Jumat, 29 Januari 2010

Nyai Ontosoroh: Hikayat Perlawanan Sanikem

dari novel BUMI MANUSIA karya Pramoedya Ananta Toer
Rakhmat Giryadi
http://teaterapakah.blogspot.com/

BABAK I

Setting : Dekat Pabrik Gula Tulangan

ADEGAN 1
Orang-orang sedang bekerja, hilir mudik, membawa karung-karung (gula) dan juga batangan tebu dengan geledekan. Mereka bertelanjang dada. Tubuhnya hitam. Ada yang kekar. Tetapi ada juga yang kurus kering.

ADEGAN 2
Seorang Juragan (Mandor), dikawal oleh dua budaknya. Dengan berkacak pinggang, Mandor itu menuding-nuding, bahkan terkadang menendang para budak. Sementara di tempat yang berbeda anak-anak perempuan yang masih remaja, berlarian. Ibunya, mengikuti dengan isak tangisnya. Seorang laki-laki dengan kasar menangkap satu di antara mereka yang melarikan diri. Anak itu meronta-ronta. Tak ada yang berani melawan. Mereka hanya bisa menyaksikan dengan sedih. Laki-laki kasar itu itu menyerahkan anak itu kepada seorang Mandor. Dengan imbalan seketip dua ketip, mereka melepaskan anak itu dibawa Mandor, entah kemana?

ADEGAN 3
Upacara menjadi dewasa. Sanikem meronta-ronta, ketika Sastrotomo, menyeretnya.

1. Sastrotomo
(Menyeret Sanikem) Kamu sekarang sudah dewasa, sudah saatnya nasibmu berubah. Hari ini akan datang orang yang membawa nasibmu lebih baik dari sekarang. Maka bersucilah, agar kemelaratanmu menjadi cambuk masa depanmu.

Ibunya Sanikem hanya bisa tersedu. Ia menggayung air bercampur bunga tujuh macam, dari genthong. Sanikem diam terpaku ketika air bunga tujuh macam mulai membasahi tubuhnya.

2. Sanikem
Sejak saat itu, nama Sanikem, sedikit-demi sedikit luntur oleh kemauan keras orang tuanya.

Dua orang datang membawa pakaian dan tikar pandan. Sanikem telah berganti ujud menjadi perawan. Kemudian dia tidur terlentang di atas tikar pandan. Ibunya kemudian melangkahinya tiga kali.

3. Istri Sastrotomo
Tabahkan hatimu, Nak. Usiamu sudah 14 tahun. Kau sudah haid. Tidak baik kau dikatakan perawan kaseb. Maka relakan hari mudamu ini.
4. Sanikem
Betul, saya sudah dewasa, tetapi saya punya hak untuk menentukan pilihan.

5. Sastrotomo
Tak ada kata pilihan! Pemuda-pemuda melarat dan kampungan, tak patut untuk dipilih. Yang ada sekarang kau dipilih untuk menjadi istri seorang yang kaya raya. Siapapun orangnya!

Sastrotomo menyeret Sanikem. Sanikem meronta. Ibunya membuntut dengan hati yang meronta. Ia membawa sekopor pakaian anaknya yang kumal. Sementara di tempat lain para budak menerima upah, Sastrotomo muncul dengan hati riang. Di belakangnya ada Sanikem. Ibunya yang kelihatan renta, hanya bisa tertunduk lesu meratapi nasib anaknya. Di sudut lain, Tuan Besar Mellema berdiri tegak, angkuh dan sombong.

6. Sastrotomo
Betul, saya akan jadi Juru Bayar, Tuan? Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah sayaimpikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun! Sebagai penggantinya, terimalah persembahan saya. Ini anak saya, Tuan Besar Mellema. Terimalah. (Kepada Sanikem) Sanikem, mendekatlah, Nak. Dia adalah Tuan Besar.

7. Istri Sastrotomo
Jangan, Pak, jangan! Kenapa Ikem, kau serahkan kepada laki-laki raksasa itu? Oh, Pak, Pak. Kenapa kau tega, Pak?

8. Tuan Besar Mellema
Jadi ini anakmu? Bagus, bagus. Kowe, pintar… (Tertawa).

Tuan Besar Mellema pergi bersama dua pengawalnya, membawa Sanikem tanpa perlawanan. Sementara Istri Sastrotomo, terisak melihat anaknya dibawa Tuan Besar Mellema.

9. Sastrotomo
(Tertawa girang) Akhirnya saya jadi Juru Bayar!

10. Istri Sastrotomo
Sampeyan menjadi Juru Bayar, tetepi sampeyan harus membayar mahal, dengan mengorbankan masa depan Sanikem. Dia darah daging kita. Tetapi sampeyan tega menjual untuk menjadi gundik, demi ambisi sampeyan, Pak.

11. Sastrotomo
Kamu jangan banyak omong. Saya telah memperjuangkan anak saya untuk menjadi wanita terhormat. Istri Tuan Besar. Tuan Besar di Tulangan yang sangat kaya raya dan terhormat. Sanikem akan terhormat. Dan kita akan terhormat, karena Sanikem akan menjadi kaya raya dan tidak menjadi gelandangan bersama pemuda-pemuda kampung yang tidak berpendidikan.

12. Istri Sastrotomo
Buat apa harta benda, kalau hatinya terpenjara. Hidupnya terkerangkeng dalam genggaman, seorang laki-laki. Kita sudah kehilangan segalanya, Pak. Kamu lebih memilih sekeping Golden dan jabatan palsu. Tetapi sampeyan telah mengorbankan segalanya yang telah kita miliki dan telah kita rawat bertahun-tahun.

Anak-anak kampung yang dengan tulus memberikan cintanya, tetapi sampeyan tolak. Sementara dia yang datang dengan membawa segerobak kepalsuan sampeyan terima dengan tangan terbuka. Sampeyan telah mengadu nasib itu menjadi tidak menentu, Pak…

13. Sastrotomo
Diamlah. Saya punya rencana lain untuk Ikem. Rencana ini pasti akan mengubah hidup kita. Dan tidak ada urusannya dengan lamaran pemuda-pemuda kampung yang pada gudhikan itu. Apa mau kamu hidup melarat, dan hanya mengandalkan dari penghasilan saya sebagai Juru Tulis? Saya ini, sebentar lagi akan naik pangkat jadi Juru Bayar. Kedudukan yang lebih tinggi dari sekedar Juru Tulis. Jabatan lebih tinggi akan lebih memudahkan segala urusan. Apalagi Juru Bayar.

Ikem telah mendapatkan laki-laki yang pantas. Mulai saat ini Sanikem tidak boleh keluar rumah. Tidak boleh memandang ke laki-laki yang berkeliaran dan tidak jelas itu. Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah saya impikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun!

Hehe..he..he..Juru Bayar. Saya akan jadi Juru Bayar. Semua orang di Pabrik Gula itu akan tunggu saya berderet-deret. Harus tunggu uang dari tangan saya. He..he…he..Saya akan jadi kasir. Bertumpuk-tumpuk uang di jari-jari saya. Semua orang akan berurusan dengan saya, Si Juru Bayar! Mereka harus datang ke saya. Harus ambil uang dari tangan saya dengan membubuhkan cap jempol. Para buruh, pedagang, akan bungkuk-bungkuk di depan saya. Tuan Totok, Peranakan, akan beri tabik pada saya. Guratan pena saya berarti uang. Saya akan masuk golongan penguasa di pabrik. Mereka harus dengar kata-kata saya : ‘Hei! Tunggu kau, disitu! Tunggu kau, disitu! He..he…Kalian akan berderet antri tunggu uang dari tangan saya…!’

Kemarilah istriku. Kau harus ikut senang, suamimu ini akan jadi Juru Bayar! Berpakaianlah yang pantas, selayaknya istri orang terpandang. Kamu jangan bersedih. Ikem akan lebih terhormat kawin dengan laki-laki kaya. Dia akan menghuni rumah besar. Kita bisa diundang ke sana sewaktu-waktu. Ayo istriku kita songsong kehidupan yang lebih baik.

Istri Sastrotomo terpaku. Ligting meremang. Out Stage. Disudut lain, Mellema sedang memandang Sanikem yang bongsor dan kelihatan cantik. Beberapa pembantu jalan jongkok, menyediakan minum dan buah-buahan. Sanikem hanya berdiri terpaku di pojok ruang, Tuan Besar Mellema.

14. Tuan Besar Mellema
Kowe sudah 14. Kowe sudah besar dan cantik, seperti bunga di Tulangan atau seperti mawar dari Surabaya. Kowe jangan takut dengan saya. (Kepada Sastrotomo). Sastrotomo! Ini berisi 25 golden. Kelak, setelah kowe lulus dalam pemagangan selama dua tahun, kowe akan jadi Juru Bayar.

15. Sastrotomo
(On stage) Terimakasih Tuan Besar. Saya jamin Ikem sangat penurut. (Kepada Sanikem) Ikem anggap saja ini rumahmu yang baru. Kau tidak boleh keluar rumah ini tanpa ijin Tuan Besar Kuasa. Kau juga tidak boleh kembali ke rumah tanpa seijin Tuan dan seijin Bapakmu.

Sastrotomo meninggalkan panggung. Lighting meremang biru. Tirai menurun pelan-pelan. Percintaan di balik tirai. Dua penari karonsih/tayub menari dengan lembut. Tetapi isak tangis jelas terdengar dari ibu Sanikem. Lighting semakin temaram. Penari karonsih menghilang di balik tirai. Di sudut yang lain, Nyai Ontosoroh berdiri kokoh.

16. Nyai Ontosoroh
Kini, Sanikem telah lenyap. Hilang untuk selama-lamanya. Sekarang, saya adalah Nyai Boerderij Buiternzorg. Orang-orang memanggil saya Nyai Ontosoroh. Hidup menjadi Nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal!

Sewaktu-waktu Nyai harus siap dengan kemungkinan Tuannya sudah mersa bosan, untuk dicampakan kembali, menjadi kere, tanpa hak perlawanan sedikitpun. Salah-salah, bisa badan diusir dengan semu anak-anaknya sendiri. Atau bahkan dengan tangan kosong. Ya, mereka telah membikin saya jadi Nyai begini. Maka saya harus jadi Nyai, jadi budak belian yang baik, Nyai yang sebaik-baiknya.

Mang, Mbok, ke sini kalian semua. (4 pelayan laki-laki dan 3 pelayan perempuan on stage). Dengar mulai saat ini kalian tidak usah kerja di sini. Kalian pasti sudah tahu saya adalah Nyai rumah ini sekarang. Saya tidak ingin ada saksi atas kehidupan saya sebagai Nyai di rumah ini. Kalian lebih berharga dari pada saya. Kalian kerja di sini, sedangkan saya, hina dina tanpa harga, tanpa kemauan sendiri berada di rumah ini.

Semua pekerjaan rumah biar saya kerjakan sendiri. Tetapi jangan kuatir, kalian akan pergi dengan membawa bekal. Lagi pula, di lain tempat pasti kalian akan bisa memburuh atau apa saja, karena kalian merdeka. Kecuali kau Darsam, tetaplah di sini. Jagalah saya!

Baiklah kalian berkemas, beresi barang-barang kalian. Kau Darsam, siapkan bekal secukupnya buat mereka.

Mereka out stage. Tuan Mellema on stage.

17. Tuan Besar Mellema
Nyai, kenapa kau mengusir semua Bujang dan Mbok? Pekerja-pekerja itu harus disewa untuk menjalakan usaha susu ternak rumah ini. Mulai saat ini kaupun harus mulai mengurusi semua urusan usaha. Satu hal yang harus kau ingat, majikan mereka adalah penghidupan mereka. Majikan penghidupan mereka adalah kau! Jadi kau harus jadi majikan yang baik, yang tahu bagaimana mengurus pekerjaannya.

Nyai, bacalah majalah-majalah itu selalu. Juga buku-buku itu akan membawamu kepada dunia yang maha luas. Dengan begitupun, bahasa melayu dan Belandamu akan terus maju dan Nyai akan semakin menguasai berbagai bidang dan pengetahuan.

18. Nyai Ontosoroh
Ya, saya akan menjalankan semua tugas sebaik-baiknya. Akan saya kerahkan seluruh tenaga dan perasaan yang ada di diri saya untuk Tuan. Sebaik-baiknya. Karena itulah tugas saya, sebagai Nyai Tuan. Apakah wanita Eropa diajar sebagaimana saya diajar sekarang ini, Tuan? Sudahkan saya seperti wanita Belanda?

19. Tuan Besar Mellema
Ha..ha..ha..tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti sekarang. Kau lebih mampu dari rata-rata mereka, apalagi yang peranakan. Kau lebih cerdas dan lebih baik dari mereka semua. Tapi kau juga harus selalu kelihatan cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian yang berantakan juga pencerminan perusahaan yang kusut dan berantakan….

Darsam, masuk panggung (on stage) bersama Sastrotomo dan Istrinya datang dengan berjalan jongkok.

20. Darsam
Tuan, maaf Tuan, ada orang tua Nyai datang, Tuan. Mereka menunggu di depan.

21. Nyai Ontosoroh
Katakan kepada mereka, bahwa Sanikem tidak ada sekarang.

22. Tuan Besar Mellema
Temuilah…

23. Nyai Ontosoroh
Kalau saya menemuinya, berarti Tuan telah mengembalikan saya kepada pemiliknya semula. Apakah saya harus pergi dari sini? Bakal jadi apa kalau saya tidak sanggup bersikap keras. Luka terhadap kebanggaan dan harga diri tak jua mau menghilang. Bila teringat kembali bagaimana terhinannya saya dijual kepada Tuan. Saya tak mampu mengampuni kerakusan Ayah saya dan kelemahan Ibu saya. Sekali dalam hidup kita meski menentukan sikap. Sudahlah, biar semua putus sudah terhadap masa lalu. Itu sudah sebaik-baiknya yang saya bisa lakukan. Suruh mereka pulang atau Tuan akan kehilangan sapi-sapi dan pabrik susu itu…? Saya telah menjadi telor yang jatuh dari petarangan. Pecah. Bukan telor yang salah.

24. Tuan Besar Mellema
(Pause) Kau terlalu keras Nyai…Temui Ayahmu!

25. Nyai Ontosoroh
Saya memang ada ayah, dulu. Sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah saya usir!

26. Tuan Besar Mellema
Jangan…!(Memberi kode pada Darsam). Darsam beritahu mereka…

27. Darsam
Nyai bilang…Di rumah ini tidak ada orang bernama Sanikem. Pergilah!

Suasana hening. Sastrotomo dan istinya beringsut pergi. Wajahnya penuh duka. Sastrotomo beringsut terus, seperti menapaki nasibnya yang tak berujung.

ADEGAN 4
Orang-orang sedang mengusung karung. Ada juga yang mengusungnya dengan gledekan. Suasana begitu sibuk. Nyai Ontosoroh, Tuan Besar Mellema, Annelise, Robert Mellema, dan Darsam, seperti bersiap-siap hendak mau pergi.

28. Nyai Ontosoroh
Kami harus pindah ke Wonokromo, karena kontrak perusahaan gula tidak memperpanjang jabatan Tuan Besar. Kami pindah ke Surabaya. TB Mellema membeli tanah luas di Wonokromo, penuh semak belukar dan dekat rumpun-rumpun hutan muda. Sapi yang dibeli dari Australia dipindahkan kemari.

Segala yang saya pelajari selama hidup bersama TB Mellema, telah sedikit mengembalikan harga diri saya. Tetapi sikap saya tetap, mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apalagi, orang seperti saya yang masih begitu muda untuk berkeluarga.

Begitulah akhirnya saya mengerti, saya tidak tergantung pada TB Mellema. Sebaliknya dia sangat tergantung pada saya. Saya telah bisa mengambil sikap untuk ikut menentukan perkara. Tuan tidak pernah menolak. Bahkan ia sangat memaksa saya untuk terus belajar. Dalam hal ini ia seorang guru yang keras tetapi baik, saya seorang murid yang taat dan juga baik. Saya tahu, apa yang diajarkan oleh TB Mellema kelak akan berguna bagi diri saya dan anak-anak saya, kalau TB pulang ke Nederland.

Para buruh bergerak bersama-sama, mengikuti tuan mereka. Mereka membawa barang-barang pindahan. Darsam berjalan di depan. Musik. Lighting fide out.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi