Rabu, 16 September 2009

ANALITIK ANATOMI KESADARAN

Nurel Javissyarqi*
http://www.sastra-indonesia.com/

Gagasan kata ibarat ruang dan esensi kedalaman kalimah bagi masanya. Sama dengan penciptaan insan dalam rahim, yang terjadi segumpal daging lalu disusul tertiupnya ruh. Maka kesadaran awal dari sebuah gagasan ialah kata, bermakna tempat serta sadar ruangan.

Pengisian-pengisian ruang menggunakan masa, mencipta ruh manfaat atas kebertemuan ruang-waktu atau penciptaan yang bergerak masanya. Tubuh-tubuh, fenomena, peredaran, tampakan dari perubahan embrio menuju gagasan gemilang.

Semacam ide takkan lahir sebelum datangnya pandangan suatu hal. Kabut pengalaman, terik dan dingin perjalanan, menentukan watak penciptaan sebuah benua lebih tinggi; drajat ide.

Posisi terbangun dari kesadaran ruangan, diteruskan dalam logika rasa, lalu menjelma muatan ruh manfaat, sebagai padanan langit-bumi selalu mencari pembicaraan alam rasa kehidupan.

Sekilat tampak pandangan di atas tidak bersesuaian dengan awal pencipaan yang berangkat dari anganan cita. Tapi sebuah penciptaan mitos pun dari kementokan mempelajari realitas, ketika akan dimanfaatkan sebagai daya tahan tubuh mental dalam memperjuangkan hayat.

Jadi awal buah gagasan, ide, fikiran serta perasaan puitik, datangnya dari himpitan persoalan pengarang, yang merasuk dalam kesadaran paling tinggi, menghujam jantung makna hayati.

Semisal bayi terlahir menangis sebagai kesadaran baru, saat tingkatan usianya menanjak, mengalami demam melewati waktu, hujaman kesadarannya bertambah mematri, serupa tempaan bathin dituntut berjuang terus.

Anatomi kesadaran itu pemaknaan diri depan cermin. Merefleksi segala yang ada bertopangan kesadaran, meneliti perubahan terus dirasakan, meski di tengah kantuk diseret goda kesambillaluan.

Saya sebut anatomi sebab kesadaran miliki tingkatan badan tertentu atas buaian masa bertumpuknya pengalaman. Dan wawasan terbaca sebagai tambahan mutunya perubahan, yang tidak melupakan esensi diri beranatomi.

Ruang-ruang yang dimaksud dalam bingkai anatomi, selalu mempelajari gerak gairah alam diri, untuk menerobos persinggungan wacana, agar tampil tidak menjadi yang terjajah.

Hikmah mengetahui anatomi kesadaran ialah manfaat kesadaran itu sendiri pada esensinya, pengembangan fitroh insani untuk diperjuangkan, meski pada rana mengecewakan.

Ketangguhan dari hempasan berulang, menjadikan anatominya menonjol, kalbu ditekan semakin berpancaran, akal dicekik keadaan terhimpit, kian lapang dalam pengambilan putusan. Kiranya jarak itu pembelajaran praktis di setingkap waktu sempit. Dan jiwa cemerlang menerima keadaan, menambah yang kekurangan atas sifat menutup diri.

Anatomi kesadaran ialah gabungan psikologi diri dalam meramu filsafat kalbu keimanan dengan memakai timbangan nalar. Dan pencerahannya dihasilkan dari membuai bentuk-bentuk keseimbangan.

Semisal sepucuk surat dari kawan lama, tahu-tahu mendapati kegembiraan sebab rindu terobati datangnya. Ketiba-tibaan itu kesembuhan, gerak luar yang membentuk kesadaran baru. Kiranya sapaan lembut memanggil jiwa, atau sebaliknya jika berkabar tragedi. Kita bisa bantu dengan bertemu memberikan motifasi, agar yang terselubung soal cepat teratasi.

Gambaran di atas menyebutkan anatomi kesadaran bisa terbentuk dari luar, yang tentu berminat meneruskan. Olehnya, karakter takkan terbentuk jika tidak mau merawat, atau kegelisahan atas keseimbangan integralitas diri sebagai pribadi.

Garis teritorial itu menyetiai yang selalu digebu agar tercipta wacana baru kesadaran diri. Pihak lain, anatomi kesadaran dapat mewujudkan kesungguhan cita, kepercayaan masa menancapkan gerak langkah menambah bobot penciptaan otot tangguh, atas kegigihan kerja demi mencapai tujuan.

Bayang-bayang purna itu terketahui, jika memiliki ruang renungan tersendiri yang baik, demi mencari daerah-daerah mana kekurangannya.

Apakah kecermatan kurang tajam dalam menganalisan, atau terlampau meremehkan pandangan orang? Apakah sering menggurui, tidak mau dengar gagasan yang lain? Jelas, kalau menginginkan anatomi kesadaran purna, kudunya membuka diri diperbaiki menerus.

Sebab sering kali egois hingga kesadaran menjadi tidak imbang, antara lengan satu dengan lainnya. Atau kita lupa diberi kaki-kaki lincah, guna langkah difungsikan berlari cepat. Maka anatomi kesadaran harus diselidik sejauh kekurangan, di mana letak kelewat batas, sebelum bercermin publik, dapat dipersiapkan sebaik-baiknya.

Sebab kepercayaan diri tanpa latihan bukanlah wujud anatomi. Kesadaran ruang-waktu menjadi penentu terbentuknya. Ini bisa diproyeksikan menjadi kerja identitas kesadaran awal. Berbeda parade kesadaran maupun teror kesadaran, dirinya lebih menitik beratkan manfaat pribadi, agar kualitas yang terbangun seirama perubahan masa.

Jika diarahkan sebuah karya sastra, mencari ceruk anatomi kesadaran lewat menelisik karakter kejiwaan pencipta dengan alat yang dia pakai, demi menyelidiki kedalamannya. Kajian ini dapat dimasukkan ke bidang analisa. Ruang-ruang pembelajaran menyuntuki pribadi. Di jarak mana harus duduk atau melangkahkan kaki.

Perkembangan lanjut, analisa ini dimungkinan merombak kejiwaan seorang, kiranya membuka kemungkinan belajar, anatomi kesadarannya semakin gamblang atas pencerahan tunggal bernama kesungguhan kerja.

Ini bukan di ruangan teater tapi alam keterbukaan, wilayah setiap orang bisa memetik buah-buahan, tubuh yang terus memproduksi perkembangan kesadaraan. Kiranya tidak menyembunyikan bayangan di depan umum akan kedirian lapang, serupa prajurit maju berperang, meninggalkan bayangannya di rumah. Bertarung mengikuti hembusan angin pengalaman di medan laga, meyakinkan diri sebagai ras pemberontak.

Lebih jauh, bermain di wilayah santai asal terjaga. Di sini telah mengetahui kerakter lingkungan, berpengalaman meramu diri bersama ruang-waktu yang dihadapi. Keterjagaan sebagai bentuk awal yang kudu terawat pada lingkup keakraban.

Menambah tingkatan yang di muka pelaku, berhadapan dengan musuh yang dapat memenggal salah satu anatomi kesadaran jika terlena. Jikalau pelaku tidak ingin anatominya terputus, kudu mawas depan cermin menyendiri, pada forum atau medan perang perkarakteran, di saat saling singgung gagasan.

Analisa ini dimasukkan jangkauan harap, merindu nilai moralitas seimbang, olehnya harus diperbaiki kesadaraan. Kenapa saya sebut bukan semua hal, sebab insan tak bisa memiliki kesegaran kencang, ada masanya istirah, membungkus anatomi kesadaran di ambang pengendapan, bukan di sampirkan lalu besok dipakai. Sebab endapan juga menentukan warna-bentuknya.

Anatomi terbentuk dengan kuat, sekiranya bisa ambil memori yang lekat di jiwa, hati semangat berkeseimbangan. Transaksi masa lampau dan sekarang sebagai perolehan kekinian demi langkah ke muka. Ini infus anatomi yang kurang cairan, karena terlalu lama berkeringat, atas jalan hayat tanpa endapan mendewasakan, semacam jalan di tempat.

Bagaimana pun melangkah tanpa pengendapan, lama-kelamaan keropos. Tidakkan renung menciptakan gunung pengertian, mengenang sejauh mana mendaki, demi mencapai puncak jati diri, yang kudu dimiliki untuk menuntut takdir semestinya.

Arti kata, renungan bisa menggagalkan peristiwa kroposnya anatomi, atau daya tahan dapat langgeng dimiliki, jika mengambil jarak prosesi yang terkerjakan. Ini bukan percepatan dalam pengambilan kesimpulan, tetapi kesimpulan dari perjalanan sebagai tanda meyakinkan sejauh identitas terbentuk.

Erich Fromm dalam bukunya Psychoanalysa and Religion, menuliskan kurang lebih berkata; “Sementara kita mampu menciptakan sesuatu yang luar biasa, kita gagal membuat diri kita bangga.”

Atau manusia dapat menciptakan dunia baik bersesuaian imaji rasa yang dipunyai, tapi ketika kembali ke bilik pribadi, terasa gagal sebab tidak dapat mengurus diri secara wajar. Atau tidak mampu merasakan nikmatnya pencapaian, kecuali gula-gula sukses kesombong, yang tentu di balik lain menimbulkan penyakit gula.

Kacamata yang saya kemukakan ini, kelebihan dari anatomi tertentu yang tidak wajar atau cacat. Lebih tragis, para menemu pencerah itu tidak bisa memperbaiki dirinya yang selalu kehausan. Oleh kurangnya renung penerimaan seimbang, pada terbentuknya struktur anatomi kesadaran secara normal.

Tujuan analisanya membongkar kedirian dari dalam, membentur ulang hasil capaian sampai di tingkatan penerimaan, atas kesadaran jauh melangkah, selain kenikmatan ego. Sehingga menjadikan diri tidak sekadar dalil pendektean (bagi atau dari) orang lain, tetapi lebih pada diri yang terpelajari, dari mana keberhasilan usaha itu terjadi.

Hal itu menemukan nikmat seimbang dalam renungan, penerimaan hasil bukan berhenti, namun menyelidik jarak sampai memperoleh kehakikian kerja. Bukan sekadar transformasi kecerdasan nalar menggurui jerih payah, lalu dianggap gemilang. Yang lebih ditekankan, bagaimana pencetus gagasan psikologi diri bermanfaat dan berkeindahan dalam karya kreatif.

Di samping permenungan tinggi, melihat kecerdasan insan berangkat dari gesekan wacana semacam pisau tajam diasa. Namun ketika tidak, menjadikan tumpul lebih berbahaya sebab berkarat. Kalau menyadari pentingnya ilmu bukan sekadar tranformasi budaya, apalagi keahlian bicara, tapi kesadaran mengambil manfaat pembicaraan. Kiranya akan berfaedah, menambah kekuatan otot-otot anatomi kesadaran di dalam kehidupan.

Kelemahan analisa teramat dangkal di sini. Insan tidak sanggup sempurna, tidak terus menerus mampu menyeimbangkan kesadaran imaji, rasa, nalar dan keseluruhan alat dalam diri. Setidaknya hal ini tempuh, tidak larut menggeluti anatomi tertentu, namun menciptakan ruang-ruang permenungan dalam kebutuhan diri menuju pencapaian.

Ada tiga pembentuk anatomi kesadaran:
Pertama, penghancuran atau revolusi. Penggempuran karakter yang telah ada atas faham orang lain yang disetianya, diganti pemberian sudut pandang sendiri.

Kedua, mencari tempat terpencil atau meditasi. Permenungan untuk menemukan hakikat paling hakiki, tidak terasuki faham yang dapat merugikan keberlangsungan tumbuh mekarnya kembang kesadaran.

Ketiga, membuka argumentasi luar. Untuk dibicarakan pada kedirian, atau ada dialog dinamis demi tercapainya anatomi kesadaran, dari berbagai pengalaman orang, bersama kedirian yang tunggal. Cara ini banyak membutuhkan energi, juga perlu daya saring yang ketat, sehingga memunculkan kesadaran universal. Saya akan mencoba mendedahnya satu-satu lebih jauh:

Revolusi Kesadaran

Kita menyadari telah mengunyah beberapa gagasan orang lain, di mana kadang tindakan itu bukan murni desakan diri. Untuk itu harus merevolusi gagasan yang masuk, bersama gagasan diri yang tercampur ide sebelumnya. Penghapusan, menggagalkan hasil-hasil yang tercapai.

Cara nekat ini belum tentu mendapati hasil maksimal. Namun resiko harus ditanggung kalau ingin penghapus memori semaksimal mungkin, dan membangun kembali gagasan semangat baru, bukan berangkat dari akar kesadaran yang lalu.

Melakukan ini lain daerah, wilayah yang benar-benar baru. Jika berada dalam situasi yang sama pada kurun berdekatan, memulai bentuk baru lewat sikap berbeda dari sebelumnya.

Mungkin orang lain akan bilang munafik, sebab kaca mata mereka berbeda saat gejolak merasuki diri. Gejolak merombak saat dorongan merevolusi kejiwaan, toh yang mendapati manfaat dianya pula. Ini bukan berarti luput bahasan tanggung jawab, sebab pengertiannya berbeda dari sebelumnya.

Semisal seorang santri memasuki pesantren. Saat berada di dalamnya, mau tidak mau merevolusi kebiasaan rumah untuk membiasakan diri di lingkungan itu. Ini dapat terjadi orang rumahan yang sadar makna ibadah, mengaktualisasi pengertian beragama atas pertaubatan. Perubahan sikap yang tampak di sini, berangkat dari merevolusi kesadaran terdalam, kiranya menginginkan bentuk baru itu langgeng.

Atau merevisi ulang secara seksama akan kesadarannya, dengan merusak anatomi kesadaran yang pernah berdenyutan hidup, lewat tergantikan paksa atas anatomi yang baru, bersama angin kehendak perubahan seluruh.

Meditasi Kesadaran

Cara ini hampir serupa bagian awal, memasuki wilayah baru demi menemukan kesadarannya. Tetapi lebih ditekankan dalam pencarian gagasan murni, walau tidak bisa ditemukan semurni mungkin.

Kiranya melewati meditasi kesadaran terpencil, kita mengulangi benang merah kesadaran belia, dengan menyelesaikan permasalahan di hadapan masa itu. Gejala lampau kita proses kembali, demi menemukan kejiwaan diri sebenarnya. Namun dapat pula membawa gagasan awal, sebelum melaksanakan meditasi kesadaran dengan makna.

Dan tidak terpenjara ide sebelumnya, demi pencarian bentuk pandangan halus dari dalam. Hingga gagasan awal bisa diperbantukan mencari tubuh kebenaran dari kenyataan. Sebab setiap insan memiliki kejiwaan berbeda, meski dapat dikategorikan secara umum.

Resiko kecil kesalahan yang ditimbulkan metode ini, dalam membentuk piramida kesadaran. Karena meditasi kesadaran bukan membuang gagasan awal dengan sinis, namun kehati-hatian sahaja, mengajak merenungkan balik yang menghasilkan gagasan dari pantulan kesadaran yang dahulu.

Di sinilah memproyeksikan kesadaran pada tercipta gagasan atas subyektivitas diri. Makna kata, merombak faham lama di goa kemungkinan terciptanya kesadaran baru, berangkat dari pengendapan diri, atas perolehan masa lampau.

Ini sikap pembersihan diri di sendang kedamaian, penguraian makna perjalanan secara mengesankan, bagi yang ingin tercapainya kemurnian pengertian, lewat kelembutan fikiran-perasaan terdalam.

Meditasi Sosial Kesadaran

Adalah menghimpun kontak sosial atas gagasan orang lain dengan pandangan diri, juga memiliki ruang meditasi dalam pemilihan mencapai nilai kebenaran. Bisa dimaksudkan sebagai penggabungan bagian pertama dan kedua, yang pengolahannya menggunakan ruang tertutup juga terbuka. Dan hasilnya mencapai argumentasi kesadaran lebih, mementingkan pandangan umun, namun tidak merugikan pendirian pribadi.

Musyawarah baik dibutuhkan, namun tidak meninggalkan pandangan awal. Seperti laut keseimbangan, debur ombak dilakukan atas angin kerja sosial, kedalaman makna laut kesadaran permenungan, memungkinkan hidupnya ikan-ikan gagasan. Ini memungkinkan yang kita kunyah menjadi daging perbaikan anatomi, ditopang kerja merefleksikan luar berkaca ke dalam.

Memakan yang jelas memberikan gizi, tapi juga berani membuang yang menimbulkan lemak berlebih, agar anatomi dalam meditasi sosial kesadaran seimbang, atas pandangan luar juga penerimaan dalam.

Meditasi sosial kesadaran itu mengembangkan kelestarian baik, berinteraksi secara dinamis dalam kejiwaan, hingga tercapainya keseimbangan bernilai universal, atas membaca faham dari dalam, serta orang lain saat membacanya.

Wawasan ini sampai kalau tekun bekerja, melaksanakan ide berkesadaran menuruti peluang atas kesuburan daging anatomi, dengan tidak terlampau bernafsu yang dapat menggagalkan perencanaan, alias timbulnya ketidakseimbangan atau cacat.

Kerja keras membaca fenomena perubahan, lalu menelaah menjadi catatan-catatan membantu bergerak maju, bagi lelatihan yang dimungkinkan subur, daya kekuatan tercapainya otot-otot tanggung, dalam merawat anatomi kesadaran sang pelaku.

*) Pengelana asal desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesiaku.
Ditulis di Krapyak, Yogyakarta, 2005.

Filosofis Kekuasaan dalam Fiksi Epik yang Eksotik

http://www.lampungpost.com/
Judul Buku : The Road To The Empire
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : PT Lingkar Pena Kreativa
Cetakan : I/Desember 2008
Tebal : 586 hlm.
Peresensi : Umi Laila Sari

DALAM kata pengantar buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, Maman S. Mahayana mengungkapkan bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa, selayaknya jika para novelis atau sastrawan pada umumnya ditempatkan sebagai “pejuang moral”. Dengan keluasan wawasan, mereka–para novelis tersebut–berjuang terus demi mengangkat moral bangsa dan harkat manusia. Aspek pesan moral yang ingin disampaikan novelis lewat karyanya adalah kontribusi yang dimaksudkan tersebut.

Pada khazanah kesusastraan Indonesia, cukup banyak karya novel yang begitu sarat pesan moral khususnya pada periode awal perkembangan sastra. Sebut saja novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar yang ditempatkan sebagai novel pertama kesusastraan Indonesia modern. Meski pada perkembangan selanjutnya, muncul pula novel yang hanya mementingkan sisi estetika tanpa atau sedikit sekali unsur etika. Atau bahkan cenderung “seronok”.

Padahal, sebagaimana diakui umum, novel (sastra) sebagai bahan bacaan cukup memengaruhi pemikiraan, sikap dan pola hidup pembaca secara masif. Nah, pada peran pejuang moral inilah novel epik Sinta Yudisia berjudul The Road to The Empire: Kisah Takudar Khan, Pengeran Muslim Pewaris Mongol, patut diletakkan. Meski secara setting tersurat sang pengarang mengambil wilayah Mongolia untuk menghidupkan tokoh-tokohnya tapi refleksinya dapat diangkat pada latar ke-Indonesia-an. Terlebih dengan situasi kekinian menjelang pesta demokrasi di republik ini.

Sebuah perjalanan panjang sekaligus alur memikat yang dirangkai sang pengarang harus dilalui Takudar, sang tokoh utama. Ia adalah pangeran kesatu dari 3 putra Tuqluq Timur Khan, penguasa imperium Mongolia, keturunan Jenghiz Khan. Menurut aturan kerajaan dan keinginan sang ayah, Takudar lah yang menjadi pewaris takhta berikutnya. Akan tetapi, sebagaimana kekuasaan dengan semua kenikmatannya tentu mengundang keinginan banyak pihak menguasainya. Dengan strategi politik yang berorientasi tujuan, mengenyampingkan cara mencapainya, mengalir berbagai konflik fisik dan batin para tokoh.

Orang-orang yang sebelumnya menjadi keluarga, sahabat, teman, nyatanya menjadi orang asing dan berada pada posisi melawannya. Takhta kerajaan dikuasai Arghun, adik keduanya, setelah kedua orang tua mereka dibunuh oleh pihak yang tak pernah jelas terungkap kasusnya.

Sesungguhnya, bukan karena tak memperoleh kedudukan sebagai raja yang menjadikan Takudar menjadi pengasingan dan memulai hidup berbeda. Tetapi bayangan kehancuran negeri leluhurnya adalah hal tersulit yang harus diperbaikinya. Penguasa ternyata tidak lagi mengayomi rakyat. Upeti ditarik begitu tinggi, sementara kesejahteraan hidup penduduk tidak diperhatikan. Pejabat terus berpesta pora dan menghabiskan kas negara. Kerusakan moral hampir merambah seluruh pejabat kerajaan. Dan puncaknya, penderitaan rakyat yang kian menyedihkan justru ditanggapi dengan rencana besar untuk terus melakukan ekspansi. Dengan alasan mengangkat kejayaan dan kebesaran imperium Mongol, penyerbuan ke semua penjuru mata angin dilakukan.

Tidak ada pilihan lain bagi Takudar selain melakukan perlawanan. Sebentuk jiwa kesatria diungkap pengarang pada perjuangan merebut kembali takhta kerajaan. Dan pada bagian inilah kekuatan novel The Road to The Empire hingga menjadikannya peraih IKAPI-IBF Award 2009 kategori fiksi dewasa terbaik.

Kemampuan Sinta untuk menyentak emosi pembaca sangat terbantu dengan diksi yang sangat indah tetapi tegas. Juga pemaparan detail perasaan masing-masing tokoh dalam tiap konflik. Kendati demikian, kehadiran cukup banyak tokoh pendamping menjadi sedikit kelemahan novel sejarah ini karena menyebabkan kesulitan pembaca mengingat semua tokoh. Belum lagi nama masing-masing tokoh sulit diingat. Juga pada ending, pengarang terlewat untuk menjelaskan kelanjutan nasib mereka. Sebagai sebuah karya sastra, The Road to The Empire telah berhasil menjadi media bercermin bagi setiap pembacanya. Merenungi kembali dan berupaya memperbaiki diri atas nilai filosofis kehidupan. Kekuasaan yang seolah menjadi kue mahal yang diperebutkan sejatinya hanyalah amanah yang begitu berat dijalankan. Saya pikir akan sangat baik novel The Road to The Empire direkomendasikan bagi para elite politik dan penguasa negeri ini.

Dari Sastra ke Rupa ke Sastra

Sjifa Amori
jurnalnasional.com
 
Seni rupa dan sastra bergulat mengemukakan pemaknaannya atas perang.
Perang menjadi titik perjalinan antara puisi, lukisan, dan instalasi dalam pameran Festival Salihara tahun ini. Pameran yang bertajuk Perang, Kata, dan Rupa ini memilih beberapa karya teks puisi dengan tema “perang” sebagai pusat perbincangannya. “Perang” ini akan dimulai dari pertempuran dalam makna sebenarnya hingga perang yang memuat pertikaian dengan diri sendiri. Seperti yang diutarakan penyair kenamaan Chairil Anwar dalam puisinya, Malam.

KEPADA YANG MELUPAKAN*

:Pengantar Antologi Puisi Penyair Perempuan Asas “Sihir Terakhir” (diterbitkan PUstaka puJAngga 2009)

Nenden Lilis A.**

Membuka lembar demi lembar antologi puisi yang ditulis para perempuan yang tergabung dalam komunitas ASAS dan menghikmatinya satu demi satu, saya seperti membuka lembar demi lembar album kenangan sekaligus sejarah perjalanan sastra perempuan kita. Dari tiap lembar album yang terbuka menganga itu seolah menjerit suara tentang perempuan, yang dalam sejarah atau segala hal lainnya selalu di “sunyi”-kan dan ditinggalkan waktu; dimarjinalkan dan didiskriminasi.

Saya ingin membuka sedikit gambaran itu dari pengalaman personal saya sebagai penyair yang berjenis kelamin perempuan. Kalau kemudian saya bercerita tentang hal itu dari kondisi kepenyairan di Jawa Barat, itu karena kebetulan saja saya berdomisili di Jawa Barat. Tetapi, saya yakin, bahwa gambaran ini adalah juga representasi kondisi perempuan di wilayah-wilayah lainnya.

Di Jawa Barat, baik dengan diam-diam, maupun dengan mempublikasikan karya lewat media massa, tentulah banyak perempuan yang berkarya. Tetapi, sejauh itu, mereka seolah dianggap tak ada. Hingga tahun 1996-an saja, seperti salah satunya dapat dilihat dalam antologi puisi 10 penyair Jawa Barat Cermin Alam, tak satu pun tercantum nama dan karya perempuan. Terlebih lagi dalam kegiatan sastra. Perempuan adalah jenis kelamin yang dilupakan.

Saya baru merasa keberadaan perempuan agak ditoleh, dari event sastra nasional yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang kebetulan saya termasuk salah seorang yang diundang di dalamnya. Dalam event itu pun, dari ratusan penyair yang diundang dari seluruh Indonesia, jumlah perempuan hanya empat orang (saya sendiri dari Bandung, Oka Rusmini dari Bali, Sirikit Syah dari Surabaya, dan Anil Hukma dari Makassar). Jumlah itu mewakili jumlah propinsi saja tidak. Selanjutnya, seringkali dalam berbagai even sastra lainnya, saya selalu melihat diri saya sendirian dan terasing di tengah para laki-laki. Kondisi empirik itu menyadarkan saya akan termarjinalisasinya perempuan dalam kesusastraan.

Tahun 1995 “perlawanan” terhadap pemarjinalan itu dimulai. Kebetulan saya bergabung dalam komunitas Bandung Literature Society yang diketuai Beni R. Budiman (alm.). Melalui wadah tersebut, bekerja sama dengan Forum Sastra Bandung (FSB), pada 17 Desember 1995, Beni R. Budiman menggagas pernyelenggaraan pembacaan puisi oleh para penyair dari kalangan perempuan dalam dua kota Bandung-Jakarta. Upaya ini dilanjutkan dengan merangkum para penyair dari kalangan perempuan yang tersebar di berbagai kampus dalam sebuah diskusi dan pembacaan puisi di CCF Bandung pada 23 April dengan menghadirkan pembicara Melani Budianta dan saya sendiri.

Benih-benih ini melahirkan sebuah komunitas sastra peduli perempuan bernama Komunitas Sastra Dewi Sartika (KSDS) yang pada saat itu aktif mengadakan diskusi, berbagai event sastra, penerbitan buku. Tulisan-tulisan yang menggugat diskriminasi gender ini pun gencar dipublikasikan.

Apa yang digambarkan di atas, akan dianggap besar atau kecil, adalah jejak-jejak yang telah ditorehkan dan telah turut merintis jalan bagi terbukanya hutan patriarki yang menghegemoni kesusastraan kita selama ini.

Mengenang jejak-jejak itu sambil membayangkan kata-kata futurolog John Naisbit yang meramalkan abad 21 sebagai abad kebangkitan perempuan, atau feminis Amerika Naomi Wolf yang mengatakan hal yang sama, yakni abad 21 sebagi era kekuasaan perempuan, saya berharap kini ’hutan’ itu sudah betul-betul terbuka. Tetapi, kehadiran antologi Kepada Yang Melupakan (antologi puisi perempuan ASAS) ini menegunkan saya dari harapan tersebut. Apa yang saya kira sudah ada di hadapan saya itu ternyata masih jauh.

Tatkala antologi-antologi semacam ini hadir, tentulah ada sesuatu di balik itu. Tak ada asap jika tak ada api. Mengapa dalam kesusastraan Indonesia muncul buku-buku antologi karya sastra khusus perempuan? Mengapa terbentuk komunitas-komunitas sastra perempuan? Mengapa pula ada penyelenggaraan kegiatan-kegiatan sastra yang pengisi dan isi yang dikupasnya tentang perempuan? Tak perlu berpikir panjang untuk menjawabnya sebab hal-hal tersebut cukup jelas menegaskan kepada kita betapa perempuan tidak terakomodasi dalam ruang kesusastraan yang melingkupinya.

Betapa pun dilematisnya upaya seperti itu. Upaya seperti ini di satu sisi memang dapat menegaskan eksistensi perempuan dalam kesusastraan dan mengangkat posisi mereka dari penenggelaman yang mereka alami selama ini. Namun di sisi lain, hal itu menimbulkan kesan seolah-olah kesusastraan perempuan berada di wilayah lain, terpisah dari sejarah dan diskursus kesusastraan secara umum. Hal seperti ini pun bukan tidak mungkin menyebabkan peng-hierarki-an antara perempuan dan laki-laki.

Tetapi, selama pemarjinalan terhadap perempuan terjadi, upaya berupa affirmative action seperti itu perlu terus dilakukan. Seperti kita ketahui, affirmative action adalah tindakan yang sengaja diambil dengan cara memperlihatkan perbedaan suatu kelompok dari kelompok lainnya dengan tujuan mengangkatnya dari ketidakadilan kesempatan. Tindakan afirmatif dilakukan jika ada suatu kelompok yang terpinggirkan. Upaya seperti ini, seperti yang sudah kita rasakan, sedikit demi sedikit mengikis keangkuhan hegemoni patriarki dalam kesusastraan kita. Dalam konteks affirmative action inilah tampaknya antologi puisi ini hadir, dan kita perlu menyambutnya dengan penuh keterbukaan.

***

Disadari atau tidak disadari oleh para penulis dalam antologi ini, bahwa yang mereka lakukan dengan penerbitan antologi ini sesungguhnya tidak sekedar tindakan afirmatif dalam konteks seperti digambarkan di atas, tetapi juga sebuah kerja politik. Michel Foucalt pernah menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarki, perempuanlah yang mengalami kelangkaan kekuasaan (lack of power). Untuk memperbaiki ketidakadilan itu, perempuan harus melancarkan strategi, yaitu bicara (menjadi ”subjek yang berbicara”). Harus disadari dan diyakini bahwa suara-suara perempuan yang lahir dari setiap personalitasnya itu hadir di masyarakat sebagai upaya politik mengubah struktur dan relasi yang tidak adil. Menulis adalah salah satu bentuk penghadiran suara-suara itu. Dengan begitu, bagi perempuan, menulis adalah upaya politik bagi terciptanya sebuah dunia yang lebih adil dan sehat. ”Personal is political,” begitulah salah satu prinsip feminisme berujar.

Dan, membaca antologi ini, akan banyak kita temukan suara-suara itu. Begitu berwarna dan bernuansa. Isi, cara pandang, dan penyajian dari 18 penyair muda ini begitu beraneka. Ditilik dari segi kemampuan teknis menulis puisi, sebagian memang masih tampak tertatih-tatih. Tetapi, sebagian yang lain, seperti tampak pada sajak Dian Hartati dan Fina sato yang memang sudah punya jam terbang tinggi dalam bidang ini, sudah menunjukkan kematangan. Begitu pula pada sajak-sajak Desti Fatin Fauziyyah dan Alfatihatus Sholihatunnisa yang jernih, Cut Nanda yang bereksplorasi bunyi kata, Ellie R. Noer yang menghadirkan cara pandang jeli, unik, dan orisinal, atau Evi Sefiani yang tanpa pretensi dengan tema dan lebih memilih sajak-sajak manis dan liris, dan banyak lagi. Tentu saja, para penulis ini sedang berproses, dan yang namanya proses tidak akan pernah berhenti. Orang yang berhenti berproses sama artinya dengan orang yang berhenti berkreativitas. Dengan demikian, terlalu dini untuk menilai mereka dari segi nilai puisi-puisinya.

Perkembangan dan kemajuan mereka masih kita tunggu. Namun, sekecil atau sebesar apapun, apa yang mereka lakukan perlu dicatat sebagai upaya untuk mengingatkan mereka yang selalu ”melupakan” sebuah kehadiran, terutama kehadiran perempuan. Dengan menulis, pada dasarnya mereka pun telah turut menjaga kita dari lupa. Namun, pekerjaan rumah belum berarti selesai, sebab seperti dikatakan Desti Fatin dalam puisinya: kita belum menjadi kita/dan kau melulu jadi pelupa.***

*) Dari judul puisi karya Desti Fatin Fauziyyah.
**) Penyair, pendiri KSDS, dan dosen di Jurdiksatrasia FPBS UPI.

Hudan Hidayat: Penyair Gita Pratama -misalkan Kita

Hudan Hidayat
http://ruangbelajar-crystalistgita.blogspot.com/

Andai-Andai

Anak Pedagang remote:

Jika nanti aku besar
Kujual sebuah remote warna perak
Hentikan lalu lalang manusiamanusia hilang

Agar tak lagi sibuk merubah channel
Kejar tayangan tivi warna suram terang
Lantas menggambar saja sendiri, mimpi

Anak Pedagang Bakso:

Jika nanti aku besar
Kubuat bakso raksasa mengganti bumi
Yang kata orang sebulat mataku

Dengan kuah pekat, mie lembut
Kaldunya berkelip serupa bintang
Di mangkok bergambar peri, ibu

Anak pedagang Jagung Bakar:

Jika nanti aku besar
Akan kupasang arang, fondasi gedung jagung raksasa
Tinggi, menjulang menikam-nikam langit

Asap bakar aroma magis
Kuhipnotis para penikmat jagung
Sabut dijadikan rambut, tubuhnya kaku
Umpati bonggol-bonggol sepi

Anak Pedagang Kopi :

Jika nanti aku besar
Akan kutumbuk biji kopi sendiri, balurkan di tiap jengkal tubuh
Agar samar di antara remang gelap

Diam-diam menyelinap di halaman buku bersampul putih
Di sana, aku menjadi kata-kata pengganti tinta

Sby, Maret-Mei 2009

damam tak juga turun. atau tepatnya demam naik dan turun. tapi mengapa harus murung. biasa saja: tubuh, memang tak boleh dibuat selalu sejahtera. kadang demam harus memang datang. kalau tak datang, baik kita undang. dengan demam, kita mengingat akan rasa senang. menjadikan jiwa selalu waspada, awas akan daya daya dalam hidup ini.

pagi tadi aku ke note icha chemplon. untulugi yang merepotkanku itu sudah disusunkan kawan kawanku. jadi bolehlah aku melakukan kesuakaanku, mengembara mencari cari sastra. kalau kalau ada yang bisa menghibur diri sebelum mati. bahwa sastra ini, oh indahnya. kok bisa ya sang penyair, membuat dunia kata yang ajaib dari gaib bahasa (frasa dari larik sitok srengenge).

dalam mencari aku tak perlu diundang. mencari aja sebagai diri yang senang. apalagi gita pratama, penyair yang sudah lama kukenal sejak di multiply, sejak di milis yang kami ikuti - apresiasi sastra. aku berpendapat lembaga budaya kayak tuk itu - salihara kini - sudah bolehlah mengundang penyair

yang selalu menulis puisi tak berbait panjang ini. puisi yang ringkas - tiga atau empat bait, dengan larik larik puisi yang juga tak panjang. tapi puisi, keindahan dan kedalamannya, memang tak berurusan dengan panjang dan pendeknya sebuah bait, atau sebuah larik. kedalaman dan keindahan puisi, bergantung pada cara bagaimana puisi itu ditulis, dan apa yang dibicarakan oleh puisi itu sendiri.

apakah yang dibicarakan gita pratama dalam dunia puisinya? hanya hal yang biasa saja. hidup sehari hari yang biasa. tapi dengan sudut pandang victim - korban dari sebuah masyarakat di mana sang individu kalah tapi selalu melawan di sana, itulah yang menarik dari puisi puisi penyair gita pratama ini.

datanglah ke notenya, kita akan dapatkan dunia dari orang orang kalah itu. dunia yang diberi tekanan perlawanan oleh sang penyair, sehingga kabar tentang kekalahan, kadang berbelok juga menjadi kemenangan. manusia bisa dilumpuhkan, kata kebajikan entah di mana kudengar, tapi tak bisa dikalahkan.

dan itu artinya ia selalu mempunyai ruang untuk mengucapkan dirinya, untuk melawan dengan dirinya. meski hanya atau dalam dunia puisi, perlawanan semacam itu menjadi sebuah gerak pikiran untuk dijadikan semacam obor di hati. obor yang akan dibaca oleh mereka yang tahu akan hidup, dalam kegiatan budaya saling membaca dan saling menulis. akan nampaklah benang benang merah perlawanan yang datang dari pikiran itu.

empat silhuet sunyi yang diperagakan dengan identitas orang kecil di puisi yang berjudul andai andai ini, memperlihatkan jenis dan watak perlawanan yang datang dari dunia kontemplasi sang penyair, dunia yang dalam usahanya mengatasi benda benda, telah membuat benda dan peristiwa yang dibayangkannya terkelupas di sana. mendadak kita berhadapan dengan sebuah benda dan peristiwa yang lain. kopi, jagung bakar, remoute control, bulatan bakso yang memang sebesar biji mata sang penyair, telah bergerak menjadi dunia iktibar, dunia lambang lambang.

lambang lambang yang menjadi lintasan penyair untuk menyampaikan renungannya yang masuk ke dalam permainan peran - andai andai itu - mencipta ruang kosong yang bisa diisi rasa sunyi karena keterampilan sang penyair melukiskan, bukan mengatakan dengan dunia kata kata belaka, seperti yang tadi kulihat di note penyair cemerlang yang lain - krisandi dewi, tentang seorang anak penjual koran, yang temanya sangat bagus tapi gagal memancing pembacanya masuk ke dalam peristiwa yang sedang diceritakannya.

kegagalan yang biasa di dalam dunia penciptaan, telah diambil alih oleh penyair gita dengan amat baik.

jika nanti aku besar, sebuah larik yang mengajak, atau sekaligus dengan sekali sentak, telah memindahkan kisah puisi ke kisah yang mungkin telah menjadi pengalaman pembaca puisinya. jika nanti aku besar sebagai pintu masuk bagi dunia yang hendak dibentangkan oleh sang penyair, di mana pembaca masuk dan berdiam dalam perisitwa yang hendak diceritakan oleh sang penyair.

jika nanti aku besar, dari sebuah pengalaman yang sama dari manusia yang sama yakni kita kita juga. kita manusia yang bisa berkaca dalam tiap kasus hidupnya yang nyata. jika nanti aku besar, gita, mungkin aku akan menghidu hidu dunia makna dalam puisimu, ke dalam dunia makna yang kususur dalam hidupku seperti dalam hidupmu.

ah gita pratama penyair yang sudah mencapai tingkat kematangan dalam pengucapan puisi. berbahagialah kamu dengan puisi puisimu. kelak akan datang perubahan dalam konstelasi sastra kita, baik dalam cara mendekati konten puisi maupun dalam panggung panggung puisi yang terus merebak di seputar kita.

idih kita.

Hudan Hidayat

Darah Trah Dewata (Krisandi Dewi) Dan Perlawanan Cinta Perempuan Bali

Dino Umahuk*
http://perkosakata2009.wordpress.com/

Bukan maksud menyandingkan Novel “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini dengan Puisi “Darah Trah Dewata” karya R. Mega Ayu Krisandi Dewi (Chaa) karena pada dasarnya keduanya berbeda. Yang satu novel yang satunya teks puisi. Yang satunya ditulis oleh sastrawan terkenal Oka Rusmini yang satu lagi ditulis oleh penyair pemula Chaa. Yang satu sudah sangat terkenal di ranah sastra yang satu sedang belajar menggeliat.

Lalu kenapa aku memaksakan diri untuk menautkan dua karya ini ke dalam tulisan yang kacau balau ini? Aku tentu punya alasan yan mungkin subyektif. Seperti kasta, dua karya ini ditulis oleh penulis dengan kelas yang berbeda. Namun menarik bagi aku karena kedua karya ini sama-sama ditulis oleh dua perempuan Bali. Nafas kedua karya ini pun sama yakni pemberontakan.
**

Novel Tarian Bumi bercerita tentang Luh Sekar dan Telaga. Dua tokoh, ibu dan anak yang berbeda pandangan tentang arti sebuah kebahagiaan. Luh Sekar adalah seorang perempuan dari kasta sudra yang sangat berkeinginan untuk menikah dengan lelaki dari kasta Brahmana. Cita-cita Luh Sekar pun menjadi kenyataan ketika menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang lelaki brahmana, yang tidak bisa apa-apa, kecuali mabuk-mabukan dan juga bercinta sembarangan dengan berbagai macam perempuan termasuk dengan Kerta dan Kerti, dua adik perempuan Luh Sekar. Setelah menikah dengan lelaki kasta Brahmana, nama Luh Sekar pun berubah menjadi Jero Kenanga. Jero merupakan gelar yang diberikan kepada perempuan kasta rendah yang menikah dengan lelaki dengan kasta Brahmana.

Dari pernikahannya ini, lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada. Berbeda dengan ibunya yang begitu mengagungkan nilai derajat kebangsawanan, maka Telaga Pidada justru memandang bahwa kasta Brahmana penuh dengan kemunafikan. Telaga Pidada pun lebih tertarik dengan Wayan Sasmitha, seorang lelaki dari kasta rendah. Segala kemewahan, kemudahan yang didapat selama tinggal di griya dan juga gelar kebangsawanan ditanggalkan oleh Telaga Pidada demi Wayan Sasmitha. Telaga Pidada tinggal bersama Wayan, Luh Gumbreg dan Luh Sadri, adik dari Wayan dengan kehidupan khas keluarga sudra yang serba kesusahan, tetapi Telaga Pidada bahagia dengan pilihannya tersebut.

Masyarakat Bali, yang mayoritas menganut agama Hindu, mengenal dan menggunakan sistem kasta dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Kasta yang paling tinggi dan mendapat perlakuan yang istimewa adalah kaum brahmana atau bangsawan, sedangkan kasta yang terendah, atau masyarakat paling bawah adalah kaum sudra.

Dalam Tarian Bumi, Oka Rusmini menawarkan sebuah pemberontakan atas nilai-nilai melalui sosok Telaga. Digambarkan, sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang putri bangsawan. Terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya. Lebih-lebih karena ibunya sendiri seorang sudra, yang disunting oleh lelaki brahmana.

Puncak Decomposing yang dilakukan oleh Telaga, yaitu ia berani menabrak nilai sakral adat karena bersedia dikawini oleh laki-laki sudra, kasta terendah. Perkawinan itu tentu saja tidak direstui ibunya, Luh Sekar, yang sejak awal mengharapkan anaknya disunting lelaki bangsawan. Sementara, oleh ibu mertuanya, Telaga juga tidak sepenuhnya diterima karena kehadiran perempuan brahmana dalam keluarga sudra diyakini hanya akan membawa sial.

Namun, Telaga tetap pada pendiriannya, dengan menikahi Wayan, Telaga membuktikan bahwa ia-lah yang memilih siapa yang akan menjadi suaminya, bukan sistem atau adat. Meskipun untuk itu ia harus melepas semua gelar kebangsawananya.

” Hari ini juga tiang akan meninggalkan nama Ida Ayu. Tiang akan jadi perempuan Sudra yang utuh…” (Rusmini, 2004: 220)

”Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan, hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.” (Rusmini, 2004: 222)

Novel Tarian Bumi, dengan mengambil budaya Bali sebagai latar, merupakan gugatan yang sangat keras terhadap kemapanan nilai-nilai lama yang tertutup dan angkuh. Perempuan-perempuan yang digambarkan oleh Oka Rusmini tidak hanya menjadi sebuah kritikan yang keras terhadap sistem patriarki, sistem yang selama ini merugikan kaum tersebut. Oka Rusmini bahkan menawarkan sebuah pemberontakan dengan sebuah pemikiran, bahwa perempuan tidaklah hanya untuk dipilih, tapi juga berhak untuk memilih.
***

Kasta adalah sebuah kata yang sakti dan mampu membuat perselisihan di antara kerabat. Perjalanannya hingga sekarang di Bali masih dirasakan ada, karena ada golongan-golongan tertentu yang tetap mempertahankan feodalisme kaum-kaum ningrat yang dikatagorikan darah biru. Prof. I Gusti Ngurah Bagus pada tahun 1969 menghadirkan tulisan yang benar-benar sangat menggugah wawasan tentang keberadaan kasta di Bali pada masa-masa pergerakan nasional, yang menjamur ketika semua mempunyai prinsip dan bersikukuh terhadap idealisme kasta yang dimiliki, sikap fanatisme antar golongan, serta manajemen konflik yang kurang dimengerti dan dilaksanakan dengan baik. Tulisan itu bisa menjadi bukti kalau pergolakan akan kasta memang dari dulu tidak ada titik temu.

Kasta oleh Prof. I Gusti Ngurah Bagus dibagi menjadi empat yang lebih dikenal dengan Catur Wangsa yaitu Brahmana (golongan bramana), Ksatria (golongan ksatria), Wesia (golongan pedagang), dan Sudra (golongan budak atau buruh rendahan). Mereka yang berada pada strata yang lebih endah selalu dipinggirkan dalam berbagai macam urusan karena dianggap orang yang tidak penting. Namun tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan sosial kalau pada nantinya semua berbaur menjadi satu jika dalam bermasyarakat. Cinta bisa tumbuh di mana saja oleh siapa saja tidak memandang kedudukan dan fungsi masing-masing orang.

Pada jaman sebelum menginjak sekarang perkawinan antara kasta itu dipandang sesuatu yang tabu alih-alih dipandang sebagai hal yang aib juga sebab melakukan perkawinan seperti ini dinilai anomali oleh para tetua yang pada saat itu masih mempertahankan adat budaya masing-masing. Masih menganggap adanya golongan tinggi dan golongan rendah, sehingga tak pelak perpecahanpun terjadi walaupun itu masalahnya kecil yaitu cinta yang mempertaruhkan kasta.
****

Lalu di mana posisi sajak Darah Trah Dewata karya R. Mega Ayu Krisandi Dewi (Chaa) berikut ini dalam menyuarakan perlawanan atas tembok-tembok adat yang menghalang? Mari kita lihat bersama:

Sesemat kata muncrat di angkasa

Termaktub kesumat lupa tak tersebut

Ksatriaku, (yang hidup terlingkup megah nirwana)

Disinilah aku,(yang menelungkup dalam griya rumbia)

Mari cinta…,kita tertawa

Menabuh genta tak bernyawa

Ini cemeti,

Yang ini belati..

Dengan mana kita pilih mati??

Tak perlu cawan menadah darahmu

Tuang saja ke mulutku,biar kucium anyir itu

samakah dengan amis punyaku.

Jubah tak senama,(yang kaummu sebut sahaya–sudra)

Telah ku koyak di pinggiran jalan

Sekarang,

aku telanjang!

Tak berkasta

Kemari cinta…

Ini prasasti, sudah kuukir tadi sembari menggurat nadi

Dan ini peti mati..

Tempat kita bergelinjang malam pertama nanti

Mari cinta,Kemarilah sang ksatria..

Bahanakan kesumat kita!

Kesumat cinta berkalang kasta

Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah

‘Darah trah dewata tumpah di tanah sudra’

Boleh jadi puisi ini hanya ungkapan perasaan penulis yang gundah yang resah dengan nasib percintaannya atau nasib pasangan-pasangan muda lain di Bali yang tengah dimabuk asmara dan mereka harus berhadapat dengan tembok adat. Tetapi coba kita lihat aroma pemberontakan yang juga menguap dengan aroma yang hampir sama dengan apa yang ditulis oleh Oka Rusmini.

Chaa yang yang menelungkup dalam griya rumbia sebagai takdirnya berkasta sudra, menantang sang krastianya yang hidup terlingkup megah nirwana untuk datang merebut cinta untuk memilih mati entah dengan cemeti entah dengan belati. Chaa dengan berani menantang tembok kasta dengan berkata:

Jubah tak senama,(yang kaummu sebut sahaya–sudra)

Telah ku koyak di pinggiran jalan

Sekarang,

aku telanjang!

Tak berkasta

Perkawinan adat di Bali bersifat endogami klen. Menurut adat lama yang dipengaruhi oleh sistim klen dan kasta, orang – orang seklen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah) setingkat kedudukannya dalam adat, agama, dan kasta. Dahulu, jika terjadi perkawinan campuran, wanita akan dinyatakan keluar dari dadia. Secara fisik, suami istri akan dihukum buang (Maselong) untuk beberapa lama ketempat yang jauh dari tempat asalnya.

Lalu lihat juga penggalan terakhir dari sajak yang memberontak ini:

Mari cinta ,Kemarilah sang ksatria..

Bahanakan kesumat kita!

Kesumat cinta berkalang kasta

Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah

‘Darah trah dewata tumpah di tanah sudra’

Begitulah aku melihat aroma pemberontakan menguap dari sajak Darah Trah Dewata karya R. Mega Ayu Krisandi Dewi. Pemberontakan terhadap budaya dan adat yang merugikannya yang membnuh cintanya.

Mengaitkan kedua karya ini dengan budaya di dalam adat Bali adalah hal yang tidak mungkin aku abaikan meskipun kedua karya ini terus terang berbada kelas dan kasta. Namun demikian Tarian Bumi dan Darah Trah Dewata sama-sama ditulis oleh dua perempuan Bali yang gelisah, mandiri, radikal dan memberontak.

*) Penulis adalah Sastrawan dan Jurnalis

Sumber Naskah:
-http://secangkircokelat.blogspot.com/2006/10/tarian-bumi-perempuan-kasta-dan.html
-http://entertainmen.suaramerdeka.com/index.php?id=319
-http://www.sriti.com/storyview.php?key=1085
-www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2004/2/29/g1.html
-akademikaunud.wordpress.com/2008/08/13/menelisik-perkawinan-antara-cinta-dan-kasta/
-suluhbali.multiply.com/journal
-www.indo.net.id/mbs/mayapada_indah_wayang_golek.htm

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi