Judul : Parang Tak Berulu
Penulis : Raudal Tanjung Banua
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, Mei 2005
Tebal : 182 halaman
Peresensi: Damhuri Muhammad
http://www.ruangbaca.com/
Teks cerpen terkadang dapat diandaikan sebagai ‘khabar’ tertulis yang disampaikan oleh seorang ‘juru khabar’. Bila hipotesis di atas dapat diandalkan, maka pergulatan seorang cerpenis (juru khabar) agaknya bukan pada substansi khabar (baik atau buruk), tetapi bagaimana cara ia menggarap dan menyiarkan khabar itu. Khabar petaka, jika penyampaiannya dikemas dengan bahasa yang teduh, sejuk dan memukau boleh jadi tetap (seolah-olah) terdengar seperti ‘khabar baik’. Sebaliknya, khabar gembira jika medium pengabarannya cacat dan tak memadai bisa saja tersiar seperti ‘khabar buruk’.
Di sinilah ‘martabat’ dan jati diri teks sastra dipertaruhkan. Bahwa, pencapaian estetik tidak diukur pada seberapa banyak anasir pesan dapat tersuguhkan, melainkan ditentukan oleh seberapa kokoh, dan seberapa kuat konstruksi medium penyampaian pesan yang dibangun pengarang. Seperti kata Raya Dewi (2002), sastra adalah artikulasi estetik dalam bentuk teks, bukan risalah sosial. Dengan kata lain, cerpenis akan lebih bergelut dengan ‘cara’, ketimbang berobsesi pada tercapainya ‘tujuan’. Lebih bergelimang dengan ‘proses’ ketimbang menghamba pada ‘hasil’.
Begitulah ‘laku estetik’ yang diperankan Raudal Tanjung Banua dalam kumpulan cerpen Parang Tak Berulu (Gramedia Pustaka Utama, 2005). Ia membawa khabar perihal amsal, umpama atau semacam ‘gunjingan’ metaforik tentang sebilah parang yang tak lagi utuh sebagai parang. Masihkah dapat disebut parang bilamana sudah tak berulu, tak bergagang?. Sejatinnya bukan soal parang tersebut khabar yang hendak disampaikan pengarang. Tapi, tentang etos ketakberdayaan janda beranak satu bernama Gondan. Di negeri tempat khabar ini dipungut, peruntungan perempuan yang ditinggal suami tak ubahnya seperti Parang Tak Berulu. Meski ketajamannya tetap diasah, tapi tak bakal kokoh bila ‘mencatuk’ dan mengerat. Seperti kalimat umpama yang lain ; ‘Lurah Tak Berbatu’, ‘Ijuk Tak Bersaga’, ‘Sawah Tak Berpembatang’. Inilah tabiat ‘kata melereng’, sindiran pedas, yang jika terdengar amat menyakitkan. Mungkin jauh lebih pedih dari goresan mata parang sesungguhnya.
Adalah Gombak (anak laki-laki Gondan) satu-satunya peninggalan Jibun (suami Gondan) yang meski telah bersusah payah memperbaiki ulu parang, namun selalu gagal. Ulu yang terpasang tetap saja longgar, dan kerap lepas terpelanting setiap diayunkan bundanya saat mengeping kayu. Sewaktu ayahnya masih ada, Gombak dimanjakan, tak pernah memegang parang, apalagi belajar bagaimana cara mengganti ulunya. Begitu pun Gondan. Tak pernah menginjak lumpur sawah, hidup berkecukupan, bahkan Jibun berhasil membangun rumah sendiri (terpisah dari mertua) untuk istrinya. Tapi, Jibun tak berdaya melawan egoisme kesukuan Sutan Mangkudu (paman/mamak Gondan) yang sejak awal tak merestui pernikahan mereka. Alasan penolakan Sutan Mangkudu memang sudah jamak di negeri itu ; Jibun, si laki-laki tak bersuku. Orang datang, orang dagang, tak jelas asal-usulnya, tak bersilsilah. Inilah asal muasal lepasnya ulu dari parang, hingga Gondan hidup menjanda dan jatuh susah ; pasrah pada nasib sebagai pengeping kayu bakar. Itupun dengan parang yang sudah cela ; tak berulu. Apa boleh buat!
‘Diam-diam’ Gombak hendak mencari ulu yang kokoh bagi ‘parang’ bundanya. Itulah pak Anjang, penjual ikan keliling yang menaruh hati pada Gondan. Namun, Gondan tak yakin, pak Anjang mampu jadi pengganti Jibun, pengganti ulu parang yang sudah hilang. Sebab, bagaimanapun juga pak Anjang sudah beristri. Dan, sudah pasti Gondan bakal tertuduh sebagai perempuan benalu, perusak rumah tangga orang. Maka, selamanyalah parang tak bakal berulu.
Tersebab khabar yang diusung adalah hasil eksplorasi di ranah etnik tertentu, Raudal tampak hendak melakukan ‘universalisasi konteks’ agar metafora Parang Tak Berulu familiar di dalam nalar pembaca mana pun (tidak hanya etnik Minang). Maka, terbacalah improvisasi pengarang, yakni mengganti kata lading (baca; bahasa Padang ‘parang’) dengan parang. Problemnya, kata ‘parang’ tidak serta merta dengan gampang dilekatkan pada pekerjaan mengeping kayu. Sebab, pekerjaan mengeping (membelah) biasanya dilakukan dengan perkakas ; ‘kapak’. Sementara lading atau parang sifatnya memotong (mengerat). Tapi, ini hanya soal ibarat. Toh, khabar yang hendak disiarkan tak ada hubungannya dengan makna detonatif kata ‘parang’.
Eksplorasi tematik yang digali dari kultur etnik, sebagaimana disinyalir kritikus Maman S. Mahayana (2002) merupakan peluang yang menjanjikan lahan berlimpah. Warna lokal seperti mata air gagasan yang tak pernah kering. Menyimpan benih-benih kisah yang tak ‘sudah-sudah’ jika para pengarang mau mengolah. Tengoklah, Oka Rusmini (Bali), Darman Moenir, Wisran Hadi, Gus Tf Sakai (Minang), Taufik Ikram Jamil (Riau), Yanusa Nugroho (Jawa), beberapa contoh pengarang yang menggauli kultur etnik dengan amat cerdas. Begitu pun Umar Kayam (Para Priyayi), Linus Suryadi AG (Pengakuan Pariyem), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk). Raudal Tanjung Banua, sebagai generasi baru cerpenis yang terlahir di Ranah Minang tak menyia-nyiakan peluang itu. Parang Tak Berulu adalah kumpulan cerpennya yang ketiga setelah Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela, 2003) dan Ziarah Bagi yang Hidup (Mahatari, 2004). Sejak awal kepengarangannya, cerpenis peraih anugerah sastra Horison, 2004 (Cerobong Tua Terus Mendera) ini begitu tekun, telaten dan bersetia membolak-balik lembaran khazanah kaba (tradisi sastra lisan Minang Kabau) yang nyaris terabaikan oleh pengarang-pengarang seusianya.
Raudal tak henti-hentinya melakukan ekperimentasi teknik berkisah, untuk meraih kompetensi literer sebagai ‘juru kaba’ yang lihai, piawai dan tak terjerumus pada model simbolisme atau realisme yang udik. Hal ini diakui Nirwan Dewanto sebagaimana tertera di cover belakang buku ini, bahwa Raudal menjalankan siasat naratif yang jitu dalam menghadapi realitas besar. Anasir kecil seperti pisau atau parang bisa bermakna kelamin atau bayangan lelaki yang merangsang konflik di bawah permukaan. Sejumlah kisah Raudal menjadi sistem yang utuh, namun sekaligus menjadi prisma yang memancarkan masalah kaum, puak atau satuan sosial yang lebih besar. Raudal berhasil meneruskan kompleksitas tradisi lisan (kaba) ke dalam tradisi tulisan, tradisi sastra.
Sebagai ‘juru khabar’ yang mampu menyulam kisah-kisahnya dengan langgam puitik, runtut dan model pengungkapan yang berirama, pembaca bisa saja terkecoh bahwa ketertindasan tokoh Upik (Ranah Berkabut) lantaran mitos ‘pusar-pusar ternak’ yang melekat di ubun-ubunnya pun terdengar (seolah-olah) ‘khabar baik’. Diceritakan tentang ‘tahyul’ turun temurun bahwa seorang anak yang memiliki ‘pusar-pusar kembar’, dipercayai sebagai isyarat dan pertanda bakal berkembang biaknya binatang ternak yang dipeliharanya. Maka, Upik tak perlu bercita-cita tinggi seperti abangnya (Kandik) yang ingin jadi tentara. Perempuan itu seolah-olah sudah terselamatkan hanya dengan mengikuti ‘garis’ nasib sebagai pengembala ternak (ayam, itik, kambing, sapi dan kerbau). Celakanya, ‘alih-alih’ dapat menikmati jerih payahnya mengembangbiakkan ternak, si Upik justru jadi sasaran kesewenang-wenangan ayahnya (penjudi, dan suka menganggu istri orang) yang bebas merampas ternak-ternak peliharaannya. Begitupun Kandik (bila kalah berjudi), yang dengan gampang menyeret kambing-kambing Upik. Mitos ‘pusar-pusar ternak’ yang diyakini bakal berbuah berkah, ternyata hanya menyuburkan iklim kekerasan ‘diam-diam’.
Ketertindasan Upik, ‘setali tiga uang’ dengan penderitaan Gondan (Parang Tak Berulu) yang menanggung gunjing, bisik dan selidik sejak kepergian Jibun, suaminya. Begitu pun Hindun (Perempuan Yang Jatuh dari Pohon), yang mesti berjuang mati-matian ‘menegakkan’ hidup keluarga setelah ditinggal mati ayahnya. Hindun mengisolasi diri dari pergaulan gadis-gadis kampung seusianya, tinggal di ladang bersama ibunya. Di sini, Raudal memperlihatkan betapa banyak pantangan adat yang kaku, kolot, kampungan dan sering merendahkan martabat perempuan. Misalnya, terlarang bagi perempuan memanjat pohon. Apakah karena perempuan tak boleh lebih tinggi dari laki-laki? Lalu, terlarang meminang perempuan yang tak tinggal di rumah sendiri. Bila Hindun masih tinggal di ladang, niscaya ia tak bakal bersuami sampai mati. Maka, Hindun pun melanggar semua pantangan, sejak kecil ia sudah berani memanjat pohon, dan juga bertekad tak akan tinggal di dalam kampung. Hingga suatu ketika, Hindun memanjat pohon keramat. Celakanya, perempuan itu kena batunya. Hindun jatuh, dan mati!. Konon, kematian Hindun dianggap sebagai ‘karma’, tersebab telah melanggar pantangan. Dan, kematian seperti itu tak bakal disembahyangkan.
Maka, betapapun halusnya rumusan ‘bahasa pengabaran’ dalam teks cerpen Raudal, pembaca yang telaten tetap akan memahami bahwa kisah Gondan, Hindun, Jumilah (Tali Rebab) dan Andam (Laju Buaian di Rumah tak Berpenghuni) adalah ‘khabar buruk’ perihal perempuan-perempuan yang tak bernasib mujur, (justru) di ranah budaya matrilineal yang konon sangat memuliakan kaum ibu.
*) Cerpenis, Tinggal di Jakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar