Sabtu, 28 Februari 2009

Mendulang Cerita dari Amsal dan Umpama

Judul : Parang Tak Berulu
Penulis : Raudal Tanjung Banua
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, Mei 2005
Tebal : 182 halaman
Peresensi: Damhuri Muhammad
http://www.ruangbaca.com/

Teks cerpen terkadang dapat diandaikan sebagai ‘khabar’ tertulis yang disampaikan oleh seorang ‘juru khabar’. Bila hipotesis di atas dapat diandalkan, maka pergulatan seorang cerpenis (juru khabar) agaknya bukan pada substansi khabar (baik atau buruk), tetapi bagaimana cara ia menggarap dan menyiarkan khabar itu. Khabar petaka, jika penyampaiannya dikemas dengan bahasa yang teduh, sejuk dan memukau boleh jadi tetap (seolah-olah) terdengar seperti ‘khabar baik’. Sebaliknya, khabar gembira jika medium pengabarannya cacat dan tak memadai bisa saja tersiar seperti ‘khabar buruk’.

Di sinilah ‘martabat’ dan jati diri teks sastra dipertaruhkan. Bahwa, pencapaian estetik tidak diukur pada seberapa banyak anasir pesan dapat tersuguhkan, melainkan ditentukan oleh seberapa kokoh, dan seberapa kuat konstruksi medium penyampaian pesan yang dibangun pengarang. Seperti kata Raya Dewi (2002), sastra adalah artikulasi estetik dalam bentuk teks, bukan risalah sosial. Dengan kata lain, cerpenis akan lebih bergelut dengan ‘cara’, ketimbang berobsesi pada tercapainya ‘tujuan’. Lebih bergelimang dengan ‘proses’ ketimbang menghamba pada ‘hasil’.

Begitulah ‘laku estetik’ yang diperankan Raudal Tanjung Banua dalam kumpulan cerpen Parang Tak Berulu (Gramedia Pustaka Utama, 2005). Ia membawa khabar perihal amsal, umpama atau semacam ‘gunjingan’ metaforik tentang sebilah parang yang tak lagi utuh sebagai parang. Masihkah dapat disebut parang bilamana sudah tak berulu, tak bergagang?. Sejatinnya bukan soal parang tersebut khabar yang hendak disampaikan pengarang. Tapi, tentang etos ketakberdayaan janda beranak satu bernama Gondan. Di negeri tempat khabar ini dipungut, peruntungan perempuan yang ditinggal suami tak ubahnya seperti Parang Tak Berulu. Meski ketajamannya tetap diasah, tapi tak bakal kokoh bila ‘mencatuk’ dan mengerat. Seperti kalimat umpama yang lain ; ‘Lurah Tak Berbatu’, ‘Ijuk Tak Bersaga’, ‘Sawah Tak Berpembatang’. Inilah tabiat ‘kata melereng’, sindiran pedas, yang jika terdengar amat menyakitkan. Mungkin jauh lebih pedih dari goresan mata parang sesungguhnya.

Adalah Gombak (anak laki-laki Gondan) satu-satunya peninggalan Jibun (suami Gondan) yang meski telah bersusah payah memperbaiki ulu parang, namun selalu gagal. Ulu yang terpasang tetap saja longgar, dan kerap lepas terpelanting setiap diayunkan bundanya saat mengeping kayu. Sewaktu ayahnya masih ada, Gombak dimanjakan, tak pernah memegang parang, apalagi belajar bagaimana cara mengganti ulunya. Begitu pun Gondan. Tak pernah menginjak lumpur sawah, hidup berkecukupan, bahkan Jibun berhasil membangun rumah sendiri (terpisah dari mertua) untuk istrinya. Tapi, Jibun tak berdaya melawan egoisme kesukuan Sutan Mangkudu (paman/mamak Gondan) yang sejak awal tak merestui pernikahan mereka. Alasan penolakan Sutan Mangkudu memang sudah jamak di negeri itu ; Jibun, si laki-laki tak bersuku. Orang datang, orang dagang, tak jelas asal-usulnya, tak bersilsilah. Inilah asal muasal lepasnya ulu dari parang, hingga Gondan hidup menjanda dan jatuh susah ; pasrah pada nasib sebagai pengeping kayu bakar. Itupun dengan parang yang sudah cela ; tak berulu. Apa boleh buat!

‘Diam-diam’ Gombak hendak mencari ulu yang kokoh bagi ‘parang’ bundanya. Itulah pak Anjang, penjual ikan keliling yang menaruh hati pada Gondan. Namun, Gondan tak yakin, pak Anjang mampu jadi pengganti Jibun, pengganti ulu parang yang sudah hilang. Sebab, bagaimanapun juga pak Anjang sudah beristri. Dan, sudah pasti Gondan bakal tertuduh sebagai perempuan benalu, perusak rumah tangga orang. Maka, selamanyalah parang tak bakal berulu.

Tersebab khabar yang diusung adalah hasil eksplorasi di ranah etnik tertentu, Raudal tampak hendak melakukan ‘universalisasi konteks’ agar metafora Parang Tak Berulu familiar di dalam nalar pembaca mana pun (tidak hanya etnik Minang). Maka, terbacalah improvisasi pengarang, yakni mengganti kata lading (baca; bahasa Padang ‘parang’) dengan parang. Problemnya, kata ‘parang’ tidak serta merta dengan gampang dilekatkan pada pekerjaan mengeping kayu. Sebab, pekerjaan mengeping (membelah) biasanya dilakukan dengan perkakas ; ‘kapak’. Sementara lading atau parang sifatnya memotong (mengerat). Tapi, ini hanya soal ibarat. Toh, khabar yang hendak disiarkan tak ada hubungannya dengan makna detonatif kata ‘parang’.

Eksplorasi tematik yang digali dari kultur etnik, sebagaimana disinyalir kritikus Maman S. Mahayana (2002) merupakan peluang yang menjanjikan lahan berlimpah. Warna lokal seperti mata air gagasan yang tak pernah kering. Menyimpan benih-benih kisah yang tak ‘sudah-sudah’ jika para pengarang mau mengolah. Tengoklah, Oka Rusmini (Bali), Darman Moenir, Wisran Hadi, Gus Tf Sakai (Minang), Taufik Ikram Jamil (Riau), Yanusa Nugroho (Jawa), beberapa contoh pengarang yang menggauli kultur etnik dengan amat cerdas. Begitu pun Umar Kayam (Para Priyayi), Linus Suryadi AG (Pengakuan Pariyem), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk). Raudal Tanjung Banua, sebagai generasi baru cerpenis yang terlahir di Ranah Minang tak menyia-nyiakan peluang itu. Parang Tak Berulu adalah kumpulan cerpennya yang ketiga setelah Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela, 2003) dan Ziarah Bagi yang Hidup (Mahatari, 2004). Sejak awal kepengarangannya, cerpenis peraih anugerah sastra Horison, 2004 (Cerobong Tua Terus Mendera) ini begitu tekun, telaten dan bersetia membolak-balik lembaran khazanah kaba (tradisi sastra lisan Minang Kabau) yang nyaris terabaikan oleh pengarang-pengarang seusianya.

Raudal tak henti-hentinya melakukan ekperimentasi teknik berkisah, untuk meraih kompetensi literer sebagai ‘juru kaba’ yang lihai, piawai dan tak terjerumus pada model simbolisme atau realisme yang udik. Hal ini diakui Nirwan Dewanto sebagaimana tertera di cover belakang buku ini, bahwa Raudal menjalankan siasat naratif yang jitu dalam menghadapi realitas besar. Anasir kecil seperti pisau atau parang bisa bermakna kelamin atau bayangan lelaki yang merangsang konflik di bawah permukaan. Sejumlah kisah Raudal menjadi sistem yang utuh, namun sekaligus menjadi prisma yang memancarkan masalah kaum, puak atau satuan sosial yang lebih besar. Raudal berhasil meneruskan kompleksitas tradisi lisan (kaba) ke dalam tradisi tulisan, tradisi sastra.

Sebagai ‘juru khabar’ yang mampu menyulam kisah-kisahnya dengan langgam puitik, runtut dan model pengungkapan yang berirama, pembaca bisa saja terkecoh bahwa ketertindasan tokoh Upik (Ranah Berkabut) lantaran mitos ‘pusar-pusar ternak’ yang melekat di ubun-ubunnya pun terdengar (seolah-olah) ‘khabar baik’. Diceritakan tentang ‘tahyul’ turun temurun bahwa seorang anak yang memiliki ‘pusar-pusar kembar’, dipercayai sebagai isyarat dan pertanda bakal berkembang biaknya binatang ternak yang dipeliharanya. Maka, Upik tak perlu bercita-cita tinggi seperti abangnya (Kandik) yang ingin jadi tentara. Perempuan itu seolah-olah sudah terselamatkan hanya dengan mengikuti ‘garis’ nasib sebagai pengembala ternak (ayam, itik, kambing, sapi dan kerbau). Celakanya, ‘alih-alih’ dapat menikmati jerih payahnya mengembangbiakkan ternak, si Upik justru jadi sasaran kesewenang-wenangan ayahnya (penjudi, dan suka menganggu istri orang) yang bebas merampas ternak-ternak peliharaannya. Begitupun Kandik (bila kalah berjudi), yang dengan gampang menyeret kambing-kambing Upik. Mitos ‘pusar-pusar ternak’ yang diyakini bakal berbuah berkah, ternyata hanya menyuburkan iklim kekerasan ‘diam-diam’.

Ketertindasan Upik, ‘setali tiga uang’ dengan penderitaan Gondan (Parang Tak Berulu) yang menanggung gunjing, bisik dan selidik sejak kepergian Jibun, suaminya. Begitu pun Hindun (Perempuan Yang Jatuh dari Pohon), yang mesti berjuang mati-matian ‘menegakkan’ hidup keluarga setelah ditinggal mati ayahnya. Hindun mengisolasi diri dari pergaulan gadis-gadis kampung seusianya, tinggal di ladang bersama ibunya. Di sini, Raudal memperlihatkan betapa banyak pantangan adat yang kaku, kolot, kampungan dan sering merendahkan martabat perempuan. Misalnya, terlarang bagi perempuan memanjat pohon. Apakah karena perempuan tak boleh lebih tinggi dari laki-laki? Lalu, terlarang meminang perempuan yang tak tinggal di rumah sendiri. Bila Hindun masih tinggal di ladang, niscaya ia tak bakal bersuami sampai mati. Maka, Hindun pun melanggar semua pantangan, sejak kecil ia sudah berani memanjat pohon, dan juga bertekad tak akan tinggal di dalam kampung. Hingga suatu ketika, Hindun memanjat pohon keramat. Celakanya, perempuan itu kena batunya. Hindun jatuh, dan mati!. Konon, kematian Hindun dianggap sebagai ‘karma’, tersebab telah melanggar pantangan. Dan, kematian seperti itu tak bakal disembahyangkan.

Maka, betapapun halusnya rumusan ‘bahasa pengabaran’ dalam teks cerpen Raudal, pembaca yang telaten tetap akan memahami bahwa kisah Gondan, Hindun, Jumilah (Tali Rebab) dan Andam (Laju Buaian di Rumah tak Berpenghuni) adalah ‘khabar buruk’ perihal perempuan-perempuan yang tak bernasib mujur, (justru) di ranah budaya matrilineal yang konon sangat memuliakan kaum ibu.

*) Cerpenis, Tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi