Senin, 04 Mei 2009

“Leontin Dewangga” dan Sastra Perlawanan

Asvi Warman Adam
http://www2.kompas.com/

JATUHNYA Soeharto membuka peluang munculnya karya sastra yang selama Orde Baru terlarang. Tiga dekade rezim otoriter itu identik dengan kematian sastra kiri, yaitu karya pengarang yang dianggap “terlibat G30S”. Demikian yang dialami Martin Aleida yang kiprahnya di dunia sastra tersumbat lebih dari 30 tahun. Baru sejak medio 1998 Martin bisa menerbitkan beberapa buku, yaitu Malam Kelabu, Ilyana dan Aku (kumpulan cerpen), Layang-Layang Tidak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi (novelet), dan Perempuan Depan Kaca (kumpulan cerpen). Yang terakhir adalah Leontin Dewangga (kumpulan cerpen) yang terbit akhir Desember 2003.

Martin Aleida lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 31 Desember 1943. Ia mendarat di Jakarta tahun 1963. Semula bernama Nurlan, ia aktivis Lekra Jakarta Raya. Setelah meletus G30S pada 1965, ia kemudian ditangkap tahun 1966 dan ditahan selama beberapa waktu. Setelah berganti-ganti pekerjaan (buruh bangunan, pelayan restoran, penjaga kios, pedagang kaki lima), dengan nama pena Martin Aleida ia menjadi wartawan majalah Tempo selama 13 tahun. Ketika identitasnya diketahui aparat, ia terpaksa berpindah kerja sebagai staf lokal Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta selama 10 tahun.

Sastra perlawanan

Buku Leontin Dewangga terdiri atas 17 cerpen. Tiga cerpen yang pertama, Malam Kelabu, Leontin Dewangga, dan Ode untuk Selembar KTP berlatar peristiwa 1965. Peristiwa 1965 yang diawali dengan penculikan para jenderal oleh pasukan Cakrabirawa pada subuh, 1 Oktober 1965, merupakan konflik yang terpanjang dalam sejarah nasional setelah merdeka. Satu-satunya konflik vertikal dan horizontal yang merombak tatanan politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia secara drastis. Di balik perubahan besar itu, yang terjadi adalah penderitaan puluhan tahun bagi mereka yang dituduh terlibat beserta keluarganya. Kesengsaraan dan stigma buruk itu tetap membekas sampai hari ini.

Cerpen Malam Kelabu menceritakan tentang seorang pemuda asal Sumatera Utara yang pergi melamar calon istrinya di sebuah desa di pinggir Bengawan Solo. Di atas perahu penyeberangan, sebelum sampai ke desa yang dituju, ia mendengar tentang bencana yang menimpa sang kekasih sekeluarga.

“Seminggu lalu ketahuan di rumah Partini menginap seorang pelarian PKI dari Yogya, kakak dari Mulyohardjo. Orang itu dicincang rakyat sampai mati. Rumah dibakar jadi abu”… Rakyat tak pandang bulu. Tak punya pertimbangan dalam melampiaskan amarah dan dendam kesumat yang sudah lama terpendam.

Seperti di daerah lain, keluarga komunis hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang buta huruf. Tak mau tahu dengan Partini dan adik-adiknya yang buta politik. Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi bengawan.

Si pemuda hanya bisa mengeluh tanpa daya

“Engkau dan seluruh keluargamu sudah tiada. Tiada kubur tempat ziarah, seakan-akan engkau tak boleh diterima bumi karena ayahmu komunis. Karena pamanmu…” rintihnya liris, mengiris-iris.

Selang beberapa saat, ia mengambil keputusan mendadak: mengakhiri hidupnya sendiri dengan sebilah pisau yang disimpannya di balik bajunya dan tercebur di dalam arus Bengawan Solo.

Cerpen Leontin Dewangga menceritakan seorang pemuda Aceh, Abdullah, yang ditangkap pascaperistiwa 65 karena dituduh komunis. Ketika ditangkap, di sakunya terdapat surat ayahnya yang mengabarkan bahwa orangtua Abdullah akan naik haji dengan menumpang kapal laut, yang akan memakan waktu tiga bulan. Surat inilah yang menyelamatkan Abdullah. Ia diizinkan aparat keluar, tetapi harus melapor setiap minggu.

Abdullah yang hidup gelandangan itu menawarkan tenaga mengangkat barang penjual sayur di Pasar Senen. Suatu hari, Abdullah bertemu seorang ibu dari Bungur, pemilik warung yang terpikat oleh sikap Abdullah. Seusai mengangkat barang, Abdullah dihidangkan makanan oleh si ibu. Selanjutnya, Abdullah berkenalan dengan Dewangga Suciati, anak pemilik warung, yang kemudian menjadi istrinya.

Sampai mereka mempunyai dua anak, Abdullah tidak pernah menjelaskan kepada istri dan keluarga istrinya tentang dirinya. Istrinya, Ewa, tidak merasa asing dengan percakapan antara Abdullah dan tamu-tamunya. Percakapan mereka mengingatkan Ewa akan percakapan ayahnya almarhum dengan teman-temannya.

Ketika istrinya berjuang melawan maut karena kanker stadium terakhir, Abdullah memutuskan berterus terang kepada istri. Mendengar cerita suaminya, Ewa meminta Abdullah membuka leontin yang terpasang di lehernya. Ternyata di situ ada gambar semacam bulan sabit berwarna merah, lambang gerakan tani yang melancarkan aksi sepihak untuk melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria. Leontin ini dikalungkan oleh ayah Ewa ketika ia berusia 17 tahun, sebelum sang ayah dibawa oleh seorang algojo yang dikirim oleh tuan tanah pada tahun 1965. Sejak itu ayahnya tak pernah lagi kembali. Kemudian Ewa sendiri pernah diperkosa oleh aparat keamanan ketika mencari ayahnya.

Kisah perempuan yang menunggu maut menjemput karena kanker itu sendiri sudah menyedihkan. Namun, kisah cinta antara dua keluarga korban 1965 yang baru saling mengetahui riwayat hidup masing-masing setelah maut akan memisahkan mereka betul-betul tragedi anak manusia. Jutaan orang di Indonesia sampai hari ini masih dihinggapi trauma dan menutup identitasnya.

Cerpen Ode bagi Selembar KTP mengisahkan kehidupan seorang wanita yang pernah menghuni kamp konsentrasi perempuan Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Stigma buruk terhadap mereka yang terlibat G30S itu meskipun sudah ditahan sekian tahun tanpa proses pengadilan diawetkan dengan memberi tanda ET atau ETP pada kartu tanda penduduk mereka. Dengan hasil penjualan sebidang tanah warisan ayahnya, perempuan itu menyogok petugas di kelurahan jutaan rupiah sehingga ia memperoleh KTP yang bebas dari tanda keji itu.

Ia disesali putrinya karena uang jutaan itu bisa digunakan anak-anaknya untuk modal berjualan, membuka toko obras, melanjutkan sekolah, atau membuka bengkel. Tetapi, sang perempuan sudah mengambil keputusan.

“Waktu telah mengajariku bahwa siapa pun tak bisa membuat kata-kata menemukan kenyataan yang dijanjikannya. Aku tak bisa menunggu.”

Perjuangan batin perempuan ini sungguh ganjil bagi masyarakat Indonesia pada umumnya yang sama sekali tidak memiliki persoalan dengan KTP mereka. Tetapi, itulah kenyataan yang sangat diskriminatif yang menimpa para korban 1965 (sampai sekarang).

Cerpen-cerpen yang lain memperlihatkan kepedulian terhadap rakyat kecil yang tertindas. Dengan satu dan lain cara, mereka tetap melawan. Perlawanan itu bahkan dilakukan bukan hanya oleh manusia. Kolam dan anjing pun bisa protes. Sayang cerpen Martin Aleida berjudul Kesaksian Ganja Kering, Basah Air Mata (Kompas, 5 Oktober 2003) tidak termuat dalam kumpulan ini. Ganja kering itu pun hidup dan bersaksi tentang pelanggaran HAM di Aceh dan di Indonesia.

Tidak menyerah

Lahir, jodoh, rezeki, dan mati ada di tangan Tuhan, demikian kata orang yang beriman. Tetapi, bagi mereka yang dianggap terlibat G30S, ada pihak lain yang menentukan nasib mereka. Meskipun tidak meminta dilahirkan sebagai anak seorang PKI, sang anak akan memikul “dosa turunan” yang seakan-akan diwariskan orangtuanya. Perkawinan pun bisa batal bila diketahui salah seorang pasangan itu “tidak bersih lingkungan”, artinya memiliki keluarga yang terlibat peristiwa 1965. Rezeki mereka jelas terhadang karena korban 1965 beserta keluarganya tidak bisa menjadi pegawai negeri, bahkan pegawai pada kebanyakan perusahaan swasta terkemuka. Kematian telah dialami oleh mereka yang dibantai tahun 1965/1966 atau yang meninggal secara tidak wajar di tempat-tempat penahanan yang jumlahnya ratusan buah di Tanah Air, termasuk kamp terbesar di Pulau Buru yang berkapasitas 10.000 orang.

Maka, yang digambarkan oleh Martin Aleida dalam buku ini hanyalah upaya untuk menertawakan atau mengejek nasib. Sungguhpun pada setiap cerpen itu terkandung pesan untuk tidak menyerah. Itulah pesan utama dari karya sastra perlawanan.

*) Juri Anugerah Sastra Khatulistiwa Award, 2003

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi