan hunting, reportase, editing, serta cetak di kertas. Televisi tampil dengan cepat. Setiap fakta datang, segera televisi menyambut. Siaran langsung atas fakta yang sedang terjadi, juga indikasi cepatnya arus informasi yang melekat dalam diri televisi.
Akan tetapi, kecepatan arus informasi televisi di tengah godaan pragmatisme bisnis dan politik, menjadikan televisi seringkali terjebak dalam hiperrealitas media. Menurut Jean Baudrillard dalam Simulationts (1983), hiperrealitas media adalah perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna di dalam media. Hiperrealitas media menciptakan satu kondisi sedemikian rupa, sehingga di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata dari kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar dari kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas (Yasraf: 2006; 222).
Berkembangnya hiperrealitas media, terlihat sekali dalam gelanggang dunia politik di Indonesia. Baik dalam pileg dan pilpres lalu, pencitraan politik dalam media hadir dengan penuh serba-serbi dan sajian kampanye yang serbamanis. Semua menjadi kamuflase yang disebarkan dalam berbagai tayangan televisi. Publik terjebak dengan penuh takjub, melihat adegan politik yang disajikan kaum elite. Kebenaran justru semakin tertutupi, karena bisa membuat malapetaka. Sementara kepalsuan yang hadir dari berbagai elite politik ditayangkan sedemikian rupa, simulasi bisnis berbagai merek tayang penuh sensasi, reality show hanya mengumbar gaya hidup yang absurd. Iring-iringan hiperrealitas menyebarkan berjuta kepalsuan informasi dan menebarkan berjuta kesemuan citra. Terjadilah pemutarbalikan tanda dalam semiotika politik (pseudo sign), terjadi penjungkirbalikan makna semantika politik (psedo meaning), dan terjadi penciptaan kesadaran semu politik (false consciousness).
Objektivitas dan kredibilitas informasi yang disajikan televisi, telah menciptakan disinformasi yang penuh ketidakpastian. Realitas yang disajikan sudah tidak mempunyai basis objektivitas, karena setting politik telah menciptakan ruang gerak kepalsuan bergerak semaunya. Data publik, angka statistik, hasil pemilu, angka korupsi, skandal kuasa, dan sebagainya telah kehilangan kredibilitas, karena topeng kepalsuan tidak menggambarkan realitas sosial sesungguhnya. Disinformasi ini juga mengakibatkan depolitisasi. Sedangkan depolitisasi bisa dilihat dari berbagai janji politik, yang disajikan di media hanyalah untuk mendulang suara. Kajian kemiskinan hanya menjadi proposal kekuasaan. Diskusi pengangguran hanya untuk meraih simpati kaum buruh. Depolitisasi terjadi penuh dengan keganjilan.
Kepalsuan informasi diproduksi berjuta-juta tanpa henti, lahirlah banalitas infromasi. Di dalam banatalitas informasi, Jean Baudrillard dalam In The Shadow of The Silent Majorities (1983) menjelaskan apa pun diubah menjadi informasi, menjadi tontonan, menjadi berita, menjadi data. Tak peduli betapa banalnya berita itu, ia tetap menjadi subjek informasi. Massa publik yang dikepung oleh berjuta-juta tanda dan citra, tidak mampu lagi menginternalisasikan dan menyublimasikan makna yang dihasilkannya (Yasraf: 224).
Kecepatan teknologi informasi yang dimainkan televisi telah menjadikan fakta baru bernama dromologi politik. Paul Virilio dalam Lost Dimension (1991) menjelaskan, dalam dunia yang dikuasai kecepatan, peran politik ruang (geopolitics) diambil alih semacam politik waktu (chrono politics), yang di dalamnya kecepatan, percepatan, dan tempo kehidupan yang semakin cepat telah mengharuskan setiap orang untuk hidup dan bertahan dalam satu mesin dunia yang berlari kencang (dromology machine).
Mereka gagal mencipta homo humanis, yakni manusia politik yang di dalam setiap aktivitasnya mampu meningkatkan kualitas manusia dan kemanusiaannya serta mampu mengangkat harkat manusia itu sendiri pada posisi yang lebih tinggi. Saatnya televisi kembali kepada khittah-nya dalam rangka memberikan informasi dan sarana pendidikan serta pencerdasan warga. Di sinilah peran menciptakan homo humanis bisa dijalankan dengan baik. Apa pun peran politik dan peran bisnis yang dimainkan, kalau komitmen mencipta homo humanis selalu terjaga, peran politik dan peran bisnis serta peran edukatif bisa menjadi jembatan emas, dalam merealisasikan tujuan luhur yang akan dicapai. Perkembangan informasi yang semakin cepat menuntut penciptaan homo humanis juga semakin cepat dan akurat. Saatnya televisi Indonesia berjuang untuk itu semuanya. Selamat hari televisi, semoga semakin berkualitas.***
*) Penulis, analis sosial, peneliti Cepdes Jakarta.
Metamoforsis Sepatu Lubang
Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
Farfa mulai berlatih menari sebelum teman-temannya datang. Diputarnya musik dari ciptaan Mozart. Lincah kaki digerakkan, gemulai tangan dimainkan, menjaga keseimbangan tubuh dan membentuk gerakan-gerakan indah. Gadis-gadis seusianya mulai berdatangan, ada yang bersama orang tuanya, banyak diantar oleh pembantunya; orang yang dijadikan robot olehnya; bekerja sesuai perintah.
Tiba-tiba Karfa terjatuh, tetapi temannya yang menjatuhkan menuduh sebaliknya. Beradu mulut. Semua melihat. Tak ada yang membela. Sepatu lubang Farfa menjadi bahan tertawaan. “Hai, sepatu sudah tidak utuh masih saja kamu pakai. Itu yang membuat kau terpeleset dan jatuhmu menimpaku.” Begitu juga yang lain, semua menghina dan tak ada cela membela.
Farfa pulang. Berniat menjual sepatuhnya. Sampailah pada tukang sepatu yang menerima sepatu bekas untuk dibeli. Harganya tak mahal, kalau dibuat makan mungkin hanya bisa dua hari jika kebiasaan makannya dua kali sehari dipertahankan. Atau mungkin empat hari jika ingin mempertahankan dirinya serupa saat orang tuanya tak dapat penghasilan, yakni hanya sekali sehari.
Farfa pulang melewati pasar. Tepat di depan pasar ada seorang penjual pisau. Dia menawarkan pisau dengan harga tidak lebih dan tidak kurang dari uang yang diperoleh Farfa dengan menjual sepatunya. Farfa tanpa berfikir panjang, langsung menerima tawaran penjual pisau.
Entah angin apa yang membisiki. Farfa berhenti sedikit lama, berdiri memandang pisaunya. Farfa membalik langkahnya, berjalan dengan cepat. Farfa kembali ke tempat latihan menari. Tempat latihan yang diperolehnya tanpa membayar seperserpun karena kepandaiannya menari. Hanya saja ketika ada perlombaan Farfa harus ikut dan ketika memperoleh juara hadiah yang diperoleh menjadi hak tempat latihan menari.
Kini masuk dan ikut menari lagi. Farfa tahu betul ketika separuh jam latihan para pendamping berada diluar. Iringan Mozart dengan tempo cepat mendorong lompatan dan gerakan tangan Farfa mengikuti dengan cepat. Melahirkan teriakan dan tarian berdarah. Farfa menusuk bergantian teman-temannya yang menghina tadi. Semua memegang bekas tusukan, bercak darah di lantai tergaris dalam ruang tari. Farfa tertawa. Memejamkan mata saat sayatan pisau juga membelah urat nadi tangannya.
Awal 2010, Malang.
http://www.sastra-indonesia.com/
Farfa mulai berlatih menari sebelum teman-temannya datang. Diputarnya musik dari ciptaan Mozart. Lincah kaki digerakkan, gemulai tangan dimainkan, menjaga keseimbangan tubuh dan membentuk gerakan-gerakan indah. Gadis-gadis seusianya mulai berdatangan, ada yang bersama orang tuanya, banyak diantar oleh pembantunya; orang yang dijadikan robot olehnya; bekerja sesuai perintah.
Tiba-tiba Karfa terjatuh, tetapi temannya yang menjatuhkan menuduh sebaliknya. Beradu mulut. Semua melihat. Tak ada yang membela. Sepatu lubang Farfa menjadi bahan tertawaan. “Hai, sepatu sudah tidak utuh masih saja kamu pakai. Itu yang membuat kau terpeleset dan jatuhmu menimpaku.” Begitu juga yang lain, semua menghina dan tak ada cela membela.
Farfa pulang. Berniat menjual sepatuhnya. Sampailah pada tukang sepatu yang menerima sepatu bekas untuk dibeli. Harganya tak mahal, kalau dibuat makan mungkin hanya bisa dua hari jika kebiasaan makannya dua kali sehari dipertahankan. Atau mungkin empat hari jika ingin mempertahankan dirinya serupa saat orang tuanya tak dapat penghasilan, yakni hanya sekali sehari.
Farfa pulang melewati pasar. Tepat di depan pasar ada seorang penjual pisau. Dia menawarkan pisau dengan harga tidak lebih dan tidak kurang dari uang yang diperoleh Farfa dengan menjual sepatunya. Farfa tanpa berfikir panjang, langsung menerima tawaran penjual pisau.
Entah angin apa yang membisiki. Farfa berhenti sedikit lama, berdiri memandang pisaunya. Farfa membalik langkahnya, berjalan dengan cepat. Farfa kembali ke tempat latihan menari. Tempat latihan yang diperolehnya tanpa membayar seperserpun karena kepandaiannya menari. Hanya saja ketika ada perlombaan Farfa harus ikut dan ketika memperoleh juara hadiah yang diperoleh menjadi hak tempat latihan menari.
Kini masuk dan ikut menari lagi. Farfa tahu betul ketika separuh jam latihan para pendamping berada diluar. Iringan Mozart dengan tempo cepat mendorong lompatan dan gerakan tangan Farfa mengikuti dengan cepat. Melahirkan teriakan dan tarian berdarah. Farfa menusuk bergantian teman-temannya yang menghina tadi. Semua memegang bekas tusukan, bercak darah di lantai tergaris dalam ruang tari. Farfa tertawa. Memejamkan mata saat sayatan pisau juga membelah urat nadi tangannya.
Awal 2010, Malang.
Maling
Putu Wijaya*
http://www.jawapos.com/
Di jalanan yang sudah bertahun-tahun saya lalui, ada rumah orang kaya. Depan rumahnya ada sebatang pohon kelapa gading. Buahnya terus berlimpahan seperti mau tumpah. Kalau lewat di situ, saya selalu kagum. Tapi juga tak habis pikir. Mengapa kelapa itu tak pernah dijamah. Mungkin pemiliknya terlalu kaya sehingga sudah tidak doyan lagi minum air kelapa. Padahal kalau saya yang punya, tiap hari tidak akan pernah saya biarkan lewat tanpa rujak kelapa muda.
Perasaan saya sama dengan orang-orang lain. Mereka juga heran. Karena mereka pun tahu, setiap bulan puasa, kelapa muda di mana-mana laris. Hanya dengan gula merah dan jeruk nipis, buah itu mengantar ke surga di saat buka. Diteguk langsung juga sedapnya bukan main. Semua minuman keluaran pabrik yang digondeli seabrek bahan pengawet dan zat warna, lewat. Kelapa memang nomor satu.
***
Setelah berhasil membeli rumah yang saya kontrak, yang pertama saya lakukan adalah menanam pohon kelapa gading. Tidak perlu diurus, tak peduli bagaimana curah hujan, kemarau kepanjangan sekalipun, pohon kelapa itu terus tumbuh. Dalam waktu 5 tahun mulai berbuah. Lebatnya juga tidak ketulungan.
Tapi aneh. Setelah punya pohon kelapa sendiri yang ngamuk berbuah seperti milik orang kaya itu, selera saya menenggak kelapa muda, berhenti. Buah kelapa saya biarkan saja tergantung di pohonnya sampai tua. Baru kalau ada bahaya bisa menjatuhi kepala orang lewat, atau menghajar kap mobil, saya suruh sopir menurunkannya.
Ketika satpam di kompleks dengan malu-malu datang minta satu dua kelapa muda untuk buka puasa, dengan tangan terbuka saya persilakan.
”Silakan-silakan, ambil saja. Sepuluh juga boleh!”
Satpam itu nampak segan.
”Dua saja cukup, Pak,” katanya malu-malu.
Tapi belakangan pembantu saya mengadu.
”Bukan dua, bukan tiga, bukan lima, tapi sepuluh butir kelapa yang dipetik si Rakus itu, Pak!”
Saya sabarkan dia. Saya bilang, pohon kelapa itu justru akan semakin rajin berbuah kalau buahnya dipetik. Pembantu saya tidak berani menjawab. Tapi dia ngedumel terus. Mungkin dia marah karena tidak diberi. Saya biarkan saja itu jadi urusannya.
Bulan puasa berikutnya, satpam itu tidak minta izin lagi. Dia selalu memetik kelapa kalau mau buka. Kembali pembantu saya marah. Saya hanya ketawa.
”Kalau kamu mau, ambil sendiri dong, jangan marah doang,” kata saya .
”Bukan begitu, Pak.”
”Minta tolong sopir biar kamu dipetikin!”
”Terima kasih, Pak. Memangnya saya tupai, saya tidak doyan kelapa!”
Saya ketawa. Kalau pembantu berani ngumpat-umpat di muka majikan seperti itu, bagi saya tanda hubungan kemanusiaan di antara kami masih sehat. Saya tidak pernah menganggap pembantu itu manusia yang lebih rendah dari majikan. Itu soal pembagian tugas dan nasib saja. Itu karena ibu saya sendiri dulu adalah bekas pembantu.
Tapi kemarin, pembantu saya mengetuk pintu kamar. Saya agak marah, karena saya sedang tidur enak.
”Kan sudah aku bilang aku mau tidur, jangan diganggu!”
”Tapi ini gawat, Pak.”
”Gawat apa?”
”Memangnya Bapak sudah ngijinin?”
”Ngijinin apa?”
”Itu ada dua orang yang lagi ngambil kelapa, Pak!”
”Biarin aja. Apa salahnya satpam buka dengan air kelapa muda? Satpam juga manusia. Kamu saja terlalu sensitif!”
”Tapi itu bukan si Rakus itu, Pak!”
”Bukan?”
”Bukan sekali!”
”Siapa?”
”Coba Bapak lihat sendiri. Nyebelin sekali, Pak. Sudah tidak pakai permisi, main ambil tangga aja. Apa dia pikir itu punya moyangnya, pakai golok di dapur segala, nyuruh bikin kopi lagi, Pak!”
Saya tertegun. Sambil membetulkan resluiting celana, saya keluar rumah.
Di atas pohon kelapa nampak seorang lelaki sedang mengebul-ngebulkan asap rokok. Ada tali yang terentang ke bawah dari dahan kelapa, untuk mengirim kelapa yang tangkainya sudah di kapak. Di dekat bak sampah, temannya sedang memasukkan kelapa yang sudah dipetik ke dalam karung. Saya hitung sudah dua karung. Rupanya kelapa saya mau disikat habis.
”Heee, lagi ngapain?” teriak saya terkejut.
Lelaki yang di bawah menoleh. Dia tersenyum sopan.
”Selamat sore, Pak.”
”Kamu lagi ngapain?”
”Lagi metikin kelapa, Pak.”
”Lho, ini kan kelapa saya?”
”Betul, Pak.”
”Kenapa dipetik?”
”Nanti ketuaan, Pak?”
“Lho apa urusan kamu? Ini kan pohon kelapa saya?”
Orang itu berteriak kepada temannya yang di atas.
”Jo, Bapaknya nanyain ini!”
Orang yang di atas menoleh ke bawah, ke arah saya.
”Kenapa Pak?”
”Emang kamu mau ngabisin kelapa saya?”
”Ya sekalian, Pak. Besok saya mudik.”
”Terserah. Tapi ini kelapa saya!”
”Ya, Pak!”
”Ya apa?! Kenapa kamu ambilin kelapa saya?”
Orang itu tertegun heran.
”Emang kenapa Pak?”
Saya mulai marah.
”Jangan ngomong dari atas. Ayo turun kamu!”
”Tinggal dikit lagi, Pak. Nanggung.”
Saya tambah keki.
”Turunnn!”
Suara saya menggelegar. Saya sendiri terkejut. Tetangga depan rumah sampai melonggokkan kepalanya di jendela. Lelaki di atas pohon itu tiba-tiba menjatuhkan kapak dari atas pohon. Menancap ke atas rumput depan pagar. Darah saya tersirap, seakan kapak mengiris leher saya. Terus terang saya ngeper. Meskipun kelapa itu milik saya, saya tidak mau mati konyol hanya karena soal kelapa.
”Kenapa Pak?” tanya lelaki itu setelah dengan sigapnya turun.
”Saya cuma mau tanya. Kenapa kalian memetik kelapa saya?”
”Tapi kan saya sudah saya bayar, Pak.”
”Apa?”
”Sudah saya bayar, Pak.”
”Bayar apa?”
”Harganya. Kan sudah saya naikkan seperti yang diminta.”
”Harga apa?”
”Harga kelapanya semua, Pak.”
”Kamu beli kelapa saya?”
”Ya Pak.”
”Tapi ini kelapa saya, tahu!”
”Betul Pak!”
”Kelapa ini tidak dijual!”
Lelaki itu bingung. Dia menoleh temannya. Lalu temannya menghampiri. Dia berusaha menjadi penengah. Dengan suara yang sejuk, dia menyapa.
”Kami sudah bayar lunas, Pak.”
”Bayar lunas apa?”
”Kelapanya. Semua. Kami borong, Pak.”
”Aku tidak jual kelapa!”
Ganti orang itu nampak heran. Dia balik menoleh temannya. Lalu temannya mengambil kapak. Dada saya berdetak. Semangat saya amblas. Saya betul-betul tidak ingin berkelahi soal kelapa. Itu terlalu sembrono.
”Begini, Pak,” kata lelaki yang membawa kapak itu, ”Memang belum lunas semua, tapi seperempatnya lagi akan dibayar setelah kami rampung.”
Lelaki itu lalu merogoh saku mengeluarkan dompet.
”Mana duitnya?!”
Temannya ikut merogoh saku dan mengeluarkan amplop.
”Nih lunasi sekarang!”
Lelaki itu memasukkan isi dompetnya ke dalam amplop.
”Sana kasih sekarang!”
”Tapi itu kelapanya masih ada?”
”Udah cukup. Bapak ini kali mau minta yang kecil-kecil itu jangan diambil dulu,” katanya sambil menoleh saya dengan tersenyum. ”Ya kami juga tidak akan ngambil itu, Pak. Ini saja sudah cukup. Cepetan sana bayar!”
Orang yang membawa amplop itu bergerak pergi menuju ke pos satpam.
”Begitu, Pak. Kami tidak pernah nakal.”
”Jadi kamu beli kelapa saya?”
”Ya Pak.”
”Beli dari siapa?”
”Pak satpam, Pak.”
Saya terhenyak. Marah saya meledak lagi. Tapi kapak di tangan lelaki itu terlalu menakutkan. Saya terpaksa menelan perasaan saya. Lelaki itu tidak bicara lagi. Ia memasukkan semua kelapa yang dia anggap sudah dibelinya ke dalam karung. Waktu itu tetangga saya keluar dari rumah dan menyapa.
”Dijual berapa?”
Saya hanya menggeleng. Tapi lelaki yang membawa kapak itu menyahut.
”Seratus ribu, Pak.”
”Wah lumayan! Boleh juga!”
Saya tak menjawab. Sayup-sayup saya dengar suara satpam di pos. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tak sanggup melihat buah yang selalu saya pandangi sebagai keindahan itu, sekarang berserakan di jalan, diam-diam saya masuk ke rumah. Korden jendela saya tutup. Saya tidak mau atau katakan saja takut melihat kenyataan itu.
Di luar saya dengar suara entakan sepatu satpam datang. Saya tak percaya dia akan masuk, lalu menyerahkan hasil penjualannya. Itu hanya harapan saya. Dan saya jadi benci sekali karena semuanya itu tetap hanya harapan.
Semalaman saya tak bisa tidur. Istri saya menyarankan agar menegur satpam yang kurang ajar itu. Tapi saya punya rencana yang lain. Orang itu tidak cukup ditegur. Dia harus diberi pelajaran biar tahu rasa.
Pagi-pagi, saya berunding dengan sopir yang antar-jemput saya ke kantor.
”Kamu mau berbuat baik, Jon?”
”Apa itu, Pak, boleh.”
”Kamu tahu tukang sayur yang selalu lewat dengan gerobaknya pagi-pagi itu?”
”Tahu, Pak.”
”Cantik kan?”
”Ah Bapak, sudah peot begitu, masak cantik.”
”Jangan begitu. Dulu dia cantik. Sekarang karena kurang terurus dan kerja keras, anaknya juga sudah dua, jadi layu begitu.”
”Ya Pak. Dia suka mengeluh, suaminya mau kawin lagi. Tidak pernah ngurus anak bininya sekarang. Pulang juga jarang.”
”Coba hibur dia.”
”Hibur bagaimana, Pak?”
”Kembalikan kepercayaan dirinya!”
”Bagaimana itu Pak?”
”Kamu katakan kepada dia, dia itu sebenarnya cantik, asal mau mengurus badannya lagi.”
Sopir ketawa.
”Ah Bapak bisa aja!”
”Lho ya nggak? Jujur saja! Kalau dia mau nguruskan badan lagi, dengan gampang dia bisa dapat suami baru. Ya tidak?!”
Sopir saya ketawa. Dia melirik saya dengan mata curiga.
”Aku serius!”
Sopir itu tak menjawab. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Di kantor saya intip dia bisik-bisik dengan sopir lain. Pasti sedang menebar gosip. Saya pura-pura tidak tahu. Tetapi kemudian apa yang saya rencanakan terjadi.
Sehari kemudian, sore menjelang saat buka, terjadi kegegeran. Satpam sudah menunggu saya di teras. Mukanya nampak terlipat oleh kemarahan.
”Kenapa Min?”
”Ada masalah, Pak!”
”Masalah apa lagi? Ada bom?”
”Bukan ini pribadi, Pak!”
”O, kamu mau kawin lagi?”
”Ah itu gosip, Pak!”
”Atau sudah kawin?”
”Sumpah, Pak, mana mungkin saya kawin lagi… Yang satu saja tidak sanggup saya urus, sampai dia terpaksa jualan sayur dengan gerobak.”
”Ya, kamu kok sampai hati membiarkan istri kamu dorong gerobak, padahal dia asma kan?”
”Itulah, Pak!”
”Makanya jangan kawin melulu!”
”Sumpah, Pak, tidak. Malah saya yang kena batunya sekarang!”
”Kena batunya gimana?”
”Istri saya ada yang godaan, Pak!”
”O ya?”
”Betul, Pak! Istri saya digoda!”
”Digoda bagaimana?”
”Masak istri saya dibilang cantik, Pak!”
”Lho istri kamu kan memang dulu cantik? Kalau tidak, mana mau kamu!”
”Memang. Tapi itu kan dulu, Pak. Sekarang anaknya sudah dua, asma lagi, mana ada cantiknya. Nggak ada orang yang akan melirik dia, kecuali kalau ada niat jahat.”
”Maksudmu apa?”
Satpam itu pindah kursi, mendekat, lalu bicara dengan berbisik.
”Ini menyangkut sopir Bapak.”
”Si Jon?”
”Betul, Pak.”
”Kenapa dia?”
”Masak dia merayu istri saya, Pak!”
”Merayu bagaimana?”
”Katanya, istri saya itu sebenarnya cantik, asal saja mau dandan lagi. Kalau sudah dandan dia nanti gampang cari suami baru! Begitu Pak!”
”Terus?”
”Ya kalau si Jon itu tidak ada maksud apa-apa, dia tidak akan bilang begitu. Saya tahu persis apa maunya kalau laki-laki sudah ngomong memuji-muji begitu. Perempuan kan lemah hatinya, Pak. Kalau sudah dipuji, apa saja dia kasih.”
”O ya?”
”Betul, Pak.”
”Jadi sekarang maksudmu apa?”
”Ya, Bapak tolong kasih tahu, janganlah si Jon itu coba-coba dengan istri saya!”
”Tapi kamu kan sudah tidak memperhatikan istri kamu lagi.”
”Bukan tidak memperhatikan, Pak.”
”Terus apa?”
”Nggak punya duit saja, Pak. Bagaimana saya memperhatikan kalau tidak ada duit yang bisa saya kasihkan?”
”Memperhatikan itu tidak harus dengan duit. Istri kamu kan sudah kerja sendiri. Katanya malah kamu yang sering minta duit dari dia? Betul?”
”Betul, Pak.”
”Kenapa?”
”Kan dia itu istri saya!”
”Jadi, meskipun tidak kamu perhatikan, dia itu tetap istri kamu kan?!!”
”Betul, Pak. Makanya saya marah. Hanya karena saya ini satpam, saya jadi serbasalah. Saya tidak berani melakukan kekerasan, masak satpam yang harusnya menjaga keamanan melakukan kekerasan. Tidak betul kan, Pak!”
”Jadi maksud kamu apa?”
”Saya minta Bapak ngasih tahu si Jon, janganlah ganggu istri saya. Meskipun tidak saya perhatikan, tapi dia tetap istri saya. Orang tidak boleh mengganggu perempuan yang masih berstatus istri orang lain. Ya kan Pak?!”
Di situ saya tertegun. Jadi dia bukan tidak mengerti. Dia tahu. Meskipun tidak ditunjuk-tunjukkan, hak itu tetap hak. Kenapa dia sangat mengerti dan menuntut haknya agar dihormati sebagai suami oleh orang lain, tapi pada saat yang sama dia dengan seenaknya saja melangkahi hak saya terhadap pohon kelapa. Apa karena tidak saya petik, berarti kelapa itu boleh dia jual?
Lamunan saya terganggu, karena tiba-tiba istri satpam, tukang sayur itu, muncul.
”Jangan didengar omongannya, Pak!” katanya dengan berani. ”Dia ngaku-ngaku saya istrinya lagi, karena ada maunya! Baru dengar saya dapat warisan dari nenek saya di kampung, langsung dia ngaku bapaknya anak-anak lagi. Tapi kemaren-kemaren apaan, anak-anaknya sendiri digebukin, kepala saya dikencingin!”
Saya takjub. Satpam itu kelihatan pucat. Tapi tiba-tiba dia membentak.
”Ngapain lu ikut-ikutan kemari? Pulang!”
Istrinya sama sekali tidak takut. Ia balas menggertak.
”Lu kagak usah nyuruh-nyuruh gua pulang, gua memang mau balik kampung sekarang. Gua cuma mau pamitan sama Bapak! Pak, saya pamit pulang, Pak. Maapin kalau saya ada salah.”
Perempuan itu mengulurkan tangan minta bersalaman. Saya terpaksa menyambutnya. Ia mencium tangan saya sambil menangis.
”Maapin kesalahan-kesalahan saya, Pak, saya terpaksa pulang. Saya tidak kuat lagi di sini.”
Satpam mula-mula hanya memandang, tetapi kemudian berdiri, lalu menarik istrinya untuk dibawa pulang. Yang ditarik melawan. Saya terpukau menonton. Untung istri saya muncul dan menarik istri satpam itu, langsung diselamatkan masuk.
Satpam tidak berani bertindak lebih jauh. Seperti orang tolol dia berdiri di depan saya. Saya siap mencegah, kalau dia mencoba mau menyusul masuk. Tapi itu tidak terjadi. Malah kemudian dia menangis.
Saya tunggu saja sampai tangisnya reda. Rasanya agak aneh melihat satpam mewek seperti itu.
”Saya memang salah, Pak.” katanya kemudian, ”Saya baru ingat istri, kalau sudah ada yang menggoda. Hari-hari saya sia-siakan. Anak tidak pernah saya urusin. Giliran mereka mau pulang kampung, baru saya sadar. Untung dia bilang, jadi saya bisa nyegah. Untung dia mau pulang, kalau tidak, saya pasti terus lupa saya sudah punya istri, punya dua anak. Saya sudah lupa daratan, Pak Saya menyesal, Pak.”
Saya tidak menjawab. Saya menunggu dia bergerak satu langkah lagi. Minta maaf sebab dia sudah dengan seenak perutnya menjual kelapa saya tanpa persetujuan. Tapi penantian itu nampaknya akan sia-sia. Satpam itu lebih sibuk memikirkan istrinya yang baru dapat warisan itu tapi akan meninggalkannya. Saya jadi geram. Akhirnya saya terpaksa ngomong juga.
”Jadi sekarang kamu sadar! Memang kita baru ingat milik kita kalau sudah diambil orang. Itu biasa. Semua orang juga begitu! Tapi meskipun maling itu ada gunanya, tetap saja namanya maling!! Kudu dihukum!”
Satpam terkejut. Mukanya merah padam. Tiba-tiba ia berhenti menangis lalu berkata geram.
”Kurangaajar! Pasti si Jon tahu istri saya dapat warisan! Malingggg!” teriaknya ganas sambil mencabut pisau lalu kabur ke garasi tempat sopir saya membersihkan mobil.
”Malingggg!”
Saya jatuh bangun mengejar. Tapi terlambat. Dia sudah membacok tengkuk sopir saya.
Untung si Jon seorang pendekar. Dengan refleknya yang luar biasa dia menepis serangan satpam itu. Pisau satpam terlempar ke tembok. Lalu tangan si Jon terangkat. Tangan yang bisa membelah tumpukan bata itu akan meretakkan muka satpam. Saya berteriak.
”Jangan!!!!!”
Sekarang saya menyesal.
”Mengapa Bapak teriak jangan? Maling apa pun alasannya, perlu mendapat pelajaran, biar kapok!” kata istri saya mencak-mencak, sesudah peristiwa itu berlalu.
Sebenarnya saya tidak bermaksud mencegah. Hanya sopir saya tidak mengerti, dengan berteriak ”jangan” maksud saya ”hajar”. Masak saya harus bilang pukul. Nanti saya disalahkan menzalimi orang lemah. Saya kan ketua RT. ***
Jakarta, 4 September 09 (setelah berita tentang Pulau Jemur)
—
*) Cerpenis, dramawan, pendiri Teater Mandiri.
http://www.jawapos.com/
Di jalanan yang sudah bertahun-tahun saya lalui, ada rumah orang kaya. Depan rumahnya ada sebatang pohon kelapa gading. Buahnya terus berlimpahan seperti mau tumpah. Kalau lewat di situ, saya selalu kagum. Tapi juga tak habis pikir. Mengapa kelapa itu tak pernah dijamah. Mungkin pemiliknya terlalu kaya sehingga sudah tidak doyan lagi minum air kelapa. Padahal kalau saya yang punya, tiap hari tidak akan pernah saya biarkan lewat tanpa rujak kelapa muda.
Perasaan saya sama dengan orang-orang lain. Mereka juga heran. Karena mereka pun tahu, setiap bulan puasa, kelapa muda di mana-mana laris. Hanya dengan gula merah dan jeruk nipis, buah itu mengantar ke surga di saat buka. Diteguk langsung juga sedapnya bukan main. Semua minuman keluaran pabrik yang digondeli seabrek bahan pengawet dan zat warna, lewat. Kelapa memang nomor satu.
***
Setelah berhasil membeli rumah yang saya kontrak, yang pertama saya lakukan adalah menanam pohon kelapa gading. Tidak perlu diurus, tak peduli bagaimana curah hujan, kemarau kepanjangan sekalipun, pohon kelapa itu terus tumbuh. Dalam waktu 5 tahun mulai berbuah. Lebatnya juga tidak ketulungan.
Tapi aneh. Setelah punya pohon kelapa sendiri yang ngamuk berbuah seperti milik orang kaya itu, selera saya menenggak kelapa muda, berhenti. Buah kelapa saya biarkan saja tergantung di pohonnya sampai tua. Baru kalau ada bahaya bisa menjatuhi kepala orang lewat, atau menghajar kap mobil, saya suruh sopir menurunkannya.
Ketika satpam di kompleks dengan malu-malu datang minta satu dua kelapa muda untuk buka puasa, dengan tangan terbuka saya persilakan.
”Silakan-silakan, ambil saja. Sepuluh juga boleh!”
Satpam itu nampak segan.
”Dua saja cukup, Pak,” katanya malu-malu.
Tapi belakangan pembantu saya mengadu.
”Bukan dua, bukan tiga, bukan lima, tapi sepuluh butir kelapa yang dipetik si Rakus itu, Pak!”
Saya sabarkan dia. Saya bilang, pohon kelapa itu justru akan semakin rajin berbuah kalau buahnya dipetik. Pembantu saya tidak berani menjawab. Tapi dia ngedumel terus. Mungkin dia marah karena tidak diberi. Saya biarkan saja itu jadi urusannya.
Bulan puasa berikutnya, satpam itu tidak minta izin lagi. Dia selalu memetik kelapa kalau mau buka. Kembali pembantu saya marah. Saya hanya ketawa.
”Kalau kamu mau, ambil sendiri dong, jangan marah doang,” kata saya .
”Bukan begitu, Pak.”
”Minta tolong sopir biar kamu dipetikin!”
”Terima kasih, Pak. Memangnya saya tupai, saya tidak doyan kelapa!”
Saya ketawa. Kalau pembantu berani ngumpat-umpat di muka majikan seperti itu, bagi saya tanda hubungan kemanusiaan di antara kami masih sehat. Saya tidak pernah menganggap pembantu itu manusia yang lebih rendah dari majikan. Itu soal pembagian tugas dan nasib saja. Itu karena ibu saya sendiri dulu adalah bekas pembantu.
Tapi kemarin, pembantu saya mengetuk pintu kamar. Saya agak marah, karena saya sedang tidur enak.
”Kan sudah aku bilang aku mau tidur, jangan diganggu!”
”Tapi ini gawat, Pak.”
”Gawat apa?”
”Memangnya Bapak sudah ngijinin?”
”Ngijinin apa?”
”Itu ada dua orang yang lagi ngambil kelapa, Pak!”
”Biarin aja. Apa salahnya satpam buka dengan air kelapa muda? Satpam juga manusia. Kamu saja terlalu sensitif!”
”Tapi itu bukan si Rakus itu, Pak!”
”Bukan?”
”Bukan sekali!”
”Siapa?”
”Coba Bapak lihat sendiri. Nyebelin sekali, Pak. Sudah tidak pakai permisi, main ambil tangga aja. Apa dia pikir itu punya moyangnya, pakai golok di dapur segala, nyuruh bikin kopi lagi, Pak!”
Saya tertegun. Sambil membetulkan resluiting celana, saya keluar rumah.
Di atas pohon kelapa nampak seorang lelaki sedang mengebul-ngebulkan asap rokok. Ada tali yang terentang ke bawah dari dahan kelapa, untuk mengirim kelapa yang tangkainya sudah di kapak. Di dekat bak sampah, temannya sedang memasukkan kelapa yang sudah dipetik ke dalam karung. Saya hitung sudah dua karung. Rupanya kelapa saya mau disikat habis.
”Heee, lagi ngapain?” teriak saya terkejut.
Lelaki yang di bawah menoleh. Dia tersenyum sopan.
”Selamat sore, Pak.”
”Kamu lagi ngapain?”
”Lagi metikin kelapa, Pak.”
”Lho, ini kan kelapa saya?”
”Betul, Pak.”
”Kenapa dipetik?”
”Nanti ketuaan, Pak?”
“Lho apa urusan kamu? Ini kan pohon kelapa saya?”
Orang itu berteriak kepada temannya yang di atas.
”Jo, Bapaknya nanyain ini!”
Orang yang di atas menoleh ke bawah, ke arah saya.
”Kenapa Pak?”
”Emang kamu mau ngabisin kelapa saya?”
”Ya sekalian, Pak. Besok saya mudik.”
”Terserah. Tapi ini kelapa saya!”
”Ya, Pak!”
”Ya apa?! Kenapa kamu ambilin kelapa saya?”
Orang itu tertegun heran.
”Emang kenapa Pak?”
Saya mulai marah.
”Jangan ngomong dari atas. Ayo turun kamu!”
”Tinggal dikit lagi, Pak. Nanggung.”
Saya tambah keki.
”Turunnn!”
Suara saya menggelegar. Saya sendiri terkejut. Tetangga depan rumah sampai melonggokkan kepalanya di jendela. Lelaki di atas pohon itu tiba-tiba menjatuhkan kapak dari atas pohon. Menancap ke atas rumput depan pagar. Darah saya tersirap, seakan kapak mengiris leher saya. Terus terang saya ngeper. Meskipun kelapa itu milik saya, saya tidak mau mati konyol hanya karena soal kelapa.
”Kenapa Pak?” tanya lelaki itu setelah dengan sigapnya turun.
”Saya cuma mau tanya. Kenapa kalian memetik kelapa saya?”
”Tapi kan saya sudah saya bayar, Pak.”
”Apa?”
”Sudah saya bayar, Pak.”
”Bayar apa?”
”Harganya. Kan sudah saya naikkan seperti yang diminta.”
”Harga apa?”
”Harga kelapanya semua, Pak.”
”Kamu beli kelapa saya?”
”Ya Pak.”
”Tapi ini kelapa saya, tahu!”
”Betul Pak!”
”Kelapa ini tidak dijual!”
Lelaki itu bingung. Dia menoleh temannya. Lalu temannya menghampiri. Dia berusaha menjadi penengah. Dengan suara yang sejuk, dia menyapa.
”Kami sudah bayar lunas, Pak.”
”Bayar lunas apa?”
”Kelapanya. Semua. Kami borong, Pak.”
”Aku tidak jual kelapa!”
Ganti orang itu nampak heran. Dia balik menoleh temannya. Lalu temannya mengambil kapak. Dada saya berdetak. Semangat saya amblas. Saya betul-betul tidak ingin berkelahi soal kelapa. Itu terlalu sembrono.
”Begini, Pak,” kata lelaki yang membawa kapak itu, ”Memang belum lunas semua, tapi seperempatnya lagi akan dibayar setelah kami rampung.”
Lelaki itu lalu merogoh saku mengeluarkan dompet.
”Mana duitnya?!”
Temannya ikut merogoh saku dan mengeluarkan amplop.
”Nih lunasi sekarang!”
Lelaki itu memasukkan isi dompetnya ke dalam amplop.
”Sana kasih sekarang!”
”Tapi itu kelapanya masih ada?”
”Udah cukup. Bapak ini kali mau minta yang kecil-kecil itu jangan diambil dulu,” katanya sambil menoleh saya dengan tersenyum. ”Ya kami juga tidak akan ngambil itu, Pak. Ini saja sudah cukup. Cepetan sana bayar!”
Orang yang membawa amplop itu bergerak pergi menuju ke pos satpam.
”Begitu, Pak. Kami tidak pernah nakal.”
”Jadi kamu beli kelapa saya?”
”Ya Pak.”
”Beli dari siapa?”
”Pak satpam, Pak.”
Saya terhenyak. Marah saya meledak lagi. Tapi kapak di tangan lelaki itu terlalu menakutkan. Saya terpaksa menelan perasaan saya. Lelaki itu tidak bicara lagi. Ia memasukkan semua kelapa yang dia anggap sudah dibelinya ke dalam karung. Waktu itu tetangga saya keluar dari rumah dan menyapa.
”Dijual berapa?”
Saya hanya menggeleng. Tapi lelaki yang membawa kapak itu menyahut.
”Seratus ribu, Pak.”
”Wah lumayan! Boleh juga!”
Saya tak menjawab. Sayup-sayup saya dengar suara satpam di pos. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tak sanggup melihat buah yang selalu saya pandangi sebagai keindahan itu, sekarang berserakan di jalan, diam-diam saya masuk ke rumah. Korden jendela saya tutup. Saya tidak mau atau katakan saja takut melihat kenyataan itu.
Di luar saya dengar suara entakan sepatu satpam datang. Saya tak percaya dia akan masuk, lalu menyerahkan hasil penjualannya. Itu hanya harapan saya. Dan saya jadi benci sekali karena semuanya itu tetap hanya harapan.
Semalaman saya tak bisa tidur. Istri saya menyarankan agar menegur satpam yang kurang ajar itu. Tapi saya punya rencana yang lain. Orang itu tidak cukup ditegur. Dia harus diberi pelajaran biar tahu rasa.
Pagi-pagi, saya berunding dengan sopir yang antar-jemput saya ke kantor.
”Kamu mau berbuat baik, Jon?”
”Apa itu, Pak, boleh.”
”Kamu tahu tukang sayur yang selalu lewat dengan gerobaknya pagi-pagi itu?”
”Tahu, Pak.”
”Cantik kan?”
”Ah Bapak, sudah peot begitu, masak cantik.”
”Jangan begitu. Dulu dia cantik. Sekarang karena kurang terurus dan kerja keras, anaknya juga sudah dua, jadi layu begitu.”
”Ya Pak. Dia suka mengeluh, suaminya mau kawin lagi. Tidak pernah ngurus anak bininya sekarang. Pulang juga jarang.”
”Coba hibur dia.”
”Hibur bagaimana, Pak?”
”Kembalikan kepercayaan dirinya!”
”Bagaimana itu Pak?”
”Kamu katakan kepada dia, dia itu sebenarnya cantik, asal mau mengurus badannya lagi.”
Sopir ketawa.
”Ah Bapak bisa aja!”
”Lho ya nggak? Jujur saja! Kalau dia mau nguruskan badan lagi, dengan gampang dia bisa dapat suami baru. Ya tidak?!”
Sopir saya ketawa. Dia melirik saya dengan mata curiga.
”Aku serius!”
Sopir itu tak menjawab. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Di kantor saya intip dia bisik-bisik dengan sopir lain. Pasti sedang menebar gosip. Saya pura-pura tidak tahu. Tetapi kemudian apa yang saya rencanakan terjadi.
Sehari kemudian, sore menjelang saat buka, terjadi kegegeran. Satpam sudah menunggu saya di teras. Mukanya nampak terlipat oleh kemarahan.
”Kenapa Min?”
”Ada masalah, Pak!”
”Masalah apa lagi? Ada bom?”
”Bukan ini pribadi, Pak!”
”O, kamu mau kawin lagi?”
”Ah itu gosip, Pak!”
”Atau sudah kawin?”
”Sumpah, Pak, mana mungkin saya kawin lagi… Yang satu saja tidak sanggup saya urus, sampai dia terpaksa jualan sayur dengan gerobak.”
”Ya, kamu kok sampai hati membiarkan istri kamu dorong gerobak, padahal dia asma kan?”
”Itulah, Pak!”
”Makanya jangan kawin melulu!”
”Sumpah, Pak, tidak. Malah saya yang kena batunya sekarang!”
”Kena batunya gimana?”
”Istri saya ada yang godaan, Pak!”
”O ya?”
”Betul, Pak! Istri saya digoda!”
”Digoda bagaimana?”
”Masak istri saya dibilang cantik, Pak!”
”Lho istri kamu kan memang dulu cantik? Kalau tidak, mana mau kamu!”
”Memang. Tapi itu kan dulu, Pak. Sekarang anaknya sudah dua, asma lagi, mana ada cantiknya. Nggak ada orang yang akan melirik dia, kecuali kalau ada niat jahat.”
”Maksudmu apa?”
Satpam itu pindah kursi, mendekat, lalu bicara dengan berbisik.
”Ini menyangkut sopir Bapak.”
”Si Jon?”
”Betul, Pak.”
”Kenapa dia?”
”Masak dia merayu istri saya, Pak!”
”Merayu bagaimana?”
”Katanya, istri saya itu sebenarnya cantik, asal saja mau dandan lagi. Kalau sudah dandan dia nanti gampang cari suami baru! Begitu Pak!”
”Terus?”
”Ya kalau si Jon itu tidak ada maksud apa-apa, dia tidak akan bilang begitu. Saya tahu persis apa maunya kalau laki-laki sudah ngomong memuji-muji begitu. Perempuan kan lemah hatinya, Pak. Kalau sudah dipuji, apa saja dia kasih.”
”O ya?”
”Betul, Pak.”
”Jadi sekarang maksudmu apa?”
”Ya, Bapak tolong kasih tahu, janganlah si Jon itu coba-coba dengan istri saya!”
”Tapi kamu kan sudah tidak memperhatikan istri kamu lagi.”
”Bukan tidak memperhatikan, Pak.”
”Terus apa?”
”Nggak punya duit saja, Pak. Bagaimana saya memperhatikan kalau tidak ada duit yang bisa saya kasihkan?”
”Memperhatikan itu tidak harus dengan duit. Istri kamu kan sudah kerja sendiri. Katanya malah kamu yang sering minta duit dari dia? Betul?”
”Betul, Pak.”
”Kenapa?”
”Kan dia itu istri saya!”
”Jadi, meskipun tidak kamu perhatikan, dia itu tetap istri kamu kan?!!”
”Betul, Pak. Makanya saya marah. Hanya karena saya ini satpam, saya jadi serbasalah. Saya tidak berani melakukan kekerasan, masak satpam yang harusnya menjaga keamanan melakukan kekerasan. Tidak betul kan, Pak!”
”Jadi maksud kamu apa?”
”Saya minta Bapak ngasih tahu si Jon, janganlah ganggu istri saya. Meskipun tidak saya perhatikan, tapi dia tetap istri saya. Orang tidak boleh mengganggu perempuan yang masih berstatus istri orang lain. Ya kan Pak?!”
Di situ saya tertegun. Jadi dia bukan tidak mengerti. Dia tahu. Meskipun tidak ditunjuk-tunjukkan, hak itu tetap hak. Kenapa dia sangat mengerti dan menuntut haknya agar dihormati sebagai suami oleh orang lain, tapi pada saat yang sama dia dengan seenaknya saja melangkahi hak saya terhadap pohon kelapa. Apa karena tidak saya petik, berarti kelapa itu boleh dia jual?
Lamunan saya terganggu, karena tiba-tiba istri satpam, tukang sayur itu, muncul.
”Jangan didengar omongannya, Pak!” katanya dengan berani. ”Dia ngaku-ngaku saya istrinya lagi, karena ada maunya! Baru dengar saya dapat warisan dari nenek saya di kampung, langsung dia ngaku bapaknya anak-anak lagi. Tapi kemaren-kemaren apaan, anak-anaknya sendiri digebukin, kepala saya dikencingin!”
Saya takjub. Satpam itu kelihatan pucat. Tapi tiba-tiba dia membentak.
”Ngapain lu ikut-ikutan kemari? Pulang!”
Istrinya sama sekali tidak takut. Ia balas menggertak.
”Lu kagak usah nyuruh-nyuruh gua pulang, gua memang mau balik kampung sekarang. Gua cuma mau pamitan sama Bapak! Pak, saya pamit pulang, Pak. Maapin kalau saya ada salah.”
Perempuan itu mengulurkan tangan minta bersalaman. Saya terpaksa menyambutnya. Ia mencium tangan saya sambil menangis.
”Maapin kesalahan-kesalahan saya, Pak, saya terpaksa pulang. Saya tidak kuat lagi di sini.”
Satpam mula-mula hanya memandang, tetapi kemudian berdiri, lalu menarik istrinya untuk dibawa pulang. Yang ditarik melawan. Saya terpukau menonton. Untung istri saya muncul dan menarik istri satpam itu, langsung diselamatkan masuk.
Satpam tidak berani bertindak lebih jauh. Seperti orang tolol dia berdiri di depan saya. Saya siap mencegah, kalau dia mencoba mau menyusul masuk. Tapi itu tidak terjadi. Malah kemudian dia menangis.
Saya tunggu saja sampai tangisnya reda. Rasanya agak aneh melihat satpam mewek seperti itu.
”Saya memang salah, Pak.” katanya kemudian, ”Saya baru ingat istri, kalau sudah ada yang menggoda. Hari-hari saya sia-siakan. Anak tidak pernah saya urusin. Giliran mereka mau pulang kampung, baru saya sadar. Untung dia bilang, jadi saya bisa nyegah. Untung dia mau pulang, kalau tidak, saya pasti terus lupa saya sudah punya istri, punya dua anak. Saya sudah lupa daratan, Pak Saya menyesal, Pak.”
Saya tidak menjawab. Saya menunggu dia bergerak satu langkah lagi. Minta maaf sebab dia sudah dengan seenak perutnya menjual kelapa saya tanpa persetujuan. Tapi penantian itu nampaknya akan sia-sia. Satpam itu lebih sibuk memikirkan istrinya yang baru dapat warisan itu tapi akan meninggalkannya. Saya jadi geram. Akhirnya saya terpaksa ngomong juga.
”Jadi sekarang kamu sadar! Memang kita baru ingat milik kita kalau sudah diambil orang. Itu biasa. Semua orang juga begitu! Tapi meskipun maling itu ada gunanya, tetap saja namanya maling!! Kudu dihukum!”
Satpam terkejut. Mukanya merah padam. Tiba-tiba ia berhenti menangis lalu berkata geram.
”Kurangaajar! Pasti si Jon tahu istri saya dapat warisan! Malingggg!” teriaknya ganas sambil mencabut pisau lalu kabur ke garasi tempat sopir saya membersihkan mobil.
”Malingggg!”
Saya jatuh bangun mengejar. Tapi terlambat. Dia sudah membacok tengkuk sopir saya.
Untung si Jon seorang pendekar. Dengan refleknya yang luar biasa dia menepis serangan satpam itu. Pisau satpam terlempar ke tembok. Lalu tangan si Jon terangkat. Tangan yang bisa membelah tumpukan bata itu akan meretakkan muka satpam. Saya berteriak.
”Jangan!!!!!”
Sekarang saya menyesal.
”Mengapa Bapak teriak jangan? Maling apa pun alasannya, perlu mendapat pelajaran, biar kapok!” kata istri saya mencak-mencak, sesudah peristiwa itu berlalu.
Sebenarnya saya tidak bermaksud mencegah. Hanya sopir saya tidak mengerti, dengan berteriak ”jangan” maksud saya ”hajar”. Masak saya harus bilang pukul. Nanti saya disalahkan menzalimi orang lemah. Saya kan ketua RT. ***
Jakarta, 4 September 09 (setelah berita tentang Pulau Jemur)
—
*) Cerpenis, dramawan, pendiri Teater Mandiri.
Selasa, 09 Maret 2010
Walter Savage Landor (1775-1864)
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=438
DAUN DEMI DAUN GUGUR
Walter Savage Landor
Daun demi daun gugur, bunga demi bunga,
Disaat dingin, disaat panas: sebarang waktunya.
Hidup-hidup ia berkembang, hidup-hidup berguguran,
Semua disambut bumi, yang beri mereka makan.
Haruskah kita, putranya lebih budiman, kecewa
Kembali kekandungannya, bila hidup henti bernyala?
Walter Savage Landor (30 January 1775 – 17 September 1864), penyair Inggris lahir di Ipsley (Inggris) meninggal di Florence (Itali). Berpendidikan universitas Oxford, muncul dengan himpunan Poems 1795, dan Gebir 1798. Tahun 1808 ikut bertempur di Spanyol melawan Napoleon. Terkenal oleh tragedi Don Julian 1818, sesudahnya di Prancis, berpindah ke Itali, mengarang Imagery Conversation of literary men and statesmen (1824 - 1829), di dalamnya mengemukakan, terpenting pada esai ialah bentuknya. Landor cenderung pada pujangga-pujangga Yunani Purba. Berpindah ke Como (Swiss) lalu ke Prancis, lantas ke Inggris, kembali ke Itali untuk hidup seterusnya, atas keadaan tersebut bisa dianggap Landor seorang berjiwa gelisah. Buahpenanya penting The examination of William Shakespeare touching deer-stealing (1834), Pericles and Aspasia (1836), Pentamaron (1837), Hellenici (1847), dan Poemeta et Inscriptiones (1847), sedangkan karangan tonilnya tidak kuat. {dari buku Puisi Dunia, jilid II, disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka 1953}.
***
Karena di sini puisinya pendek, maka izinkan diriku, menafsirkan baris-perbaris darinya:
I
Jiwa gelisah yang mengagumkan, sedaun-daun coklat penuh ruapan kata-kata, sealunan tembang kehidupan.
Bunga-bunga sumekar ditandainya nafas-nafas, sedari dengungan bathin meluncur tiada terasa, seperti suara brenggenggen melepas.
Ada selalu mengatup dirongga dada, merindu tak lekas sirna.
Langkah kesemangatan tegakkan diri, meski bayangan lenyap ke dasar kemarau, di tengah pencarian sejati.
Landor menyungguhkan takdirnya, selembut debu-debu menerpa kulit, direkatkan asinnya keringat.
II
Tekanan hawa dingin, pun yang terasa panas, menebalkan makna berasal rentangan peristiwa.
Menyungguhi segenap rasa, bagi rekaman tidak lekang perubahan niat.
Manakala badan bersatu hasrat kesadaran purna menjiwai tapakan.
Menggigil ngeri sedap-suntuk, menyadap hayat menjadi telempap akan harkat musabab.
Pada gilirannya ketentraman melekat dalam kodrat iradat, laksana tangkai menjalar menggayuh cahaya.
Malam-siang sebinar pandang kefahaman, akan lakon hidup dijalankan.
III
Pun usaha keras memekarkan kembang pula layu berguguran di hari kemudian. Maka sebaik kesempatan, mengisi kemungkinan.
Pergeseran nilai juga warna keadaban terasa, dimengerti bagi terus mempelajari.
Menimba sumur bathin sendiri, selepas menggali tanah-tanah keras perbedaan.
Olehnya, karya bukan sekadar meniupkan ruh, tapi juga makna menegaskan pendirian.
Antara gejolak jaman mematangkan pribadi, pada ras kemanusiaan.
IV
Ladang pencapaian pengorbanan darah semangat juang.
Tetes-tetes keringat berkesungguhan renungan, pada gerak menguliti yang bertetap.
Sambutlah kesegaran pertiwi akan direstui kelapangan maknawi.
Di sini bahasa terawat pembaca yang jenak mengunyah garam memamah pahit ideologi, diterbangkan melampaui isme-isme.
Sebebas burung-burung lepas dari sangkarnya, demi menemui keindahan lain, penyeimbang pertikaian.
V
Daun demi daun gugur tiada patut disesali, selepas disisir angin menyanyikan kabar kemenjadian.
Yang masih hidup dan telah tiada saling melengkapi, kekecewaan hanya di kamusnya pengangguran, yang merindu masa depan tanpa menghimpun kemampuan.
Satu demi satu lidi dikumpulkan ikatan, mental ditempa meradang haus, digenapi kesadaran menyunggi soal.
Dan puisi salah satu mata kunci, demi membuka lelembarannya.
VI
Landor terus pertentangkan tanya yang telah digenggam dalam hayat, tempatnya pengujian kandungan misteri.
Selalu dipahat bersegala dinaya, demi dapati siratan abadi, hembusan leliku penelusurannya.
Atas tebusan waktu-waktu pengelanaannya, dipenuhi gelisah.
Serasa dirinya ingin berbagi kepada semua, untuk mendapati yang patut disenandungkan.
Namun keterbatasan ruang-waktu, jarak kerutan-dahi pada laju usia.
Dirinya melesatkan anak panah, serta lantaran pengalaman jelajah, menjegal keraguan hingga mengena.
http://pustakapujangga.com/?p=438
DAUN DEMI DAUN GUGUR
Walter Savage Landor
Daun demi daun gugur, bunga demi bunga,
Disaat dingin, disaat panas: sebarang waktunya.
Hidup-hidup ia berkembang, hidup-hidup berguguran,
Semua disambut bumi, yang beri mereka makan.
Haruskah kita, putranya lebih budiman, kecewa
Kembali kekandungannya, bila hidup henti bernyala?
Walter Savage Landor (30 January 1775 – 17 September 1864), penyair Inggris lahir di Ipsley (Inggris) meninggal di Florence (Itali). Berpendidikan universitas Oxford, muncul dengan himpunan Poems 1795, dan Gebir 1798. Tahun 1808 ikut bertempur di Spanyol melawan Napoleon. Terkenal oleh tragedi Don Julian 1818, sesudahnya di Prancis, berpindah ke Itali, mengarang Imagery Conversation of literary men and statesmen (1824 - 1829), di dalamnya mengemukakan, terpenting pada esai ialah bentuknya. Landor cenderung pada pujangga-pujangga Yunani Purba. Berpindah ke Como (Swiss) lalu ke Prancis, lantas ke Inggris, kembali ke Itali untuk hidup seterusnya, atas keadaan tersebut bisa dianggap Landor seorang berjiwa gelisah. Buahpenanya penting The examination of William Shakespeare touching deer-stealing (1834), Pericles and Aspasia (1836), Pentamaron (1837), Hellenici (1847), dan Poemeta et Inscriptiones (1847), sedangkan karangan tonilnya tidak kuat. {dari buku Puisi Dunia, jilid II, disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka 1953}.
***
Karena di sini puisinya pendek, maka izinkan diriku, menafsirkan baris-perbaris darinya:
I
Jiwa gelisah yang mengagumkan, sedaun-daun coklat penuh ruapan kata-kata, sealunan tembang kehidupan.
Bunga-bunga sumekar ditandainya nafas-nafas, sedari dengungan bathin meluncur tiada terasa, seperti suara brenggenggen melepas.
Ada selalu mengatup dirongga dada, merindu tak lekas sirna.
Langkah kesemangatan tegakkan diri, meski bayangan lenyap ke dasar kemarau, di tengah pencarian sejati.
Landor menyungguhkan takdirnya, selembut debu-debu menerpa kulit, direkatkan asinnya keringat.
II
Tekanan hawa dingin, pun yang terasa panas, menebalkan makna berasal rentangan peristiwa.
Menyungguhi segenap rasa, bagi rekaman tidak lekang perubahan niat.
Manakala badan bersatu hasrat kesadaran purna menjiwai tapakan.
Menggigil ngeri sedap-suntuk, menyadap hayat menjadi telempap akan harkat musabab.
Pada gilirannya ketentraman melekat dalam kodrat iradat, laksana tangkai menjalar menggayuh cahaya.
Malam-siang sebinar pandang kefahaman, akan lakon hidup dijalankan.
III
Pun usaha keras memekarkan kembang pula layu berguguran di hari kemudian. Maka sebaik kesempatan, mengisi kemungkinan.
Pergeseran nilai juga warna keadaban terasa, dimengerti bagi terus mempelajari.
Menimba sumur bathin sendiri, selepas menggali tanah-tanah keras perbedaan.
Olehnya, karya bukan sekadar meniupkan ruh, tapi juga makna menegaskan pendirian.
Antara gejolak jaman mematangkan pribadi, pada ras kemanusiaan.
IV
Ladang pencapaian pengorbanan darah semangat juang.
Tetes-tetes keringat berkesungguhan renungan, pada gerak menguliti yang bertetap.
Sambutlah kesegaran pertiwi akan direstui kelapangan maknawi.
Di sini bahasa terawat pembaca yang jenak mengunyah garam memamah pahit ideologi, diterbangkan melampaui isme-isme.
Sebebas burung-burung lepas dari sangkarnya, demi menemui keindahan lain, penyeimbang pertikaian.
V
Daun demi daun gugur tiada patut disesali, selepas disisir angin menyanyikan kabar kemenjadian.
Yang masih hidup dan telah tiada saling melengkapi, kekecewaan hanya di kamusnya pengangguran, yang merindu masa depan tanpa menghimpun kemampuan.
Satu demi satu lidi dikumpulkan ikatan, mental ditempa meradang haus, digenapi kesadaran menyunggi soal.
Dan puisi salah satu mata kunci, demi membuka lelembarannya.
VI
Landor terus pertentangkan tanya yang telah digenggam dalam hayat, tempatnya pengujian kandungan misteri.
Selalu dipahat bersegala dinaya, demi dapati siratan abadi, hembusan leliku penelusurannya.
Atas tebusan waktu-waktu pengelanaannya, dipenuhi gelisah.
Serasa dirinya ingin berbagi kepada semua, untuk mendapati yang patut disenandungkan.
Namun keterbatasan ruang-waktu, jarak kerutan-dahi pada laju usia.
Dirinya melesatkan anak panah, serta lantaran pengalaman jelajah, menjegal keraguan hingga mengena.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi