Grathia Pitaloka
http://jurnalnasional.com/
Seorang perempuan menelungkupkan kepala di atas meja. Dari mulutnya terlontar igauan-igauan keras mengenai grafik pemeliharaan, grafik penghancuran, rencana regional, rencana tata ruang, konstruksi pembangunan negara-negara miskin.
Perempuan bernama Fitri itu seolah menjadi potret kegilaan kehidupan kota besar. Tekanan hidup membuat dia dan sebagian besar manusia urban lainnya merasa teralienasi bahkan oleh masa lalunya sendiri.
Untuk mengisi ceruk hati yang kosong mereka membentuk sebuah percintaan banyak segi. Meski tahu itu bukan bentuk ideal, namun mereka yang tercerabut dari akar tak sanggup untuk menolaknya.
Fenomena sosial seperti kegamangan sikap dan situasi psikologis masyarakat modern itu menggelitik naluri kreatif Teater Kami untuk mengangkatnya ke atas panggung. Kemudian dari tangan dingin seorang Harris Priadie Bah lahirlah sebuah pertunjukan teater yang mengharmonisasikan antara tubuh dan teks.
Lahir di Jakarta 20 tahun silam, Teater Kami memberikan sebuah warna yang berbeda di awal kemunculannya. Pengalaman bergabung dengan Teater Sae disebut-sebut sebagai salah satu latar eksplorasi tubuh yang dilakukan Harris.
"Berani tampil beda menjadi salah satu nilai lebih bagi Teater Kami. Di saat kelompok lain tenggelam dalam hiruk pikuk kecerewetan teks, mereka hadir dengan konsep minimalis, detail serta eksplorasi yang kuat terhadap tubuh," kata Afrizal Malna, Minggu (14/12).
Teater Kami kemudian berangkat menjadi kelompok yang mengejar substansi. Bagi mereka, teater bukan sekadar narasi yang bertele-tele. Dengan detail tubuh yang sederhana pun mereka mampu menghipnotis penonton.
Afrizal mengatakan, dalam lingkungan teater di Jakarta, langkah yang diambih oleh Harris dan teman-teman terbilang istimewa. Maklum, ketika itu banyak kelompok teater yang disibukan dengan dialog yang berlarat-larat sehingga tidak mempunyai ruang untuk menggarap detail di tingkat tubuh aktor.
Kelebihan lain dari kelompok ini adalah tidak berlebihan dalam setting. Budaya visual yang tengah marak belakangan ini seringkali membuat para pekerja teater berlomba untuk mencipta setting yang gegap gempita, sementara teaternya sendiri menjadi terkubur.
Konsep setting minimalis yang diusung Teater Kami juga mendapat acungan jempol dari Halim HD. Ia mengakui kelebihan kelompok ini dari segi adaptasi ruang dan pemanfaatannya. "Ketika diundang ke Palu. Mereka mampu menggunakan ruang tamu sebagai tempat pertunjukan," kata Halim.
Harris menuturkan bahwa konsep minimalis tersebut sebenarnya tercipta secara tidak sengaja. Sulitnya mendapatkan dana untuk pertunjukan membuatnya harus memutar otak, bagaimana membuat karya yang maksimal dengan modal kecil. "Maka terciptalah konsep pemanfaatan ruang dan penggunaan aktor yang minimalis," ujar Harris.
Bahasa Simbol
Afrizal mengatakan, dengan gaya yang imajinatif Teater Kami mengusung ikon-ikon ke atas panggung. Bukan sebagai representasi sosial melainkan sebagai interpretasi mereka. "Mereka membawa pesan realis yang dikemas dalam pertunjukan imajinatif," ujar penulis kumpulan puisi Teman-teman dari Atap Bahasa ini.
Contohnya dalam lakon Telur Matahari yang bercerita tentang wajah Indonesia setelah lima tahun reformasi. Taburan metafor sangat terasa pada pementasan yang naskahnya ditulis oleh Afrizal.
Misalnya saja pada adegan ketika dua orang sedang memperebutkan kursi (dalam makna sesungguhnya). Kemudian muncul orang ketiga yang ketika berhasil menguasai kursi, alih-alih diduduki kursi tersebut malah dibanting hingga berantakan.
Beragam makna bisa muncul dari adegan semacam itu. Tetapi, jika mengacu kepada bingkai besar pementasan sebagai upaya melakukan dekonstruksi terhadap berbagai ketidakpantasan di negeri ini, maka "kursi" (mungkin jabatan) telah membuat sebagian orang geram.
Pementasan tersebut ditutup secara tidak biasa dengan membanting semangka yang menyerupai bola dunia tepat di hadapan penonton. Suara bantingan yang menghentak menyadarkan bahwa bangsa ini tengah mengalami kesemrawutan.
Dalam tradisi Tionghoa, buah semangka yang dibanting merupakan bagian dari tata cara pada upacara kematian. Harris ingin menuturkan bahwa carut-marut di negeri ini akan berujung pada kedukaan yang mendalam.
Interpretasi personal yang digunakan Teater Kami seolah menjadi dua sisi mata pedang yang terkadang menjadi kelebihan, namun lain waktu dapat menjadi kekurangan. "Harris acapkali berlaku "sewenang-wenang" terhadap naskah orang lain dengan melakukan penafsiran ulang yang berlebihan," kata Nur Zen Hae.
Misalnya saja pada pertunjukan Kunang-kunang yang naskahnya ditulis oleh penulis terkemuka Jepang, Suzue Toshiro. Dalam lakon tersebut Harris melakukan perombakan cerita secara besar-besaran. Naskah asli yang terdiri dari 14 adegan dipangkas menjadi 11 adegan (dua dihilangkan dan dua dijadikan satu).
Pertunjukan juga kerap menampilkan cerita yang tidak linier bahkan cenderung melompat-lompat. Satu adegan dengan adegan lain direkatkan oleh Ide, sehingga berpindah-pindah bagai gelombang radio.
Tengok saja pada lakon Kunang-kunang, adegan pertama dibuka fragmen antara Fitri dan Yanto. Lantas disambung dengan adegan kedua yang memperlihatkan kesibukan pasangan Jean Marais dan Faudiah Sari yang tengah menyorotkan senter mencari kunang-kunang.
Zen Hae menuturkan, upaya pembongkaran yang dilakukan Harris cukup menarik, caranya memilih dan mengedit naskah sehingga menghasilkan keseluruhan alur kisah. "Harris menggunakan adegan yang dianggapnya penting dan memangkas yang dianggap tidak," ujar Zen Hae.
Pria yang sempat bekerja sama dengan Teater Kami untuk beberapa produksi ini mengatakan, penafsiran ulang yang dilakukan pewujud (penyebutan sutradara oleh Teater Kami) dapat merupakan bentuk kreativitas. Tetapi di sisi lain tindakan tersebut berisiko karena cerita yang ditampilkan tidak utuh.
Lebih lanjut Zen Hae melihat, Teater Kami sedikit terjebak dalam nada bicara robotik (dengan penekanan di akhir kalimat) yang menjadi ciri khasnya. "Memang gaya tersebut membedakan Teater Kami dengan kelompok lain, tetapi karena dilakukan secara berulang menjadi terasa membosankan," kata lelaki yang menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Naskah Asing
"Hanya orang menos (gila) yang mau bertahan di dunia teater yang serbapaceklik," kata Harris sembari terkekeh. Mungkin menertawakan diri sendiri karena dia termasuk segelintir orang yang hingga kini masih bertahan di dunia yang jauh dari gemerlap.
Tetapi tentu Harris tak ingin mati konyol. Supaya dapat bertahan ia harus pintar-pintar memutar otak. Untuk itu Harris memilih "jalan sempit" dengan melakukan pementasan-pementasan di kedutaan negara asing.
Cara yang ditempuh Harris ternyata cukup ampuh untuk mencetak rupiah guna membiayai pementasannya. "Tidak banyak, tapi setidaknya saya dapat memberikan uang lelah kepada para anggota," ujar Harris.
Budaya memberikan uang lelah ditempuh oleh lelaki berusia 43 tahun ini mengubah anggapan bahwa pekerjaan teater berbeda dengan pekerjaan formal lainnya. Menurut dia, teater bukan sekadar hobi yang dikerjakan sebagai pengisi waktu luang. "Teater sama dengan pekerjaan lain yang membutuhkan loyalitas," kata alumni Sekolah Teater dan Film (STF) angkatan 1986.
Harris juga tak keberatan bila kelompoknya dicap sebagai teater kedutaan asing karena dengan cara itulah dia bisa menyambung nafas untuk tetap menghidupkan teater. "Setidaknya setengah dari ongkos produksi bisa ditutup," ujar pria yang duduk sebagai Sekretaris Program Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta.
Dari kacamata berbeda Afrizal menilai, pemilihan naskah-naskah asing ini turut mempengaruhi cara bertutur Teater Kami. Jika pada awalnya mereka konsisten mengeksplorasi tubuh, lama-kelamaan mereka kembali terjebak pada teater naratif. "Padahal kekuatan Teater Kami terletak pada detail dan bahasa tubuh," kata penulis buku Tak Ada Anjing dalam Rahim Ibuku ini.
Pola latihan yang tertutup ia duga menjadi salah satu penyebabnya. Lelaki yang sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara ini menilai pola latihan Harris yang tertutup seolah bekerja dalam kamarnya sementara teater merupakan kerja terbuka. "Masyarakat perlu mengetahui proses sebuah telur sebelum ia menetas menjadi ayam," ujar Afrizal.
Lebih lanjut Afrizal memaparkan bahwa Teater Kami harus mengembangkan budaya diskusi maupun evaluasi dengan melibatkan orang lain di luar kelompoknya. "Ini merupakan langkah mencegah bangkrutnya kelompok teater akibat kehilangan medan kreatif," ujar Afrizal.
Sementara itu, Halim menyayangkan bongkar pasang yang terjadi dalam tubuh Teater Kami. Meski hal itu lazim terjadi pada sebuah kelompok teater, tetapi ada baiknya sebuah kelompok memiliki keanggotaan yang mapan. "Masuknya orang baru membuat kelompok harus mengulang latihan dari awal," kata Halim.
Regenerasi merupakan menjadi permasalahan tersendiri bagi dunia teater. Harris mengakui sulit sekali menemukan orang yang konsisten mengabdikan dirinya untuk kesenian terutama teater. "Bongkar pasang pemain merupakan salah satu cara, sebab saya tidak memiliki banyak anggota," ujar Harris.
Rumusan bahwa teater sebagai seni dalam menjalani hidup atau teater sebagai panggilan jiwa, pada akhirnya memang terlampau sederhana untuk menggambarkan "kegilaan" sebagian orang untuk terjun bebas di dalamnya.
Semoga kerinduan Harris akan majunya dunia teater Tanah Air dapat tercapai, setidaknya seperti kunang-kunang yang menghapus kerinduan masyarakat urban dalam lakonnya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar