Jumat, 20 Maret 2009

Puisi Itu Pukulan Bersarung Tinju Beludru

Dorothea Rosa Herliany, Triyanto Triwikromo
http://layar.suaramerdeka.com/

JAWA Tengah wajib bangga memiliki penyair Dorothea Rosa Herliany. Sebab, selain buku puisinya, Santa Rosa, memenangi Khatulistiwa Literary Award 2005-2006, jauh sebelumnya kumpulan puisinya yang lain, Kill the Radio, masuk sebagai lima besar penghargaan paling bergengsi dalam dunia kesusastraan di Indonesia itu pada 2001. Setelah itu, pada 2003 Pusat Bahasa juga memilih dia sebagai pengarang terbaik 2003. Bahkan akhir 2004 Dorothea menerima “anugerah seni” dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI.

Apa makna penghargaan-penghargaan itu bagi perempuan yang pada 1995 pernah mendapatkan Anugerah Seni dari PWI Jawa Tengah ini? Berikut petikan perbincangan dengan dia di Magelang belum lama ini.

Apa makna Khatulistiwa Literary Award bagi dunia gagasan Anda?

Ini adalah semacam pengakuan dari banyak orang terhadap puisi-puisi saya. Ini berarti puisi-puisi saya dinikmati dan dipahami oleh banyak orang. Tentu sangat menggembirakan karena selama ini puisi dianggap terpencil, jauh, dan berada di awang-awang. Ya, dengan penghargaan ini, saya telah bisa membuktikan betapa puisi sebenarnya adalah sesuatu yang sangat dekat dan peduli pada masyarakat dan kehidupan. Puisi, jika saja mereka tahu, sesungguhnya hal yang pasti membicarakan sesuatu yang ada di masyarakat.

Apa sesungguhnya gagasan-gagasan saya? Barangkali memang sesuatu yang sangat abstrak. Ya, saya memang selalu tergugah atau gelisah oleh hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan. Karena itu, yang saya tulis adalah kesedihan saya melihat betapa dari waktu ke waktu masyarakat lebih tidak memedulikan dunia ruh, dunia yang lebih dalam pada kehidupan. Manusia hanya mengejar sesuatu yang fisikal, permukaan, kulit, atau gemebyar di luar. Kita tidak lagi ngopeni sesuatu yang lebih berada “di dalam”. Perjuangan manusia untuk menjadi manusia yang lebih baik kemudian tidak dipedulikan lagi. Hal-hal yang bersifat keduniawian memang diperlukan, tetapi jika ia sudah menjadi tujuan, manusia akan hidup dalam dunia yang sangat menyedihkan. Jadi, sekali lagi penghargaan ini kian membuktikan gagasan-gagasan saya tentang hidup yang lebih baik dibaca orang.

Tentu tidak. Kemenangan saya ini juga kemenangan “dunia tafsir”. Setiap kali menulis puisi saya senantiasa menafsirkan nilai-nilai dalam masyarakat dengan cara baru. Saya selalu bertanya, “Apakah nilai ini sudah benar?” Saya juga bertanya, “Apakah sesuatu yang sudah dianggap benar itu tidak bisa diberi penafsiran baru?” Ya, menjadi penafsir segala sesuatu saya kira merupakan tugas utama penyair. Saya tidak ingin sesuatu itu diposisikan sebagai hal yang mutlak. Saya tidak ingin segala hal menjadi dogma atau nilai yang dimutlakkan. Hidup harus ditafsir ulang secara terus-menerus.

Anda ternyata juga melawan tafsir tunggal terhadap berbagai hal yang dijejalkan oleh negara atau agama? Dalam bentuk apa perlawanan Anda?

Aduh! Ini masalah yang sangat sensitif. Saya misalnya pernah menggugat mitos-mitos dalam dunia perkawinan. Dalam dunia perkawinan, selalu ada kewajiban “menikah itu untuk setia”. Dalam kenyataan, komitmen semacam itu, hanya berada di permukaan, tidak berada di hati. Karena itu, ketika saya menulis: ketika menikahimu tak kusebut keinginan untuk setia, banyak orang kaget. Mereka shock. Saya kira puisi memang harus seperti itu. Tugas puisi harus memberi kejutan. Kejutan yang lembut. Puisi itu harus menonjok. Puisi itu harus seperti tinju dengan sarung yang lembut. Jadi, dalam berpuisi dan mengkritik nilai-nilai yang sudah mapan atau dimutlakkan, saya memang memukul dengan lembut. Puisi itu pukulan bersarung tinju beludru.

Ada juga contoh lain. Saya pernah menulis puisi bertajuk “Elegi Sinta”. Dalam puisi itu saya membuat tafsiran kembali terhadap cerita Rama-Sinta. dalam versi lama Rama digambarkan sebagai sosok yang suci dan tak pernah salah. Masyarakat Jawa, kita tahu, sangat memihak kepada Rama. Sebaliknya Sinta digambarkan sosok lemah yang membutuhkan perlindungan Rama saat hendak “diperkosa” oleh Rahwana. Ia, pendek kata, berada di bawah tekanan Rama, karena sebelum membakar Sinta, lelaki itu bilang, “Kalau kamu setia akan begini, kalau tidak setia akan begitu”. Ini membuat posisi Sinta menjadi sosok yang terpinggirkan. Dalam puisi saya, saya menghadirkan Sinta sebagai sosok yang kuat menempatkan Rama sebagai sosok peragu. Saya lebih menempatkan Sinta sebagai tokoh yang keras hati dan mampu berjuang.

Di negara kita, hal-hal semacam itu masih dipandang dengan sebelah mata. Negara memang sedikit peduli. Akan tetapi dalam keseharian negara belum secara ikhlas menerima perempuan sebagai sosok yang berpikiran lebih hebat dan berposisi lebih kuat. Ketika Megawati mau jadi presiden masih saja terjadi pro-kontra. Ini menunjukkan negara masih memihak laki-laki. Dengan berkata semacam ini, saya tidak ingin dianggap membela perempuan. Yang, saya lakukan saya membela manusia yang kebetulan berjenis kelamin perempuan.

Saya juga tak sepakat pada cara-cara mutlak-mutlakan memperjuangkan keyakinan tetapi dengan menghancurkan kemanusiaan dan manusia lain. Saya tak habis mengerti kok ada orang-orang yang merasa lebih benar daripada Tuhan. Lebih parah lagi mereka menyatakan tindakan-tindakan yang dilakukan itu dipersembahkan kepada Tuhan. Kemutlakan semacam ini harus ditentang. Saya punya harapan puisi atau sastralah yang bisa menyentuh dan mengingatkan betapa kemanusiaan kita memang terkikis.

Oke…tapi para pengamat kerap menyebut Anda sebagai perempuan yang menggunakan diksi laki-laki untuk mengungkapkan gagasan. Apakah ini tak bertentangan dengan keinginan Anda sebagai manusia yang ingin memperbaiki kualitas kemanusiaan siapa pun tanpa mempersoalkan jenis kelamin?

Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan mengambil metafor dari dunia pertanian. Jika hendak bertani, tentu kita butuh cangkul. Cangkul apa pun. Sebagaimana petani, saat menulis puisi saya membutuhkan berbagai diksi. Diksi apa pun. Tak peduli diksi laki-laki atau perempuan. Diksi yang bergunalah yang saya pakai. Kalau diksi-diksi yang menonjok dianggap sebagai diksi laki-laki, itu kesalahan tafsir laki-laki terhadap puisi-puisi saya. Yang saya inginkan sebenarnya sederhana saja. Saya ingin tujuan saya tercapai.

Nah, kalau begitu, Anda sebenarnya lebih ingin disebut sebagai feminis atau humanis sih?

Humanis! Saya kadang-kadang keberatan jika disebut sebagai feminis. Meskipun demikian, orang selalu bilang, “Kamu menulis tentang perempuan. Itu berarti kamu feminis!”. Terus saja saya menolak anggapan itu. Yang saya perjuangkan bukan persoalan keperempuanan, tetapi lebih kepada kemanusiaan. Laki-laki juga perlu ditolong jika dia lemah. Jadi saya ini lebih baik disebut sebagai pejuang humanisme, bukan feminisme.

Jika bisa distrukturkan, apa saja sih dunia gagasan Anda?

Saya berharap manusia menemukan kembali sisi baik kemanusiaannya. Ini suatu keinginan yang sedehana, tetapi hasilnya masih sayup-sayup.

Anda melihat kemanusiaan kita kian terkikis Lalu dengan cara apa Anda mewartakan kepada publik bahwa situasi kemanusiaan kita berada dalam situasi yang membahayakan?

Barangkali satu-satunya cara penyair untuk bisa “mengingatkan” mereka adalah dengan menulis. Dengan tulisan itu orang digiring memiliki ruang dan waktu untuk berpikir. Dengan tulisan-tulisan itulah, saya mencoba membuat puisi sebagai sesuatu yang menyentuh. Tentu dengan berbuat semacam itu, saya dan penyair lain tidak harus dianggap sebagai satu-satunya sosok yang mengansumsikan diri sebagai pengingat zaman.

O, cukupkah Anda mengubah dunia dengan puisi?

Tentu saja tidak. Dalam kehidupan kita itu banyak hal yang harus dipecahkan dengan hal-hal lain di luar puisi. Dunia indah itu tidak bisa dicapai hanya dengan puisi. Karena itu, saya juga melakukan berbagai tindakan lain. Saya bergerak menjadi penerbit dan melakukan gerakan sosial lain. Termasuk melakukan hal-hal kecil yang saya lakukan di rumah. Perjuangan saya bukan berupa tindakan-tindakan besar. Tindakan-tindakan besar baru terlihat justru ketika kita juga melakukan tindakan-tindakan kecil.

Anda mendidik anak Anda juga dengan cara melakukan tindakan-tindakan kecil yang bermakna?

Tentu. Saya selalu memberi pengertian: sekolah bukan satu-satunya tiket kita untuk menjadi manusia yang baik. Tujuan kita tidak untuk menjadi manusia sukses, tetapi manusia yang baik. Untuk menjadi manusia sukses harus belajar matian-matian menjadi ranking satu di sekolah. Ukuran keberhasilan manusia itu tidak harus menjadi dokter, insinyur, arsitektur, tentara, atau yang lain-lain.

Anda juga bergerak di dunia bacaan. Anda menjadi penerbit dan melakukan gerakan sosial yang mengajari publik untuk hidup dalam budaya baca. Inikah yang juga Anda sebut sebagai tindakan kecil yang penuh makna?

Ya. Membaca dan menulis itu sangat dekat dengan dunia pikir dan rasa. Jika orang tak hidup dalam dunia pikir dan rasa, mereka harus didekati dengan dunia baca dan tulis. Karena kita masih juga hidup dalam budaya lisan, maka perjuangan membawa orang ke dunia baca-tulis-rasa-pikir, masih harus dilakukan secara intens. Itulah yang saya lakukan agar kita semua berada dalam peradaban yang kian maju.

Kini kecenderungan buku Anda muncul dalam dua bahasa. Mengapa Anda tak menulis langsung dalam bahasa Inggris?

Saya punya kepekaan terhadap nuansa bahasa. Saya tahu dengan menulis dalam bahasa Indonesia akan lebih in dan tepat mengutarakan gagasan-gagasan saya. Ada sesuatu yang tertinggal kalau saya langsung menulis dalam bahasa Inggris. Tujuan saya menerbitkan puisi dalam dua bahasa lebih dipicu oleh pertimbangan pasar. Selain itu, saya ingin gagasan-gagasan universal tentang kemanusiaan saya lebih terdistribusi ke masyarakat yang lebih luas tanpa dibatasi oleh bahasa.

Apa sih perjuangan terberat Anda saat mendistribusikan gagasan?

Yang paling berat adalah saat berproses mewujudkan gagasan. Saya selalu berpikir bagaimana agar gagasan-gagasan saya itu mudah diterima tetapi tidak wantah dan dalam balutan keindahan. Ya, buat apa kita menulis jika gagasan-gagasan itu tak sampai di hati orang?

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi