Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Lawen Newal yang kiprah kepenyairannya juga dikenal dengan nama Junewal Muchtar adalah salah seorang penyair penting Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Meski begitu, kiprah kepenyairannya telah memantapkan dirinya, bahwa sosok Lawen Newal adalah penyair yang di kawasan Riau, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, mempunyai tempat tersendiri yang kokoh—kuat. Dua karya sebelumnya, Batu Api (1999) dan Perjalanan Darah ke Kota (2003) memperlihatkan kegelisahannya dalam tarik-menarik masa lalu puak Melayu yang ditaburi puisi-puisi tradisional yang tiada henti terus mengalirkan tradisi, di satu sisi, dan perubahan sosial dalam arus perkembangan zaman pada sisi yang lain. Jadi, semangatnya kulturalnya adalah: satu kaki berada dalam ibu budaya yang melahirkan dan membesarkannya, dan satu kaki lainnya gamang menginjak Indonesia yang dalam pandangannya, mencemaskan.
Dalam serangkaian pembacaan puisinya, Lawen kerap tampil menderapkan spontanitas, kecepatan berpikir, dan improvisasi, sebagaimana yang menjadi semangat dasar berpantun, dan mabuk ekspresif sebagai representasi segala rasa dalam memandang situasi sosial di sekitarnya. Mungkin ia bermaksud memberontak, mencemooh, menyampaikan kritik sosial, mencoba memberi penyadaran atau mengungkap kecintaan. Segalanya dapat menghambur begitu saja, dengan atau tanpa kendali. Dan puisi bagi Lawen adalah ekspresi kreatif yang boleh memainkan improvisasi ketika itu dianggap menjadi tuntutan situasi.
Cara pengucapan Lawen Newal tentu saja tidak sendirian. Masih ada deretan panjang nama yang juga mempunyai kegelisahan yang sama, pengucapan yang sama atau obsesi yang sama. Tetapi, dalam sejumlah kesamaan tematik, pengucapan dan ekspresi itu, selalu ada kekhasan, unikum yang menciptakan keberbedaan. Di situlah posisi kepenyairan Lawen Newal ikut mewarnai lanskap peta perjalanan puisi Indonesia yang dalam kenyataannya memang tidak dapat menghindar dari kultur ibu, kecamuk kegelisahan batin, dan pemaknaan atas situasi sosial zamannya. Lawen dengan kesadaran kepenyairannya, sangat memahami jalan bergelombang yang menjadi pilihannya.
Dalam kumpulan puisi Topeng Makyong –Batu Api Dua— (Pustaka Panggung Melayu, 2008), pengucapan Lawen tampak lebih reflektif, simbolik—sebagaimana yang dapat kita tangkap pada dua antologi sebelumnya—metaforis, meski dalam beberapa puisinya, cara membungkus kesadaran keindonesiaannya kerap mencelat begitu saja dan menyebar dalam sejumlah pengucapan yang menggugah emosi. Permainan makna dalam balutan metafora, cukup cantik tidak sekadar sebagai ekspresi kegelisahan batin an sich, melainkan juga sebagai pantulan kesadaran diri pada alam yang sesungguhnya cermin bagi kehidupan manusia; pada negeri yang kian tak bersahabat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Lawen coba memaknai dengan latar kultur ibu yang berada di belakangnya dan segala harapan yang berada di depannya. Maka, segala benda yang diakrabinya, seperti laut—gelombang—perahu, kerap menjadi latar material yang berfungsi mendukung tema yang hendak disampaikannya. Di situlah eksotisme kultur etnik memperoleh pencerahan ketika ia digunakan sebagai upaya memaknai dan menerjemahkan situasi sosial perkembangan zaman.
Periksalah puisinya yang bertajuk “Topeng Makyong.” Meski kritiknya atas situasi kehidupan kenegaraan dan kebangsaan ini jelas dialamatkan ke mana, posisi topeng makyong dalam teks itu memaksa kita menelusuri makna topeng dalam tari makyong, sebuah tradisi berkesenian dalam kebudayaan Melayu yang makin terpinggirkan. Lawen memang mengungkap kegelisahannya pada situasi sosial zaman ini, tetapi sekaligus membawa misi kulturalnya ketika tradisi kesenian makyong dalam kebudayaan Melayu, tidak lagi mendapat apresiasi masyarakat. Dan topeng, sebagai properti penting dalam kesenian itu ditempatkan sebagai salah satu ikonnya.
Periksa juga puisinya yang berjudul “Dialog Ikan dan Para Pemancing” yang mengawali buku kumpulan puisi ini. Bukankah itu merupakan sebuah isyarat yang mewartakan dua makhluk dengan dua kepentingan? Para pemancing yang bertindak sebagai pemburu, dan ikan sebagai simbolisasi makhluk tak berdaya yang kerap dijerat tipu daya, iming-iming, janji palsu, dan omong kosong. Sebuah paradoks yang menggambarkan kuasa para penguasa—penipu dan keteraniayaan makhluk (baca: rakyat) tak berdaya. Bukankah kehidupan kemasyarakatan kita dewasa ini laksana paradoks pemancing dan ikan. Umpan pemancing adalah jerat yang membawa ikan pada kematian. Maka ketika ikan-ikan itu terbang dibawa camar, dan barangkali juga pergi menghadap tuhannya, kesadaran aku liris adalah mengembalikan kehidupan pada habibatnya; pada sunatullah, pada hukum alam yang jujur dan tak menipu. Lawen coba memberi penyadaran, betapa busuk kehidupan yang ditaburi tipu-daya dan kemufaikan.
Puisi “Rig dari Natuna” –yang mengingatkan saya pada puisi Rendra, “Rick dari Corona” jelas mewartakan kedukaan tentang kekayaan alam yang dikuras, sementara masyarakat di sekeliling tidak mendapatkan apa pun dari tanahnya sendiri, padahal tanah itu adalah warisan leluhurnya yang tetap menunjukkan jejak nenek moyang. Itulah model suara penyair (Melayu) yang kerap digemakan. Lawel bagai hendak merepresentasikan gugatan itu. Ia tak mengungkap suasana hati atau suasana peristiwa. Ia mewartakan sebuah narasi kepedihan. Gaya pengucapan ini akan mengundang efek puitik yang menggugah dan penuh pesona manakala ia disampaikan secara teaterikal dengan vokal yang menyihir. Lawen agaknya sangat menyadari kualitasnya sebagai penyair dan pembaca puisi yang piawai. Maka, sejumlah puisinya yang lain, tampak dikemas dengan kesadaran itu. Lihat juga puisinya yang berjudul “Orang-Orang Perahu,” “Perih,” atau “Orang-Orang Terbuang” dan sejumlah besar puisinya yang lain.
Dalam konteks itu, saya melihat, Lawen makin matang dalam memainkan peran kepenyairannya yang menempatkan bahasa dan pengucapan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dan secara keseluruhan, puisi-puisi dalam antologi ini adalah pengucapan kegelisahan penyair yang tidak dapat meninggallupakan tradisi kelisanannya, dan sekaligus menyadari bahwa bahasa adalah sarananya. Di sini pula keunikan—kekhasan puisi-puisi Lawen memperlihatkan eksotismenya; bagaimana ia memadukan kelisanan dan keberaksaraan dalam wujud puisi. Maka, napas yang mendominasi semangat puisi-puisi Lawen berkenaan dengan ibu budaya yang melahirkannya, bukanlah pada mantera atau pada hikayat, melainkan pada pantun dan gurindam. Pada pantun kita melihat spontanitasnya, dan bukan pada bentuk sampiran dan isinya; dan pada gurindam ada kandungan tentang fatwanya yang coba memberi penyadaran.
Lalu di mana pula kelisanan itu dilesapkan Lawen? Justru di situlah kekuatan puisi-puisi Lawen memancarkan pesonanya. Simak saja secara sembarang salah satu puisinya dalam antologi ini. Maka, puisi-puisi itu akan menjadi puisi yang enak dibaca—enak didengar. Bukanlah puisi-puisi seperti ini merupakan kekhasan puisi tradisional yang sengaja dibangun untuk dibacakan di depan publik. Itulah model kelisanan yang dalam tradisi kesusastraan Melayu dalam menciptakan komunikasi antara pembaca—pendengar; aktor—audiens.
Meskipun demikian, tentu saja pilihan itu bukan tanpa risiko. Lalu di manakah Lawen–lewat puisi-puisinya itu—hendak menciptakan jalinan komunikasi dengan pembacanya? Jelas, Lawen coba menghindar permainannya dalam pemikiran filosofis yang menjadikan puisi sebagai sebuah perenungan yang asyik-masyuk sendiri, Puisi-puisi Lawen bukanlah untuk dinikmati sendiri di dalam kamar tertutup (close reading). Puisi-puisi Lawen adalah puisi mimbar yang akan memancarkan efeknya yang mempesona ketika ia berhadapan dengan publik pendengar. Simak saja puisinya yang bertajuk “Hidung tak Mancung”. Meski ia membungkus sebuah simbolisme –hidung mancung—dan topeng makyong, sasarannya jelas menegaskan perlawanannya pada kemunafikan. Topeng makyong adalah penutup wajah yang di sana, pemain akan menjalanklan karakternya sesuai dengan fisiologi topeng itu.
***
Begitulah puisi-puisi mimbar Lawen Newal tidak sekadar mewartakan serangkaian kegelisahan penyair tentang puak dan tanah moyangnya, melainkan juga pengucapan puitik yang berada dalam tarik-menarik kelisanan dan keberaksaraan. Puisi-puisi Taufiq Ismail, Rendra, atau Hamid Jabbar berada dalam semangat yang sama dengan yang dimanifestasikan Lawen Newal. Dengan demikian, puisi disadari sebagai alat ucap yang bakal menghamburkan efeknya yang dahsyat manakala penyairnya berada di tengah publik. Itulah puisi mimbar, meski ia juga tetap tak meninggalkan sarana puitikanya sebagai karya seni yang juga mengusung keindahan puitik.
Bukankah di dalam puisi-puisi mimbar itu, kita juga masih menjumpai begitu banyak metafora, simbolisme, dan derap kesamaan bunyi yang sadar atau tidak, dapat merangsang emosi pendengarnya. Jadi, meskipun puisi-puisi Lawen berada dalam tarik-menarik kelisanan dan keberaksaraan, berada dalam jalin-kelindan tradisi puisi yang diwariskan oleh ibu budaya dan perubahan sosial zamanya, ia tidak tergelincir pada bentuk pernyataan yang artifisial. Lawen sama sekali tidak hendak mengumbar propaganda tentang kisah-kisah pedih puak Melayu dan tanah moyangnya. Ia berkisah tentang kepedihan dalam peristiwa yang menimpa masyarakat di sekitarnya, luka moyangnya, dan kecemasan pada elan kebangsaannya dalam serangkaian puisi yang tetap menyimpan daya pukau. Dan daya pukau itu akan menjelma pesona jika ia berada dalam suara pembaca puisi yang piawai.
Menikmati puisi-puisi dalam antologi ini, sungguh saya merasa berada di atas pentas yang tangkas. Dan Lawen Newal punya kualitas itu.
Lawen Newal telah melakukan pilihan atas jalur yang hendak ditempuhnya. Kekuatan itu niscaya akan menjadi monumen, jika ia punya banyak kesempatan memamerkan kualitasnya itu.
Tahniah, syabas, selamat!
Bojonggede, 27 Mei 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar