Jumat, 27 Februari 2009

Mendekonstruksi Sentralisasi Sastra

Yusri Fajar
http://jiwasusastra.wordpress.com

Prolog

Eka Budianta, pengajar Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga dikenal sebagai penyair, menuturkan bahwa ketika umur 15 tahun, dia telah berkenalan dengan komunitas sastra di Kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (IKIP, sekarang Universitas Negeri Malang). Sebulan sekali di Perguruan Tinggi tersebut diadakan pembacaan puisi, pentas teater dan diskusi sastra dalam acara malam purnama. Saat itu dia berkenalan dengan para sastrawan Malang yang punya nama nasional seperti alm. Hasjim Amir, Jasso Winarto, dan Henri Suprianto yang mengajaknya berlatih membaca puisi dan pentas. Menurut Eka, sejak dulu kala, kota Malang sudah punya sanggar seni lukis, seni tari dan kelompok-kelompok baca puisi.

Awal tahun 2001 di Universitas Muhammadiyah Malang, saya pernah menghadiri acara bedah puisi yang didahului dengan pembacaan puisi oleh beberapa peserta yang hadir. Pembicaraan tidak hanya terpusat pada apresiasi teks puisi baik dari aspek instrinsik maupun ekstrinsik namun juga melebar pada diskursus determinasi dan resistensi komunitas dalam kaitannya dengan proses kreatif. Saya melihat ada kegairahan dari para pegiat sastra yang datang meski saya juga sekaligus mempertanyakan sejauh mana kegairahan itu akan terus menyala. Di forum itu saya bertemu dengan penyair muda Malang, Ragil Sukriwul, dan pegiat teater jebolan ISI yogyakarta, Jumali, yang dua-tiga tahun berikutnya sering saya jumpai dalam diskusi-diskusi pasca pentas teater dan beberapa event sastra dan budaya lainnya di Malang.

Tahun 2004-an di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya, saya bersama beberapa mahasiswa membidani kelahiran komunitas kesenian bernama teater O ( kini berubah nama menjadi teater Lingkar) yang pada perjalanannya tidak hanya berkonsentrasi pada proses kreatif berteater tetapi juga bersastra. Beberapa kegiatan pembacaan puisi, bedah prosa, menghadirkan sastrawan, sampai mengadakan sayembara penulisan puisi pernah dilakukan. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang bergiat di komunitas tersebut pada perjalanannya juga mampu mempublikasikan puisi-puisinya di media masa. Geliat komunitas sastra selanjutnya saya temukan di kegiatan “arisan reboan (karena dilakukan malam rabu)” di Unibraw, yang di dalamnya berkumpul para pegiat teater dan pegiat sastra yang saling bergantian membaca puisi, bikin short performance, dan juga menggelar diskusi. Sastra saya lihat menggeliat di sana meskipun pada dasarnya geliat itu tak harus bertumpu pada ada dan tidak adanya sebuah komunitas.

Menurut saya, jika sastra ingin dimasyarakatkan dan ‘dibudidayakan’, gelombang sastra terpusat, bertumpu pada wilayah-wilayah tertentu, dan terlalu bersandar pada eksistensi para sastrawan tua atau yang sudah punya ‘nama’ sudah saatnya ‘dideskontruksi’. Karya sastra bisa lahir dari siapapun dan manapun termasuk dari wilayah yang tak dilihat dan kurang diperhitungkan. Di tengah hutan rimba yang jauh dari keramaian bisa jadi banyak bunga bagus dan menakjubkan, tetapi karena tak ada orang yang melihat maka bunga dan tanaman tadi tak terekspos keluar meskipun pada hakekatnya ia tetap sebagai ciptaan yang indah dan bagus. Karya bagus bisa lahir dari penulis tak terkenal dan dari daerah yang diremehkan. Kualitas karya juga tak bisa digaransi seratus persen oleh usia pengarang. Oleh karena itu gelombang dan geliat sastra itu harus dilihat sebagai kontruksi yang bisa hidup di berbagai habitat manusia dengan wilayah menyebar.

Namun ‘dekonstruksi’ sentralitas sastra dan penggairahan kehidupan sastra di wilayah-wilayah ‘terpinggirkan’ dari peta besar sastra sesungguhnya bukan persoalan sederhana. Gerakan dan karya-karya sastra pedalaman yang sempat menarik perhatian karena semangat “revitalisasi sastra pedalaman” misalnya, sebagaimana diungkapkan Faruk, ternyata tak memiliki perbedaan signifikan dengan karya-karya dari pesisir dan tak mampu melahirkan revolusi bersastra dan cara berkesusastraan yang mandiri. Bahkan menurut pengamatan saya kini sastra pedalaman sedang mengalami hibernasi. Secara kultural bisa dikatakan belum mengakar dan belum mampu mendorong perubahan signifikan. Terlepas dari penilaian ini, minimal sastra pedalaman telah meletakkan pondasi untuk melakukan counter hegemoni dan melecut generasi mutakhir dari daerah-daerah untuk terus bereskplorasi meski ‘politik ordinasi dan subordinasi’ terus membayangi.

Post-modernisme memang mengisyaratkan sesuatu yang menyebar, tidak terpusat dan terkungkung mainstream tertentu. Dan menurut saya, di negeri yang plural seperti Indonesia, sesuatu yang terpusat dan seragam justru memang sangat kontraproduktif dengan hakekat keberagaman dan keserbamungkinan cara bersastra. Oleh karena itu warna dan gelombang sastra dari berbagai daerah dengan penulis-penulis muda perlu dibaca dengan seksama.

Memintal karya ‘tanpa sentral’?

Perjalanan panjang dunia kesusastraan diwarnai konstruksi dan dekontruksi dalam lingkaran aliran sastra pada setiap zaman berbeda. Strukturalisme dan post strukturalisme, humanisme universal dan realis sosialis-revolusioner, sastra tekstual dan kontekstual, absurditas dan realitas-empiris, mencatatkan tensi-tensi ketegangan yang meramaikan dan memperkaya dunia sastra. Posisi para penyair dalam menanggapi fenomena lokal dan global di sekitarnya begitu beragam dan sepertinya mereka masih berada pada konteks pencarian ‘diri’ sehingga tidak mengherankan jika terjadi mimikri di sana -sini dan terdapat banyak kutub sastra.

Dunia subjektif individu dan teologi sastra “sufistik” misalnya, adalah dua buah warna yang dalam periode sastra pernah menjadi sentral dan hingga kini masih banyak penulis yang menjadikannya sebagai kiblat. Kecenderungan pertama mengkoptasi puisi sebatas struktur dan permainan semiotika, mistisisme linguistik belaka. Konteks hanyalah sumber dari penanda dan petanda bahasa. Sementara sastra sufistik membangun kontemplasi atas kekuatan supreme di luar diri manusia. Domain vertikal begitu kuat sehingga terkesan menegasikan relasi horizontal kontekstual. Realisme sosialis revolusioner menjadi kehilangan tempat pada puisi-puisi teologi profetik semacam yang ditulis oleh Abdul hadi WM, Amien Wangsitalaja, dan beberapa lainnya. Di barat, T.S. Elliot, meski dengan basis dan persperktif berbeda, mengesplorasi sesuatu yang ‘metafisis’ yang secara semangat memiliki kesamaan. Lalu bagaimana membaca karya sastra sastrawan-sastrawan muda Malang?

Karya-karya beberapa sastrawan muda Malang sepertinya tengah berada pada kisaran pencarian (eksperimentasi) stereotype estetis dan isi dalam dialektika latar perkembangan sastra yang melingkupinya. Hal ini wajar mengingat sejarah panjang kesusastraan Indonesia tak bisa dihindarkan dari warna ‘kolonial’ yang melahirkan kekuasaan sentral. Mimikri menjadi bagian reflektif dari memori sadar dan alam bawah sadar pengarang atas konstruksi mapan yang datang sebelumnya. Terlebih lagi dominasi dan berbagai gaya sastra, dengan dukungan kekuasaan media yang teramat sulit dihindari oleh mereka. Karena itu, dari pembacaan berulang dan seksama, saya dihadapkan pada peta tak purna dari ‘kemutakhiran’ karya-karya mereka. Peta yang menuntut kontinyuitas penelusuran ulang. Namun demikian, karya-karya sastrawan muda Malang perlu dikritisi dan didekati dengan perspektif objektif agar realitas-realitas yang saya sebutkan di atas tidak mereduksi subtansi kekuatan karya mereka.

Puisi-puisi Abdul Mukhid penyair muda Malang yang terkumpul dalam antologi tunggal “Tulislah Namaku dengan Abu” (2006) mengantarkan saya pada pengembaraan sastra “tanpa pusat”, tanpa mainstream, melanglang buana dari satu ruang ke ruang lainnya tanpa pernah berlama-lama di salah satunya. Mukhid suatu kesempatan terkesan subjektif, berasyik mansyuk dengan eksistensinya sebagai upaya membangun dialektika sunyi; seperti terlihat dalam puisi-puisinya yang berjudul Tulislah Namaku dengan Abu, Dialog imajiner Dengan Caligula, Catatan Sepi 1, 2, 3, Tanda Tanya Agung. Tapi dalam puisi lainnya Mukhid justru menebar kontekstualitas sosio-politik-kultural dengan diksi lugas seperti dalam puisinya, 56 Tahun Indonesia (Masih) Cemas dan Berdamai dengan Kenyataan. Sementara di sudut lainnya, sentuhan teologi ketuhanan Mukhid terekam dalam Tuhan Maafkan Aku, Tak Semua dan Bukalah Bilik Hatimu. Mukhid sepertinya ingin berkelana dalam beragam genre, meski mungkin tak disadarinya. Sebuah pilihan berpuisi yang merdeka meski tanpa ciri. Cara berpuisi Mukhid hampir merambah sebagian besar penyair muda Malang yang karyanya pernah saya baca.

Ragil Sukriwul ‘mendekontruksi’ lokalitas dengan menabur beberapa diksi bahasa Inggris ke dalam puisinya yang sebenarnya mayoritas dia tulis dalam Bahasa Indonesia. Bagi saya, Ragil ‘tak menganggap’ petanda ‘global’ sebagai ancaman yang akan memarginalkan warna bahasa lokal (Indonesia) dan pemaknaannya. Ada kesadaran dan keberanian untuk mengelaborasikan petanda lokal dan global dalam puisi karena batas budaya telah remuk dalam desa global (global village). Salah satu puisinya berjudul “Lost”, dan puisinya yang berjudul “Jangan Kartu Pos I” berisi petanda global (Bahasa Inggris) yang saya maksudkan.
……………

Berceritalah tentang perutmu yang masih saja berteriak
Meski telah disumpal senampan Pizza, tentang jemari
Telunjukmu yang berungkali tersayat karena ngotot ingin
Masak
Sendiri,

(Juga biografi lelaki negeri mana saja yang pergi dan datang di kencanmu)

Ceritakan saja meski selarik puisi.
I was there…! I’m very Happy!” teriakan asingmu ini
Hanya jadi
Barisan abjad-abjad penuh cemas di sini
Jangan kirim kartu pos lagi: benci!
Kirimkan saja aku perih.

Lebih jauh, dengan gaya bangunan struktur dalam beberapa puisinya yang seperti mengajak kita untuk kembali melihat karya penyair Amerika E.E. Cumming dan penyair Sutardji Calzoum Bahri, Ragil juga sepertinya ingin meletakkan struktur bukan sebagai beban dalam berpuisi. Kata bisa digeser, ditata horisontal, vertikal, miring, dan tak lurus-rapi. Namun yang membedakan Ragil dan Sutardji adalah bahwa sebenarnya Ragil tak sepenuhnya ingin membebaskan kata dari makna sebagaimana Sutardji. Lihat saja dalam beberapa puisinya, seperti Di Antara yang Datang dan Pergi dan Menggambar Bulan, Ragil nampak masih bersetia dengan relasi makna dalam kata yang merajut puisinya.

Tegar Prajaksa, Penyair muda yang sedang kuliah di jurusan sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang, mendekontruksi struktur kata dalam puisi dengan melakukan pemecahan dan penyatuan suku kata sebagaimana dilakukan oleh penyair sekaligus pelukis dan pemahat Jerman Kurt Schwitters (1887-1948). Tegar melakukan dekonstruksi itu dalam puisinya Kontemporer Cinta. Tegar lalu dengan liar juga mendekontruksi sistem kultur ‘tabu’ dengan menghadirkan kata vagina dalam puisinya: Rengek Bocah Lima Tahun. Meski dalam banyak puisinya Tegar cenderung membawa kata dalam permainan strukur bebas, ia ternyata juga tak melepaskan diri dari godaan konteks di luar dirinya sebagai muatan yang mendahului penciptaan. Puisi Berjudul Lapindo, yang hanya berisi huruf 0, dan Hamid Mencari Iskandar bisa menjadi bukti.

Sementara dalam dunia prosa, nampak dalam cerpen Corry Atur, cerpenis perempuan yang masih muda dan sedang kuliah di Program Bahasa dan Sastra Unibraw Malang, ketegangan mitos dalam tradisi dan elemen modernitas justru berusaha dikolaborasikan dengan tujuan menghadirkan bentuk yang tak terpusat. Ada upaya membangun ‘ideologi’ yang tidak semata-mata berkiblat pada tradisi dan juga tidak serta-merta mengagungkan keilmiahan ‘modernitas’ dalam salah satu unsur sastra (literary devices). Corry yang telah lama tinggal di Malang memang menggunakan tradisi, dalam hal ini pernik-pernik mitologi, untuk membangun cerita dengan atmosfer modern. Folklore tentang Coban Rondo (salah satu tempat wisata di Malang) misalnya, yang dia hadirkan untuk menawarkan benang merah cerita yang dia tulis menunjukkan relasi kutub sastra sehingga tercipta medan magnit antar satu dengan yang lainnya. Hal ini sungguh menarik karena dalam wacana post-modernisme dua entitas yang begitu berbeda dimungkinkan bisa menjadi sumber inspirasi yang justru saling melengkapi, mengisi, bahkan mendekonstruksi.

Dengan begitu proses kreatif bakal mendapatkan ‘kebebasan’ dan keliarannya, seperti penggalan puisi Skizoprenia karya Miza, penyair dan mahasiswa di Program Bahasa dan Sastra Unibraw.
……………

Dalam keliaran dan kegilaan
Sesungguhnya tangis tak henti
Mendera
Lalu dengan sengaja
Mengapungkan diri di tengah laut
Biar dikoyak-koyak hiu

Epilog

Saya tidak berpretensi bahwa pembacaan saya atas beberapa sastrawan muda Malang tersebut di atas sudah representasif. Identifikasi dan pemetaan sastra di Malang membutuhkan proses yang tidak sekali jadi. Di luar itu, upaya untuk menjadikan gelombang sastra di Malang sebagai bagian revitalisasi dan perayaan sastra perlu terus mendapatkan apresiasi dan dukungan. Sastra yang terpusat dan dipusatkan, berada di atas menara gading dan menegasikan potensi sastra di daerah-daerah akan menjadikan berbagai kemungkinan kreativitas menjadi ‘terbatas’.

Sengkaling, Malang, Desember 2007

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi