Jumat, 20 Maret 2009

Suara Lokal dalam Sastra Indonesia

Asarpin*
http://www.lampungpost.com/

SEJARAH kesusastraan abad ke-20 sangat dipengaruhi interaksinya dengan kolonialisme. Pada dasawarsa pertama Orde Lama, sastra Indonesia diwarnai sikap yang mendua: Sikap antara keharusan mengembangkan nilai-nilai lokal dan kekhawatiran terhadap identitas di baliknya. Ini berbeda dengan kenyataan yang terjadi di India dan Afrika, di mana sastra lokal pada 1950–1960-an menjadi strategi perlawanan terhadap kanon sastra Eropa.

Dasawarsa pertama Orde Baru, karya-karya sastra yang terbit mulai banyak menyuarakan sastra daerah meskipun tema pokok yang dibahas belum menunjukkan pergeseran. Novel-novel yang terbit pada paro pertama hingga pertengahan 1970-an, menampilkan serentetan gejala lokal melukiskan tatanan sehari-hari, seperti keluarga, kepercayaan, ritual, dan kebiasaan sebuah komunitas. Hal ini bisa ditelusuri dalam novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, Khotbah di Atas Bukit (1976), cerpen “Suluk Awang-Uwung” (1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (1977) karya Kuntowijoyo, sekadar menyebut beberapa contoh. Memasuki dasawarsa pertama 1980-an, suara lokal dalam sastra Indonesia masih berkutat pada persoalan nilai tradisional dan modern dan belum mampu melahirkan sastra lokal sebagai strategi kultural dalam mengimbangi sastra pusat. Kecuali novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar (1981), dan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983) karya Y.B. Mangunwijaya, Bako (1983) karya Darman Moenir, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, untuk menyebut beberapa contoh, masih berkutat pada persoalan ritual, agama, dan kekerabatan.

Novel Bumi Manusia (1980) secara simpatik Pram menampilkan watak Minke yang lebih menyukai bahasa Melayu ketimbang bahasa Jawa dan Belanda meskipun ia menguasai kedua bahasa itu. Pramoedya menekankan pentingnya penggunaan bahasa Melayu sebagai salah satu faktor penyatuan bangsanya dalam tetralogi ini. Dia mengutarakan pandangan ini melalui watak-watak yang muncul dalam karya ini, khususnya watak Minke. Pada awal ceritanya, Minke dilukiskan menulis makalah untuk sebuah surat kabar dalam bahasa Belanda daripada bahasa Jawa dan bahasa Melayu karena dia menerima pendidikan di HBS (Hogere Burger School).

Namun, watak Minke menunjukkan dengan keras ia ingin menulis dengan bahasa Melayu, bukan Jawa apalagi Belanda. Bahasa dalam Bumi Manusia menjelma sebagai sebuah perlawanan atau siasat kolonialisme dan kekuasaan kaum feodal. Ini terlihat dengan jelas lewat dialog tokohnya, “Sekali Tuan mulai menulis Melayu, Tuan akan cepat dapat menemukan kunci. Bahwa Tuan mahir berbahasa Belanda memang mengagumkan. Tetapi bahwa Tuan menulis Melayu, bahasa negeri Tuan sendiri, itulah tanda kecintaan Tuan pada negeri dan bangsa sendiri…. Siapa yang mengajak bangsa-bangsa pribumi bicara kalau bukan pengarang-pengarangnya sendiri seperti Tuan?” (hlm. 104).

Watak utama Minke digambarkan Pram sebagai seorang pelopor yang amat menghargai bahasa Melayu sebagai bahasa yang digunakan dalam surat kabar dan organisasi-organisasi baru. Bahasa Melayu sudah lama berfungsi sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, baik yang mengenal aksara maupun masih niraksara. Dengan demikian, bahasa Melayu dapat mengambil peranan penting di kepulauan Nusantara. Apabila Minke bertemu Ketua Cawangan Palembang Syarikat Dagang Islamiah dalam perjalanan yang diadakan untuk melihat perkembangan organisasi itu dari dekat, ia menjelaskan perlunya menggunakan bahasa Melayu seperti terungkap dalam novel Jejak Langkah (1985).

Munculnya perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan 1980-an tak bisa dilepaskan dengan novel tetralogi. Sejak munculnya karya tetralogi dan disambut perdebatan sastra kontekstual, terjadi perubahan cukup radikal dalam menyuarakan identitas lokal dalam sastra Indonesia. Pendukung sastra kontekstual mempersoalkan universalisme dalam sastra Indonesia lantaran terlalu memusatkan perhatian pada kehidupan kota. Munculnya sastra kontekstual sekaligus berusaha menjawab konsep politik negara integralistik Orde Baru. Pendukung sastra kontekstual mengusulkan sastra seharusnya lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan atau anasir-anasir lain di luar wacana pusat.

Namun, komitmen sosial yang ditawarkan sastrawan pendukung sastra kontekstual, tidaklah seekstrem yang terjadi di Afrika. Mereka tidak melarang penggunaan istilah universal dalam diskusi-diskusi tentang sastra, seperti fenomena yang pernah dikemukakan Chinua Achebe dalam Colonialist Critism di Afrika. Penggagas sastra kontekstual di Indonesia hanya menawarkan estetika alternatif sebagai pengimbang estetika mainstream sastra universal. Mereka menjawab universalisme tidak dengan esensialisme yang radikal, apalagi mencoba membatasi gagasan universalisme dengan cara sempit yang membahayakan.

Beberapa tahun kemudian, terutama pada awal 1990-an, suara lokal dalam sastra Indonesia tampil kembali seiring munculnya perdebatan posmo yang mempersoalkan apakah sejarah sastra nasional Indonesia sebatas satu narasi besar atau apakah sebenarnya ada banyak narasi kecil dengan keragaman yang juga harus dicatat dan diapresiasi kalangan sastrawan. Namun, alih-alih menawarkan estetika alternatif bagi sastra lokal atau sastra daerah, posmo justru mengundang bahaya yang mengancam.

Bahaya yang mengancam untuk, seperti pernah ditegaskan teoritikus poskolonial, Bill Ashcerift, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin dalam buku Menelanjangi Kuasa Bahasa (2003), mengajak kita menyerap kembali kebudayaan lokal ke dalam internasionalis dan universalis yang baru. Karena itu, ketiga teoretikus pascakolonial itu membedakan apa yang disebut postmodernisme dengan poskolonialisme, baik dari segi misinya, sumber inspirasinya, maupun watak keduanya.

Dorongan mengumpulkan kembali warisan-warisan sastra daerah dalam karya-karya sastra Indonesia pada 1990-an terus berlanjut lewat dekolonisasi kebudayaan dan kehendak kembali pada bahasa-bahasa dan mode-mode lokal prakolonial. Ini ditunjukkan beberapa karya yang muncul di era reformasi. Pergeseran warna lokal dalam bentuk bahasa, suara, konsep, ujaran, menjadi hal yang sangat penting yang menandakan era ini. Suara lokal tampil lebih radikal, berani, dan terang-terangan menggugat wacana pusat (dalam arti politik maupun budaya).

Dalam periode ini bermunculan komunitas-komunitas sastra daerah atau sastra kepulauan dengan semangat yang terlalu jauh dan nyaris berlebihan menolak universalisme melalui esensialisme ekstrem. Dalam cerita pendek yang muncul pada periode ini, suara lokal dapat ditelusuri dalam cerpen “Gerundelan Wong Tegal” (1999) karya Nurhidayat Poso, “Tambo” (2000) karya Gus tf. Belum lagi strategi yang digunakan lewat esai-esai yang secara sengaja mengampanyekan pentingnya kembali ke nilai-nilai lokal.

Beberapa novel juga tak ketinggalan mengusung semangat kelokalan, seperti Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini, yang menggugat habis-habisan tradisi Bali seraya menampik pandangan “asing” yang mengeksploitasi tradisi lokal. Novel Gelombang Sunyi (2001) karya Taufik Ikram Jamil tak ketinggalan menyemarakkan suara lokal, ekspresi identitas Melayu, dan menggugat sastra nasional yang memusat. Karya Taufik Ikram Jamil ini mengingatkan saya pada maklumat sastra poskolonial yang pernah dikemukakan penyair dan novelis Ghana, Kofi Awoonor, “Sastrawan harus kembali ke sumber-sumber lokal mereka untuk mendapatkan inspirasi.”

Dalam Tarian Bumi, Oka Rusmini menampilkan warna lokal lewat tokoh bernama Luh Kambren yang merasa muak terhadap tingkah-polah orang-orang asing sebagai ancaman terhadap perempuan Bali. Kambren merasa orang asing telah mengobjektivikasikan tubuhnya sebagai lambang keindahan Bali (hlm. 86). Sikap Kambren terhadap pusat sarat dengan kekecewaan. Kalaupun ada sikap cinta Tanah Air yang ditampilkan lewat karakter tokoh-tokohnya, itu lebih mengacu pada tanah Bali, sebagaimana dalam salah satu pernyataan Kambren yang dengan seni tarinya mengharapkan apa yang diperbuatnya bagi tanah air Bali-nya dihargai.

Novel Gelombang Sunyi menyuarakan sikap kecewa terhadap pusat dan dengan tegas mengemukakan penilaian yang positif terhadap sastra lokal (Melayu). Tak bisa dibantah suara kemarahan dan rasa frustrasi dengan pemerintah pusat dan perusahaan swasta nasional, yang telah menghancurkan kohesi dan tatanan sosial masyarakat Melayu (Riau) dan kekerasan aparat sangat nyata dalam novel ini. Dalam Tarian Bumi dan Gelombang Sunyi, suara lokal menjadi semacam strategi kultural, untuk tidak menyebut sebagai tandingan, terhadap sastra nasional. Kedua novel ini sudah keluar dari kecenderungan novel 1970-an yang hanya menampilkan gejala lokal berupa keluarga, kepercayaan, upacara, dan kebiasaan rohani sebuah komunitas. Suara lokal diubah menjadi sebuah identitas linguistik, budaya, dan sejarah yang merupakan ciptaan bebas manusia menurut kurun waktu dan tempat yang juga berubah-ubah.

Tujuan penggunaan bahasa lokal, suara, konsep, istilah, diksi, dan bentuk-bentuk lokal lainnya, untuk mengembangkan kembali motif-motif dan bentuk-bentuk yang sudah ada ke dalam suatu keseluruhan yang artistik dan estetik, sehingga si pengarang pada akhirnya dikembalikan kepada perasaan komunitas, kepada resolusi; usaha pengembalian ketenangan dan keheningan.

Perincian tentang suara lokal atau warna lokal dalam karya-karya di atas mampu mengelak dari pemaparan secara entografis. Masalah identitas “aku” (nyak), “kami” (sikam), dan identitas “mereka” (tiyan) justru mampu memberikan cara pandang yang arif menyikapi masalah keragaman. Karya-karya itu tidak mengajak pembaca memuja semangat primordialisme–seperti sering dikhawatirkan selama ini–melainkan menawarkan sisi kreatif yang lentur mengolah khazanah sastra yang bertebaran di belahan bumi Nusantara.

Sampai di sini, novel Bumi Manusia, Jejak Langkah, Tarian Bumi, dan Gelombang Sunyi yang dikemukakan di atas sama sekali bukan suara etnosentrisme atau sektarianisme, melainkan ke-Melayu-an dan ke-Bali-an lewat bahasa, suara, budaya, konsep, ujaran, dan sejarah. Ini menunjukkan semacam konsep identitas yang lebih lincah, fleksibel, lentur, lebih gampang disesuaikan dengan keadaan zaman yang berubah. ***

*) Peminat kajian budaya.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi