Jumat, 10 April 2009

Seni, Imajinasi, dan Kampanye Pencitraan

M. Shoim Anwar
http://www.jawapos.com/

HARI-HARI ini di sekitar kita benar-benar dipenuhi oleh suasana dan media kampanye dengan simbol-simbol politik. Poster, baliho, spanduk, foto, selebaran, dan sejenisnya tumbuh seperti rumput liar di pinggir-pinggir jalan. Radio yang kita dengar, televisi yang kita tonton, serta koran yang kita baca telah dikepung oleh nuansa politik. Persuasi yang dimunculkan simbol-simbol itu terus berulang, mengalami repetisi dari waktu ke waktu untuk merogoh simpati kita. Ibarat menu, semua itu disajikan secara bersama-sama dan kita dipaksa untuk melahapnya. Atas nama pesta, awalnya kita memang sangat bernafsu melahapnya, tapi lama-lama kita pun muntah dibuatnya.

Kita memang selalu belajar dari sejarah. Masa lampau, hari ini, dan masa mendatang adalah ruang gerak perjalanan sejarah. Ironisnya, politik dan kekuasaan hampir selalu memberi sejarah ketidakpastian dalam kenyataan hidup. Berbagai isi media politik yang ada di sekeliling kita bukanlah kenyataan sebenarnya. Seni dengan ruang imajinasinya telah membangun politik pencitraan seperti halnya iklan kecap atau obat sakit kepala. Foto para caleg dan tayangan iklannya dengan berbagai simbol yang melekat diusahakan sedemikian rupa agar seakan-akan mendekati realita.

Pada tahap seperti ini pandangan Plato tentang mimesis dalam seni jadi relevan, seni di satu sisi telah menjauhkan kita dari realita. Bagi Plato, seni yang ideal harus mendekatkan kita pada kebenaran (truthful). Bila tidak, seni justru menjauhkan kita dari akal budi. Itulah sebabnya, seniman harus senantiasa santun (modest).

Kampanye dengan berbagai atributnya adalah seni. Dominasi ruang imajinasi di dalamnya terlalu besar jika dibanding dengan realita. Janji-janji dan impian yang disuguhkan adalah fiksi, mirip seperti the American Dream bahwa ”tukang semir dapat menjadi pemilik pabrik sepatu”. Pidato dan iklan yang ditampilkan adalah klaim sepihak, hitam putih, dan semua kebaikan diatasnamakan diri sendiri dan golongannya. Wacana yang telah dilontarkan bukanlah faktual, melainkan fiksional karena ada fakta lain yang disisihkan dan disembunyikan. Pada tataran semiotik, seperti dikatakan penyair Rusia Tyutcev, ”pikiran yang diucapkan adalah suatu kebohongan”.

Apakah dengan demikian seni dan imajinasi selalu bersifat merusak? Tentu saja tidak. Ini sangat bergantung pada siapa dan apa motivasinya. Albert Einstein pernah berkata, ”The imagination is more important than knowledge”, imajinasi lebih penting dibanding pengetahuan. Einstein adalah seorang ilmuwan. Baginya, imajinasi merupakan titik pijak untuk membangun penemuan dalam realita. Tetapi, bagi politikus, imajinasi dipakai untuk membangun kekuasaan, seperti halnya teori imajinatif Machiavelli tentang kekuasaan dalam Sang Pangeran (The Prince) yang menghalalkan segala cara. Kekuasaan dan politik secara praktis cenderung korup. Tak heran jika para pelakunya dijuluki zoon politicon, binatang yang berpolitik.

Seni bukanlah tindak tutur yang wajar (speech act). Seni tidak berbicara apa adanya. Mendengarkan iklan atau pidato kampanye bukanlah sesuatu yang aplikatif. Karena termasuk seni, keberadaannya selalu diwarnai ambiguitas atau ketidakpastian. Maka, jangan terlalu berharap pada ketidakpastian yang terlontar. Lebih dari 63 persen caleg, menurut KPU Pusat, tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Itu artinya, ada tindak improvisasi yang dibangun. Sementara improvisasi adalah bayi yang dilahirkan oleh dunia kesenian. Pada situasi politis demikian, kita dihantui kecemasan, jangan-jangan para caleg adalah wrong man in a wrong place.

Sekarang kita berada dalam situasi ”jeruk makan jeruk”, yaitu dunia imajinatif yang dibangun lewat kampanye politik juga memanfaatkan media kesenian. Ini berarti seni makan seni. Memanfaatkan seni sebagai media pencitraan politik selalu memiliki ambivalensi. Bila dikaitkan dengan dunia politik dan kekuasaan, seni yang benar-benar seni memiliki naluri di luar pagar sebagai manivestasi kebebasannya. Seni yang isinya dipakai sebagai media kampanye politik dan kekuasaan akan jatuh pada wilayah pragmatisme.

Seorang caleg di Surabaya baru-baru ini memamerkan 23 lukisan dirinya karya 23 pelukis di Balai Pemuda, lantas disusul dengan konser musik bersama Sawung Jabo untuk memperkuat citranya. Seni model demikian akan runtuh, seperti halnya patung Karl Max, Lenin, dan Saddam Hussein yang ramai-ramai dirobohkan seiring dengan jatuhnya figur tersebut. Nasib yang sama menimpa lagu Bapak Pembangunan atau lukisan potret diri Soeharto oleh Dede Eri Supria. Bahkan uang yang bergambar potret diri Soeharto ditarik peredarannya ketika Soeharto jatuh.

Pada sisi lain, seni juga ketiban berkah saat iruk pikuk kampanye seperti ini. Tentu saja yang dimaksud adalah seni populer. Acara kampanye yang diramaikan dengan pertunjukan musik dan para artis umumnya dibanjiri orang. Tidak ada relevansi antara jumlah orang yang hadir dan besarnya dukungan terhadap caleg/partai penyelenggara. Mereka mungkin hanya menikmati hiburannya atau hadir karena diberi sesuatu. Ketika pertunjukan musik selesai dan giliran pidato kampanye para caleg, penonton pun bubar. Para artis hadir karena profesi mereka memang ditanggap. Muatan seninya umumnya tidak berkaitan dengan partai atau caleg tersebut.

Seni memang dapat ditempatkan di berbagai kemungkinan. Pada masa rezim komunis masih berkuasa di Uni Sovyet (Rusia) hampir semua karya seni diarahkan untuk pencitraan partai politik dan kekuasaan. Di samping tidak ada gaungnya, karya seni tersebut jatuh pada slogan kosong, mirip dengan karya sastra yang diproduksi oleh orang-orang Lekra di Indonesia. Sebaliknya, karya seni yang mengambil posisi berlawanan justru menjadi monumental seperti karya-karya Boris Pasternak, Solzhenitsyn, Anton Chekov, Joseph Brodsky, dan sebagainya. Maka, jika sajak-sajak perlawanan Rendra masih eksis hingga kini karena dia mengambil sikap perlawanan terhadap dunia politik dan kekuasaan yang dinilainya tidak beres: O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!/ O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!/ Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa / Allah selalu mengingatkan/ bahwa hukum harus lebih tinggi/ dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.

Seni memang sudah lama dimanfaatkan untuk sarana pencitraan. Di masa lampau seni juga dimanfaatkan oleh penguasa dan raja-raja untuk membentengi kekuasaan agar rakyat tidak berani melawan. Tidak heran jika salah satu ciri sastra lama di berbagai negara dan daerah adalah istana sentris, di mana raja dan keluarganya selalu dikisahkan sebagai figur ideal dan keturunan dewa-dewa. Tidak heran bila para penguasa lebih suka menanggap wayang kulit. Ini adalah model kampanye istana. Di sisi lain, muncul pula seni perlawanan seperti ludruk yang egaliter. Penguasa umumnya tidak suka dengan kesenian rakyat karena sering bernada kritis.

Di tengah-tengah iruk pikuk kampanye caleg dan partai politik, lagu Wakil Rakyat dari Iwan Fals menjadi segar kembali. Citra legislatif semakin terpuruk karena para anggotanya di berbagai wilayah tanah air sering terlibat berbagai kasus pelanggaran etika dan hukum, khususnya perkara korupsi. Bila Iwan Fals di masa Orde Baru melontarkan kritik ”wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat”, atau cuplikan novel Belantik karya Ahmad Tohari yang menyatakan bahwa anggota parlemen kalau sidang ”ngantuk melulu” dan ”mereka bermusyawarah-mufakat sambil guyon”, kini kondisinya jauh lebih parah. Korupsi berjamaah yang dilakukan para wakil rakyat terjadi hampir merata di seluruh tanah air. Cocok dengan judul drama Parlemen Gombal yang pernah dipentaskan di Balai Pemuda Surabaya.

Di pengujung 1990-an, pelukis Yusuf Susilo Hartono memamerkan sebuah lukisannya yang berjudul Bebek-Bebek Senayan. Lukisan berobjek gerombolan bebek dengan latar belakang gedung DPR/MPR itu sangat jelas pesannya, bahwa anggota parlemen perilakunya seperti bebek, penurut, dan tidak memiliki integritas. Ini mirip dengan cerpen Jurdil karya Yudhistira A.N.M. Massardi yang menggambarkan ketragisan fungsi anggota legislatif yang mengabdikan dirinya kepada kepentingan raja serta sesekali menyuarakan aspirasi segenap keluarga dan kerabat. Sebuah kaca benggala legislatif yang buram. Sama juga seperti drama atau monolog Butet Kartarajasa Lidah Masih Pingsan atau Mayat Terhormat.

Politik pencitraan lewat seni yang dilakukan para politikus dan caleg telah menemukan tandingannya. Jika janji-janji imajinatif dalam kampanye selalu memberi angin surga, Danarto justru mematahkannya lewat puisi ”Negeri Bandit”: Tuhan tinggal pajangan di dinding-dinding hotel berbintang, meja seminar, gedung DPR/MPR, dan rak-rak file dari kebobrokan ekonomi dan moral para pejabat.

Rakyat memang semakin pandai. Perilaku para politisi dan janji para caleg yang tidak masuk akal akan dibiarkan di alam imajinasi. Rakyat akan menilai dengan logikanya sendiri, seperti bunyi sajak Darmanto Jatman ”Hukuman Karto”: Atas asma Allah. Kuhukum kamu dengan mendiamkan tanda gambarmu / Sekalipun katamu kamu memihakku, membebaskan kami dari biaya edukasi apalagi korupsi / Tapi pada masa putaran kampanye, perilakumu tak mengundang simpatiku/ Kamu gasak rokok daganganku, kamu geber saudara-saudaraku!

Politik praktis berorientasi kekuasaan. Ideologinya adalah pragmatisme atau tergantung kepentingan sesaat. Lihatlah ulah para politisi yang loncat sana loncat sini. Omongannya juga susah dipegang. Sementara seni (man), yang juga tak dapat melepaskan diri dari ideologi, memiliki ikatan sangat kuat dengan ideologi yang dianutnya. Maka, ketegangan ideologis antara seni dan politik akan selalu terjadi. Kata-kata John F. Kennedy akan selalu aktual, ”Ketika politik menjadi bengkok, maka puisi akan meluruskannya.” (*)

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi