Jumat, 10 April 2009

Pramoedya

Ahmad Sahal
http://majalah.tempointeraktif.com/

Setiap kali membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, saya selalu merasa kagum, tapi juga sekaligus terganggu. Saya mengagumi karya-karyanya, yang secara persisten melantunkan humanisme. Pram mengakui berguru kepada Multatuli, pengarang Max Havelaar, yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Dalam karyanya, Pram selalu menampilkan revolutionary hero yang menentang pelbagai situasi tidak manusiawi yang datang dari tradisi, seperti feodalisme priayi Jawa, maupun dari pihak asing, seperti kolonialisme dan imperialisme.

Betapa tidak manusiawi-nya feodalisme bisa dibaca dalam Bumi Manusia, yakni ketika Minke, anak Bupati yang telah belajar pengetahuan Eropa, merasa terhina sekali waktu bertemu ayahnya: “harus merangkak, berengsot seperti keong, dan menyembah seorang raja kecil yang, barangkali, buta huruf pula….” Kolonialisme juga tidak manusiawi karena, di samping sistem itu sendiri menindas dan mengisap, ia membentuk orang semacam Sa’aman (dalam Blora), yang akibat penganiayaan kolonial akhirnya dikuasai dendam sehingga menjadi jahat. Kolonialisme jugalah yang melahirkan pegawai yang korup (dalam Korupsi) dan Pangemanan, polisi pribumi yang mengontrol Minke dan gerakan kebangsaan (dalam Rumah Kaca).

Namun, saya terganggu manakala menengok pandangannya tentang kesenian. Dalam prasarannya yang bertajuk “Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia”, di UI, pada 1963, Pram menyerukan paham realisme-sosialis dan menggasak humanisme universal. Di mata Pram, humanisme universal adalah humanisme individualis-borjuis yang melemahkan cita-cita revolusi karena membawakan pesimisme dan negativisme, cerminan bagi suara kapitalis Barat yang kehilangan tanah jajahan. Sementara itu, realisme-sosialis berwatak optimistis dan menentang kapitalisme dan imperialisme. Pram lalu menyatakan, dan ini yang membuat saya terganggu, salah satu watak realisme-sosialis adalah sikap militan yang ia kutip dari Maxim Gorky: if the enemy does not surrender, he must be destroyed. Militansi semacam inilah yang tampaknya menjadi gaya Pram ketika mengasuh Lentera.

Ketika Pram ditanya kenapa dulu di Lentera menyerukan agar penulis yang tidak berpihak pada the perspiring and toiling masses “dibabat” dan “tidak perlu diberikan luang sekecil-kecilnya pun”, argumennya ternyata berbau security approach. Menurutnya, saat itu Soekarno sedang terancam dan negara dalam bahaya. Karena itu, seni yang tidak mendukung revolusi harus minggir.

Di samping itu, Pram juga menyebutkan alasan pribadi: waktu pegang Lentera, ia sangat marah pada militer dan semua yang diperalat oleh militer karena penahanan atas dirinya yang semena-mena. Dan Lentera penuh dengan kemarahannya. Jadi, persoalan pribadilah yang menyebabkannya.

Tentu saja, alasan personal yang dilontarkan Pram tersebut tak bisa diabaikan begitu saja. Tapi, alangkah baiknya kalau sekarang pertikaian antara realisme sosialis (Lekra) dan humanisme universal (manifes) tidak hanya berkubang pada urusan pribadi “orang itu-itu saja”. Ini bukan soal Pram pribadi. Karena itu, saya tidak setuju desakan agar Pram meminta maaf, bukan saja lantaran Pram sendiri tidak merasa salah, melainkan juga karena represi yang sangat kejam dari rezim Orde Baru atas dirinya sangat tidak sebanding dengan apa pun yang dilakukannya.

Pertikaian itu harus diangkat pada level debat yang bersifat teoretis. Untuk menjawab kenapa realisme-sosialis membawa militansi ala Gorky dan kenapa mereka menganggap humanisme universal dekaden, ada baiknya kita melihat perdebatan pada awal abad ini di Eropa antara realisme sosialis dan modernisme dalam seni. Pandangan realisme sosialis tentang humanisme universal sejajar dengan pandangan mereka tentang seni modern.

Militansi model Gorky sebenarnya tidak menjadi unsur inheren dalam realisme sosialis. Realisme-sosialis adalah bagian dari satu proyek (atau mitos) emansipasi manusia, yakni komunisme. Dalam komunisme, kemerdekaan kini dan kebebasan hari ini harus ditunda dan dikorbankan demi kemerdekaan bersama hari depan.

Andrei Zhdanov, konseptor realisme-sosialis yang juga dikutip Pramoedya, menegaskan, sastra harus melukiskan kenyataan historis-kongkret dalam perkembangan revolusionernya demi pembentukan ideologi dan semangat sosialisme kaum buruh. Sastra harus bertendens dan optimistis. Jargon yang sering dipakai adalah “politik sebagai panglima”. Ketika kemudian realisme-sosialis menjadi “paham resmi” komunisme, di sinilah totalisasi terjadi dan militansi Gorky bekerja. Sastra yang tak hendak membuang kebebasan hari ini demi kebebasan bersama hari depan, sastra yang tidak menempatkan politik sebagai panglima bukan saja bakal tidak mendapat tempat, tapi juga akan dibabat.

Sementara itu, penilaian negatif terhadap seni modern sudah muncul sebelum Zhdanov, yakni dari Georgy Lukacs. Lukacs menyatakan, seni haruslah melukiskan keharmonisan totalitas kenyataan yang sekarang ini mengalami fragmentasi dan tercabik-cabik akibat sistem kapitalisme. Fragmentasi itu terjadi karena dalam kapitalisme, segala aspek kehidupan mengalami reifikasi (pembendaan) sehingga hubungan antarmanusia berubah menjadi hubungan antarbenda.

Realisme-sosialis dianggap oleh Lukacs mampu mencerminkan totalitas yang hilang tersebut. Sementara itu, surealisme, Dada, dan kaum avant-garde yang asyik dengan montase, keserentakan, ambiguitas, ketidakpastian, dan lebih berkutat pada medium seni ketimbang isinya dilihat oleh Lukacs hanya berhenti pada realitas yang terpecah-pecah, yang ter-reifikasi. Lukacs juga menyerang seni modern, terutama ekspresionisme Jerman, karena dianggap mengandung cetusan irasionalisme, padahal irasionalisme pada akhirnya menjerumuskan orang ke dalam fasisme. Lukacs lalu mencap seni modern sebagai dekaden.

Anehnya, pandangan bahwa seni modern membawa pesimisme dan dekadensi tidak hanya datang dari kaum realisme-sosialis. Sutan Takdir Alisjahbana, sastrawan yang menjadi salah satu target serangan Pram, ternyata punya pendirian yang kurang lebih sama, meski dari jurusan yang lain. Bagi Takdir, kesenian harus turut dalam reconstructie arbeid, kerja pembangunan dan modernisasi sosial. Seni harus punya tanggung jawab sosial. Seni tidak boleh untuk seni itu sendiri, tidak boleh individualistis. Karena itu, Takdir menyerang Chairil Anwar, Picasso, Hemingway, Rimbaud, dan Kandinsky.

Seni modern, di mata Takdir, mencemaskan karena membawa pesimisme, menjadi barang dagangan, terasing dari masyarakat, dan hanya merupakan pemberontakan yang tak bertanggung jawab dan tak bertujuan. Dengan kata lain, seni modern di mata Takdir sama dengan di mata Pramoedya: dekaden dan pesimistis.

Pandangan minor terhadap seni modern yang dilantunkan Pram, Lukacs, dan Takdir sebenarnya tidak punya dasar kuat. Realisme Lukacs, misalnya, dikritik oleh Brecht sebagai hanya formal dan tak historis. Lukacs menampik seni modern karena ia tidak punya kepekaan seorang seniman dan tidak banyak masuk dalam dunia puisi lirik atau teater. Ia juga tidak sadar, klaim bahwa realisme mencerminkan kenyataan sejati (mimesis) dalam prakteknya bisa—meski tidak selalu—dimanfaatkan oleh rezim totaliter, baik itu Stalinisme maupun Naziisme, yang juga cocok dengan hasrat mimesis tersebut. Dan kita tahu, Stalin dan Hitler paling getol memuja “seni rakyat” dan paling galak menghujat seni individual.

Kaum realisme-sosialis juga tidak bisa mengaku sebagai satu-satunya wakil seni Marxis. Kenyataannya, banyak pendukung seni modern yang Marxis. Andre Breton, yang memelopori surealisme, Bertolt Brecht dengan teater epik, dan pelukis Diego Riviera adalah contoh Marxis yang modernis. Bahkan, Breton, Riviera, ditambah Leon Trotsky sempat membikin manifesto yang mereka tandatangani bertiga, yang isinya mengutuk rezim totaliter Uni Soviet yang mereka anggap bukan pembawa suara resmi komunisme, dan mengecam seni resmi Stalinis. Artinya, antara Marxisme dan modernisme bukanlah dua mazhab yang saling membatalkan.

Klaim realisme sosialis bahwa seni modern adalah seni borjuis yang dekaden juga tidak meyakinkan. “Program” seni modern justru menggempur filosofi dan tatanan borjuis. Modernisme bisa menjadi perlawanan terhadap dehumanisasi dalam masyarakat modern. Masyarakat modern, yang kelihatannya tertib dan makmur, sebenarnya hanyalah selubung yang menyembunyikan proses dehumanisasi akibat dominasi rasionalitas-teknis. Nah, selubung itulah yang hendak disingkap oleh pemberontakan dan “efek pengasingan” seni modern.

Padahal, dehumanisasi jenis ini justru tidak diantisipasi oleh Pramoedya. Pandangan Pram dalam tetralogi masih menunjukkan optimisme khas abad ke-19 bahwa ilmu modern dari Eropa, seperti yang dipelajari Minke, merupakan sarana pencerahan dan membawa humanisme. Kini terbukti bahwa rasionalitas yang menjadi dasar ilmu modern tersebut tidak hanya mencerahkan. Ia juga membelenggu dan melahirkan dehumanisasi.

Dengan demikian, pembelaan terhadap humanisme tidak bisa diukur dari realis atau modernisnya suatu karya. Karya realis bisa saja sangat humanis, seperti karya Pram, tapi bisa juga antihumanisme ketika ia menjadi “seni resmi”, “seni pembangunan”. Sementara itu, puisi liris, yang kelihatannya individual, dalam rezim totaliter bisa saja menjadi suara subversif.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi