S Yoga*
http://www.surabayapost.co.id/
http://syoga.blogspot.com/
“Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”.
Begitulah kidungan Cak Durasim, pendiri Ludruk Organizatie (LO) di zaman perjuangan, yang berhasil membangkitkan rasa tidak senang rakyat terhadap Jepang, hingga masuk bui, disiksa tentara Jepang, dan akhirnya meninggal di penjara. Dari fenomena ini, kita tahu bahwa ludruk, sebenarnya merupakan kesenian perlawanan di masa penjajahan, baik itu di masa kolonial Belanda maupun Jepang. Kontribusi ludruk di masa perjuangan kemerdekaan tak bisa diremehkan. Ludruk efektif menghibur masyarakat yang tertekan, tertindas dan lapar, yang dikebiri hak sosial, ekonomi dan politiknya. Sehingga masyarakat ketika menyaksikan pertunjukan ludruk, sekejab bisa terbebas dari segala tekanan hidup dan merasa merdeka. Dan di dalam peristiwa ludruk, yang biasanya terbagi dalam nyanyian, tari remo, kidungan, lawakan dan lakon utama. Para pemain bisa memasukan kidungan atau dialog sambil menyampaikan kritik sosial, yang disebut pasemon, semonan. Di mana kritik tersebut harusnya tidak membuat marah penguasa yang dikritik.
Paranoid
Namun bagi penguasa yang paranoid, ketakutan tanpa sebab, ludruk dipandang membahayakan kekuasaan sehingga hal itu dianggap kegiatan yang subversif. Perlawanan budaya ludruk juga bisa dilihat dari sejarah terbentuknya. Memang ada dua versi dari mana ludruk berasal, yang satu berpendapat ludruk lahir dari Jombang dan yang kedua ludruk berasal dari Surabaya. Ada yang menyatakan pada tahun 1890, ludruk sudah ada, yang serupa badut yang ngamen, mbarang dari rumah ke rumah, dengan tarian yang kakinya menghentak-hetak (gedruk-gedruk) tanah yang kemudian disebut ludruk. Yang disertai nyanyian, dialog dan lawakan dengan cerita yang sederhana atau kisah-kisah kepahlawanan lokal, seperti Cak Sakera dan Sarif Tambak Yoso. Yang biasanya dipentaskan di pesta pernikahan atau pesta rakyat lainnya.
Sebagai teater rakyat atau jalanan, baik jenis ludruk besut, lerok dan ludruk, secara nyata membuat pengisahan sendiri, yang umumnya cerita berpusat pada kebenaran istana atau penguasa. Kini rakyat diberi alternatif pengisahan lewat lakon di dalam ludruk. Pengisahan ini pun tidak mengambil kisah agung-besar, ludruk memberikan spirit perlawanan dengan kisah-kisah lokal, bahkan keseharian. Di sinilah ludruk menemukan jati dirinya sebagai teater rakyat dan agen perubahan, baik di masa kolonial maupun revolusi. Tidak seperti wayang, tari bedaya atau kethoprak yang muncul dari kalangan istana atau kaum elite, yang komunikasinya benar-benar mempertahankan tata bahasa Jawa. Ludruk memakai bahasa rakyat jelata yang cenderung kasar, egaliter, tanpa ungah-unguh. Selain dari sejarah, bahasa dan pengisahan, ludruk juga menunjukkan perlawanan budaya dengan kostum, yang umumnya memakai kaos merah putih dan ini merupakan semangat nasionalisme yang mensimbolkan bendera merah putih. Juga dengan karakter perempuan yang dimainkan oleh laki-laki, hal ini bisa diartikan ejekan pada rakyat yang tidak mau berjuang sebagai seorang banci atau perempuan.
Di zaman kemerdekaan ludruk masih memiliki fungsi kritik sosial, perlawanan, namun di era Orde Baru ludruk benar-benar dibungkam kreatifitasnya, dan dikenakan kaca mata kuda yang hanya boleh melihat dan bersuara satu arah, yakni kebijakan pemerintah versi Orde Baru. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya grup ludruk yang bergabung dengan instansi dan militer. Sebelumnya ludruk juga telah dimanfaatkan oleh partai politik pada tahun 1945-1965, di mana pada masa itu ludruk yang paling populer adalah “Ludruk Marhaen”, yang sempat main di istana negara 16 kali, milik Partai Komunis Indonesia. Saat itu kedudukan ludruk sangat vital dalam mempengaruhi rakyat. Sehingga PKI mengambil kebijakan untuk merekrut ludruk lewat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) guna menyuarakan partai, tak heran waktu itu banyak orang yang terpengaruh dan bergabung denga PKI, tanpa tahu subtansi visi dan misi yang sebenarnya. Yang akhirnya memunculkan prahara dan kudeta berdarah pada tahun 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta.
Badut Politik
Waktu itu hampir semua partai politik memiliki grup ludruk sebagai corong partai untuk mempengaruhi dan mencari pengikut, khususnya di Jawa Timur, baik yang berbahasa Jawa maupun Madura. Ludruk menjadi primadona partai guna memenangkan pemilu. Di mana para seniman ludruk pun banyak yang akhirnya menjadi anggota partai. Dan fenomena tersebut dalam tataran politik modern saat ini, seniman atau artis menjadi primadona baru untuk mendulang suara partai atau diajukan untuk menjadi bupati, walikota dan gubernur, bahkan dari kalangan artis ada yang berani mencalonkan diri sebagai presiden. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan ternyata juga berpengaruh penting terhadap perjalanan sebuah bangsa, lewat partai politik atau independen. Namun bila tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki maka hanya akan menjadi badut politik.
Setelah era ludruk ditunggangi partai politik, di zaman Orde Baru nasib ludruk secara politis juga masih sama tragisnya, tidak merdeka dan independen. Ibaratnya keluar dari mulut ular masuk mulut harimau. Maka orientasi ludruk sebagai suara rakyat, aspirasi kaum bawah dengan kritik sosial dan mencoba mempengaruhi kebijakan pemenrintah, lagi-lagi menjadi terbungkam. Karena ludruk dikangkangi militer dan pemerintahan Orde Baru, di mana bermunculan nama-nama ludruk sesuai kesatuan militer; misal Ludruk Wijaya Kusuma yang terbagai hingga 5 unit (grup), di mana grup ludruk tersebut leburan dari Ludruk Marhaen-Surabaya, Anogara-Malang, Uril A-Malang, Tresna Enggal-Surabaya dan Kartika-Kediri. Ketika itu semua ludruk yang ada dibina oleh militer sehingga semua konsep pementasan haruslah sesuai atau mendapat ijin dari militer. Kebebasan berekspresi dan kreatifitas ludruk pun terberangus. Yang ada hanyalah satu suara-arah kebijakan yang sesuai dengan pesanan, sehingga dikenal juga sebagai ludruk pesanan, misal untuk klompecapir. Sebenarnya tidak ada salahnya ludruk menyuarakan pesan kebijakan pemerintah, namun seringkali ketika akan memberikan kritikan hal ini dilarang, yang boleh hanya pujian. Masyarakat pun akhirnya tidak memiliki kepedulian karena bahasa yang digunakan, abstrak, jauh dari kenyataan yang ada, sehingga kaku, tidak seperti aslinya dengan bahasa yang ceplas-ceplos, kasar dan familier.
Ludruk dapat menjadi kitab lupa dan gelak tawa bagi rakyat pada umumnya karena ia menyimpan tradisi dan memori hidup yang tak akan terhapus oleh sejarah apa pun, meski sejarah itu telah direkayasa. Karena ingatan pendukungnya lebih kuat lewat cerita dan humor hitam yang didedahkan. Ia menjadi saksi bagi perjalanan bangsa, ia menjadi ekspresi resistensi bagi rakyat jelata terhadap para penguasa. Karena hakikat ludruk adalah perlawanan yang menyuarakan cita-cita kaum lemah, ia simbol perjuangan mereka yang tertindas dan lahir dari kondisi sosial yang represif. Baik itu secara politis maupun ekonomi, di mana ludruk biasanya mengajarkan kearifan lokal dan ini merupakan perlawanan terhadap kapitalisme. Selain secara tradisi lisan menciptakan identitas lokal para pendukungnya. Secara politik ludruk telah menunjukkan jati dirinya sebagai bentuk subversif dari kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Sehingga bila kini banyak grup ludruk yang kehilangan orientasi perjuangan tersebut, dengan pasemon dan lawakan yang getir, pahit maka ia sedang menggali kuburnya sendiri. Karena secara perlahan rakyat pastilah akan meninggalkannya. Karena itu spirit ludruk sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penguasa yang tiran haruslah terus dihidupkan, tentu saja dengan lawakan yang elegan,dan selalu menyerap aspirasi kaum bawah.
Namun kini nasib ludruk sama tidak menentunya dengan nasib rakyat penerima BLT, yang hidup secara subsistensi. Di mana kehidupan ludruk seakan-akan tergantung kepada belas kasihan para pendukungnya. Kadang pentas kadang nganggur, peran pemerintah untuk menghidupkan ludruk pun tidak sungguh-sungguh. Hal ini karena kebijakan pemerintah yang selalu memandang kebudayaan sebagai objek dan dagangan semata. Bukan sebagai ekspresi dan spirit rakyat yang tertekan, di mana roh kearifan lokal bisa memberikan siraman terhadap beban hidup yang mereka alami. Mungkin kalau Cak Durasim saat ini masih hidup, ia akan berkidung: “Bekupon Omahe Doro, Nasib Ludruk Soyo Sengsoro”.
***
*) Penyair dan Anggota Komite Sastra DK-Jatim
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar